• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh stres panas terhadap performa p

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh stres panas terhadap performa p"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH STRES PANAS TERHADAP PERFORMA

PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI

BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL

SAPI PERAH BATURRADEN

(Effects of Heat Stress on Milk Production Performance of Friesian Holstein

Cows at Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden)

PITA SUDRAJAD1danADIARTO2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, PO Box 101 Bukit Tegalepek, Ungaran, Jawa Tengah 2Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Jl. Fauna No.1 Bulaksumur, Yogyakarta

ABSTRACT

Tropical climate in Indonesia provide challenges for dairy farming, one of which is heat stress. It is important to improve the quality of feed and management, and selection of the dairy cow that is easy to adapt. Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BBPTU-SP) Baturraden as the Indonesian Government-owned agency is expected to apply standards of management so it can be an example in dairy farming. This study aims to evaluate the environmental aspects in BBPTU-SP Baturraden and its influence on milk production of Friesian Holstein cows that are kept. The results found that the average temperature of 25.26°C and humidity of 93.16% with a low air movement, and the value of Temperature Humidity Index (THI) between 73 to 82 which means that dairy cows has the potential to stress. Indications of stress can be seen from the frequency of respiration, which reached 50.71 times/min. While the pulsus of 62.84 times/min and rectal temperature of 37.63°C is the optimal physiological conditions for reducing heat load in the body. Heat stress effect on milk production of an average of only 4302.74 liters/head/lactation.

Key Words: Heat Stress, Milk Production, Friesian Holstein Cows, BBPTU-SP Baturraden

ABSTRAK

Iklim tropis yang melingkupi wilayah Indonesia memberikan tantangan tersendiri bagi usaha budidaya sapi perah, salahsatunya adalah adanya stres panas. Oleh karena itu sangat penting untuk meningkatkan kualitas pakan, melakukan manajemen budidaya yang benar, dan pemilihan bangsa sapi perah yang mudah beradaptasi. Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah (BBPTU-SP) Baturraden sebagai instansi milik Pemerintah Indonesia diharapkan menerapkan manajemen yang standar sehingga dapat menjadi contoh dalam budidaya sapi perah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aspek lingkungan di BBPTU-SP Baturraden dan pengaruhnya terhadap performa produksi susu sapi Friesian Holstein yang dipelihara. Hasilnya diketahui bahwa rata-rata temperatur 25,26°C dan kelembaban 93,16% dengan pergerakan udara yang rendah, serta nilai Temperature Humidity Index (THI) antara 73 hingga 82 yang berarti sapi perah yang dipelihara di daerah tersebut berpotensi mengalami stres. Indikasi stres terlihat dari frekuensi respirasinya yang mencapai 50,71 kali/menit. Sedangkan frekuensi pulsus 62,84 kali/menit dan temperatur rektal 37,63°C adalah kondisi fisiologis yang optimal untuk mengurangi beban panas dalam tubuh. Stres panas berpengaruh terhadap performa produksi susu sapi perah yang rata-rata hanya 4302,74 liter/ekor/laktasi.

Kata Kunci: Stres panas, produksi susu, sapi Friesian Holstein, BBPTU-SP Baturraden

PENDAHULUAN

Sapi Friesian Holstein adalah bangsa sapi perah yang diminati di Indonesia karena jumlah produksi susu yang dihasilkan lebih banyak dengan kadar lemak yang rendah

sehingga sangat cocok dengan permintaan pasar. Selain itu, sapi Friesian Holstein mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan.

(2)

ada belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri dan cenderung

mengalami pertumbuhan negatif

(APRIYANTONO, 2007). Berbagai manajemen

peternakan yang selama ini dilakukan perlu dikembangkan. Penentuan kebijakan manajemen yang dilakukan terutama untuk sapi perah betina hendaknya harus memperhatikan catatan produksi yang ada, sehingga harapannya sebuah peternakan sapi perah akan mendapatkan total produksi susu seperti yang diharapkan dari setiap sapi perah yang dipelihara.

Pemerintah Indonesia berupaya memacu peningkatan produksi susu dengan menambah populasi sapi perah dan memperbaiki produktivitasnya. Dibandingkan dengan negara maju, saat ini persentase peningkatan populasi sapi perah di Indonesia memang lebih cepat. Akan tetapi, di negara maju jumlah produksi yang sama dapat dihasilkan dari jumlah sapi yang lebih sedikit. Kondisi tersebut bisa terjadi karena di negara maju yang paling utama

diusahakan adalah peningkatan

produktivitasnya dan bukan populasinya

(PRIHADI, 1997).

