• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Biobutanol Dari Sampah Kota Me

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembuatan Biobutanol Dari Sampah Kota Me"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PPI-UTM TESIC 2013

Technology, Education, and Science International Conference (TESIC)

Pembuatan Biobutanol Dari Sampah Kota Menggunakan Katalis

H

2

SO

4

dan

Clostridium acetobutylicum

Dedy Irawan

a

*, Zainal Arifin

a

, Muh. Irwan

a, b

aJurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Samarinda, Jl. Dr. Ciptomangunkusumo, Samarinda 75131, Indonesia b

Institute Hidrogen Energy (IHE), Universiti Teknologi Malaysia, 54100, Kuala Lumpur, Malaysia

Abstract

Sampah kota berpotensi diproses menjadi biobutanol. Biobutanol diproduksi melalui dua tahapan yaitu hidrolisis dan fermentasi. Hidrolisis kimiawi bahan baku menggunakan larutan H2SO4dalam reaktorbatchdengan perbandingan 1:6 b/v. Kadar gula dalam hidrolisat dianalisis

dengan metode Nelson-Somogy. Hidrolisat difermentasi menggunakan Clostridium acetobutylicumdan produk biobutanol dianalisis dengan

Gas Chromatography. Hidrolisis yang dilakukan pada suhu 110oC selama 45 menit serta konsentrasi H2SO40,75% menghasilkan kadar gula

29,4 mg/mL dan yield gula sebesar 12,9%. Fermentasi selama 72 jam menghasilkan biobutanol dengan konsentrasi 16,12 g/L. Proses fermentasi dapat merubah gula menjadi biobutanol sebesar 48,79%.

Keywords:Biobutanol, clostridium acetobutylicum, hidrolisis, sampah kota;

1. Pendahuluan

Diversifikasi energi alternatif pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) terus dilakukan menuju kemandiran energi. Diversifikasi biofuel membuka peluang dikembangkannya biobutanol. Biobutanol memiliki keunggulan dibandingkan biodiesel dan bioetanol yang telah banyak dikembangkan selama ini. Biobutanol dapat menjadi campuran pada bensin dan solar, sedangkan bioetanol hanya dapat dicampur dengan bensin dan biodiesel hanya dapat dicampur dengan solar. Beberapa sifat fisik biobutanol juga memiliki keunggulan dari beberapa BBN yang saat ini telah dikembangkan secara luas (Durre, 2008; Harvey dan Meylemans, 2010; Lee dkk., 2008; Szulczyk 2010).

Program diversifikasi BBN di atas juga diikuti dengan intensifikasi pencarian sumber bahan baku produksi BBN. Bahan baku dari jenis non pangan menjadi pilihan untuk pengembangan BBN generasi kedua (2ndgeneration biofuel). Salah satu bahan baku non pangan tersebut adalah sampah organik perkotaan. Sampah organik kota yang dihidrolisis dilanjutkan dengan fermentasi menggunakan bakteriClostridium acetobutylicumakan diperoleh biobutanol dengan hasil samping aseton dan etanol (Lee dkk., 2008).

Kota Samarinda menurut data per April 2010 menghasilkan sampah sebesar 320 ton/hari (Irawan dan Arifin, 2010). Potensi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku produksi biobutanol. Sampah kota Samarinda menurut data sampling per Agustus 2012 komposisi terbesarnya, 44,68% ± 0,04 (Irawan dan Arifin, 2012), adalah kulit buah dan sayuran dengan kandungan holoselulosa 0 – 20%. Sampah fraksi inilah dapat dihidrolisis secara kimiawi dengan larutan H2SO4 untuk menghasilkan gula yang dapat difermentasi menjadi biobutanol.

Metodologi

2.1. Bahan

Sampah organik kota diambil dari tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) di Kota Samarinda yaitu TPAS Bukit Pinang. Bahan kimia seperti H2SO4, Nelson A, Nelson B, arsenomolybdat diperoleh dari Merck, Jerman.

