• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PIDANA MATI DALAM SISTEM PEMIDANAAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PIDANA MATI DALAM SISTEM PEMIDANAAN INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PIDANA MATI DALAM SISTEM PEMIDANAAN INDONESIA

(Jurnal)

Oleh

BUDI RIZKI HUSIN, S.H., M.H. NIP. 197709302010121002

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PIDANA MATI DALAM SISTEM PEMIDANAAN INDONESIA

Oleh

BUDI RIZKI HUSIN, S.H., M.H.

Pemidanaan pada dasarnya merupakan suatu penderitaan yang sengaja dan dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Pidana sebagai reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada si pembuat delik itu. Pidana pada hakekanya merupakan suatu pcngenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (orang yang berwenang) dan pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Sistem pemidanaan di Indonesia yang berlaku saat ini masih menerapkan pidana mati terhadap tindak pidana tertentu yang berpotensi membahayakan dan mengancam kehidupan bangsa dan negara. Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah penerapan pidana mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan sumber data sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan pidana mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan KUHP yang menggunakan perumusan alternatif, artinya hakim dapat memilih tiga ancaman pidana pokok yaitu pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana sementara waktu dua puluh tahun. Pidana mati dilaksanakan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum, serta didasarkan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

(3)

ABSTRACT

JURIDIS REVIEW OF THE IMPLEMENTATION OF CRIMINAL DEAD IN INDONESIA'S TRAINING SYSTEM

By

BUDI RIZKI HUSIN, S.H., M.H.

Criminalization is essentially a deliberate misery and imposed on someone who commits an act that meets certain conditions. Criminal in reaction to the offense and this is the intention of a deliberate state inflicted upon the maker of the offense. Criminal law is a matter of suffering or misfortune or other unpleasant consequences. The penalty shall be granted intentionally by a person or entity which has power (the competent person) and the penalty imposed on a person who has committed a criminal offense under the law. The current criminal punishment system in Indonesia still applies capital punishment to certain crimes that are potentially harmful and threaten the life of the nation and state. The problems of this research are: How is the application of capital punishment in the Penal System in Indonesia? This study uses a normative juridical approach, with secondary data sources collected through literature study. Data analysis is done qualitatively. Based on the discussion it can be concluded that the application of capital punishment in the Penal System in Indonesia is carried out in accordance with the Criminal Code which uses alternative formulation, meaning that the judge can choose three main criminal threats namely capital punishment, life imprisonment and criminal punishment for twenty years. The death penalty is carried out with very strict proof and examination, with various considerations of public order and security, and based on

judges' verdicts having permanent legal force.

(4)

I. Pendahuluan

Hukum pada dasarnya merupakan pedoman atau pegangan bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap, tindak atau perilaku dalam melangsungkan antar hubungan dan antar kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam pergaulan hidup bermasyarakat.1

Wujud nyata dari implementasi hukum dalam kehidupan masyarakat adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial

power), yang diselenggarakan dalam

Sistem Peradilan Pidana (Criminal

Justice System) yakni Kepolisian,

Kejaksaan dan Pengadilan. Selain secara komplementer terdapat fungsi pemasyarakatan, advokat serta notaris untuk mendukung tugas penegakan hukum. Recht positie dari subsistem peradilan pidana Indonesia adalah Kepolisian dan Kejaksaan serta Pemasyarakatan masuk ranah eksekutif, sedangkan Pengadilan masuk ranah yudikatif. Kemudian advokat merupakan

1 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan

Pidana Indonesia Melihat Kejahatan dan

Penegakan Hukum dalam Batas-Batas

Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1994. hlm. 12-13

pejabat publik yang independend di mana advokat tidak berada di dalam dua ranah yang ada tersebut.

Tugas dan fungsi sub sistem peradilan pidana tersebut menegakan hukum demi kemaslahatan masyarakat, meskipun posisi sub sistem peradilan pidana beragam namun dalam menjalankan fungsinya jelas atas nama negara. Sub sistem peradilan pidana berada di atas semua ranah dan kekuasaan yang ada di negara Indonesia secara operasional dalam kewenangan. Realita tersebut menjadi sulit dimaknai seimbang apabila bekerjanya sub sistem peradilan pidana tersebut berhadap-hadapan dengan eksistensi Hak Asasi Manusia. Konkritnya adalah dalam penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati kepada seseorang yang diduga keras dan terbukti melakukan suatu kejahatan yang sangat berat, misalnya terorisme, narkoba, pembunuhan berencana, makar, dan korupsi.

