• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya Hidup Sebagai Faktor Penunjang Eco (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gaya Hidup Sebagai Faktor Penunjang Eco (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Gaya Hidup Sebagai Faktor Penunjang

Eco-cide

Tugas Kelompok Mata Kuliah Kosmo-Eko-Teologi

Oleh :

Bonaventura Dwi Putra / 166114039

Falentinus Ferdinand Vinsen Dimu /166114020

Henrikus Prasojo/166114066

Saptono /16614004

Moses Hendrik Pale /166114

Klementius Anselmus Loba /166114

FAKULTAS TEOLOGI

PROGAM STUDI ILMU TEOLOGI

(2)

I. Latar Belakang

Manusia hidup tidak bisa tidak lepas dari konteks lingkungan di mana manusia tinggal, hidup, dan berinteraksi dengan mahluk hidup di sekiratnya. Dewasa ini terdapat pelbagai fenomena yang menunjukan bahwa relasi antara manusia dengan alam tidak berjalan dengan harmonis. Salah satu indikasinya adalah dengan banyak ditemui kerusakan alam akibat perilaku manusia. Perilaku ini merupakan hasil dari psikokultural semenjak masyarakat modern mulai terindustrialisasi1. Perilaku kebiasaan, tradisi, maupun kebudayaan manusia dengan terang zaman

pencerahan tidak memberi perhatian dan kepekaan terhadap alam. Kultur manusia selama kurun waktu beberapa dekade terkahir justru lebih banyak bersifat antroposentrisme dengan eksploitasi alam secara berlebihan daripada ekosentrisme. Hal ini juga didukung oleh ajaran maupun nilai -nilai yang terdapat di dalam sistem kepercayaan atau agama dan salah satunya adalah warisan tradisi iman samawi.

Paper ini ditulis dengan tujuan untuk meninjau kembali nilai-nilai yang ditawarkan oleh warisan tradisi iman samawi terlebih agama Katholik berkaitan dengan kebudayaan masyarakat lokal, tantangan dan persoalan ekologi. Nilai warisan religius yang sifatnya antroposentris ini, juga bukan semata-mata kesalahan dari penulis Kitab Suci yang diyakini dan diinspirasi oleh Roh Kudus, tetapi hal ini terjadi karena proses penulisan Kitab Suci yang sudah melewati tahapan yang panjang dan melalui berbagai macam tafsir dan interpretasi seiring perkembangan jaman.

Dengan perkembangan zaman ini, tidak hanya penafsiran mengenai kitab suci saja yang berkembang, kebutuhan-kebutuhan manusia juga berkembang. Kebutuhan itu tidak hanya dari segi pengetahuan tetapi juga dari segi materi. Kebutuhan dari segi materi ini yang membuat manusia berusaha untuk mencukupi kebutuhannya.

Berpandangan penafsiran kitab suci bahwa alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, maka manusia memanfaatkan alam yang ada untuk kepentingan ekonomis untuk memenuhi kebutuhan materinya. Hanya saja manusia tidak memperhatikan akan dampak dari pemanfaatan alam itu sehingga berdampak bagi kehidupan manusia itu sendiri. Untuk mengetahui akan hubungan manusia dengan alam dan bagaimana pemanfaatan alam dan bagaimana dampaknya akan dibahas dalam paper ini. Akan tetapi sebelum menjawab

(3)

pertanyaan-pertanyaan itu, kita akan mengenali terlebih dahulu pandangan mengenai paham warisan iman.

II. Warisan Iman Kristen

Apabila ditelusuri kembali awal mula sikap manusia yang mendominasi alam, secara ronai Kitab Kejadian 1:26 dapat dijadikan sebagai acuan untuk merefleksi kembali warisan iman, terkhusus iman kristiani. Problematik dan ambiguitas dalam menafsirkan perikop tersebut menjadikan manusia secara tidak langsung memiliki wewenang untuk menguasai alam. Tidak sedikit interpretasi yang melegimitasi bahwa manusia memiliki hak otoritatif untuk mengolah dan menggunakan alam seoptimal mungkin. Interpretasi semacam ini lebih cenderung bersifat antroposentrisme daripada ekologis. Lalu apakah maksud sebenarnya dari kuasa yang diberikan oleh Allah?

