• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inkarnasi sebagai Bukti Nyata Cinta Kasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Inkarnasi sebagai Bukti Nyata Cinta Kasi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Inkarnasi sebagai Bukti Nyata Cinta Kasih Allah dan

Relevansinya bagi Penghayatan Pancasila

Oleh:

Thomas Onggo Sumaryanto

1. Pengantar

Yesus Kristus adalah penyelamat umat manusia. Allah Bapa telah menepati janji-Nya untuk mengutus Putra-Nya sendiri ke dunia (Gal 4:4-5). Dengan pengantaraan malaikat Gabriel, kabar keselamatan disampaikan kepada Bunda Maria (Luk 1:27-35). Sang Penyelamat ini sungguh menjadi manusia. Dia hidup bersama manusia dan hingga akhirnya Dia bangkit dari kematian untuk menebus dosa-dosa manusia. Inilah pewartaan yang dilakukan oleh para murid dan tetap bergema di kalangan kristiani Indonesia sampai sekarang. Para murid memiliki iman yang besar bahwa Allah telah menjadi manusia. Injil Yohanes menyatakan bahwa Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran (1:14). Bapa-Bapa Gereja Latin mengenal misteri ini sebagai inkarnasi.1 Inkarnasi berasal dari kata Latin yaitu incarnatio (in: dalam,

caro: daging). Istilah ini sering digunakan sejak abad keempat oleh para Bapa Gereja Latin. Misteri inkarnasi dilihat dalam dalam terang iman akan kebangkitan Yesus Kristus. Inkarnasi tidak pernah terlepas dari misteri paskah.2 Oleh sebab itu kita harus melihat misteri

inkarnasi ini dalam karya keselamatan sebab sungguh tidak mudah untuk memahami misteri ini.3 Dalam terang iman ini kita bisa melihat mengapa Sabda menjadi manusia. Oleh sebab itu

tulisan ini ingin membahas inkarnasi sebagai sebuah misteri khas Gereja Katolik. Dengan melihat kembali Kitab Suci, Tradisi, dan pendapat para teolog kontemporer, kita akan menemukan alasan terbesar dari misteri inkarnasi ini. Kemudian kita mencoba mencari relevansi alasan terbesar misteri ini dalam kehidupan masyarakat Katolik Indonesia yang kental dengan Pancasila. Dengan demikian, kita akan mengerti bagaimana masyarakat Katolik Indonesia harus bertindak, berpikir, dan berperilaku di tanah air Indonesia.

2. Penjernihan Konsep Inkarnasi

Sebelum mendalami data-data inkarnasi, kita perlu memahami konsep inkarnasi dalam Gereja Katolik. Inkarnasi sedikit berbeda dengan istilah “penjelmaan (embodiment)”.4 Hal ini

disebabkan ada unsur teologis yang sangat kuat dalam inkarnasi. Gereja Katolik sungguh mengimani bahwa Sabda atau Putra Allah menjadi manusia yaitu Yesus Kristus. Putra Allah sungguh-sungguh menjadi manusia. Dia memiliki 2 kodrat sekaligus yaitu kodrat manusia dan kodrat Allah. Kedua kodrat-Nya tidak bercampur aduk atau melebur menjadi setengah

1 www. newadvent.org/cathen/07706b.htm diakses pada tanggal 2 November 2017 pukul 17.45 2 M. Purwatma, Firmanmenjadi Manusia: Refleksi Historis-Sistematis Mengenai Yesus Kristus dan Allah Tritunggal, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm. 15.

3James D. G. Dunn, Christology In the Making: An Inquiry into the Origins of the Doctrine of the Incarnation, (London: SCM Press, 1980), hlm 1-3.

(2)

Allah dan setengah manusia.5 Ia sungguh telah menjadi manusia dan sementara itu Ia tetap

Allah dengan sesungguhnya.

Peristiwa inkarnasi hanya terjadi satu kali yaitu pada Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi manusia melalui rahim Bunda Maria. Dia sungguh masuk ke dalam sejarah manusia dengan tubuh yang konkrit. Putera Allah ini dikenal sebagai Yesus dari Nasaret. Dengan demikian inkarnasi hanya terjadi sekali untuk selama-lamanya.

3. Data-data Inkarnasi dalam Gereja Katolik

3.1. Pandangan Kitab Suci

3.1.1. Perjanjian Lama

Perjanjian Lama menggambarkan bagaimana konsep inkarnasi dalam tradisi Yahudi. Dengan demikian, kita akan menemukan struktur dinamika inkarnasi. Dinamika inkarnasi yang dimaksud adalah gerakan Tuhan untuk masuk ke dalam dunia manusia dan berpartisipasi dalam kehidupan seluruh umat manusia.6

Inkarnasi masih digambarkan dalam perjanjian (covenant) Tuhan. Perjanjian ini menunjukkan bagaimana relasi Tuhan dengan umat-Nya. Sebuah perjanjian mengandaikan ada kesepakatan dari kedua belah pihak. Ketaatan menjadi dasar utama dalam pelaksanaan perjanjian ini. Dalam Perjanjian Lama, kita bisa melihat bahwa Tuhan berinisiatif pertama kali untuk menjadi Allah bangsa Israel.7

Panggilan Abraham adalah sebuah bukti bahwa Tuhan Allah ingin berelasi dengan manusia dan masuk ke dalam dunia manusia. Tuhan bersabda kepada Abraham untuk pergi menuju negeri yang dijanjikan Tuhan (Kej 12:1-3). Sabda adalah tanda relasi Allah dan manusia. Wahyu sering dinyatakan dalam sabda. Dengan demikian pernyataan “datanglah firman Allah kepada ...” menunjukkan kehadiran Allah dalam bahasa manusia.8

Namun yang perlu ditekankan adalah kehadiran Allah ini sungguh nyata/riil. Dalam Kitab Keluaran 33:11, kita membaca bahwa TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya; kemudian kembalilah ia ke perkemahan. Jean Galot menyatakan bahwa Allah turun ke tingkat manusia untuk berdialog layaknya seorang sahabat dengan manusia.9

Allah ingin membuat kehadiran-Nya dalam jalan atau cara manusia. Dalam kitab para nabi, Allah mengungkapkan perjanjian akan kedatangan Sang Penyelamat yaitu Putra-Nya sendiri. Allah menyampaikan pemberitaan kedatangan ini melalui para nabi. Allah berjanji bahwa Mesias akan turun ke dunia untuk menyelamatkan Israel. Penyelamat ini akan diberi nama Imanuel, yang berarti Tuhan menyelamatkan (Yes 7:14). Nabi Yesaya mewartakan inkarnasi sebagai janji penuh Allah. Seorang perempuan akan melahirkan seorang laki-laki dan ia akan diberi nama Imanuel (Yes 7:14). Kehadiran Anak Laki-laki ini merupakan kehadiran Allah sendiri di dunia ini.10

5 KGK no. 464

6 Jean Galot, Who is Christ? A Theology of The Incarnation, (Rome: Gregorian University Press, 1980), hlm. 41. 7 Ibid., hlm. 43.

