• Tidak ada hasil yang ditemukan

Malnutrisi dan Anemia Pada Penderita Tub

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Malnutrisi dan Anemia Pada Penderita Tub"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Malnutrisi dan Anemia Pada Penderita Tuberkulosis Paru

Sheba Denisica Nasution

Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak

Tuberkulosis (TB) paru masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. TB merupakan penyakit infeksi yang menduduki peringkat kedua kematian (1,5 juta kasus) terbanyak di dunia setelah infeksi oleh human immunodeficiencyvirus (HIV). TB dapat menyebabkan bermacam-macam kelainan laboratorium seperti anemia, peningkatan sedimentasi eritrosit, penurunan jumlah serum albumin, hiponatremia, gangguan fungsi hepar, leukositosis dan hipokalsemia. Malnutrisi dan anemia merupakan komplikasi tersering pada penderita TB. Anemia pada penderita TB sebagai akibat dari penekanan eritropoesis selain oleh karena defisiensi zat gizi dan sindrom malabsorbsi itu sendiri. TB dapat menyebabkan malnutrisi oleh karena perubahan metabolik, kaheksia dan perubahan konsentrasi leptin dalam darah. Kedua kondisi tersebut juga menjadi faktor resiko untuk kegagalan terapi, rekurensi dan kematian. Pengukuran Indeks massa tubuh (IMT) dan kadar hemoglobin dapat digunakan untuk memprediksi keparahan dan resiko kematian penderita TB.

Kata kunci: anemia, malnutrisi, tuberkulosis

Malnutrition and Anemia in Tuberculosis Patient

Abstract

Tuberculosis (TB) is a major global health in the world. TB is an infectious disease that ranks as the second leading cause of death (1,5 million cases) after human immunodeficiency virus (HIV) infection. TB can cause a variety laboratory abnormalities such as anemia, increased erythrocyte sedimentation rate , low serum albumin level, hyponatremia, abnormal liver function, leukocytosis and hypocalcemia. Malnutrition and anemia are common complication in TB. Anemia in TB caused by suppression of erythropoesis besides nutrition deficiency and malabsorption syndrome. Malnutrition in TB caused by metabolic changed, cachexia and changed of leptin consentration in serum Both of this condition also as risk factor for treatment failure, recurrence and mortality in TB patient. Measurement of body mass index and hemoglobin levels can be used as predictor for severity and mortality risk in TB patient.

Keywords: anemia, malnutrition, tuberculosis

Korespondensi: Sheba Denisica Nasution, Jalan Dr. Sutomo No. 26,HP 08976046446, Email shebadenisica@gmail.com

Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan di dunia terutama di negara-negara berkembang.1

Berdasarkan data WHO, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat sembilan juta orang dilaporkan sebagai kasus TB baru di dunia.2

Tuberkulosis menduduki peringkat kedua kematian (1,5 juta kasus) yang disebabkan oleh penyakit infeksi di dunia setelah infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Indonesia menduduki peringkat ke-5 dengan angka insiden kejadian TB terbesar di dunia setelah India, Cina, Nigeria, Pakistan. Prevalensi penyakit tuberkulosis berdasarkan diagnosis di Indonesia pada tahun 2013 yaitu 0,4% dari jumlah penduduk.3

Tuberkulosis dapat menyebabkan bermacam-macam kelainan laboratorium seperti anemia, peningkatan sedimentasi eritrosit, penurunan jumlah serum albumin, hiponatremia, gangguan fungsi hepar, leukositosis, dan hipokalsemia.4 Anemia

adalah komplikasi tersering dari penderita TB dan faktor resiko untuk kematian.5 Banyak

penelitian menyatakan tingginya prevalensi anemia pada penderita TB (16-94%).1,4

Terdapat berbagai macam patogenesis yang menjelaskan hubungan TB dengan anemia. Akan tetapi, banyak penelitian memperlihatkan penyebab anemia pada TB yaitu dikarenakan penekanan eritropoiesis oleh mediator inflamasi yaitu IL-6 ,IFN-γ , IL-1β ,TNF-α.4

Kejadian anemia dapat diperberat oleh defisiensi zat gizi dan sindrom malabsorbsi.4

Defisiensi besi adalah penyebab anemia pada penderita TB.4 Anemia tanpa defisiensi besi

berhubungan juga dengan peningkatan resiko TB rekurens.6 Anemia pada penderita

tuberkulosis juga dapat terjadi akibat status nutrisi yang buruk pada penderita tuberkulosis dibandingkan dengan individu sehat.7

(2)

Tuberkulosis dapat menyebabkan atau memperparah malnutrisi dengan cara mengurangi nafsu makan dan meningkatkan katabolisme.11 Keadaan ini berhubungan

dengan keparahan penyakit TB dan prediktor kematian pada penderita TB. Penderita dengan kenaikan berat badan yang rendah selama terapi TB beresiko untuk gagal terapi dan relaps dari penyakit TB.5 Kedua kondisi

inilah yang menjadi fokus pembahasan penulis dalam tulisan ini.