(5)

1918 keberadaan hukuman mati dalam KUHP Indonesia (wetboek van strafrech

voor Nederland Indie), sementara itu

negeri Belanda sendiri Tahun 1830 telah menghapus hukuman mati dalam

Wetboek van Strafrecht.2

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat 10 (sepuluh) pasal tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati antara lain: 1. Pasal 104 makar membunuh

presiden;

2. Pasal 111 Ayat (2) penghianatan dalam arti luas;

3. Pasal 124 Ayat (3) Jo. Pasal 129 penghianatan dalam arti sempit (negara sahabat);

4. Pasal 140 Ayat (3) makar berencana terhadap kepala negara sahabat; 5. Pasal 185 Jo. 340 duel yang

dilakukan dengan rencana;

6. Pasal 340 pembunuhan berencana; 7. Pasal 365 Ayat (4) perampokan

berat;

8. Pasal 368 Ayat (2) pemerasan berat;

2 Barda Nawawi Arief, Pidana Mati, Perspektif

Global, Pembaharuan Hukum Pidana dan Alternatif Pidana Untuk Koruptor, Pustaka Magister Semarang, 2012, hlm. 1.

9. Pasal 444 pembajakan yang berakibat matinya obyek;

10.Pasal 479 Ayat (2) pembajakan udara yang berakibat matinya obyek dan hancurnya pesawat udara.3

Pro dan kontra mengenai hukuman mati telah membawa perdebatan sampai upaya uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 28i UUD 1945, sebab di tengah beberapa perubahan yang mendasar tersebut, ternyata dalam RKUHP masih mengatur beberapa ketentuan yang selama ini menjadi kontroversi, hukuman mati. Perspekif global menunjukkan pandangan pro dan kontra terhadap eksistensi pidana mati dan eksekusinya.4 Kendati argumentasi mereka tidak selalu mengenai hukum5 tetapi lebih kepada pendekatan sosial dan kemanusiaan, namun patut dicermati agar eksistensi hukuman mati lebih tepat tujuannya.

3 P.A.F Lamintang, Hukum Penetensier

Indonesia, Armico, Bandung, 2005, hlm.7.

4 Badra Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 6.

5 Philipe, Selznik dan No.net the law has No.t

(6)

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah penerapan pidana mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia?

II. PEMBAHASAN

Pidana mati masih terdapat dalam sistem hukum Indonesia. Dengan melihat sejarah hukum pidana di Indonesia, di mana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia berasal dari belanda, masih terdapat pidana mati di Indonesia merupakan hal yang ganjil. Mengingat dalam KUHP belanda pidana mati telah dihapus. Oleh sebab itu perlu dipertanyakan mengapa pemerintah di Hindia Belanda masih mempertahankan pidana mati di india Belanda sekarang adalah Indonesia. Pemerintahan Hindia Belanda menganggap bahwa rakyat Indonesia masih sulit diatur, sehingga masih di tentukan ancaman pidana mati

Adanya kelompok masyarakat yang tidak menyetujui pidana mati, akan tetapi terdapat pula kelompok yang masih menginginkan dipertahankan pidana mati. Kelompok yang tidak menghendaki pidana mati menanamkan

dirinya sebagai kelompok HATI, yaitu singkatan dan hapus pidana mati. Masing-masing kelompok sama-sama mempunyai argumentasi yang kuat, sehingga akhirnya apakah pidana mati masih dipertahankan atau akan dihapus dalam hukum pidana Indonesia adalah merupakan politik hukum pemerintah.

Penjatuhan pidana mati menurut pemidanaan dalam KUHP, selalu dialternatifkan dengan jenis pidana lainnya yaitu pidana penjara, baik pidana penjara seumur hidup maupun pidana penjara selama-lamanya 20 tahun (pidana penjara sementara waktu 20 tahun), hal ini dapat dilihat dalam perumusan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Sementara itu sistem pemidanaan yang bersifat tunggal sebagaimana di anut KUHP dapat dilihat dalam Pasal 489 Ayat (1) KUHP tentang pelanggaran terhadap keamanan umum bagi orang dan barang.

(7)

Bijzondere Strafbep Alingen" (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948, yang menyatakan bahwa barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya,

menyimpan, mengangkut,

menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun

Selain itu beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika, di antaranya sebagai berikut:

1. Pasal 80 Ayat (1) huruf (a) dan Ayat eksistensi hukuman mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia mengalami perkuatan dengan lahirnya beberapa undang-undang di luar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Apabila kita merujuk kepada ketentuan pasal yang mengatur mengenai Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 28I, yakni ada beberapa butir yang menyinggung bukan saja berlawanan dengan eksistensi hukuman mati tetapi hak hidup seseorang dalam arti luas. Misalnya hak untuk tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani, beragama, untuk tidak diperbudak, untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Dengan demikian terdapat dualisme yakni di satu sisi hak hidup sebagai hak asasi manusia

6 Erwin Mappaseng, Pemberantasan dan

(8)

dilindungi, tetapi di sisi lain sanksi hukuman mati dilembagakan dan mengalami perkuatan.

Penerapan pidana mati dalam sistem pemidanaan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari adanya kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia. Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati dijalankan dengan cara menjerat ditiang gantungan pada leher terpidana, kemudian algojo menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Akan tetapi sejak penjajahan Jepang di Indonesia,

melalui Stablaad 1945 Nomor 123, pidana mati dijalankan dengan jalan menembak mati terpidana, hal ini kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 83 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pelaksanaan pidana mati dirubah dengan cara ditembak mati.