8 Ibid., hlm. 45. 9 Ibid., hlm. 49.

(3)

Secara keseluruhan kita dapat melihat bahwa Perjanjian Lama mengungkapkan konsep inkarnasi dalam perjanjian mesianis. Sebelumnya Allah sudah menunjukkan sikap solider atau mau berelasi dengan lebih mendalam bersama manusia. Dia mau bersabda dalam bahasa manusia sehingga manusia bisa mendengarkan-Nya bahkan berdialog seperti seorang sahabat. Sejak dari semula Allah ingin berpartisipasi dalam hidup manusia yang dimulai dari bangsa Israel.

3.1.2. Perjanjian Baru

Bangsa Israel menantikan kehadiran Mesias. Mereka yakin bahwa Allah akan menepati janji-Nya untuk mengirimkan Seorang Penyelamat. Pertanyaannya adalah siapakah Mesias itu? Para rasul pun telah mengetahui bahwa Mesias adalah Yesus Kristus. Guru para rasul ini adalah kepenuhan janji Allah. Dia menyelamatkan umat manusia dengan wafat di kayu salib dan bangkit dengan seluruh jiwa dan raga-Nya. Inilah pewartaan pertama para rasul. Kita bisa melihat ini dalam khotbah pertama Petrus (Kis 2:22-37).

Pewartaan kebangkitan Yesus menjadi dasar Perjanjian Baru.11 Rasul Paulus

mewartakan Yesus sebagai Putera Allah (2 Kor 1:19, Gal 2:20, dan Ef 4:13). Dia menyatakan bahwa Allah telah mengirim Putera sendiri ke dunia (Rm 8:32). Putera Allah ini sungguh-sungguh menjadi manusia (Rm 8:3) bahkan serupa dengan manusia yang penuh dosa. Namun Yesus bukan hadir sebagai manusia penuh dosa. Dia justru mengalahkan dosa-dosa manusia dengan kebangkitan-Nya. Kita bisa melihat di sini bahwa kemanusiaan Yesus diwartakan dalam terang kebangkitan.

Rasul Paulus menyakini bahwa Yesus sungguh Allah dan Dia sudah ada sebelum dunia ini dijadikan. Pra-ada atau praeksistensi Yesus ditegaskan dalam Gal 4:4.12 Dia

menyatakan bahwa setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Dengan pernyataan ini Paulus menekankan bahwa sebelum Yesus datang ke dunia, Ia adalah sudah Putra Allah. Keputraan-Nya bukan berasal dari kelahiran-Keputraan-Nya di bumi ini.13

Dalam injil-injil sinoptik, inkarnasi diwartakan melalui kisah kelahiran Yesus Kristus. Matius membuka kisah ini dengan daftar keturunan Yesus Kristus. Kisah ini mau menunjukkan kepada para pembaca bahwa Yesus merupakan kepenuhan janji Allah sendiri yaitu Imanuel (Mat 1:23).14 Kisah kelahiran Yesus menurut Matius ini digambarkan dengan

indah terutama bagaimana hubungan inkarnasi sampai kebangkitan Yesus Kristus. Kelahiran Yesus di dunia digambarkan dengan penuh penderitaan namun Allah Bapa tetap berperan melalui Maria dan Yosep serta Malaikat.

Injil Lukas juga menggunakan genealogi (daftar keturunan) untuk mengaitkan inkarnasi dan kelahiran Yesus.15 Lukas lebih menekankan peran Roh Kudus dalam diri Bunda

Maria. Hal ini nampak dalam dialog antara Malaikat dan Bunda Maria. Malaikat menjelaskan bagaimana proses pengandungan Yesus dalam rahim Bunda Maria:

11 M. Purwatma, Op. Cit., hlm. 13.

12 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1 :Allah Penyelamat, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 188. 13 Ibid.

(4)

Kata Maria kepada malaikat itu: "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?". Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, ia pun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu. Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil." Kata Maria: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Lalu malaikat itu meninggalkan dia (Luk 1:34-38).

Aktivitas Roh Kudus membuka semua proses Yesus Kristus menjadi manusia dalam sejarah manusia.16 Dengan demikian, inkarnasi tidak bisa dilepaskan dari Tritunggal Mahakudus.

Allah Bapa dan Roh Kudus turut berperan dalam inkarnasi Yesus Kristus. Allah Bapa mengutus Putera-Nya dan Roh Kudus berperan dalam pengandungan Yesus dalam rahim Bunda Maria.17

Injil Yohanes merefleksikan inkarnasi dengan lebih mendalam. Dalam pembukaan Injil Yohanes, kita bisa melihat bahwa Yesus sungguh ditekankan sebagai Putra Allah.

Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya (Yoh 1:1-5).

Kemudian Yohanes menekankan dua aspek dalam proses inkarnasi.18 Firman itu telah menjadi

manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran (Yoh 1:14). Penekanan pertama adalah hakikat kemanusiaan Yesus Kristus yaitu menjadi manusia. Penekanan kedua adalah relasi personal Yesus Kristus yaitu sungguh tinggal bersama dengan manusia.

Jean Galot pun menegaskan bahwa kesaksian Yohanes tidak mempertentangkan keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus.19 Yohanes justru mampu menjelaskan keluasan

inkarnasi. Konsekuensi inkarnasi ditampakkan dalam kehidupan publik Yesus (Yoh 4:6-7; 19:28). Bahkan Yesus sungguh mencintai Marta, Maria, dan Lazarus (11:36).

