• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI PENGETAHUAN MITIGASI BENCANA D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INTEGRASI PENGETAHUAN MITIGASI BENCANA D"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI PENGETAHUAN MITIGASI BENCANA

DALAM KURIKULUM SEKOLAH MENENGAH DI KABUPATEN SUKOHARJO

Oleh:

R. Muh. Amin Sunarhadi, S.Si., M.P., Drs. M. Musiyam, M.T., Siti Azizah Susilawati, S.Si., M.P.

Ari Diniyati, S.Pd., M.Pd.

Program Studi Pendidikan Geografi FKIP-UMS Jl. A. Yani Pabelan, Kartasura, Sukoharjo 57112

e-mail: sunarhadi@ums.ac.id

Abstrak

Pengurangan resiko bencana dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Jalur pendidikan formal diharakan dapat dipergunakan untuk meningkatkan efektivitas pengurangan resiko bencana karena bersifatmassal dan struktural. Namun, standar isi dalam pendidikan menengah telah ditetapkan dalam kapasitas kurikulum sekolah menengah yang besar sehingga tidak memungkinkan untuk memunculkan mata pelajaran baru. Identifikasi alternatif pendidikan pengurangan resiko bencana melalui pendidikan formal dilakukan dengan mengkaji standar isi yang menjadi acuan kurikulum sekolah menengah dan dengan memperhatikan faktor kekahasan daerah Kabupaten Sukoharjo. Identifikasi dilakukan melalui focus group discussion (FGD) dengan melibatkan guru-guru di kabupaten Sukoharjo. Analisa deskriptif kualitatif dipergunakan untuk mengulas data yang masuk dan menentukan alternatif terbaik dalam mengintegrasikan pengetahuan Mitigasi Bencana dalam Kurikulum Sekolah Menengah. Mendasarkan pada karakteristik mata pelajaran dan kekhasan mata pelajaran maka dapat dipergunakan modul sebagai bahan integrasi maupun aplikasi kurikulum terpadu.

Kata kunci: pendidikan mitigasi bencana; mitigasi bencana dalam kurikulum sekolah

PENDAHULUAN

Berbagai keresahan yang muncul dari kalangan masyarakat maupun institusi mengenai kesiapan masyarakat indonesia menghadapi bencana banyak mengemuka pada masa pasca kejadian bencana. Banyak pihak meyakini bahwa sosialisasi mengenai mitigasi bencana harus dilakukan dengan cara cepat dan massal. Namun, sebagaimana disinyalir oleh BAPPENAS (2009) bahwa kegiatan-kegiatan tersebut belum terkoordinasi dengan baik dan belum terintegrasi dalam satu kerangka yang sama. Selain itu, aktivitas pendidikan di berbagai wilayah rawan bencana di Indonesia masih sangat minim dan terpusat. Kajian LIPI (2006-2007) di berbagai wilayah mengenai kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana menunjukkan rendahnya tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah sebagai representasi bidang pendidikan (LIPI, 2006 – 2007).

(2)

menunjukkan pada Tahun 2012 ini Kabupaten Sukoharjo masih berpotensi mengalami kejadian bencana banjir dengan kategori Rendah, Sedang, dan Tinggi (Gambar 1). Bentuk bencana lain misalnya tanah longsor, angin ribut/badai, dan gempa bumi juga memiliki potensi untuk terjadi di Kabupaten Sukoharjo.

Gambar 1. Peta Potensi Banjir di Jawa Tengah (Sumber: http://iklim.bmg.go.id/banjir/)

Berdasar latar belakang tersebut di atas maka paper ini akan menyajikan hasil identifikasi mengenai integrasi pengetahuan mitigasi bencana dalam Kurikulum Sekolah Menengah di Kabupaten Sukoharjo. Subyek kajian adalah para pendidik Sekolah Menengah di Kabupaten Sukoharjo yang tergabung dalam MGMP Geografi Kabupaten Sukoharjo (26 orang) serta Guru-guru Sekolah Menengah Muhammadiyah Kabupaten Sukoharjo (30 orang). Identifikasi yang dilakukan berkaitan dengan kesiapsiagaan pendidik yang ditunjukkan dengan pemahaman mengenai konsep bencana, sintesa teori dan kondisi lapang, dan pemilihan model pembelajaran yang dipergunakan dalam pembelajaran mitigasi bencana. Penggunaan kata bencana dalam paper ini lebih cenderung merujuk kepada bencana alam, dalam hal ini bencana banjir di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006 digunakan sebagai konteks.

