• Tidak ada hasil yang ditemukan

CONFLICTING RIGHTS DALAM TATA KELOLA PER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CONFLICTING RIGHTS DALAM TATA KELOLA PER"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

CONFLICTING RIGHTS DALAM TATA KELOLA PERTEMBAKAUAN

Upaya Penguatan Hak-Hak Ekosob Terhadap Kedaulatan Petani Tembakau dan Konsumen Rokok1

ISMAIL HASANI2

Kesejarahan tembakau melekat pada peradaban bangsa Indonesia. Eksistensinya sebagai bagian dari ‘budaya Indonesia’ telah diakui di dunia.3 Sekalipun klaim ini mungkin

dianggap berlebihan oleh banyak kalangan, tetapi berbagai kajian dan karya ilmiah banyak menunjukkan ihwal tembakau dan Indonesia. Sebagai bagian dari peradaban ekonomi Indonesia, pungutan pajak dan cukai rokok, yang merupakan produk jadi dari tembakau (dan cengkeh) telah memberikan kontribusi signifikan. Suryadi Radjab4 mencatat setidaknya pertama, penyerapan tenaga kerja diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta orang dengan rincian sekitar 6 juta petani dan buruh tani tembakau, 1,5 juta petani dan buruh tani cengkeh, 600.000 buruh kretek, serta banyak lagi tenaga kerja lain sebagai dampak ikutan dari industri rokok.

Kedua, subsektor ini sudah memberikan kontribusi pajak dan cukai sejak Indonesia masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Bahkan catatan sejarah menunjukkan bahwa pajak dan cukai telah dipungut sejak kelahiran rokok itu sendiri dan dianggap sebagai barang bernilai ekonomis. Mengutip Suryadi, Diperkiarakan pada tahun 2013 cukai rokok mencapai 88 triliun melampaui pajak pada sektor minyak dan gas. Pada tahun 2014, diperkiran tidak kurang dari 110,7 triliun. Kontribusi ekonomi lainnya adalah bahwa produk-produk industri pengolahan tembakau tergolong paling

1Disampaikan dalam Lokakarya Negara dan Tembakau: Pemenuhan Hak Konsumen Rokok dan Pengelolaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, Jakarta 12 Maret 2014.

2Ismail Hasani, Peneliti SETARA Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3Thomas Sunaryo, Kretek: Pusaka Nusantara, Jakarta:SAKTI dan CLSO, 2013. Baca juga Suryadi Radjab, Dampak Pengendalian Tembakau terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta: SAKATI dan CLOS, 2013

(2)

kompetitif di tingkat global, sehingga berkontribusi bagi penerimaan devisa negara. Tahun 2010 ekspor tembakau bernilai Rp. 5,6 triliun dan tahun 2011 meningkat 5,9 triliun. Demikian juga ekspor rokok yang mencapai 400 juta US dollar. Sedemikian strategisnya kesejarahan tembakau, cengkeh, dan industri pertembakauan di Indonesia, sehingga tidak mudah mengaturnya secara adil di negeri ini.

Bagi kelompok lain, rokok adalah semacam barang kutukan yang harus dijauhkan dari jangkauan masyarakat, karena berbagai hasil riset, meskipun terkadang berlebihan, menunjukkan bahaya merokok yang amat serius. Karenanya, negara didorong untuk bertanggung jawab mengatasi dampak rokok, utamanya dampak pada kesehatan masyarakat. Negara dituntut untuk mampu menciptakan titik keseimbangan antara menyelematkan hak-hak ekonomi warga negara versus pemenuhan hak publik untuk bebas dari ancaman bahaya rokok.