Dengan demikian, kita bisa melihat bagaimana jemaat kristen awali dalam memandang inkarnasi. Inkarnasi dianggap sebagai kepenuhan janji Allah sendiri. Dia hidup bersama umat manusia bahkan Yesus memiliki pohon keluarga, kisah pengandungan, dan kelahiran bersama Maria. Dalam Injil Matius dan Markus, Yesus sendiri mengakui dirinya sebagai Anak Manusia (Mat 8:20, 9:20). Bahkan Yesus tidak pernah menyebut diri secara terang-terangan sebagai Anak Allah. Gelar Anak Allah justru diungkapkan dari mulut iblis (Mat 8:29 dan Mrk 5:7), Simon Petrus (Mat 16:16), dan prajurit romawi (Mat 27:24 dan Mrk 15:39).

3.2. Pandangan Tradisi

3.2.1. Bapa-Bapa Gereja

16 Ibid.

17 Roch A. Kereszty, Jesus Christ: Fundamentals of Christology, (New York: Alba House, 1991), hlm. 295-296. 18 Jean Galot, Op. Cit., hlm 97.

(5)

Perkembangan kristiani awali juga mempengaruhi pemahaman inkarnasi Yesus Kristus. Para jemaat awali mewartakan kebangkitan Yesus Kristus. Mereka sungguh mengimani bahwa Yesus itu sungguh Allah dan sungguh manusia. Namun pewartaan mereka harus berhadapan dengan pemikiran Yunani yang kental dengan filsafat. Orang-orang Yahudi-Kristen lebih memberikan tekanan pada kemanusiaan Yesus dalam relasi ilahi-insani. Dalam kelompok Yunani, keilahian Yesus lebih ditonjolkan sehingga sering timbul permasalahan kristologis.20

Penekanan pada keilahian Yesus mengakibatkan pengabaian sisi kemanusiaan Yesus Kristus sendiri. Salah satu aliran terkenal pada waktu itu adalah gnostisme. Gnostisme sering ditemui oleh para Bapa Gereja. Aliran ini menolak kemanusiaan Yesus Kristus. Oleh sebab itu pada abad I-III, para bapa Gereja digolongkan sebagai apologet. Mereka membela misteri inkarnasi yang salah dipahami. Dua tokoh apologet terkenal dalam hal ini adalah Irenius dari Lyon (140-202) dan Tertulianus (166-222).

Irenius berpegang teguh pada iman di dalam kitab suci dan syahadat tradisional yang dia ketahui dalam bentuk jemaat timur.21 Inkarnasi dijelaskan dalam argumen soteriologis.

Irenius mendasari diri pada gagasan Injil Yohanes. “Firman menjadi manusia” menyatakan kesatuan keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus. Dengan kesatuan ini Yesus menjadi pengantara untuk mendamaikan Allah dan manusia. Dengan menjadi manusia, Yesus dapat mengembalikan sejarah manusia pada keadaan awal yaitu gambar dan rupa Allah. Dengan Firman (Keallahan), umat Allah dipersatukan lagi dengan Allah sendiri. Inilah gagasan terkenal Irenius yang disebut recapitulatio atau anakephalai (Ef 1:10).22

Tertulianus berusaha menjelaskan bahwa Yesus hanya memiliki satu pribadi yaitu Putera Allah. Pribadi ini sungguh berada di dalam jiwa dan raga manusia. Di dalam Kristus kita menemukan jiwa dan raga-Nya. Kemanusiaan Yesus sungguh tersusun dari badan dan jiwa.23 Firman menjadi manusia bukanlah berarti Yesus berubah secara hakiki. Firman itu

menerima daging insani, tetapi Firman tetap tinggal ilahi. Yesus Kristus tetap menpunyai dua kodrat yang disebut Tertulianus sebagai 2 subtansi dalam Yesus Kristus.24 Namun kedua

subtansi ini memiliki fungsi yang berbeda. Dia hanya ingin membedakan kodrat ilahi dan kodrat manusiawi. Mungkin konsep ini cukup membingungkan karena tidak menunjukkan kesatuan kodrat Yesus. Namun, Tertulianus menjelaskan sebuah konsep yaitu communicatio idiomatum dalam menerangkan karya Yesus, sehingga tidak segan pula ia mengatakan Allah wafat di kayu salib.25

Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa zaman bapa gereja apologet melihat inkarnasi dalam konteks apologetik. Kedua bapa gereja tadi berusaha melawan gnostisme dan kelompok-kelompok lainnya. Inkarnasi sungguh tidak masuk akal karena Allah yang Maha Kuasa menjadi manusia yang lebih rendah daripada Allah. Irenius dan Tertulianus menjelaskan inkarnasi dengan bahasa filosofis. Sebelumnya Yustinus Martir (?-165) sudah menggunakan logos untuk menjelaskan inkarnasi. Mereka mulai menjelaskan bahwa Yesus itu

(6)

satu pribadi dan memiliki dua kodrat. Kesatuan kedua kodrat-Nya dijelaskan dalam karya penyelamatan umat manusia. Dengan kesatuan ini, Allah dapat menyelamatkan manusia.

3.2.2. Konsili-Konsili Awali

Perkembangan pemahaman misteri inkarnasi semakin kompleks. Kedua bapa Gereja di atas mulai menjelaskan hubungan keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus. Permasalahan yang timbul berikutnya adalah keilahian Firman yaitu Yesus Kristus sendiri. Tokoh terkenal yang salah memahami inkarnasi adalah Arius (±336).

Arius menjelaskan Yesus Kristus dengan konsep subordinasi. Dia sendiri menyangkal keilahian Putera Allah ini. Baginya Allah itu satu, tanpa awal dan akhir serta tidak mungkin Dia menjadi manusia. Secara tidak langsung Arius menolak inkarnasi Yesus Kristus.26 Dia

tetap menyadari peran Yesus sebagai perantara Allah dan manusia. Namun perantara ini tetaplah ciptaan Allah. Firman Allah adalah ciptaan pertama, Dia tidak termasuk dunia ilahi maupun jasmani, tetapi ada di antaranya.27 Yesus boleh disebut sebagai Anak Allah secara

simbolis. Oleh sebab itu Yesus Kristus tidak memiliki praeksistensi dan tidak sehakikat dengan Allah.