Iklim tropis di Indonesia menjadi tantangan terbesar dalam upaya optimalisasi produksi susu tersebut. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa sapi perah akan dapat berproduksi dengan baik apabila dipelihara pada kondisi lingkungan yang nyaman dengan batas maksimum dan minimum temperatur dan kelembaban lingkungan berada pada thermo

neutral zone (ZTN). Diluar kondisi tersebut

sapi perah akan mudah mengalami stres. Stres panas terjadi ketika temperatur dan kelembaban berada di atas ZTN (RUMETOR,

2003). Lebih lanjut, WAGNER (2001) menjelaskan bahwa stres panas akan terjadi ketika panas yang masuk ke dalam tubuh ternak tidak seimbang dengan panas yang dapat dikeluarkan oleh tubuh. Parameter yang sering digunakan di berbagai negara untuk mengetahui potensi stres panas pada ternak adalah dengan Temperature Humidity Index (THI). Apabila induk sapi perah berada pada kondisi lingkungan dengan THI kritis akan mengalami gangguan fisiologis dan produktivitas (RUMETOR, 2003).

Tulisan ini akan membahas mengenai kondisi lingkungan BBPTU-SP Baturraden dimana sapi Friesian Holstein dibudidayakan

oleh Pemerintah Indonesia. Dari hasil analisis akan diketahui mengenai tingkat stres panas yang dialami oleh sapi perah dan pengaruhnya terhadap produktivitas susunya.

MATERI DAN METODE

Data kondisi lingkungan di BBPTU-SP Baturraden diperoleh dari pengamatan secara langsung didukung data dari petugas. Data tersebut meliputi rata-rata, nilai maksimum, dan nilai minimum dari temperatur dan kelembaban lingkungan. Nilai THI diketahui dengan menggunakan tabel perbandingan antara temperatur dan kelembaban yang disusun oleh MORAN (2005) seperti pada

Gambar 1. Nilai THI digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kenyamanan lingkungan bagi sapi perah laktasi di BBPTU-SP Baturraden. Data fisiologis yang meliputi frekuensi pulsus, frekuensi respirasi, dan temperatur rektal juga diamati. Hasil analisis terhadap data fisiologis menjadi indikator utama untuk menentukan ada tidaknya stres panas pada sapi perah.

Produktivitas sapi perah dilihat dari catatan produksi susu laktasi pertama dari 100 ekor sapi Friesian Holstein asal Selandia Baru di BBPTU-SP Baturraden. Catatan produksi tersebut telah disesuaikan dengan metode faktor koreksi ke arah pemerahan selama 305 hari, umur induk dewasa, dan pemerahan 2 kali/hari. Catatan produksi yang telah terkoreksi kemudian dibandingkan dengan data produksi susu induk yang telah tercatat pada birsa induk guna mengetahui tingkat optimalitas produksi susu sapi perah yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi lingkungan BBPTU-SP Baturraden

(3)

Gambar 1. Temperature humidity index (THI)

dengan rata-rata sebesar 93,16%. Pada saat temperatur udara rendah maka kelembaban tinggi dan pada saat temperatur udara meningkat maka kelembaban udara turun. Dari perbandingan antara temperatur dan

kelembaban udara tersebut diketahui bahwa nilai THI berkisar antara 73 sampai 82 (THI > 72). Kondisi temperatur dan kelembaban disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik perubahan temperatur dan kelembaban lingkungan BBPTU-SP Baturraden

o C %

waktu

°C %

Waktu

Kelembaban (%)

(4)

Pada kondisi tersebut, sapi perah berada di lingkungan yang kurang nyaman dan berpotensi mengalami stres panas. Sebab, stres panas dapat terjadi apabila temperatur lingkungan lebih tinggi dari ZTN.

WILLIAMSON dan PAYNE (1993) menyatakan

bahwa temperatur kritis pada sapi Friesian

Holstein adalah 21 sampai 27°C.

Kondisi kelembaban lingkungan kandang terlihat sangat tinggi. Kelembaban udara yang sangat tinggi sangat mungkin terjadi karena intensitas hujan yang tinggi. SOETARNO (2003) menyebutkan bahwa kelembaban ideal bagi sapi perah adalah antara 60 sampai 80%.

GWATIBAYA et al. (2007) menjelaskan bahwa

kelembaban udara yang tinggi dengan sedikit pergerakan udara akan menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya stres panas pada sapi perah.