* Corresponding Tel.: +62-812-557-3760

(2)

2.2. Alat

Gambar 1. Rangkaian alat hidrolisis 2.3. Prosedur

Hidrolisis. Kulit buah dan sayuran dikeringkan kemudian diblender. Sebanyak 100 g bahan baku kering dengan komposisi

kangkung 10 g, sawi 10 g, daun singkong 10 g, kol 15 g, timun 7,5 g, terong 7,5 g, kulit pisang 20 g, kulit pepaya 10 g dan kulit melon 10g dimasukkan dalam reaktor hidrolisis yang dilengkapi dengan pengukur tekanan dan ditambahkan larutan H2SO4 dengan perbandingan 1:6 b/v. Proses hidrolisis dilakukan pada suhu yang divariasikan antara 100-130oC selama waktu 15 – 60 menit dan menggunakan larutan H2SO4 konsentrasi 0,5 – 1% . Hidrolisat selanjutnya dianalisis kadar gula dengan metode Nelson-somogy.Kadar gula yang diperoleh digunakan sebagai dasar perhitunganyieldgula.

Fermentasi. Pertama menambahkan Ca(OH)2 pada sampel hidrolisat hingga pH mencapai 10,1 dan menambahkan 1 g/L Na2SO3. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 450C selama 1 jam sambil diaduk. Kemudian menurunkan kembali pH hingga mencapai 6,8 dengan cara menambahkan HCl 2 M. Menyaring endapan, kemudian mengukur volume hidrolisat sebanyak 100 ml hasil penyaringan untuk difermentasi. Hidrolisat yang telah melewati penyaringan pada proses detoksifikasi ke dalam botol fermentasi. Memasukan bakteriClostridium acetobutylicumsebanyak 5% (v/v) ke dalam botol fermentasi. Mencampur sampel hidrolisat dengan bakteriClostridium acetobutylicumdengan cara pengadukan selama 15 menit menggunakanautomatic shaker. Menutup dengan rapat sampel hidrolisat agar tidak ada udara maupun cahaya yang masuk dan dibiarkan selama 72 jam.

2. Hasil Dan Pembahasan

(3)

Gambar 2. Suhu versus yield gula pada waktu hidrolisis 45 menit

Kecendrungan yield gula pada suhu 100oC sampai suhu 110oC untuk semua variasi konsentrasi H2SO4 mengalami peningkatan. Yield gula mencapai nilai tertinggi pada suhu 110oC dan selanjutnya menurun. Menurut teori kinetika, reaksi akan berlangsung lebih cepat pada suhu yang tinggi karena peningkatan energi kinetik dari senyawa yang bereaksi. Reaksi total akan meningkat seiring peningkatan suhu akan tetapi tidak untuk reaksi yang mengarah pada pembentukan gula. Hal tersebut terjadi dikarenakan terjadi reaksi lebih lanjut dari gula yang terbentuk menjadi senyawa lain seperti asam karboksilat, senyawa furan, dan senyawa fenol (Taherzadeh dan Niklasson, 2003).

Gambar 3. Produk samping hasil degradasi lanjut monosakarida (Palmqvist, dan Hahn-Hägerdal, 2000)

Jika melihat pada Gambar 2, maka pada suhu 100 – 110oC reaksi mengarah ke pembentukan gula dan selanjutnya pada suhu yang lebih tinggi akan mengurangi selektifitas reaksi kearah pembentukan gula akan tetapi kearah penguraian gula menjadi senyawa lain. Hal inilah yang menyebabkan yield gula menjadi menurun.

Peningkatan konsentrasi katalis akan meningkatkan laju hidrolisis karena konstanta kecepatan reaksi hidrolisis akan berbanding lurus dengan konsentrasi H+ pada suasana asam (Sediawan, dkk, 2007). Ion H+ berfungsi sebagai katalisator yang akan berikatan dengan gugus hidroksil pada selulosa yang telah dipecah ikatan polimernya, kemudian akan membentuk glukosa.

2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00

80 90 100 110 120 130 140

y

ie

ld

(%

)

Suhu ()

0,50%

0,75%

(4)

Yield Gula terus meningkat sebanding dengan peningkatan konsentrasi H2SO4hingga 0,75% seperti yang terlihat pada Gambar 4. Yield menurun pada konsentrasi H2SO4diatas 0,75%.