Kuasa dalam bahasa Ibrani adalah rada yang secara epistemologi berarti pemerintahan. Namun didalam Kitab Kejadian tidak disebutkan secara implisit model pemerintahan seperti apa yang hendak dicapai. Salah satu hermenutik dan teologi yang ekologis berdasar Kitab Suci adalah bahwa konteks manusia sebagai imago dei ditempatkan pada tataran kehidupan yang lebih luas untuk menekankan bahwa eksistensi manusia bukanlah semata-mata untuk menguasai tetapi justru untuk menjaga dan merawat seperti Allah sendiri2.

Kuasa dalam arti positif ini berarti manusia memiliki keistimewaan dalam mengolah ciptaan lain dan habitatnya. Pengolahan dapat dimaksudkan baik untuk manusia sendiri maupun untuk alam. Pengolahan manusia adalah stabilisasi jumlah penduduk dunia yang tingkat populasinya semakin meningkat, sedangkan pengolahan alam sendiri adalah penyediaan ruang lingkup untuk menyembuhan alam. Dengan kata lain, kuasa dalam arti sempit mengajak manusia untuk lebih menekankan aspek kualitas daripada kuantitas yakni meminimalisir eksploitasi alam disertai dengan dasar hukum emas dari Matius 20:28

Apabila dikatakan bahwa manusia diberi hak untuk “berkuasa” atas bumi, maka sudah layak dan sepantasnyalah manusia berkuasa di bumi seperti Allah berkuasa yaitu berkuasa dengan kasih, kebijaksanaan dan kebenaran. Manusia sebagai citra Allah bukanlah sekedar jabatan tetapi rahmat untuk bertanggung-jawab atas keseluruhan ciptaan. Sebagai Citra Allah, Ia

(4)

membuat manusia spesial, maka sudah semestinya keutamaan-keutamaan Allah juga ada dalam manusia dalam kaitannya untuk “berkuasa” secara bijaksana. Alih-alih menjadi penguasa yang secitra dengan Allah, manusia malahan menjadi seorang pekerja yang tidak bertanggung jawab. Dalam Amanatnya pada Hari Perdamian dunia 8 Desember 1989, Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan kekecewaannya terhadap perbuatan manusia yang merusak alam dengan mengeksploitasi mineral, memproduksi barang kimia secara berlebihan yang meracuni alam, dan memenuhi dunia dengan sampah bertimbun-timbun. Paus mengungkapkan kekecewaannya atau katakankanlah mengungkapkan kegagalam manusia dalam menjalankan amanat untuk “berkuasa” atas bumi sebagaimana Allah berkuasa di atas bumi.”3

Perlu disadari bahwa usaha ini tidak mudah karena memerlukan kepekaan batin atau belarasa terhadap alam, manajemen yang baik, etos hormat terhadap kehidupan dan lingkungan. Namun dalam praksis kehidupan secara rill manusia belum mampu untuk menempatkan diri sebagai penjaga. Hal ini disebabkan oleh paham kuasa untuk menguasai lebih mendatangkan keuntungan secara langsung untuk kemajuan perkembangan hidup manusia daripada harus merawat.

III. Pendekatan Kristen

Paham Kristen mengenai relasi antara manusia dengan alam dapat dikatakan sebagai paham yang dilematis. Dikatakan dilematis karena dalam paham Kristen mengenai relasi manusia dengan alam terdapat dua pandangan; pandangan yang pertama ialah melihat bahwa rahmat pencapain manusia menuju Allah hanya dapat dilewati melalui sarana di luar manusia sedangkan yang kedua justru di dalam ‘sarana’ tersebut manusia dapat menemukan rahmat.