MORAN (2005) menyebutkan bahwa nilai THI yang ideal bagi sapi perah adalah kurang dari 72, apabila nilai THI melebihi 72, maka sapi perah FH akan mengalami stres ringan (72

≤ THI ≤ 79), stres sedang (80 ≤ THI ≤ 89) dan

stres berat ( 90 ≤ THI ≤ 97). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sapi Friesian Holstein di BBPTU-SP Baturraden rata-rata mengalami stres ringan.

Status fisiologis sapi perah

Pengamatan terhadap status fisiologis sapi perah menunjukkan bahwa frekuensi respirasi berkisar antara 25,33 hingga 80,00 kali/menit dengan rata-rata 50,71 kali/menit, frekuensi

pulsus antara 46,00 hingga 84,00 kali/menit

dengan rata-rata 62,84 kali/menit, dan temperatur rektal antara 35,63 hingga 39,13°C dengan rata-rata 37,63°C.

Frekuensi respirasi terlihat lebih tinggi dari kisaran normal yang disebutkan oleh

FRANDSON (1996) yaitu antara 24 sampai 32

kali/menit. Tingginya frekuensi respirasi ini bisa terjadi karena 2 faktor penyebab, yaitu ketidaknyamanan saat datangnya petugas pengamat, dan ketidaknyamanan akibat perubahan kondisi temperatur dan kelembaban.

RUMETOR (2003) menjelaskan bahwa naiknya

frekuensi respirasi merupakan salah satu tanda sapi perah mengalami stres panas. Tujuan dari repirasi ini adalah untuk memaksimalkan

pengeluaran panas karena sapi perah berada di kandang dengan kelembaban tinggi.

Frekuensi pulsus menggambarkan kuat lemahnya kerja jantung dalam tubuh. Hasil pengamatan terhadap frekuensi pulsus

diketahui bahwa nilai rata-ratanya masih berada pada kisaran normal seperti yang disebutkan oleh WILLIAMSON dan PAYNE

(1993) yaitu antara 54 sampai 84 kali/menit. Hal ini sangat baik mengingat frekuensi pulsus merupakan mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh ternak. Peningkatan frekuensi pulsus merupakan respon dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin

(ANDERSON, 1983).

Pengukuran temperatur rektal dimaksudkan untuk mengetahui temperatur dalam tubuh ternak. BLAKELY dan BADE (1991) menjelaskan bahwa temperatur rektal akan meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembaban lingkungan. Dari hasil pengamatan, temperatur rektal sapi perah yang dipelihara masih dalam kisaran normal seperti yang disebutkan oleh WILLIAMSON dan PAYNE (1993) yaitu antara 38 sampai 39,3°C. Hal ini menandakan bahwa indikasi stres panas yang dialami sapi perah belum parah, kemungkinan stres panas telah cukup diantisipasi dengan sistem pengurangan panas oleh tubuh ternak. CHURNG (2002) merinci tentang beberapa upaya pengurangan panas yang dapat dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh, mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum, peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi saliva dan keringat, serta mengeluarkan urin.

Produktivitas sapi perah laktasi

(5)

rata-rata produksi susu dasar ME berkisar antara 4602,94 liter hingga 5888,99 liter.

Apabila produksi susu sapi Friesian

Holstein yang dipelihara di BBPTU-SP

Baturraden lebih dicermati, maka akan terlihat bahwa capaian total produksi susunya lebih rendah dari produksi susu induknya. Dalam hal ini, capaian total produksi induk berlaku sebagai gambaran mengenai potensi total produksi susu yang bisa dicapai oleh keturunannya. Beberapa contoh perbandingan produksi susu antara sapi-sapi Friesian

Holstein yang dipelihara di BBPTU-SP

Baturraden dengan produksi susu induknya dapat dilihat pada Tabel 1.

Faktor paling besar yang mempengaruhi produksi susu sapi Friesian Holstein yang dipelihara di BBPTU-SP Baturraden adalah lingkungan, mengingat faktor lain semisal genetik sudah dipilih sapi Friesian Holstein unggul yang berasal dari Selandia Baru, serta pemberian pakan dan manajemen pemeliharaan sudah didasarkan pada standar yang baik.

SOETARNO (2003) menjelaskan bahwa faktor

lingkungan memang lebih dominan mempengaruhi produksi susu daripada faktor genetik.

Tabel 1. Perbandingan produksi susu beberapa sapi

Friesian Holstein yang dipelihara di

BBPTU-SP Baturraden dengan produksi susu induknya

Nomor sapi Produksi susu (liter) kondisi temperatur dan kelembaban lingkungan di BBPTU-SP Baturraden belum ideal untuk pemeliharaan sapi perah laktasi. BATH et al.