Pengambilan data dilakukan melalui observasi dan penilaian proporsi unjuk kerja dalam kolaborasi penyusunan kurikulum bencana di Kabupaten Sukoharjo yang terbagi dalam tiga siklus, yaitu Mei 2011, Juni 2011, dan Oktober 2011. Analisa data dilakukan dengan deskriptif kualitatif terhadap hasil kerja maupun diskusi yang berlangsung selama focus group discussion (FGD).

(3)

Kejadian “Tsunami Aceh” Tahun 2004 benar-benar membuat bangsa-bangsa di dunia, khususnya Indonesia, menyadari adanya resiko bencana. Besarnya gelombang Tsunami Aceh yang juga merambah negara tetangga Indonesia dan jumlah korban yang ditimbulkan memunculkan komitmen global dalam pengurangan risiko bencana. Upaya tersebut kemudian dituangkan dalam Hyogo Framework for Action Tahun 2005 dimana salah satu butirnya memprioritaskan bidang pendidikan untuk mitigasi bencana. Bencana besar yang menyusul kemudian berupa “Gempa Yogyakarta” Tahun 2006 mendorong secara nasional untuk melakukan program-program mitigasi bencana yang melibatkan berbagai institusi baik lokal, regional, maupun internasional. Hal ini diawali dengan peluncuran Buku Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) 2006 – 2009 pada akhir Tahun 2006. Mulai Tahun 2007 dilakukan Program Pencegahan dan Pengurangan Resiko Bencana yang diikuti dengan penerbitan Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 serta dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008.

Keterlibatan institusi internasional salah satunya adalah dengan UNDP melalui kerjasama dengan Bappenas, BNPB, dan Kementerian Dalam Negeri yang bersama-sama menginisiasi program untuk mewujudkan masyarakat yang aman melalui pengurangan risiko bencana dengan Program Safer Communities Through Disaster Risk Reduction in Development (SCDRR in Development) selama 5 tahun (2007 – 2012). Program ini mendorong agar mitigasi bencana menjadi sesuatu yang lazim dalam proses pembangunan yang terdesentralisasi. Salah satu pilar sasaran program SCDRR, adalah dipahaminya risiko bencana dan tindakan yang dapat diambil untuk mitigasi bencana oleh masyarakat dan pengambil kebijakan melalui pendidikan dan penyadaran publik.

Kejadian bencana banjir akibat luapan Sungai Bengawan Solo yang melintasi Sukoharjo pada Tahun 2007 meningkatkan kewaspadaan lokal mengenai besarnya resiko bencana yang ada di wilayah Kabupaten Sukoharjo. Pengalaman betapa mudahnya masyarakat terprovokasi dan panik atas berita dan dugaan tidak berdasar yang muncul akibat tidak adanya pengetahuan untuk menghadapi situasi bencana banjir membuat masyarakat semakin menyadari pentingnya kesiapan dalam menghadapi bencana. Isu jebolnya Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, yang merupakan hulu Sungai Bengawan Solo, membuat warga Kabupaten Sukoharjo segera berhamburan menuju pusat kota karena ketakutan semakin membesarnya banjir akibat luapan dari waduk yang jebol. Pengalaman yang sama sebelumnya juga terjadi saat terjadi Gempa Yogyakarta 2006 dimana tersebar isu adanya tsunami dari pesisir selatan Yogyakarta yang sudah mencapai di Klaten (wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukoharjo di bagian Selatan dan Barat). Masyrakat panik dan justru meneruskan berita bohong ini tanpa memastikan terlebih dahulu berita ini.