H. Paul Santmire menyebutkan adanya dua paham dari para teolog Kristen yang menekankan relasi manusia dengan alam secara berbeda4. Golongan pertama para teolog ini

diwakili oleh Origenes, Thomas Aquinas, Bonaventura, Dane, Karl Barth dan Teilhard de Chardin. Gologongan pertama ini lebih menekankan pada motif rohani. Golongan kedua yang penekananya terletak pada motif ekologis diwakili oleh Irenaeus, Agustinus (akhir), dan Fransiskus Assisi.

3 KWI.1996. Iman Katolik. (Jakarta: Obor). 151-152.

(5)

Paham pertama adalah pandangan yang didasari oleh motif rohani yakni bahwa alam sebagai sarana atau batu pijakan agar manusia mencapai kepenuhan rohani yakni bersatu bersama Allah dengan manafikan dan kurang menghargai hakikat alam secara hakiki5.

Sedangkan paham yang kedua lebih memandang bahwa alam memiliki citra diri dari Allah yang meskipun tidak sesempurna manusia namun memiliki keluhuruan tersendiri dalam kesinambungan dengan ciptaan lain.

IV. PandanganEkologi

Humanisme Industrialis memanifestasikan sikap manusia ke dalam sikap promethean6,

yakni suatu sikap dengan konsep bahwa alam sudah seharusnya dimanfaatkan demi terpenuhinya pelbagai tujuan dan kebutuhan manusia. Sikap ini berakar pada sebuah dikotomi yang salah yaitu keberadaan dan ‘ada’nya alam mempunyai tujuan untuk ditaklukkan, dimanfaatkan, bahkan dieksploitasi oleh manusia. Inilah yang merupakan pemahaman yang keliru dalam tatanan manusia sebagai mikrokosmos di dalam makrokosmos.

Oleh karena itu, berdasarkan pada fakta empiris mengenai krisis ekologis yang sedang dan terus berlangsung, filsafat-lingkungan menekankan adanya kesadaran lingkungan dan ekologis. Kesadaran ekologis bukan hanya suatu kesadaran di mana manusia memanfaatkan alam secara bijaksana tetapi juga perlu adanya sikap menghormati alam. Penghormatan bahwa di setiap elemen yang terdapat di alam memiliki dimensi transcendental yang mempengaruhi manusia dalam membentuk religius kosmik. Kesadaran yang bijak dan sikap hormat tersebut berkorelasi sehingga menghasilkan suatu sinergi bahwa manusia merupakan perluasan daari alam dan begitu pula sebaliknya.

Untuk mendukung kesadaran ekologis tersebut, manusia perlu menegasikan sikap dari sikap humanism indrustrialis ke dalam humanism ekologis. Humanism ekologis memprioritaskan pada sikap koheren anatara manusia dengan alam. Sikap tersebut terwujud dalam cara manusia memperlakukan alam yakni dengan: Pertama, manusia ada untuk mempertahankan, mentranformasi, dan secara kreatif menjaga adanya suatu perubahan evolutif

5 Jay McDaniel, Taman Eden, Dosa asal, dan Hidup dalam Kristus dalam Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup, oleh Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed), P. Hardono Hadi (terj), (Yogyakarta, Kanisius 2003), 85.

(6)

alam. Maka keliru apabila ada pandangan bahwa manusia adalah ukuran untuk segala-galanya7.

Kedua, alam hadir sebaai rumah dan merupakan tempat di mana manusia ‘ada’, maka manusia perlu untuk menjaga sekaligus melestarikan unsur kesucian alam. Ketiga, pengetahuan yang dimiliki manusia berfungsi atau ditempatkan sebagai instrument untuk membantu mempertahankan keseimbangan alam. Dengan kata lain, humanism ekologis mengajak kita untuk menjadikan alam sebagai rumah yang sarat akan kebudayaan yang tercipta dari warisan spiritual religius kosmik yaitu menjaga dan merawat.

V. Pandangan Gereja Katolik

Paus Fransiskus di dalam Ensiklik Laudato Si’ menyerukan bahwa sikap antropsentrisme agresif yang lahir dari eco-culture industrialis merupakan gaya hidup yang menyimpang8.