Conflicting Rights dalam Pertembakauan

Jika DUHAM memiliki karakter mengikat secara moral

(morally binding) maka kovenan dan konvensi yang telah mengalami proses ratifikasi berkarakter mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara-negara yang mengikatkan diri. Dengan karakter yang spesifik, setelah DUHAM maka lahirlah hukum baru, yang disebut dengan hukum HAM internasional. Sebagai norma, HAM internasional mendasarkan pikirannya bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) hak asasi warganya. Sedangkan komunitas internasional dan negara-negara lain mempunyai hak dan tanggung jawab untuk memprotes bila kewajiban sebuah negara (state obligation) tidak dilaksanakan sesuai dengan harapan semula.5

Sementara, individu-individu dalam wilayah yurisdiksinya adalah pemangku hak (rights holder) daripada kewajiban dan tanggung jawab negara. Status negara dalam hukum yang baru ini ditempatkan sebagai pemegang kewajiban ( duty-holders).6 Dengan pemahaman yang demikian, hukum HAM

5Richard B. Bilder, “Tinjauan Umum Hukum Hak Asasi Manusia”,

Kursus HAM untuk Pengacara Angkatan VI, Jakarta: Elsam, 2001.

(3)

internasional memiliki karakter perdata karena posisi negara sebagai parties dalam berbagai kovenan dan konvensi HAM. Sebagai parties, maka tanggung jawab penegakan HAM melekat pada negara. Inilah dasar mengapa negara disebut sebagai subyek hukum HAM.

Dengan posisi pemahaman yang demikian, maka sesungguhnya tidak ada pelanggaran hukum HAM yang dialamatkan kepada individu atau warga negara. Semua pelanggaran HAM dialamatkan kepada negara. Ada dua cara negara melakukan pelanggaran, yakni dengan bertindak aktif

(by commision) atau karena membiarkan terjadinya pelanggaran HAM (by omission). Pendapat lain juga mengemukakan, termasuk pelanggaran HAM adalah tindakan membentuk peraturan perundang-undangan yang menyebabkan atau melegitimasi terjadinya pelanggaran HAM

(by rule). Konstruksi pertanggungjawaban hukum HAM tentu saja bukan dalam kerangka hukum pidana, di mana yang diadili adalah individu dan dikenai sanksi pemidanaan. Sanksi yang dirumuskan dalam kovenan dan konvensi adalah sanksi yang dibebankan kepada negara dalam bentuk policy reform

atau remedy terhadap korban.

Cara kerja negara dalam memenuhi HAM sesungguhnya amat sederhana, yakni dengan tidak ikut campur dalam pemajuan dan penikmatan kebebasan sipil politik (negative rights) dan secara aktif hadir dalam memenuhi hak ekonomi sosial dan budaya (positive rights). Negara juga masih diperkenankan memilah antara hak yang derogable rights dan non derogable rights dengan cara yang dibenarkan oleh ketentuan pembatasan dalam disiplin hak asasi manusia. Bahkan dalam konteks hak yang non derogable rights sekalipun, negara masih dapat memilah antara hak yang masuk kategori forum internum dan hak yang masuk kategori forum eksternum. Ketegangan norma antara hak para petani tembakau dan kehendak publik yang disalurkan melalui negara untuk memperoleh hak atas kesehatan merupakan diskursus hak atas ekonomi sosial dan budaya.

(4)

dipergunakan, meninggalkan kultur produksi tradisional yang berskala kecil. Pola interaksi ini melibatkan negara dengan peradaban lebih maju hingga yang terbelakang, dan dalam pacuan yang sama keduanya berkompetisi. Salah satu organisasi yang menonjol di era globalisasi ini adalah

Transnational Cooperation/Multi National Cooperation.

Perkawinan antara kekuasaan dengan ekonomi yang berorientasi profit, menimbulkan kekhawatiran akan terpinggirkannya nilai-nilai kemanusiaan dalam regulasi yang mengikat suatu jurisdiksi negara; memiskinkan yang miskin dan meninggalkan yang terbelakang. Merujuk pada Satjipto Rahardjo (2008) “perkembangan hukum selalu mengikuti perkembangan sosial budaya”7, sehingga dapat disimpulkan

bahwa integrasi antara hukum dengan teknologi ekonomi8

yang dominan di era globalisasi berpotensi melegalkan perampasan nilai-nilai kemanusiaan, dengan mengabaikan kebutuhan dasar manusia; makanan yang cukup, kesehatan, tempat tinggal, air minum, sanitasi, pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta meminggirkan kelompok di luar masyarakat modern; masyarakat asli/adat (indigenous people).