Kesadaran masyarakat Kabupaten Sukoharjo akan pentingnya pengetahuan mitigasi bencana yang muncul akibat kejadian bencana banjir dinyatakan oleh seluruh pendidik (100%) Sekolah Menengah Atas yang tergabung dalam MGMP Geografi Kabupaten Sukoharjo. Setelah kejadian bencana banjir, banyak pertanyaan yang muncul selama pelajaran Geografi di sekolah yang dimanfaatkan guru untuk mengantarkan peserta didik mengenai pentingnya pengetahuan mitigasi bencana. Antusiasme peserta didik yang besar tidak dapat semuanya ditanggapi dalam proses pembelajaran akibat keterbatasan jam pelajaran dan luasnya materi.

Kesiapan para pendidik Sekolah Menengah di Kabupaten Sukoharjo untuk memberikan muatan pengetahuan mitigasi bencana ditunjukkan dengan jawaban yang dimunculkan mengenai arti pendidikan dalam pengurangan resiko bencana yang dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok jawaban, yaitu:

– belum adanya kebijakan bidang pendidikan di Kabupaten Sukoharjo tentang penanggulangan bencana

– upaya-upaya pengurangan risiko bencana ke dalam kegiatan pembelajaran di sekolah belum banyak dilakukan, tema di dalam mata pelajaran terlalu spesifik, dan pembahasan yang terkait bencana terlalu dominan pembahasan kondisi fisik sementara kondisi non fisik masih kurang porsinya

(4)

– keragaman masyarakat baik secara sosial dan ekonomi

Kesadaran para pendidik untuk memberikan materi mengenai mitigasi bencana dalam pembelajaran menunjukkan pemahaman para pendidik yang cukup mengenai bencana. Pada saat dilakukan diskusi bersama mengenai kondisi geomorfologi di Kabupaten Sukoharjo, para pendidik mengemukakan beragam pengetahuan lokal menengai fenomena/gejala alam yang mereka temui. Dalam hal ini, para peserta didik Sekolah Menengah di Kabupaten Sukoharjo mampu melakukan sintesa kondisi lapang dengan konsep dan teori baik dalam model deskripsi maupun spasial analog.

Gambar 2. Sintesa konsep dan teori geomorfologi Gambar 3. Kerja kolaboratif untuk mengidentifikasi (Sumber: Dokumentasi Prodi Pend. Geografi UMS) kesiapan pengajaran mitigasi bencana (Sumber: Dokumentasi Prodi Pend. Geografi UMS)

Dalam pengamatan yang dilakukan berhasil pula diidentifikasi bahwa pendidik Sekolah Menengah di Kabupaten Sukoharjo cenderung memilih penerapan model-model pembelajaran aktif (active learning) dan khususnya pembelajaran kontekstual dalam mengantarkan materi mitigasi bencana. Hal ini tampak saat dilakukan proses focus group discussion dengan menggunakan strategi The Power of Two atau Think, Pair, and Share dan Strategi Snowball, para pendidik menyatakan penggunaan strategi dari pembelajaran aktif (active learning) dirasakan lebih efisien dan efektif karena proses pembelajaran berpusat pada peserta didik. Pemanfaatan model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik penting untuk memberikan kemandirian peserta didik dalam mempelajari fenomena alam yang secara kontekstual berada di sekitarnya. Chene (1983) dalam Peter Jarvis (1992) menyebutkan bahwa kemandirian dalam belajar adalah self directed learning dimana peserta didik mampu melakukan pencarian pengetahuan dan melakukan proses kognisi secara mandiri, tanpa perlu adanya dorongan orang lain.

Berdasarkan deskripsi di atas maka dapat disimpulkan bahwa pasca bencana yang berturut-turut terjadi telah menumbuhkan adanya kesadaran dan pemahaman lebih baik pada peserta didik maupun pendidik di Sekolah Menengah mengenai resiko bencana yang ada di sekitarnya. Selain itu, pendidik Sekolah Menengah di Kabupaten Sukoharjo sudah menunjukkan kesiapan kompetensi profesional untuk melakukan pembelajaran materi mitigasi bencana.