Penyimpangan tersebut terletak pada sikap manusia yang cenderung menempatkan diri di datas puncak hierarki ciptaan, sehingga memprioritaskan kepentingan diri sendiri. Selain itu, kepentingan diri tersebut juga masih dilihat sejauh menguntungkan secara langsung. Implikasinya adalah bahwa segala sesuatu yang tidak menguntungkan secara langsung dianggap tidak penting.

Penyimpangan tersebut mengindikasikan bahwa manusia zaman post-modern belum menemukan serta memperbaharui identitas diri yang baru. Dengan adanya krisis ekologis, kita semua ditantang untuk merefleksikan kembali gaya hidup masa sekarang sekaligus ajakan untuk memperbaharui identitas diri. Identitas diri yang dimaksud oleh Gereja adalah manusia sebagai imago dei yang merawat dan menjaga alam dan bukan manusia sebagai prometheus yakni manusia yang mendiskrimanasi alam sebagai sesama ciptaan Allah9. Maka dari itu, Gereja

mengajak kita untuk berani dan tegas keluar dari zona nyaman dan melampaui diri dari sikap egosentrisme dengan memperbaharui sikap etis, spiritual, dan kultur, sehingga dapat memulihkan sekaligus menyembuhkan relasi antara manusa dengan alam.

VI. Praksis Kebiasan

Kebiasaan atau sikap perilaku berdasar pada ekologi (eco-culture) seharusnya merawat sekaligus menumbuhkembangkan alam di lingkungan sekitar kami, tetapi pemahaman yang salah atas dasar warisan iman menghasilkan eco-culture yang bukan merawat dan menjaga tetapi justru mempercepat eco-cide atau pembunuhan ekologis. Berdasarkan pemahaman tersebut, pada

7 K. Berteens. Sejarah Filsafat Yunani. (Yogyakarta: Kanisius, 2016). 86-88.

(7)

bab ini kami mencoba untuk memaparkan kebiasan-kebiasan rill apa saja yang terdapat di setiap lingkungan tempat tinggal anggota kelompok, mulai dari Seminari Tinggi, Biara OMI, dan Wisma Penebus CSsR.

Kebiasaan Para Frater CSsR Yang Kurang Ekologis

Kebiasaan hidup para frater di Wisma Sang Penebus yang kurang Ekologis sesungguhnya dipengaruhi oleh mental hidup masyarakat khas Indonesia Timur. Kenapa mental? Karena semuanya berkaitan dengan sebuah kebiasaan. Kebiasaan hidup tersebut sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Dengan jumlah mayoritas adalah orang Sumba dan Flores yang memiliki watak keras dan kasar maka tidaklah mengherankan pola hidup macam ini menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan hidup dengan kultur keras dan kasar mempengaruhi kepribadian komunitas yang sangat maskulin.

Keprihatinan di Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan

Keperihatinan di Sminari Tinggi adalah tidak semua warga komunitas membuang sampah pada tempat yang sesuai dengan jenis sampahnya. Sampah-sampah tidak dipilah-pilah sesuai dengan jenisnya sebelum dibuang ke tempat sampah. Pemilahan itu mempunyai tujuan agar pengolahannya menjadi lebih efektif sehingga sampah dapat lebih cepat diuraikan.

Namun kenyataannya, pengolahan sampah dilakukan sama. Sampah hanya dibakar atau dipendam. Pembakaran sampah menyebabkan pencemaran udara. Pencemaran ini memang sedikit, tetapi ini menandakan bahwa Komunitas Seminari Tinggi terlibat dalam pencemaran lingkungan.

Sampah yang dipendam akan sangat lama untuk menjadi tanah kembali. Menurut Miller (1975) sampah plastik akan hancur dalam waktu 240 tahun jika ditimbun dengan tanah. Sampah kaleng yang terbuat dari timah atau besi memerlukan waktu 100 tahun untuk berkarat dan hancur menjadi tanah. Kaleng yang terbuat dari alumunium memerlukan waktu 500 tahun untuk menjadi tanah. Sampah gelas atau kaca akan hancur dalam waktu 1juta tahun.

(8)

alam tidak berjalan sesuai dengan mestinya maka akan terjadi ketidakseimbangan alam. Dengan demikian, alam yang tidak seimbang akan memberikan dampak juga pada kehidupan kita.