Mekanisme penerapan pidana mati sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU No. 2/PNPS/1964, adalah sebagai berikut: 1. Dalam jangka waktu tiga kali dua

puluh empat jam sebelum saat pidana mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa tersebut;

(9)

harus ditunda hingga anak yang dikandungnya itu telah lahir;

3. Tempat pelaksanaan pidana mati itu ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yakni di daerah hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutuskan pidana mati yang bersangkutan;

4. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan dari pidana mati tersebut setelah mendengar nasehat dari jaksa tinggi atau dari jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat pertama;

5. Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan dari seorang perwira polisi;

6. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) harus menghadiri pelaksanaan dari pidana mati itu, sedang pembela dari terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan dari terpidana dapat menghadirinya;

7. Pelaksanaan dari pidana mati itu tidak boleh dilakukan di muka umum;

8. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabatsahabat terpidana, dan harus dicegah pelaksanaan dari penguburan yang bersifat demonstratif, kecuali demi kepentingan umum maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan dapat menentukan lain;

9. Setelah pelaksanaan dari pidana mati itu selesai dikerjakan, maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan pidana mati tersebut, di mana isi dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan di dalam surat keputusan dari Pengadilan yang bersangkutan.

(10)

persiapan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengakhiran.

Penerapan pidana mati dalam sistem pidana di Indonesia dilaksanakan dengan sebagai upaya menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Kesadaran yang menyebabkan hukum merupakan instrumen untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang secara sadar dan aktif digunakan untuk mengatur masyarakat, dengan menggunakan atau melalui peraturan-peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja.

Pada implementasinya kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip peradilan yang sangat pokok dalam sistem peradilan suatu negara yaitu independensi hakim/badan peradilan dan ketidakberpihakan hakim dan badan peradilan. Prinsip-prinsip tersebut harus

diwujudkan oleh para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Independensi peradilan juga tercermin dari berbagai pengaturan secara internal yang berkaitan dengan pengangkatan jabatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem manajemen perkara, penggajian, serta pemberhentian para hakim. Sedangkan prinsip ketidakberpihakan merupakan suatu kebutuhan terhadap keberadaan hakim yang dapat bekerja secara imparsial dan tidak memihak salah satu pihak.

(11)

masyarakat umum, maka jelas tidak bertentangan dengan nilai kemanusian yang adil dan beradab, justru kalau pidana mati tidak dilaksanakan padahal jelas-jelas telah terbukti berkekuatan tetap melanggar hukum, maka perwujudan rasa keadilan dan HAM telah diabaikan.

III. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pidana mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan KUHP yang menggunakan perumusan alternatif, artinya hakim dapat memilih tiga ancaman pidana pokok yaitu pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana sementara waktu dua puluh tahun. Pidana mati dilaksanakan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum, serta didasarkan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

DAFTAR PUSTAKA

Anwari, Imron. 2012. Penjatuhan Pidana Tambahan Pemecatan Prajurit TNI dari Dinas Militer

dan Akibatnya, Pustaka Muda,

Manado.

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem

Peradilan Pidana, Binacipta,

Bandung.

Mappaseng, Erwin. 2002.

Pemberantasan dan

Pencegahan Narkoba yang

Dilakukan oleh Polri dalam

Aspek Hukum dan

Pelaksanaannya, Buana Ilmu,

Surakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984. Teori-teori Kebijakan Hukum

Pidana, Alumni, Bandung.

Nawawi Arief, Barda. 2012. Pidana

Mati, Perspektif Global,

Pembaharuan Hukum Pidana dan Alternatif Pidana Untuk

Koruptor, Pustaka Magister

Semarang

Philipe, Selznik dan No.net the law has

No.t been a logic bahkan

(12)

Fachmi Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi

Hukum Dalam Sistem

Peradilan Pidana di Indonesia Disertasi dipertahankan di Unpad, 29 Juli 2009.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Melihat Kejahatan dan

Penegakan Hukum dalam

Batas-Batas Toleransi. Pusat

Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.

Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya diperoleh nilai t hitung = 3,190 > t tabel 2,382 dengan nilai signifikansi 0,002 < 0,05, maka hipotesis penelitian diterima, yang berarti bahwa ada

1) Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani , rohani maupun sosial sehingga mengabaikan timbulnya hambatan

Subyek terbanyak dalam penelitian ini adalah perempuan, yang dimana kasus hipertensi pada perempuan diatas umur 18 tahun menurut Riskesdas 2018, memiliki

Latar Belakang: Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Pre Diabetes merupakan keadaan yang belum termasuk kategori diabetes tetapi glukosa darah lebih tinggi dari normal..

detonators, and Stauffenberg persuades General Fellgiebel, who controls. communications at the Wolf's Lair, to

Bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor kuning di perairan Kepulauan Seribu secara terpadu dan berkelanjutan yang diusulkan dalam penelitian ini

Penerapan Model Discovery Learning untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mengajar Pada Materi Himpunan Siswa Kelas VII.. SMP Mater

Ini menunjukkan bahawa firma- firma perdagangan yang besar tidak berminat melabur di Persekutuan Tanah Melayu pada peringkat awal atau terlalu berhati-hati, memilih untuk