Untuk menjawab permasalahan Arius, Konsili Nicea diadakan. Konsili ini dianggap sangat penting karena muncul kesadaran untuk merumuskan iman Kristiani dengan jelas. Secara singkat, Konsili Nicea menegaskan bahwa Yesus Kristus itu sehakikat (homoousios) dengan Allah Bapa. Relasi sehakikat ini mau menegaskan bahwa Allah menyelamatkan umat manusia melalui Yesus Kristus.

Pemahaman yang salah akan menimbulkan perpecahan. Hasil konsili Nicea masih tidak disetujui oleh beberapa pihak. Arianisme belum berakhir. Para klerus melawan keras pemikiran Arius. Salah satu tokoh yang paling keras melawan adalah Athanasius (295-373). Athanasius menyakini bahwa Bapa dan Putera itu satu dalam kodrat (physis) tetapi Bapa dan Putra tetaplah berbeda. Keduanya saling meresapi (perikhoresis) dan kesatuan Bapa dan Putera terletak pada keilahian-Nya. Oleh sebab itu Athanasius merasa bahwa istilah homoousios adalah istilah paling tepat untuk merumuskan relasi antara Putra dan Bapa.28

Athanasius secara khusus membahas inkarnasi dalam bukunya De Incarnationae. Dia ingin menegaskan kembali makna inkarnasi Yesus Kristus yaitu keselamatan umat manusia. Purwatna menjelaskan hal ini dengan mengutip perkataan Athanasius yaitu:

Dia itu menjadi manusia, supaya kita dijadikan Allah. Dia itu mempertunjukkan diri-Nya, keilahian-diri-Nya, melalui badan, supaya kita mendapatkan pengetahuan tentang Bapa yang tak kelihatan. Dia itu menanggung penghinaan yang didatangkan manusia, supaya kita menjadi ahli waris kebakaan (anatasia).29

Athanasius memahami inkarnasi sebagai penggabungan antara Firman Allah dan manusia konkret. Kita dapat mengatakan bahwa kristologinya termasuk kristologi logos-sark (Firman-daging). Namun tetap saja, saat menjelaskan kematian Yesus Kristus, Athanasius menjelaskan

26 Jean Galot, Op. Cit., hlm 227. 27 M. Purwatma, Op. Cit., hlm. 35. 28 Ibid., hlm. 45.

(7)

bahwa Firman itu meninggalkan Tubuh. Permasalahan atau konsekuensi inkarnasi dalam kematian Yesus sangat kompleks.

Berikutnya kita memasuki konsili Efesus yang secara tidak langsung membahas konsep inkarnasi. Konsili ini berusaha menyelesaikan pertikaian antara Nestorius (381-?) dan Cyrillus dari Alexandria (±444). Inkarnasi Yesus Kristus tidak mengubah kodrat Allah-Nya. Yesus memiliki 2 kodrat yaitu Allah dan manusia. Nestorius ingin membela kedua kodrat ini. Kedua kodrat ini tidak bercampur namun menjadi satu kesatuan dalam diri Yesus Kristus.30

Menurutnya, gelar Bunda Allah (theotokos) pada Maria menggambarkan kedua kodrat yang bercampur. Gelar yang tepat untuk Bunda Maria adalah Bunda manusia Yesus (anthropotokos).

Setiap kodrat Yesus memiliki bentuk rupa (prosopon). Kedua kodrat dan rupanya masing-masing bergabung dan menjadi satu rupa yaitu Yesus Kristus. Dengan demikian Yesus Kristus itu hanya 1 orang atau pribadi saja. Nestorius ingin menjaga kesatuan dalam Yesus Kristus.31 Di sisi lain kita dapat melihat bahwa Nestorius membedakan dengan ketat kedua

kodrat Yesus. Sebenarnya dia ingin mempertahankan alasan soteriologis yaitu Anak Allah mesti sungguh-sungguh Allah demi keselamatan manusia.32 Namun dia juga kesulitan untuk

menerima kematian Yesus di kayu salib.

Cyrillus tidak setuju dengan pemikiran Nestorius. Satu prosopon yang mencakup dua kodrat terpisah tidak menjamin keselamatan. Cyrillus juga ingin membela dan mempertahankan alasan soteriologis yang sedikit berbeda dengan Nestorius. Dia berpendapat bahwa Firman ilahi itu tidak menjadi manusia maka tidak ada penebusan yang sejati.33

Dengan mengambil kodrat manusia, Yesus dapat mengilahikan manusia. Firman Allah menjadi subjek (pribadi) dalam manusia Yesus sehingga Dia tidak hanya mengenakan manusia. Persatuan Firman dan manusia ini disebut persatuan hipostatis namun kedua kodrat-Nya tidak bercampur tetapi tetap utuh. Firman ini melalui 2 tahap yaitu Firman Allah praeksisten (berada di luar daging) dan Firman Allah dalam inkarnasi.34 Cyrillus hanya ingin

menekankan bahwa praeksistensi Yesus dan dalam diri Yesus hanya ada satu subjek yaitu Firman Allah. Maka gelar Bunda Allah pada Maria sangatlah pantas karena dia melahirkan Firman Allah.

Konsili Efesus lebih berpihak pada Cyrillus sehingga hasil konsili merupakan pemikiran Cyrillus. Konsili ini menegaskan bahwa di dalam diri Yesus Kristus ada dua kodrat namun hanya ada satu subjek yaitu Firman. Namun Cyrillus tidak bisa menjelaskan perbedaan kedua kodrat dalam diri Yesus. Hasil konsili ini belum memuaskan banyak pihak sehingga muncul masalah-masalah lain.