Ketidakseimbangan alam yang berjalan terus menerus akan menjadikan sebuah proses yang memiskinkan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati yang memenuhi kebutuhan manusia. Dengan proses pemiskinan hayati ini akan menimbulkan kepunahan spesies yang nantinya akan menjadi kehancuran kehidupan.

Keprihatinan di Konvik OMI

Keprihatinan Ekologis yang dapat ditinjau dalam konvik OMI adalah masalah pembakaran sampah. Sampah dipilah menjadi tiga kategori yaitu, sisa makanan, kulit buah, dan plastik dan kertas. Sisa makanan akan diberikan untuk ternak ayam, kulit buah akan diberikan untuk ternak kambing, plastik dan kertas dibakar di tempat yang tersedia. Pembakaran sampah memang lebih praktis dan juga cepat, tetapi tentu saja bukan berarti tidak mengandung konsekuensi. Konsekuensi paling nampak adalah zat karbon (CO2) yang akan merusak lapisan

atmosfir. Dikatakan keprihatinan bukan karena sama sekali tidak ekologis, hanya saja belum optimal.

Kompleks Seminari Tinggi OMI Wisma de Mazenod sebagian besar terdiri dari ruang terbuka hijau. Maka proporsi penghasilan Oksigen O2 di Wisma de Mazenod bisa dikatakan

cukup memadai untuk sebuah lingkungan hidup yang sehat. Namun dengan metode membakar sampah, membuat gas CO2 dalam bumi bertambah, dan itu berarti praktik ini ambil bagian dalam

pemanasan global kosmos kita. Diketahui bahwa gas CO2 dapat memenuhi lapisan atmosfir dan

akhirnya menyebabkan sinar UV tidak menembus atmosfir tetapi membuat sinar UV terpantulkan dan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu di bumi. Pengetahuan macam ini dapat kita temukan dalam pelajaran biologi SMP-SMA.

(9)

Mazenod dan merasa temperatur terlalu tinggi maka meminta kami menggunakan AC bagi mereka.

Kita tahu dari pelajaran SMP bahwa gas CFC (yang terdiri dari 3 atom) berpotensi untuk mengurai Ozon (O3) yang akhirnya membuat lapisan ozon kita menipis dan semakin

mengoptimalkan panas matahari masuk ke dalam lapisan udara bumi. Dengan kata lain, walaupun kompleks Wisma de Mazenod sudah menyumbang O2 yang cukup banyak dengan

menyediakan vegetasi hijau yang luas, di sisi lain juga menyumbang gas CFC bagi lapisan Ozon. Keprihatinan lainnya adalah penggunaan tisu dalam jumlah yang besar. Kesadaran untuk reduce penggunaan tisu masih belum terlalu memadai. Baik komunitas Wisma de Mazenod sendiri maupun tamu yang datang masih cenderung menggunakan tisu sebagai lap mulut atau lap tangan. Tisu termasuk salah satu perlengkapan makan yang bahan dasarnya terbuat dari pulp yang berasal dari Kayu Pohon. Penggunaan tisu dalam jumlah besar juga berarti ambil bagian dalam proyek penggundulan hutan (kendati ada program tebang-pilih-tanam). Perlu kesadaran yang lebih tentang kampanye paperless dan reduce-ing penggunaan tisu dalam jumlah besar. Penggunaan tisu memang praktis, tetapi bukan berarti tidak tergantikan. Penggunaan tisu bisa diganti dengan alternatif lain yang lebih ramah lingkungan.

VII. Kesimpulan

Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan oleh kelompok di bab-bab sebelumnya, kami menyimpulkan bahwa kita segenap umat manusia perlu untuk melakukan pertobatan ekologis. Pertobatan ekologis adalah sikap di mana manusia menempatkan seluruh ciptaan di alam semesta sehakekat sebagai ciptaan dari Allah. Dengan demikian, manusia diharapkan memperlakukan alam dengan merawat serta menjaga seperti terhadap dirinya sendiri. Pertobatan ekologis ini bukan untuk membatasi melainkan justru suatu sikap untuk merefleksikan kembali gaya hidup atau kultur ekologi yang selama ini menunjang terjadinya eco-cide atau perukasan ekologi.