MATERI KEBENCANAAN DI SEKOLAH MENENGAH KABUPATEN SUKOHARJO

(5)

Tabel 1. Rancangan Materi Mitigasi Bencana Banjir

Kelompok 1 Pendidik Sekolah Menengah di Kabupaten Sukoharjo Sumiyanto,S.pd (SMK Muhammadiyah 2 Sukoharjo) Air SukatremS.pd (SMK Muhammadiyah 2 Sukoharjo) Siti Maryam s.pd (SMP Muhammadiyah 1 Sukoharjo) Apris SetyaningsihS.pd (SMK Imam Shodiq)

Supartini S.pd (SMK Muhammadiyah Kartasura) Nur Ika Fitrianis.pd (SMP Muhammadiyah Grogol Weru) Nur Budi Santoso S.pd (SMP Muhammadiyah Wonogiri)

KEJADIAN BANJIR TINDAKAN YANG HARUS DILAKUKAN

Penyebab kejadian banjir Tindakan pencegahan

 hujan terus menerus

 adanya pendangkalan /adanya hutan gundul/ penebangan yang berlebihan sehingga mengurangi peresapan air

 kurang lancarnya saluran irigasi, karena adanya sampah

 penanaman hutan kembali ( reboisasi )  pengurukan lumpur

 perbaikan irigasi (membersihkan sampah)

Situasi yang terjadi saat terjadi Banjir Tindakan yang dilakukan saat terjadi banjir  daerah aliran sungai,utamanya dataran

rendah

 adanya materi harta yang hilang,(hewan )  warga panik ketakutan

 mengungsi kesaerah yang aman atau lebih tinggi

 mendirikan dapur umum,tempat penitipan barang

 memberikan penyuluhan pada masyarakat Situasi pasca terjadi bencana Banjir Tindakan pasca banjir

 penyakit kulit ( diare )  banyak fasilitas rusak  kondisi ekonomi lumpuh  aktivitas pendidikan terganggu  pelayanan masyarakat kacau

 pelayanan masyarakat  memberikan fasilitas umum  memperbaiki sarana ekonomi

(6)

Tabel 2. Rancangan Materi Mitigasi Bencana Banjir

Kelompok 3 Pendidik Sekolah Menengah di Kabupaten Sukoharjo Dewi Safaryuni,S.Pd.(SMA Muhammadiyah 1 Sukoharjo)

Suwarti,Spd (SMP Muhammadiyah Bekonang) Sri Martini (SMA Muhammadiyah 5 Gatuk) Siti nastain,S.Pd. (SMK Muhammadiyah 1 Sukoharjo) Dra,Dwi Mariani (SMK Muhammadiyah Kartasura) Boyem,Spd (SMK Muhammadiyah Kartasura)

KEJADIAN BANJIR TINDAKAN YANG HARUS DILAKUKAN

Penyebab kejadian banjir Tindakan pencegahan

 musim penghujan terjadi terus menurus  kondisi wilayah lebih rendah

 terjadi sedimentasi

 rumah di buat lebih pondasinya,biar air tidak masuk ke dalam

 contoh melakukan cek ketinggian air sungai terdekat

 membersihkan lingkungan,dan gorong-gorong selokan biar lancar

 pembuatan talut

 pengenalan sedimentasi

penyuluhan / pembinaan kepada warga misal: simulasi jika terjadi banjir dsb

Situasi yang terjadi saat terjadi Banjir Tindakan yang dilakukan saat terjadi banjir  penyelamatan diri dan barang berharga

 pengamanan tempat tinggal dan pengungsian

 menyiapkan dapur umum

 manajemen penerimaan dan distribusi bantuan

 meminta pertolongan petugas SAR jika sudah ada petugas SAR

 punya daya inisiatif untuk bisa menyelamatkan diri

 jangan panik, atasi permasalahan dengan pikiran jernih

Situasi pasca terjadi bencana Banjir Tindakan pasca banjir  tanaman- tanaman yang produktif seperti

padi jadi rusak dan gagal panen  kerusakan sarana dan prasarana

 mengadakan penyapuan lumpur di jalan  mengambil sampah besar atau kecil di

lingkungan masyarakat disekitar kita  fogging /penyemprotan untuk nyamuk  cek kesehatan di puskesmas

terdekat/tenaga sukarela

 pendamping tenaga psikologis( spiritual) Sumber: Hasil Workshop Kurikulum Bencana kerjasama Prodi. Pendidikan Geografi UMS

dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Geografi Kabupaten Sukoharjo dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah PDM Sukoharjo