Gambar 4. Konsentrasi H2SO4versus yield gula pada waktu hidrolisis 45 menit

Meningkatnya konsentrasi asam dalam proses hidrolisis mengakibatkan glukosa dan senyawa gula lainnya akan lebih banyak terdegradasi membentuk hydroxymethylfurfural dan furfural yang akhirnya keduanya membentuk asam formiat (Palmqvist dan Hahn-Hagerdal, 2000). Larutan asam dengan konsentrasi 1 - 2% pada suhu diatas 100oC akan lebih cepat mengkatalisis reaksi dekomposisi senyawa glukosa dibandingkan reaksi pembentukan glukosa (Xiang, dkk, 2004). Hal ini dapat diduga sebagai sebab penurunan yield gula pada konsentrasi larutan H2SO4lebih dari 0,75%.

Gambar 5. Waktu hidrolisis versus yield gula pada suhu 110oC

Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkanyieldgula tertinggi pada penggunaan larutan H2SO4seperti terlihat pada Gambar 5, untuk semua konsentrasi H2SO4yang divariasikan terjadi pada waktu hidrolisis 45 menit. Terlihat bahwa pada saat hidrolisis dilakukan pada waktu tersebut yang terbaik menghasilkan gula sedangkan setelah itu gula yang terbentuk akan terdekompoisisi kembali menjadi senyawa – senyawa lain. Hal ini yang mengakibatkan yield gula menjadi menurun.

Biokonversi gula yang terbentuk dari hidrolisa sampah organik kota Samarinda menjadi biobutanol, memerlukan perantara mikroba lain yang umumnya menggunakan C.acetobutylicum. Proses fermentasi berlangsung selama 72 jam

(5)

menggunakan biakan murni C.acetobutylicum.Butanol diperoleh setelah melalui beberapa tahap reaksi. Tahap pertama adalah tahap acidogenesis, tahap ini ditandai dengan terbentuknya asam asetat dan butirat dan biasanya ditandai pula dengan penurunan pH. Setelah itu, adalah tahap solventogenetik yang mengkonversi asam asetat dan butirat menjadi pelarut berupa butanol dan aseton (Hadikusuma, 1994).Secara teoritis hasil fermentasi menggunakan C.acetobutylicum mendapatkan campuran Aseton, Butanol, dan Etanol.

Selanjutnya setelah proses fermentasi dilanjutkan dengan distilasi untuk memisahkan produk dari campurannya. Distilat yang terbentuk kemudian dianalisa menggunakan Gas Cromatography (GC). Hasil fermentasi hidrolisat analisa GC menghasilkan biobutanol 16,12 g/L. Sehingga gula pada hidrolisat yang dapat dirubah menjadi biobutanol dengan bantuan C.acetobutylicum sebesar48,79%. Disamping merubah gula menjadi biobutanol bakteri C.acetobutylicumjuga merubah gula menjadi aseton dan etanol.

Beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu juga menunjukkan kadar butanol yang dihasilkan pada kisaran 15 – 20 g/L, seperti yang tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil butanol hasil fermentasi berbagai sumber bahan baku

No. Bahan Baku Butanol (g/L)

01. Sampah Organik (Hasil Penelitian) 13,0

02. Glukosa (Jin, dkk.,2011) 19,6

03. Tepung Jagung (Jin, dkk.,2011) 15,8

04. Tandan Kosong Kelapa Sawit (Noomtim dan Cheirsilp,

2011) 0,84

Kadar butanol dapat ditingkatkan hasilnya apabila perancangan fermentor dapat mengambil butanol pada waktu tertentu selama proses fermentasi sedang berlangsung. Hal ini dilakukan agar butanol tidak menjadi racun bagi bakteri C.acetobutylicum itu sendiri. Teknologi ini yang sulit untuk diterapkan dalam produksi biobutanol menggunakan fermentasi C.acetobutylicum.

Secara keseluruahn proses fermentasi menggunakan alat fermentor yang telah dirancang pada penelitian dapat berjalan dengan baik. Untuk meningkatkan jumlah butanol perlu ditingkatkan kembali kinerja pada tahap hidrolisis agar menghasilkan gula yang lebih tinggi yang akan dirubah menjadi butanol.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia atas dukungan dana untuk terlaksananya penelitian ini melalui Hibah Penelitian Strategis Nasional bidang Energi Baru dan Terbarukan Tahun anggaran 2013 dengan Surat Perjanjian No: 148/SP2H/PL/Dit.Litabamas/V/2013 tanggal 13 Mei 2013. Terima kasih juga diucapkan kepada Jumarding, Muhammad Rizal, dan Setyawati yang telah membantu kegiatan penelitian ini.