Konsili Kalsedon juga membahas masalah inkarnasi. Sebenarnya hasil konsili ini hanya menegaskan hasil konsili Efesus. Eustikes (434-446) mulai kembali mengangkat permasalahan ini. Dia tidak setuju dengan hasil konsili Efesus yang menyatakan bahwa Yesus memiliki dua kodrat. Ajarannya terkenal disebut monofisit. Dia mengajarkan bahwa sebelum inkarnasi Kristus mempunyai dua kodrat, tetapi setelah inkarnasi hanya ada satu Kristus, satu

30 Ibid., hlm. 61.

31 Cletus Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, (Yogyakarta:Kanisius, 1988), hlm. 149.

32 Ibid., hlm. 150.

(8)

Putra, satu Tuhan dalam satu hypostses dan satu prosopon.35 Eustikes menyimpukan bahwa

gagasan dua kodrat Yesus Kristus setelah inkarnasi sangat bertentangan dengan Kitab Suci dan ajaran Bapa-Bapa Gereja.

Kemanusiaan Yesus Kristus berbeda dengan kemanusiaan lainnya. Hal ini disebabkan kemanusiaan-Nya terserap dalam kodrat Allah. Dia tetap mengakui bahwa Yesus dilahirkan sebagai manusia dari rahim Bunda Maria, namun di dalam diri-Nya hanya satu kodrat yaitu kodrat Allah (monofisit). Bagi Eustikes, jika Yesus itu sehakikat dengan manusia pada umumnya, sungguh tidak tepat memposisikan manusia di samping Allah Bapa.36

Pemikiran ini sangat ditentang oleh beberapa pihak, salah satunya adalah Flavianus. Dia tetap menyakini bahwa Yesus sesudah inkarnasi tetap memiliki 2 kodrat yang utuh dan Dia itu tetap satu Kristus, satu Putra, dan satu Tuhan dalam satu diri dan satu rupa.37 Leo

Agung, Uskup Roma pada waktu itu, juga mempertahankan iman inkarnasi ini. Dia mendasari diri pada soteriologi. Keutuhan keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus itu ada demi keselamatan umat manusia.

Dengan melihat 3 konsili awali, kita dapat menyimpulkan bahwa konsekuensi inkarnasi menjadi masalah dalam pemikiran alam Yunani. Allah menjadi manusia adalah hal yang tidak mungkin bagi mereka. Sesuatu yang sempurna harus merendahkan diri menjadi manusia yang dianggap lebih rendah daripada Allah. Inkarnasi kemudian seolah-olah dipandang sebagai pembodohan diri.

Konsili-konsili awali berusaha merumuskan iman inkarnasi. Tak heran konsili ini sebenarnya berangkat dari ajaran-ajaran sesat. Para Bapa Konsili tetap berpegang teguh pada iman inkarnasi dengan tetap memegang teguh alasan soteriologis. Allah menjadi manusia karena Ia ingin menyelamatkan manusia. Konsekuensi inkarnasi tidak pernah terlepas dari soteriologis.

3.3. Pandangan Para Teolog

Sesudah masa konsili awali, refleksi kristologis memasuki masa skolastik. Kristologi skolastik lebih mementingkan spekulasi rasional mengenai Yesus Kristus. Tak heran refleksinya menjadi sungguh abstrak dan unsur soteriologis semakin kabur. Hal ini berdampak pula pada refleksi tentang inkarnasi Yesus Kristus. Refleksi inkarnasi banyak dipengaruhi filsafat Aristotelian.

Salah satu tokoh teolog skolastik adalah Thomas Aquinas. Dia menyibukkan diri pada pertanyaan apakah Yesus Kristus mempunyai existentia manusiawi dengan essential natura, subtantia manusiawi atau Yesus hanya mempunyai exitentia ilahi.38 Selain itu dalam Summa

Theologica, Thomas juga mempersoalkan alasan mendasar perlunya inkarnasi. Pertanyaan yang muncul adalah apakah perlu Tuhan berinkarnasi? Jika manusia tidak berdosa, apakah inkarnasi masih diperlukan?39

Titik tolak pertanyaan itu adalah kekuasaan Allah sendiri. Allah itu Mahakuasa dan dengan kekuasaan-Nya itu Dia bisa menebus manusia atau memulihkan kodrat manusia tanpa

35 Ibid., hlm. 66. 36 Ibid.

(9)

perlu berinkarnasi menjadi manusia. Namun kenyataannya adalah manusia telah jatuh ke dalam dosa dan Tuhan sendiri sudah berinkarnasi dalam diri Yesus Kristus. Dosa manusia hanya bisa dipulihkan oleh Tuhan sendiri.40 Jika Dia bukan Tuhan, Dia tidak bisa memulihkan

dosa manusia. Jika Dia bukan manusia, Dia tidak bisa memberikan teladan.

Berikutnya kita akan melihat pendapat teolog modern. Teologi modern berbeda dengan teologi skolastik meskipun teologi ini juga bersumber dari pemikiran skolastik. Perkembangan ilmu-ilmu historis-kritis membantu refleksi inkarnasi menjadi lebih kontekstual. Teolog yang akan dibahas di sini adalah Roch A. Kereszty.

Kereszty berpendapat bahwa inkarnasi adalah sebuah proses eksistensial.41 Menjadi

manusia adalah sebuah proses. Keberadaan eksistensial manusia dimulai dari adanya embrio hingga akhirnya menjadi manusia dewasa. Perkembangan manusia juga mengandaikan bahwa ada perkembangan kodrat manusia. Jika kita menganalogikan proses ini maka, inkarnasi Yesus Kristus adalah sebuah proses eksistensial. Kereszty menyatakan bahwa ada 2 tahap dalam inkarnasi ini yaitu Sabda menjadi manusia dan Manusia Yesus “menjadi Allah”.

Tahap Sabda menjadi manusia dilihat dalam 2 perspektif yaitu pengalaman manusia dan keputusan bebas manusia (free human decision). Dalam proses inkarnasi, Yesus mengambil secara penuh pengalaman manusianya dengan segala dimensinya dan akhirnya menjadi sungguh manusia. Kepenuhan eksistensial ini bersamaan dengan penyadaran keputusan ilahi Tritunggal untuk menyelamatkan umat manusia melalui keputusan bebas manusia. Maksud dari keputusan bebas manusia ini, Yesus menerjemahkan sabda Allah melalui bahasa, perilaku, dan pikiran manusia.