(1985) menegaskan apabila temperatur udara di atas 23,9°C dan kelembaban tinggi maka

akan terjadi efek negatif terhadap produksi susu, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pada penelitian yang dilakukan oleh TALIB et

al. (2002) diketahui bahwa di Indonesia,

temperatur lingkungan yang mencapai 29°C menurunkan produksi susu menjadi 10,1 kg/ekor/hari dari produksi susu 11,2 kg/ekor/hari jika temperatur lingkungan hanya berkisar 18 – 20°C.

Pengaruh langsung dari temperatur dan kelembaban terhadap produksi susu adalah disebabkan meningkatnya kebutuhan sistem tubuh untuk menghilangkan kelebihan beban panas, pengurangan laju metabolik, dan menyusutnya konsumsi pakan (RUMETOR, 2003). Selain itu, penurunan produksi susu pada sapi perah yang menderita stres panas terjadi karena adanya pengurangan pertumbuhan kelenjar mammae (ANDERSON et

al., 1985).

KESIMPULAN

Kondisi lingkungan BBPTU-SP Baturraden yang memiliki nilai THI lebih dari 72 dengan temperatur dan kelembaban yang tinggi serta peredaran udara yang rendah dianggap belum ideal untuk pemeliharaan sapi Friesian

Holstein. Kondisi tersebut memungkinkan

terjadinya stres panas sehingga berpengaruh negatif terhadap produktivitas susu sapi perah yang dipelihara.

DAFTAR PUSTAKA

ANDERSON,B.E. 1983. Temperature regulation and environmental physiology. In: Duke’s Physiology of Domestic Animal 10th Ed. SWENSON, M.J. (Ed). Comstock Publishing, Association and Division of Coernell University Press, Ithaco, London.

ANDERSON R.R.,R.J. COLLIER, A.J. GUIDRY, C.W HEALD, R. JENNESS, B.L. LARSON and H.A. TUCKER. 1985. Lactation. The Iowa University Press, Ames, Iowa.

APRIYANTONO, A. 2007. Politik pangan pemerintahan SBY-Kalla. Media Inovasi. 16(2): 6 – 15.

(6)

BLAKELY,J. dan D.H.BADE. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

CHURNG-FAUNG LEE. 2002. Feeding management and strategies for lactating dairy cows under heat stress. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

FRANDSON, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

GWATIBAYA,S.,E.SVOTWA and D. JAMBWA. 2007. Potential Effects and Management Options for Heat Stress in Dairy Cows in Zimbabwe: A Review. EJEAFChe 6(5): 2066 – 2074.

MORAN, J. 2005. Tropical Dairy Farming: Feeding Management for Small Holder Dairy Farmers in the Humid Tropics. Landlinks Press, USA.

PRIHADI, S. 1997. Dasar Ilmu Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

RUMETOR,S.D. 2003. Stres panas pada sapi perah laktasi. Makalah Falsafah Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

SOETARNO, T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

TALIB, CH., T.SUGIARTI and A.R. SIREGAR. 2002. Friesian Holstein and their adaptability to the tropical environment in Indonesia. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

WAGNER, P.E. 2001. Heat Stres on Dairy Cows. Dairy Franklin Country Publishers.

Gambar

Gambar 1. Temperature humidity index (THI)
Tabel 1. Perbandingan produksi susu beberapa sapi Friesian Holstein yang dipelihara di BBPTU-SP Baturraden dengan produksi susu induknya

Referensi

Dokumen terkait

Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas kebaikan

Secara umum temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat

Jadi, Kelebihan dari pembelajaran berbasis kecerdasan Logis-Matematis itu yaitu membuka kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis, siswa lebih aktif dalam

Dengan ini menyatakan bahwa usulan PKM-M saya dengan judul : Penerapan Metode Porsi Sitanajir (Portofolio Siswa Tanggap Bencana Banjir) Sebagai Upaya Pendidikan

Adapun, hasil diskusi kelompok terkait rencana kegiatan di Dekanat Utara yang akan dilakukan baik oleh masing-masing paroki maupun yang kemungkinan bisa disepakati

Hasil penelitian menunjukkan bahwa UIN Sunan Kalijaga adalah universitas yang sangat menyadari pentingnya peran aktor internasional dalam pengelolaan lembaga

Kemunculan akan niat beli konsumen muncul karena adanya suatu informasi kepuasan pembelian yang diberikan orang lain, kepuasan tersebut diperoleh dari memilih

Aplikasi website ini membantu pengguna, dalam hal ini pemilik usaha baik barang maupun jasa serta penikmat internet dalam hal ini adalah konsumen yang mana dengan adanya