JEJAK KEHANCURAN DAN PERTANYAAN YANG TAK TERJAWAB |
RIDZKI NOVIANSYAH
Posted at 11 Jan 2014 in Article, Photo Book by swanti 0 Comments 0 Likes
Poppy. Trails of Afghan Heroin
Beberapa bulan ini saya memulai kebiasaan baru saya dalam membuat kopi, kalau dulu saya lebih sering membuat kopi dengan menggunakan kopi instan, sekarang saya memilih untuk membeli biji-biji kopi saya sendiri, menggilingnya dan
menyeduhnya dalam alat French Press. Menurut saya ada yang spesial dalam setiap kegiatan yang saya lakukan untuk membuat kopi tersebut, bahkan jika itu saya lakukan berulang-ulang ada aspek spiritualitas yang timbul atas ritual saya setiap pagi itu. Kopi yang saya beli pun tak lagi asal arabica atau robusta, tetapi mulai merambah dari kopi Aceh sampai Bali dan dari Toraja sampai Papua bahkan saya pun mulai meminum ramuan-ramuan spesial dari para penjual biji kopi ini,
dengan nama yang bermacam-macam semisal Black Magic atau Batak Blues. Nah, sebagaimana saya mulai merambah perbendaharaan kopi yang saya minum saya pun mulai mempelajari tentang kopi-kopi tersebut, bagaimana cara
menyeduhnya, bagaimana menggiling yang pas untuk French Press dan apa bedanya antara Chemex dan
yang lebih penting adalah saya mempelajari bagaimana kopi saya berasal sampai dia bisa saya giling, seduh, cium dan hirup.
Karena pertanyaan yang sama selalu muncul dalam benak saya; apakah saya tahu benar bagaimana proses pembuatan biji kopi ini, apakah para petani kopi mendapatkan penghasilan yang sama besar dengan para pengusaha cafe-cafe itu? Apakah kopi yang saya minum tidak mengganggu hewan dan ekosistemnya? Apakah ada proses yang berkelanjutan untuk
perkebunan kopi dan lahan-lahan yang diambil untuk penanaman kopi tersebut? Apakah ada pihak yang dirugikan dengan
penanaman kopi tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini sayangnya hanya muncul ketika saya mulai menggiling biji-biji kopi tersebut dan hilang ketika saya mulai meminumnya.
Ketika saya diminta menulis ulasan untuk pameran ini, pilihan saya jatuh pada buku Poppy Trails of Afghan Heroin
mungkin karena saya merasa bosan atas buku-buku foto yang memiliki tema yang abstrak yang sering beredar saat ini tetapi juga mungkin karena pertanyaan-pertanyaan tentang kopi tadi secara tak sadar masih mengendap di kepala saya. Di buku ini Robert Knoth sebagai fotografer dan Antoinette de Jong sebagai penulisnya mencoba untuk merekam jejak
perjalanan heroin dari asalnya di Afghanistan sampai ke 12 negara lainnya selama kurun waktu 17 tahun dan apa implikasi
dari penyebaran heroin ini. Knoth dan de Jong membeberkan fakta bahwa heroin di Afghanistan berkaitan dengan prostitusi di Ukraina, digunakan untuk mendapatkan dana untuk konflik di Somalia dan Albania serta berpengaruh atas peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS di Rusia, heroin juga menampakkan jejaknya di Eropa dimana Belanda menjadi tempat transit dan perdagangan heroin, bahkan Dubai pun disinggung sedikit berkaitan dengan peran perbankan informal mereka yang
melancarkan pencucian uang perdagangan heroin.
Saya harus katakan bahwa Knoth dan de Jong tak hanya berhasil membeberkan fakta tersebut tetapi mereka juga berhasil merangkumkan perjalanan mereka dengan sangat baik sekali, karena mereka tidak hanya mendokumentasikan hal-hal
pemerkosaan massal yang terinfeksi HIV, atau percakapan de Jong dengan Maulawi Mirza Mohammed yang dimana ia ditanyakan pertanyaan-pertanyaan yang memiliki korelasi dengan pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di dalam kubur seperti: Apa Quran yang kamu miliki di negaramu? Siapakah yang mendapatkan shalawat dan salam dari Allah ? Dan kapan
sajakah kamu diwajibkan beribadah? Momen-momen seperti inilah yang menempatkan pembaca dalam ketegangan-ketengangan dari perjalanan yang dilakukan Knoth dan de Jong dan sedikit demi sedikit membuka tabir kengerian dari efek heroin itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan foto-foto yang ada dalam buku ini? Ketika saya membaca Poppy saya merasa foto-foto dari Knoth yang ada di dalam buku ini adalah bagian pertama dari buku tersebut dan bagian keduanya adalah tulisan dari de Jong. Di halaman yang memiliki foto, caption de Jong membuat konteks atas apa yang digambarkan oleh Knoth, begitu juga sebaliknya pada halaman tulisan de Jong, saya seringkali kembali ke halaman yang memuat foto Knoth untuk dapat
membayangkan situasi yang mereka hadapi. Maka dari itu mengatakan bahwa ini adalah sebuah buku foto menurut saya adalah hal yang sangat tidak akurat, begitu juga jika kita menyebutnya sebagai pencapaian dokumenter dalam bentuk buku semata, karena dalam buku ini menceritakan tragedi-tragedi manusia yang terbentuk atas pusaran atas keinginan untuk mencapai hidup yang lebih baik. Buku ini tak akan berhasil apabila hanya diisi oleh imaji-imaji Knoth dan sebaliknya akan
sangat membosankan jika kita hanya membaca kata-kata dari de Jong.
Jejak heroin adalah jejak kekacauan yang muncul akibat keserakahan untuk pemenuhan kebutuhan manusia, para petani Afghanistan menentang larangan menanam opium demi mendapatkan uang untuk bertahan hidup, heroin yang sampai di
negara-negara tanpa konflik, jatuh ke tangan para generasi muda yang lalu dengan mudah menjadi pecandu, mereka lalu menyebarkan tak hanya kebiasaan tetapi juga masalah-masalah sosial. Di tangan gerilyawan dan birokrat korup, heroin menjadi komoditas yang membantu mereka untuk memenangkan peperangan atau memperkukuh kekuasaan, sementara mereka menuju keterpurukan para petaninya tetap hidup melarat dalam pusaran yang tak berakhir. Jejak kekacauan itu pun
semakin nyata apabila kita menyadari bahwa di setiap negara di seluruh dunia sekarang perang terhadap narkotika tetap berlangsung, dan dimana birokrasi dan otoritas yang korup juga berperan dalam penyebaran tak hanya heroin tapi juga narkotika lainnya.
Akhir kata, saya malah tambah bertanya-tanya dan hanya bisa berharap, agar kopi yang saya minum setiap paginya tidak terlibat dalam pusaran kekacauan juga. Mungkin saya hanya terlalu paranoid dan terlalu banyak berpikir tentang hal-hal yang tak perlu, karena memang tak adil jika kita membandingkan heroin dengan kopi, karena yang satu tak seadiktif yang lainnya dan juga keuntungan atas perdagangan kopi juga tak mungkin akan sebesar dengan heroin bukan?
Ridzki Noviansyah
Praktisi dan Pemerhati Fotografi.
Copyrights 2014 Pannafoto.org. By Cpp
Your full name E-mail address Website