Tahap Manusia Yesus “menjadi Allah” adalah tahap divinisasi Yesus. Kita harus melihat ini dari Kitab Suci dan Tradisi. Kereszty tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa kepenuhan keilahian Yesus bertahap, seolah-olah menegasi (menolak) pra-eksistensi Yesus. Sabda mengambil kodrat manusia pada waktu pengandungan. Yesus pun berkembang layaknya manusia biasa. Dengan demikan Yesus juga memasuki hukum eksistensial manusia. Dia menjadi manusia sempurna dalam kebangkitan-Nya. Dengan kebangkitan-Nya, cinta Allah yang menyelamatkan umat manusia semakin jelas. Inilah yang dimaksud dengan tahap Manusia Yesus “menjadi Allah”. Kita bisa mengandaikan ini karena Yesus sendiri juga masuk dalam hukum eksistensial.

Pemahaman Kereszty merupakan kesimpulannya dalam memahami inkarnasi melalui segi psikologis dari Yesus sendiri dan menggabungkannya dengan filsafat eksistensial. Dia juga menjelaskan bagaimana Yesus menyadari “Aku” yang merupakan pribadi Putra Allah. Kereszty menyadari hukum eksistensial manusia juga berlaku pada Yesus. Perkembangan eksistensi Yesus tidak terlepas dari sikap solider Allah Bapa yang sudah nampak dalam Perjanjian Lama.42 Allah yang mengosongkan Diri dalam Yesus Kristus merupakan lambang

solider dengan penderitaan manusia.

40 www.newadvent.org diakses pada tanggal 8 November 2017 pukul 17.00

(10)

4. Mengapa Sabda menjadi Manusia?

Setelah kita mendalami data-data inkarnasi, kita bisa menemukan alasan mendasar dari inkarnasi dari Yesus Kristus. Sabda menjadi manusia untuk mendamaikan umat manusia dengan Allah dan dengan demikian menyelamatkan kita.43 Dalam Perjanjian Lama, Allah

telah menjanjikan datangnya seorang penyelamat yaitu Mesias dan Perjanjian Baru telah menyampaikannya dengan jelas bahwa Yesus Kristus adalah kepenuhan janji mesianis itu.

Sejak semula, Allah ingin berelasi lebih intim dengan manusia. Allah jelas sekali berbeda dengan manusia. Oleh sebab itu Allah menggunakan cara/jalan manusia untuk berelasi dengan manusia. Hanya dengan menjadi manusia, Allah mampu mendamaikan dosa-dosa manusia (1 Yoh 4:10). Dengan demikian, inkarnasi Yesus menyadarkan kita bahwa begitu besar kasih Allah kepada manusia. Kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia, supaya kita hidup oleh-Nya (1 Yoh 4:9).

Cinta kasih adalah hakikat Allah sendiri. Untuk memahami cinta kasih Allah, kita perlu melihat Yesus Kristus sendiri. Yesus Kristus diutus untuk menebus dosa-dosa manusia. Segala karya Allah dalam diri Yesus Kristus merupakan cinta kasih Allah sendiri. Allah memberikan sebuah hadiah cinta yang ilahi kepada manusia melalui inkarnasi.44 Pemberian

hadiah cinta ilahi ini tidak setengah-setengah. Yesus Kristus pun sungguh-sungguh menjadi manusia. Dia menjadi manusia dengan segala dimensi kemanusiaan-Nya. Kodrat Allah dan kodrat manusia tidak bercampur atau setengah-setengah tetapi menjadi kesatuan utuh. Oleh sebab itu sungguh pantas jika Yesus menjadi pengantara Allah dan manusia. Inkarnasi merupakan salah satu proses pengantaraan ini. Hal ini ditegaskan Kerezsty dalam pemikirannya inkarnasi sebagai suatu proses eksistensial.45

Walter Kasper menyatakan bahwa kasih itu memiliki paradoks.46 Dengan memberikan

diri kita sendiri dalam kasih, kita sekaligus membebaskan diri kita sendiri dan memberikan diri kita sendiri. Dalam pemberian ini kita tetap utuh atau tidak berkurang sedikitpun. Justru kita menemukan kepenuhan atau kesempurnaan diri dalam kasih. Kasih adalah suatu kesatuan yang mengandung kelainan dan perbedaan. Dengan demikian jika Allah adalah kasih, sungguh pantaslah jika ia memberikan diri sebagai anugerah kepada umat manusia. Dia memberikan Diri melalui inkarnasi Yesus sehingga kasih-Nya menjadi nyata. Meskipun Sabda menjadi manusia, Allah tidak mengalami kekurangan justru kita melihat kasih Tuhan semakin besar.

Cinta ilahi memampukan kita memahami bagaimana proses inkarnasi terjadi. Para Bapa Gereja menghadapi beberapa masalah inkarnasi. Banyak orang tidak bisa menerima bagaimana mungkin Allah bisa menjadi manusia. Arius dan Eustikes tidak bisa menerima bahwa Yesus itu sungguh Allah dan manusia. Para Bapa Gereja sangat menekankan alasan soteriologis dalam inkarnasi. Hanya dengan memahami soteriologi, inkarnasi dapat dipahami. Pemikiran manusia memang sempit tetapi kasih Allah begitu besar.

43 KGK no. 456

44 Jean Galot, Op. Cit., hlm. 395. 45 Roch A. Kereszty, Op. Cit., hlm. 317.

(11)

Dengan demikian inkarnasi Yesus Kristus adalah bukti nyata cinta kasih Allah kepada manusia. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (1 Yoh 3:16). Cinta kasih yang nyata ini tidak bisa dipisahkan kehidupan konkret.47 Usaha-usaha untuk memisahkan keilahian dan kemanusiaan

Yesus justru memisahkan cinta kasih Allah kepada manusia. Menjadi Kristiani tanpa menerima kasih Allah adalah sangat mustahil. Keberadaan umat Kristiani hanya bisa berada melalui ontologi Yesus Kristus, Putra Allah yang sungguh menjadi manusia.48

5. Relevansi

Iman akan inkarnasi Yesus Kristus haruslah menjadi dasar bagi semua umat Kristiani di dunia. Kedatangan Sang Juru Selamat di dunia tidaklah begitu megah seperti penyambutan seorang raja. Yesus Kristus lahir di sebuah kandang dan dibaringkan di dalam sebuah palungan yang merupakan tempat air minum hewan-hewan ternak (Luk 2:6-7). Kandang ini pun menjadi saksi atas kelahiran Yesus Kristus. Perayaan Natal pun tidak pernah lepas dari devosi kandang natal.