Amartya Sen (2009), memuji perkembangan ekonomi di Asia Tenggara dan Jepang yang tidak meninggalkan ciri khusus, termasuk pengakuan atas pentingnya pendidikan yang memperbesar peluang bagi individu untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Menurut Sen, ciri inilah yang membedakan Asia Tenggara dan Jepang dengan Barat, di Barat hanya orang kaya yang memiliki akses untuk mengembangkan dirinya melalui pendidikan9. Ciri ini

tampaknya sudah mulai luntur, hal ini ditunjukkan dengan adanya permohonan judicial review yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi pada dua periode pertama kepemimpinannya, terkait dengan hak ekonomi. Beberapa

7Rahardjo, Satjipto, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, KOMPAS, 2008, hal. 108

8Term teknologi ekonomi dipilih untuk mempersempit perdebatan, tidak meliputi perdebatan tentang ekonomi liberal atau neoliberal yang lebih dominan di era globalisasi.

(5)

permohonan terkait pemenuhan hak ekonomi, warga negara mempersoalkan komersialisasi kebutuhan publik, meliputi; pendidikan, kesehatan, air, dan tambang. Sementara kelompok masyarakat adat mencoba untuk mempertahankan budaya asli serta keterikatan sakral antara mereka dengan tanah kelahiran, melalui pengajuan permohonan judicial review atas diambil alihnya hutan adat oleh negara.

Konstitusi dasar RI, UUD 1945 memberikan harapan bagi warga negara terutama untuk yang termiskin diantara warga yang miskin10, melalui pengakuan hak ekonomi warga negara

yang cukup luas, meliputi: pendidikan11; pekerjaan12;

kehidupan yang layak13; tempat tinggal14; kesehatan15; dan

jaminan sosial16. Lebih jauh, UUD 1945 memberikan pesan

kepada penyelenggara negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial17. Perubahan

kosmologi global, mau tidak mau turut menyeret Indonesia pada pusaran liberalisme ekonomi, sosial dan budaya, yang pada gilirannya dikhawatirkan menggerus nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Atas nama rezim perdagangan dunia, liberalism ekonomi menyusup melalui perangkat lunak globalisasi, seperti WTO, IMF, dan badan-badan dunia lainnya. Peran Mahkamah Konstitusi, sebagai the guardian of the constitution dan the sole interpreter of the constitution

menjadi penting, terutama untuk mendudukkan kembali warga negara sebagai pemegang hak (rights holder) dan menegaskan kewajiban negara untuk mentaati konstitusi dengan memenuhi hak warga negara, dalam hal ini terkait hak ekonomi. Apabila hak sipil politik hanya memerlukan interpretasi, karena kewajiban negara bersifat negatif, maka hak ekonomi memerlukan lebih dari sekedar interpretasi, namun juga meliputi penentuan tahapan secara progresif menuju pemenuhan hak dimaksud. Bagaimana Mahkamah

10Pasal 34 (1) UUD Negara RI mencerminkan kelompok warga yang diprioritaskan untuk terlebih dahulu dipenuhi kebutuhan dasarnya terkait hak ekonomi.

11Pasal 28 C (1)

12Pasal 28 D (2)

13Pasal 28 H (1)

14Ibid 15Ibid

16Pasal 28 H (3).

(6)

Konstitusi menafsirkan dan menentukan langkah- langkah progresif menuju pemenuhan hak ekonomi, di tengah hempasan global ekonomi liberal, dapat diketahui melalui produk putusannya.

Membanding dua kepentingan di atas, tampak jelas bahwa antara rokok dan kesehatan merupakan dua hal yang saling berlawanan dan tentu saja tidak mungkin disatukan. Keduanya memiliki basis dan argumentasi yang sama dalam disiplin hak asasi manusia. Keberadaan petani tembakau, cengkeh, dan pekerja pada sektor industri rokok berpijak pada hak atas pekerjaan, hak atas penghidupan yang layak, dan hak-hak ikutannya. Mereka yang menjadi subyek operasi industri rokok adalah warga Negara yang oleh UU No. 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Ekonomi Sosial, dan Budaya (Ekosob) di lindungi hak-haknya. Juga oleh UU No. 39/1999 tentang HAM. Jaminan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak kemudian diperkuat menjadi hak konstitusional warga sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 (2) UUD Negara RI 1945. Sebagai hak konstitusional warga, maka dengan alasan yang tidak dibenarkan, negara tidak boleh memberangus hak-hak tersebut.