INTEGRASI MATERI MITIGASI BENCANA

(7)

Oliva (1992) menyebutkan bahwa kurikulum mempunyai keterkaitan dengan apa yang harus diajarkan, sedangkan pengajaran mengacu kepada bagaimana cara mengajarkannya. Kurikulum mempunyai hubungan sebagai sebuah program, sebuah perencanaan, isi atau materi pelajaran, serta pengalaman belajar. Adapun pada pengajaran mempunyai keterkaitan dengan metode, tindakan mengajar, implementasi, presentasi dan evaluasi.

Model kurikulum yang dipilih akan menentukan rangkaian pengajaran/pembelajaran dan hasil yang didapatkan pada akhir proses. Rangkaian ini menyatu dalam sistem pembelajaran yang merupakan implementasi dari pengembangan kurikulum. Praktek lapangan dari sistem pembelajaran akan dipengaruhi oleh isi materinya (keluasan dan kedalaman materi serta jenis materi pelajaran itu sendiri) serta ketersediaan sistem pendukung termasuk didalamnya sistem sosial budaya setempat.

Berdasarkan disiplin ilmu terdapat tiga organisasi kurikulum (Sutjipto, Suci Paresti, Apriyanti W, Sri Lilis, Dewi Sri Handayani, Iwa Kuntadi, Heni Herawati, Urip Wahyudi, Susi Fitri, Deni Kurniawan, 2009) yaitu: 1. Subject Centered Curriculum (Kurikulum Mata Pelajaran Terpisah)

Bahan atau isi kurikulum disusun dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah (separated subject curriculum). Misalnya mata pelajaran matematika, biologi, geografi, dan lain sebagainya. 2. Correlated Curriculum (Kurikulum Terkorelasi)

Pengelompokkan mata pelajaran-mata pelajaran sejenis menjadi suatu bidang studi, misalnya mata pelajaran geografi, sejarah, ekonomi dikelompokkan dalam bidang studi IPS. Dalam mengkorelasikan bahan atau isi materi kurikulum dapat dilakukan dengan pendekatan struktural, pendekatan fungsional dan pendekatan budaya setempat.

3. Integrated Curriculum (Kurikulum Terintegrasi/Terpadu)

Pada organisasi kurikulum ini, belajar berangkat dari suatu pokok masalah yang harus dipecahkan, dengan cara mecari dan meganalisis fakta. Belajar melalui pemecahan masalah perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada segi intelektual saja akan tetapi seluruh aspek, seperti sikap, emosi atau keterampilan.

(8)

Tabel 3. Standar Isi Mata Pelajaran Geografi Kelas X, Semester 2 dikaitkan dengan Jejaring Tema

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Jejaring tema

3. Menganalisis unsur-unsur geosfer

3.1 Menganalisis dinamika dan kecenderungan perubahan litosfer dan pedosfer serta

dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi

3.2 Menganalisis atmosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi

3.3 Menganalisis hidrosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi

Situasi/kejadian bencana terkait litosfer, misalnya gempa bumi, depresi permukaan, dan Gunung Meletus. Tindakan yang perlu dilakukan adalah meminimalkan dampak ke penduduk seperti kerugian material dan korban jiwa.

Situasi/kejadian bencana terkait Pedosfer, misalnya Tanah longsor, lahan kritis, erosi tanah, dan

pencemaran tanah. Tindakan yang perlu dilakukan adalah meminimalkan dampak terhadap penduduk misalnya berupa penurunan produktivitas pertanian dan migrasi.

Situasi/kejadian bencana terkait atmosfer seperti puting beliung, cuaca ekstrem, dan pergeseran musim. Tindakan yang perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak ke penduduk seperti rusaknya tanaman, sarana prasarana,

telekomunikasi, perhubungan, pergeseran musim, penyakit tanaman, dan gagal panen.