Umat Katolik menghidupi iman inkarnasi dalam kehidupannya sehari-hari. Inkarnasi Yesus bukanlah hal yang abstrak tetapi nyata. Oleh sebab itu penghayatan iman akan Yesus Kristus haruslah nyata dan tidak mengambang. Bagaimana umat Katolik Indonesia harus menghayati iman inkarnasi ini?

Yang pertama kali harus dipahami adalah inkarnasi harus memberikan semangat dalam hidup kekatolikan umat Indonesia. Inkarnasi adalah bukti nyata cinta kasih Allah kepada manusia. Cinta Allah dinyatakan dalam Yesus Kristus yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Segala tindakan, karya, pewartaan, dan pikiran Yesus merupakan cinta kasih Allah sendiri. Allah sungguh mengosongkan diri-Nya untuk manusia. Dengan adanya inkarnasi, manusia bisa mengenal siapa itu Allah. Allah adalah kasih. Dengan demikian kasih menjadi dasar hidup umat Katolik Indonesia. Kasih ini memberi tetapi tidak membuat kita berkekurangan. Kita malah semakin menjadi sempurna di hadapan Tuhan.

Indonesia mempunyai dasar negara yang begitu besar dan kuat yaitu Pancasila. Pancasila itu sakral dan sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia.49 Pancasila pun

menjadi budaya Indonesia. Budaya sendiri merupakan dimensi esensial manusia. Dengan adanya budaya, manusia berusaha untuk mencapai kepenuhannya sebagai manusia. Budaya merupakan proses humanisasi. Dengan demikian budaya Pancasila adalah proses seluruh warga Indonesia untuk menjadi Indonesia sejati.

Yudi Latif memberikan pengantar dalam buku Falsafah Kebudayaan Pancasila karya Syairul Arif. Dalam pengantar itu, dia menjelaskan bagaimana itu proses budaya pancasila. Dia menyatakan bahwa mengali nilai Pancasila dari bumi Indonesia sendiri berarti nilai-nilai kebudayaan yang berasal dari dalam maupun luar negeri yang telah mengalami pribumisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.50 Dengan melihat kembali sejarah,

Gereja Katolik juga berperan dalam pembentukan bangsa Indonesia dan kini kebudayaan

47 Jean Galot, Op. Cit., hlm. 394. 48 Ibid.

(12)

Gereja Katolik juga menjadi bagian dari Indonesia. Umat Katolik Indonesia adalah warga Indonesia.

Soekarno sebagai founding father Pancasila menjelaskan prinsip ketuhanan dalam Pancasila dalam Pidato 1 Juni 1945. Ketuhanan dalam sila pertama Pancasila adalah ketuhanan yang berkebudayaan. Ketuhanan yang berkebudayaan mau menekankan bahwa nilai-nilai ketuhanan dapat ditemukan dalam kebudayaan atau kearifan lokal. Dalam terang Pancasila, ketuhanan, yakni proses memahami, menyakini, dan melaksanakan ajaran Tuhan, tentulah bersifat kebudayaan.51 Ketuhanan berkebudayaan merupakan nilai-nilai etis

ketuhanan yang universal yang pada satu titik terinsipirasi oleh ajaran ketuhanan dalam ajaran agama.

Ketuhanan yang berkebudayaan secara tidak langsung menyadarkan kita bahwa nilai-nilai ketuhanan sudah dinyatakan dalam nilai-nilai-nilai-nilai kebudayaan kita masing-masing. Dengan merefleksikan kembali nilai-nilai kebudayaan itu, kita akan menemukan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Syaiful Arif pun menegaskan bahwa:

Pada titik inilah, ketuhanan yang berkebudayaan merupakan kesatuan sila ketuhanan dengan keempat sila di bawahnya. Artinya, berketuhanan haruslah ditempatkan dalam otosentrisitas kebudayaan yang berpijak pada kemanusiaan dan berujung pada keadilan sosial... secara substansif, proses kebudayaan di atas merupakan perwujudan dan dari prinsip ketuhanan sehingga ketuhanan dan kebudayaan tidak terpisahkan, tetapi sebaliknya, saling mengandaikan dan mengunci.52

Dengan kata lain, ketuhanan yang berkebudayaan ingin menekankan bahwa nilai-nilai kebaikan yang ada di bumi berasal dari Tuhan sendiri. Jika kita mendalami nilai-nilai kebaikan yang ada di dalam kebudayaan kita, kita akan dibawa lagi menuju Allah yang Transeden.

Ketuhanan ini mempraksis dalam perjuangan kerakyatan dan keadilan dalam bingkai persatuan.53 Syaiful Arif menegaskan sekali bahwa:

Jadi, ketika Soekarno menyatakan bahwa ketuhanan yang berkebudayaan adalah sari pati Pancasila, pengamalan sila ketuhanan haruslah melalui keempat sila di bawahnya. Keempat sila itu meliputi kemanusiaan, persatuan dalam kemajemukan, kedaulatan rakyat dan keadilan sosial. Berdasarkan prinsip ini, kenyakinan dan praktik ketuhanan kaum beragama haruslah dipraksiskan dalam kerja kemanusiaan menuju keadilan sosial. Keyakinan dan praktik ketuhanan yang bertentangan dengan prinsip ini secara otomatis bertentangan dengan prinsip dasar hidup bersama di bumi Indonesia.54

(13)

Sila pertama menjadi dasar bagi keempat sila yang lain. Nilai ketuhanan menjadi dasar semua tindakan dan pemikiran bangsa Indonesia. Ketuhanan yang berkebudayaan merupakan kekhasan Pancasila kita.