Pada kepentingan kedua, hak atas kesehatan (publik) juga merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh instrumen hukum dan HAM yang sama. Hak untuk memperoleh lingkungan yang sehat juga ditegaskan dalam Konstitusi RI.

Artinya, mereka yang menuntut untuk

dilarang/dihapus/dikurangi/dikendalikan atas rokok juga memiliki argumentasi moral dan legal.

(7)

perdebatan moral dan legal, mana yang benar dan mana yang salah (constitusional justice). Seringkali penanganan konflik norma ini didasarkan pada kebaikan konstitusional yang ukurannya adalah baik atau buruk. Karena pertimbangannya baik dan buruk (domain moralitas) maka selalu saja tetap menimbulkan kontroversi.

Dalam konteks ketegangan antara kepentingan petani tembakau, pengusaha industry rokok, dan buruh versus kepentingan publik untuk memajukan hak atas kesehatan dalam beberapa dokumen hukum dan putusan judicial review di Mahkamah Konstitusi dirumuskan secara moderat tidak melarang tetapi juga tidak membebaskannya meluaskan dampak negatif. Posisi rokok hampir logika pengaturannya seperti mengatur minuman keras, mengatur pornografi, dan barang-barang sejenisnya. Sikap moderat inilah yang disebut titik keseimbangan ketika menghadapi konflik norma/ konflik hak.

FCTC dan Hak Ekosob

Apakah pengaturan yang selama ini telah tersedia telah menunjukkan moderasi yang adil antara dua kepentingan publik pada rumpun hak yang sama, yakni Ekosob? Hemat penulis, tata kelola pertembakauan sebagaimana diatur selama ini, kecuali aspek pajak dan cukai, telah menujukkan moderasi itu, meskipun dalam beberapa segi kepentingan industri rokok tetap yang menjadi “bulan-bulanan”. Aspek pajak dan cukai adalah teknologi ekonomi dan keuangan untuk menekan secara gradual prevalensi perokok di Indonesia. Cara ini berlaku secara umum di banyak tempat. Akan tetapi, jika tidak cermat, bahaya double tax bahkan termasuk jenis pungutan lain, akan berimplikasi lebih meluas termasuk pada para petani tembakau dan cengkeh. Inilah yang masih menuntut pengkajian dan negosiasi antar pihak secara terus menerus.

Selain soal pajak dan cukai, ancaman petani tembakau dan pengusaha rokok yang paling serius datang dari rencana pemerintah yang dalam waktu dekat akan meratifikasi

(8)

Tujuan dari FCTC adalah melindungi masyarakat dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan, dan konsekuensi ekonomi akibat konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau. FCTC telah menjadi hukum internasional dan 137 negara telah meratifikasinya. Satu-satunya negara di Asia yang belum menandatanganinya adalah Indonesia.

Diantara materi muatan yang terkandung dalam konvensi ini adalah pengaturan konsumsi rokok melalui mekanisme pengendalian harga dan pajak, iklan, sponsorship, serta promosi. Konvensi juga mengatur mengenai pemberian label peringatan kesehatan dalam kemasan rokok dan penjualan produk tembakau kepada anak di bawah umur. Untuk soal pelabelan, pemerintah telah menetapkannya melalui peraturan pemerintah yang akan berlaku Juni 2014.