Situasi/kejadian bencana terkait hidrosfer misalnya banjir, berkurangnya sumber air tanah secara kualitas maupu n kuantitas. Tindakan yang perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak ke

(9)

Tabel 3. Integrasi Pengetahuan Mitigasi Bencana Banjir dalam Kurikulum Terpadu Sekolah Menengah Atas Kelas X Semester 2

JEJARING TEMA:

Situasi/kejadian bencana terkait hidrosfer misalnya banjir, berkurangnya sumber air tanah secara kualitas maupun kuantitas. Tindakan yang perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak ke penduduk seperti rusaknya fasilitas bangunan dan lahan pertanian, wabah penyakit, terganggunya aktivitas sosial ekonomi masyarakat, serta masalah ketersediaan sanitasi dan air bersih.

SISWA KELAS X SEMESTER 2

1. Kesadaran masyarakat Kabupaten Sukoharjo akan pentingnya integrasi pengetahuan mitigasi bencana dalam kurikulum muncul akibat kejadian bencana banjir yang melanda pada Tahun 2007.

2. Pendidik Sekolah Menengah di Kabupaten Sukoharjo memiliki pemahaman yang cukup mengenai bencana baik dan mampu melakukan sintesa kondisi lapang dengan konsep dan teori baik dalam model deskripsi maupun spasial analog.

3. Pendidik Sekolah Menengah di Kabupaten Sukoharjo cenderung memilih penerapan model-model pembelajaran aktif (active learning) dan khususnya pembelajaran kontekstual dalam mengantarkan materi mitigasi bencana.

4. Selain mengenal karakter geomorfologi, kelompok materi pengetahuan mitigasi bencana yang harus disampaikan terdiri atas pra kejadian bencana, saat kejadian bencana, dan pasca terjadinya bencana.

5. Pengetahuan mitigasi bencana disusun dalam Tema yang akan menjadi jejaring keterpaduan natar mata pelajaarn.

UCAPAN TERIMA KASIH

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2012. Peta Potensi Banjir Jawa Tengah. http://iklim.bmg.go.id/banjir/

Jarvis, P. 1983. Adult and Continuing Education: Theory and Practice. London Croom Helm.

Oliva, Peter F., 1981. Developing Curriculum, A Guide to Problems, Principles and Process. New York: Harper & Publisher.

Gambar

Gambar 1. Peta Potensi Banjir di Jawa Tengah (Sumber: http://iklim.bmg.go.id/banjir/)
Gambar 2. Sintesa konsep dan teori geomorfologi(Sumber: Dokumentasi Prodi Pend. Geografi UMS)
Tabel 1. Rancangan Materi Mitigasi Bencana Banjir
Tabel 2. Rancangan Materi Mitigasi Bencana Banjir
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan penelitian ini ada perbedaan pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode ceramah dibandingkan dengan booklet terhadap pengetahuan dan sikap tentang deteksi

Data primer berupa karakteristik dan kinerja anggota Kelompok Tani Gemah Parahiyangan sebagai penghasil benih ikan nila, pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara deskriptif, pengencer TFTKT merupakan pengencer yang paling baik dalam mempertahankan motilitas spermatozoa (29.63 ± 18.76%) setelah 60

[r]

pengobatan sipilis de nature indonesia adalah pilihan yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan ada tersebut, karena kami pengobatan sipilis de nature adalah satu satunya

Dalam aplikasi ini pengguna dapat melakukan konsultasi unsur zat kimia yang ditampilkan oleh sistem yang kemudian diproses menggunakan metode penalaran yang telah diterapkan

Jamur tiram termasuk jenis jamur kayu yang dapat tumbuh baik pada kayu lapuk dan mengambil bahan organik yang ada di dalamnya sebagai sumber makanannya.Untuk

Tujuan : Penelitian ini untuk mengetahui perbedaan efektifitas pendidikan kesehatan media powerpoint dan media leaflet terhadap pengetahuan tentang menarche pada