Pancasila memiliki dua gerbang masuk.55 Gerbang pertama adalah sila ketuhanan yang

mendasari suatu hakikat kebudayaan, tercermin dalam sila kedua dan memuara pada sila kelima. Gerbang kedua, sila kerakyatan yang hendak mewujudkan sila kelima sebagai jewantah atas ketuhanan yang berkebudayaan dan akhirnya kembali menuju sila pertama. Berikut bagan56 pergerakan dua gerbang Pancasila:

Pertanyaan sekarang, apakah iman Katolik bertentangan dengan Pancasila? Iman Katolik tidak bertentangan dengan Pancasila. Umat Katolik Indonesia mempunyai dasar iman akan inkarnasi Yesus Kristus. Justru iman inkarnasi ini menyempurnakan penghayatan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bukanlah usaha untuk mendirikan sebuah negara agama. Umat Katolik Indonesia mendasari diri dalam cinta kasih Allah. Cinta Kasih Allah pun telah dinyatakan dalam Yesus Kristus sebagai manusia. Masyarakat Katolik Indonesia pun dituntut untuk mencintai Indonesia layaklah Allah mencintai umat manusia.

Titik temu antara teologi inkarnasi dan Pancasila adalah nilai-nilai ketuhanan yang telah menjadi atau terjewantah dalam kehidupan manusia. Salah satu nilai tersebut adalah cinta kasih. Nilai-nilai cinta kasih ditanamkan di dalam diri Yesus Kristus yang menjadi sungguh manusia. Dengan melihat dan meneladani Yesus Kristus, masyarakat Katolik berusaha membalas cinta kasih Allah. Yesus telah memberikan teladan bahwa cinta kasih harus diwujudkan dalam persaudaraan, menolong orang yang tertindas, peduli kepada sesama bahkan menjadi warga negara yang baik dengan memenuhi pembayaran pajak.

Masyarakat Katolik Indonesia bisa menghayati iman inkarnasi dengan kedua gerbang pancasila. Gerbang pertama adalah bagaimana cinta kasih Allah itu diungkapkan dalam keempat sila. Cinta kasih Allah dalam semangat injil diungkapkan dalam pelaksanaan Ajaran Sosial Gereja. Ajaran Sosial Gereja Katolik sudah mencakup keempat sila tersebut.57 Gerbang

kedua adalah bagaimana umat Katolik Indonesia tidak menutup diri secara primordialistik yang hanya memikirkan dirinya sendiri.58 Mereka harus menyadari bahwa Katolik merupakan

bagian dari rakyat Indonesia. Umat Katolik tetap ikut terlibat penuh dalam perjuangan pembangunan bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Secara tidak langsung, pelaksanaan kewajiban kerakyatan ini membawa umat pada nilai ketuhanan yaitu cinta kasih sendiri.

55 Ibid., hlm. 106 56 Ibid., hlm. 107.

(14)

Kita telah melihat sebelumnya bahwa sejak semula Allah ingin berelasi dengan manusia secara lebih intim. Allah menggunakan bahasa manusia untuk mengungkapkan diri-Nya kepada manusia. Dengan demikian tepatlah pendapat dari Mgr. Adrianus Sunarko bahwa kontribusi-kontribusi kelompok agama perlu diterjemahkan dari bahasa religius partikular ke dalam bahasa yang dapat diterima publik.59 Iman inkarnasi perlu diterjemahkan dalam

keempat sila Pancasila yaitu kemanusiaan, persatuan, permusyawarahan, dan keadilan sosial. Masyarakat Katolik Indonesia perlu menyadari hal ini. Penghayatan dalam keempat sila Pancasila perlu disempurnakan dengan iman inkarnasi. Inkarnasi mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam pembangunan masyarakat Indonesia. Sebenarnya prinsip ketuhanan yang berkebudayaan juga terkandung dalam iman inkarnasi. Jadi semboyan Mgr. Soegijapranata, 100% Katolik 100% Indonesia, menggambarkan dengan indah aktualisasi iman inkarnasi di Indonesia. Semoga dengan semangat yang sudah ditanamkan sejak dulu pada masyarakat Katolik Indonesia, penghayatan iman inkarnasi semakin membantu penghayatan budaya Pancasila di bumi Indonesia ini.

Daftar Pustaka

Adrianus Sunarko. Teologi Kontekstual. Jakarta: Obor, 2016.

Cletus Groenen. Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

(15)

Franz Magnis-Suseno. Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor, 2004.

Gerald O’Collins. Incarnation. London: Continuum, 2002.

James D. G. Dunn. Christology In the Making: An Inquiry into the Origins of the Doctrine of the Incarnation. London: SCM Press, 1980.

Jean Galot. Who is Christ? A Theology of The Incarnation. Rome: Gregorian University Press, 1980.

M. Purwatma. Firman menjadi Manusia: Refleksi Historis-Sistematis Mengenai Yesus Kristus dan Allah Tritunggal. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Nico Syukur Dister. Teologi Sistematika 1 :Allah Penyelamat. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Roch A. Kereszty. Jesus Christ: Fundamentals of Christology. New York: Alba House, 1991.

Syaiful Arif. Falsafah Kebudayaan Pancasila: Nilai dan Kontra Sosialnya. Jakarta: Gramedia, 2016

Walter Kasper. Belas Kasih Allah: Dasar Kitab Suci dan Kunci Hidup Kristiani (terj.). Malang:Karmelindo, 2016.

Referensi

Dokumen terkait

19:28 Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa (1) Motivasi masyarakat terhadap penanaman mahoni cenderung memiliki

Seekor ayam nampak kelibat musang dan memberitahu ayam jantan yang ditugaskan untuk menghalau musang.. Ayam jantan itu pun bertenggek di atas sebatang pokok

Dengan demikian diketahui bahwa tanah dibawah steel pile masih mampu mendukung beban maksimum yang terjadi.. 4.9.3

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat penyusunan perencanaan pembelajaran pendidikan jasmani, yang meliputi : Program Tahunan, Program

Untuk mengetahui harapan dari pelanggan diperlukan suatu alat yang dapat menangkap dengan jeli keinginan konsumen terhadap produk yang dihasilkan perusahaan, dan

• Untuk melaksanakan dengan sukses pekerjaan ke mana mereka telah dipanggil, murid-murid ini, yang sangat berbeda dalam sifat- sifat alamiah, dalam pendidikan, dan

Perkiraan dalam pembangunan sebuah kapal, 50%-70% biaya yang dikeluarkan adalah untuk membeli bahan baku dan peralatan, kondisi ini akan memberikan multiplier-effect