Implementasi dari sikap pertobatan ekologis tersebut kami tawarkan kepada masing-masing anggota komunitas di setiap konvik sebagai salah satu solusi yang dapat menciptakan gaya hidup ekologis. Maka, kami mencoba mengaplikasikan sikap pertobatan ekologis tersebut ke dalam hal-hal berikut :

(10)

Kami sebagai bagian dari warga komunitas Seminari Tinggi akan membangun kembali kesadaran akan pentingnya merawat alam. Hal tersebut dimulai dari hal-hal kecil, salah satunya adalah pengolahan sampah lebih lanjut. Selain itu, juga akan mengadakan service untuk alat pengurai sampahyang telah disediakan.

B. Wisma de Mazenod

a) Mengganti metode membakar sampah plastik dengan membuangnya ke TPS Tambak Baya agar sampah tersebut dipilah-pilah dan akhirnya bisa direcycle atau reuse.

b) Reduce gas CFC, meminimalkan penggunaan AC yang berlebihan.

c) Reduce penggunaan tisu, mengkampanyekan paperless dengan mengganti tisu dengan lap tangan berbahan kain yang bisa dipakai berulang-kali.

Daftar Pustaka :

Dokumen :

Fransiskus, Laudato Si’, 24 Mei 2015. Terj. Martin Harun OFM. Jakarta, Obor, 2015.

Buku :

Berteens, K, “Sejarah Filsafat Yunani”, Yogyakarta, Kanisius, 2016.

McDaniel, Jay, “Taman Eden, Dosa asal, dan Hidup dalam Kristus” dalam Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup,ed. Mary Evelyn Tucker & John A. Grim, P. Hardono Hadi (terj), Yogyakarta, Kanisius 2003.

Keraf, Sony A, “Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global”, Yogyakarta, Kanisius 2010. Santmire, H. Paul “The Travail of Nature: The Ambiguous Eological Promise of Christian

Theology”, Philadelphia, Fortress Press, 1985.

Skolimowski, Henryk, “Filsafat Lingkungan:Merancang Taktik Baru untuk Menjalani Kehidupan”, Terj. Saut Pasaribu, Yogyakarta, Bentang Budaya 2004.

Wi-Ming, Tu, “Melampaui Batas Mentalitas Pencerahan” dalam Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup, ed. Mary Evelyn Tucker & John A. Grim , P. Hardono Hadi (terj), Yogyakarta, Kanisius 2003.

Internet :

Referensi

Dokumen terkait

Bulan Seasonality Index Januari 0.99 Februari 1.02 Maret 1.01 April 0.99 Mei 0.96 Juni 0.96 Juli 1.05 Agustus 1.01 September 1.05 Oktober 1.00 November 0.92 Desember 0.96 Bulan

 Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membaca teks tentang asas Bernoulli dan gambar-gambar terkait asas Bernoulli yang ada di buku modul.. 

Foto SEM Partikel Hasil Padatan Sintesis Abu Dasar Bebas Sisa Karbon Secara Hidrotermal Langsung dengan dengan Kondisi Hidrotermal Variasi Waktu (a.. ortorombik)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan ibu-ibu rumah tangga di Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang tentang fenomena poligami serta

Seorang pakar perencanaan komunikasi Middleton membuat definisi dengan menyatakan strategi komunikasi adalah kombinasi terbaik dari semua elemen komunikasi mulai

Pandangan urutan yang berbeda terkait waktu terjadinya baptisan Roh Kudus bagi umat Kristen, apakah pada saat pertobatan atau pada saat setelah pertobatan

Analisis uji hipotesis merupakan perhitungan lanjut dari analisis pendahuluan dengan menggunakan analisis regresi, karena dalam penelitian ini terdiri dari satu

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan oleh peneliti pada bab-bab sebelumnya, maka peran guru sebagai motivator dalam meningkatkan minat