Daftar Pustaka

Durre, P. (2008). Fermentative Butanol Production Bulk Chemical and Biofuel.Ann. N.Y. Acad. Sci. 1125, 353-362.

Hadikusuma, U. (1994). Kajian Awal Fermentasi Aseton-Butanol-Etanol dari Hidrolisat Tandan Kosong Kelapa Sawit pada Kultur Curah.Laporan Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(6)

Irawan, D. & Arifin, Z. (2010).Studi Pemanfaatan Sampah Organik Kota Samarinda Menjadi Bioethanol. Yogyakarta. Interpena.

Irawan, D. & Arifin, Z. (2012). Hidrolisis Sampah Organik Kota Samarinda (Kulit Buah dan Sayuran) Menjadi Gula Reduksi sebagai Bahan Baku Produksi Bahan Bakar Nabati Generasi Kedua. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi (SNAST) Periode III.

Jin, C., Yao, M., Liu, H., Leed, C.F., Ji, J. (2011). Progress in the production and application of n-butanol as a biofuel, Renewable and Sustainable Energy Reviews. 15: 4080–4106.

Lee, S.Y., Park, J.H., Jang, S.H., Nielsen, L. K., Kim, J., Jung, K.S. (2008). Fermentative Butanol Production by Clostridia, Biotechnology and Bioengineering. Vol. 101, No. 2, October 1.: 209-223.

Noomtim, P. & Cheirsilp, B. (2011). Production of Butanol from Palm Empty Fruit Bunches Hydrolyzate by Clostridium acetobutylicum.9th Eco-Energy and Materials Science and Engineering Symposium.Energy Procedia.9:140 – 146. Palmqvist. E. & Hagerdal. B. H. (2000), Fermentation of Lignocellulosic Hydrolysates II: Inhibition and Detoxification.

Bioresource Technology. Vol. 74, 25-33.

Taherzadeh, M. J. & Niklasson, C. (2003).Etanol from Lignocellulosic Materials: Pretreatment, Acid and Enzymatic Hydrolyses and Fermentation.New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.

Sediawan, W.B., Megawati, Millati, R., Syamsiah, S. (2007). Hydrolysis of Lignocellulosic Waste for Ethanol Production. International Biofuel Conference.Bali. Indonesia.

Szulczyk, K.R. (2010). Which is a Better Transportation Fuels – Butanol or Ethanol?. International Journal of Energy and Environment, Vol.1, issue 1.

Gambar

Gambar 1. Rangkaian alat hidrolisis
Gambar 2. Suhu versus yield gula pada waktu hidrolisis 45 menit
Gambar 4. Konsentrasi H2SO4 versus yield gula pada waktu hidrolisis 45 menit
Tabel 1. Hasil butanol hasil fermentasi berbagai sumber bahan baku

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan fenomena tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEROLEHAN MODAL DALAM MENINGKATKAN

A. Berupa pensifatan rowi dengan ucapan, seperti Musalsal dengan membaca surat Shof. Berupa pensifatan rowi dengan perbuatan, seperti Musalsal dengan pensifatan

Menurut hukum Islam pemberian harta pusaka kepada ahli waris dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara pembagian harta warisan pada saat pewaris sudah meninggal

Terdapat pelbagai teori dan model yang dikemukakan oleh pengkaji-pengkaji reka bentuk instruksional, namun model ADDIE menjadi pilihan dalam reka bentuk modul pengajaran kursus

Tidak ada definisi yang jelas dari parameter hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg, atau

Pantai Sundak sendiri bermula dari pertarungan antara asu (anjing) dan landak. Pergelutan yang meninggalkan jejak bagi penduduk sekitar dengan adanya sebuah gua

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelatihan regulasi emosi terhadap peningkatan kesejahteraan subjektif pemuda pedesaan rentan gangguan mental. Penelitian