Apakah FCTC bermanfaat bagi pemajuan hak atas kesehatan masyarakat? Secara sepintas dapat dijawab, jelas dan sangat bermanfaat. Karena selain akan mengurangi prevalensi perokok, juga secara pararel rokok akan menjadi barang mewah yang tentu saja diharapkan hanya dijangkau oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi. Tetapi, seperti lazimnya produk kesepakatan di tingkat internasional, selalu saja sebuah konvensi membawa pesan ekonomi tersembunyi. Sama seperti perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang diperkenalkan oleh WTO. HAKI jelas bermata dua, di satu sisi memberikan perlindungan terhadap setiap karya intelektual, tetapi di sisi lain telah membangun rantai kebergantungan negara-negara berkembang dan terbelakang pada negara maju. HAKI adalah software kapitalisme global yang memusatkan kebergantungan pada negara-negara yang berkemampuan tinggi.

(9)

dengan setiap produk internasional, maka potensi kerugian akan selalu datang. Paket konvensi biasanya diikuti dengan rangkai kesepakatan-kesepakatan baru yang pada akhirnya kendali dipegang oleh mereka yang memiliki kuasa dagang.

Dengan sejumlah agenda yang termaktub dalam FCTC, maka ratifikasi adalah ancaman bagi petani, industri rokok, termasuk para perokok yang harus mengeluarkan biaya besar karena cukai yang berlipat. Secara sederhana dapat disimpulkan, negara jelas melanggar hak-hak para petani yang kemudian menjadi tidak bekerja dan berpenghasilan. Lalu bisa dipersoalkan? Secara teknis sangat bisa dipersoalkan meskipun ruang publik belum tentu kondusif untuk memenangkan kontestasi itu.

Setiap pelanggaran HAM, termasuk hak atas ekonomi sosial dan budaya sangatlah bisa dipersoalkan. Akan tetapi menempuh jalur hukum dalam konteks isu ini bukan pilihan utama dan pertama. Bagaimana agar hak-hak itu tidak terlanggar dan para petani tetap bekerja dan berpenghasilan? Ada sejumlah pilihan sikap dan langkah:

Memilih jalur moderat dalam menyikapi ratifikasi FCTC: ancaman terhadap para petani dan industri rokok sesungguhnya tidak akan sepenuhnya terjadi, jika kita mampu mendorong pengaturan yang moderat, meski FCTC diratifikasi. Moderasi pengaturan inilah yang khas Indonesia. Dengan demikian, dua kepentingan bisa terselamatkan.

Menempuh jalan politik: kekuatan lobby para pengusaha rokok yang ditopang oleh jutaan petani diyakini sebagai modal politik bagi lobby yang berkualitas. Pada saat yang bersamaan ruang publik harus dibangun dan didorong untuk secara jernih melihat persoalan pada industri pertembakauan. Jika ruang publik telah berpihak maka sangat mungkin kebijakan yang adil bisa diraih oleh para petani dan industri.

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk Pejabat Eseion HI dan IV beserta staf di luar lingkup Sekretariat Daerah Kota Banjarmasin, penandatanganan Surat Tugas dan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) luar daerah

Skripsi dengan judul “Penerapan Pembelajaran Kontekstual Pada Pokok Bahasan Aritmatik Sosial kelas VII-A di SMP Muhammadiyah 2 batu”adalah hasil karya saya, dan

Makna al- jama’ah dalam hadis dari 171 kali penyebutannya, dapat dikategorisasikan – untuk sementara sebagai kajian awal—dalam empat hal, yakni kebersamaan

redaksional yang diterapkan RRI Pro 1 Yogyakarta dalam menyiarkan berita.. terkait kasus sedang berkembang di tengah masyarakat seperti pada kasus penggusuran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif Think Pair Share mempunyai dampak positif dalam meningkatkan hasil

Sehubungan dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti yaitu: Korelasi Antara Rasa Percaya Diri dengan Hasil Belajar Al-Qur‟an Hadits Siswa Di MI Roudlotul

Hal ini lah yang membuat kami, Yayasan Inspirasi Anak Bangsa melalui Divisi Pendidikan yaitu Diwangkara Insan Nusantara, antusias untuk membuat program kegiatan yang

Masyarakat banyak tidak mematuhi aturan tersebut untuk menyalakan lampu kenderaan disiang hari dikarnakan kebiasaan penerapan budaya hukum yang berbeda antara yang