Isi

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.2 Mycobacterium tuberculosis

merupakan bakteri berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora, tidak berkapsul dan berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang 1 – 4 μm. Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat yang disebut

cord factor dan mycobacterial sulfolipids

yang berperan dalam virulensi. Unsur lain yang terdapat pada diniding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang

kompleks tersebut menyebabkan

M.tuberculosis bersifat tahan asam yaitu apabila sekali diwarnai dapat tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.12

Menurut WHO pada tahun 2013 terdapat sembilan juta orang dilaporkan sebagai kasus TB baru. Angka kematian yang terjadi akibat TB yaitu 1.5 juta dan 0.4 juta diantaranya disertai dengan infeksi sekunder HIV.2 Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada

laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu hampir 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Menurut kelompok umur, kasus baru yang ditemukan paling banyak pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 21,40% diikuti kelompok umur 35-44 tahun sebesar 19,41% dan pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,39%. Kasus baru BTA+ pada kelompok umur 0-14 tahun merupakan proporsi yang paling rendah.3

Tuberkulosis merupakan penyakit sistem respirasi dan menular.13 Bakteri akan keluar

dari sistem respirasi dan menginfeksi individu yang lain melalui percikan (droplet) sputum

yang dibatukkan atau dibersinkan.14

Droplet

yang dikeluarkan, dapat melayang di udara

selama beberapa menit sampai beberapa jam karena partikelnya berukuran 1–5 μm. Resiko infeksi bergantung pada beberapa faktor, seperti seberapa infeksiusnya sumber infeksi, kontak terhadap sumber infeksi, jumlah basil yang terdapat pada droplet, dan yang paling penting adalah imunitas penjamu. Jalur utama infeksi melalui paru-paru.13

Droplet yang terhirup dapat menghindari sistem pertahanan di bronkus karena diameter

droplet yang kecil, yang kemudian droplet akan

masuk ke alveolus terminalis.13 Pada individu

yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer ghon.15

Dari fokus primer ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya limfangitis dan limfadenitis. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer yang terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.15

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna, membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi biasanya penyembuhannya biasanya tidak sempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelajar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.15

(3)

berat badan, demam, keringat malam, dan hemoptisis.16 Batuk merupakan gejala yang

paling sering ditemukan dan terjadi karena adanya iritasi bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (nonproduktif) kemudian setelah adanya peradangan batuk menjadi disertai dengan sputum (produktif). Keadaan yang lanjut berupa batuk darah atau hemoptisis.17

Hemoptisis terjadi karena erosi pembuluh darah di dinding kavitas, brokietaksis tuberkulosa, ruptur pembuluh darah yang berdilatasi di kavitas atau infeksi bakteri atau fungal (Aspergillus mycetoma) di kavitas.18,19

Keadaan komorbid seperti anemia dapat meningkatkan mortalitas pasien tuberkulosis.22

Anemia merupakan komplikasi tersering dari tuberkulosis paru dan prevalensinya berkisar 16-94% di beberapa penelitian.1,4 Anemia

merupakan suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau kapasitas pembawa oksigen lebih rendah daripada kebutuhan fisiologis tubuh. Anemia dapat juga diartikan kadar hemoglobin kurang dari 130 g/l pada laki-laki, kurang dari 120 g/l pada wanita tidak hamil dan kurang dari 110 g/l pada wanita hamil. Anemia merupakan indikator dari nutrisi yang buruk dan kesehatan yang buruk.23

Anemia biasanya berhubungan dengan supresi sumsum tulang, defisiensi nutrisi,

sindrom malabsorbsi dan kegagalan

pemanfaatan zat besi.24 Sindrom malabsorbsi

dan defisiensi nutrisi dapat memperparah anemia.4 Pada tuberkulosis dapat terjadi

anemia defisiensi besi (anemia mikrositik hipokromik) dan anemia akibat inflamasi (anemia normositik normokromik). Anemia dengan gambaran normositik normokromik merupakan jenis anemia yang paling banyak ditemukan pada tuberkulosis.1,4,24

Anemia pada TB yang diakibatkan supresi eritropoesis oleh mediator inflamasi merupakan patogenesis tersering dari anemia pada TB.4 Kondisi ini terjadi karena adanya

disregulasi sistem imun terkait dengan respon sistemik terhadap kondisi penyakit yang diderita.13,25 Peningkatan sitokin proinflamasi

seperti TNF-α, IL-6, IL-1β serta Interferon-γ berpengaruh terhadap penurunan eritroid progenitor.7,13,25 Penurunan eritroid progenitor

ini menghambat diferensiasi dan proliferasi eritrosit secara langsung.7

Anemia yang disebabkan oleh infeksi kronik seperti TB mempunyai karakteristik yaitu terganggunya homeostasis zat besi

dengan adanya peningkatan ambilan dan retensi zat besi dalam sel RES. Zat besi merupakan faktor pertumbuhan terpenting untuk Mycobacterium tuberculosis. Retensi

besi pada sistem retikuloendotelial merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh.

Terganggunya hemostatis zat besi

menyebabkan terjadinya pengalihan zat besi dari sirkulasi ke tempat penyimpanan sistem retikuloendotelial dan diikuti terbatasnya persediaan zat besi untuk sel eritroid progenitor. Hal ini menyebabkan terbatasnya proses pembentukan eritrosit.7

Adapun patogenesis anemia akibat inflamasi dapat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar bagian A menunjukkan adanya invasi mikroorganisme, sel maligna atau reaksi autoimun menyebabkan aktivasi sel T (CD3+) dan monosit. Sel-sel ini meinduksi mekanisme efektor imun dengan cara memproduksi sitokin-sitokin seperti interferon-γ dari sel T dan TNF-α, Interleukin-1, Interleukin-6 dan Interleukin-10 (dari monosit atau makrofag).7

Sitokin-sitokin proinflamasi ini menyebabkan penghambatan proliferasi dan diferensiasi dari sel eritroid progenitor dan memicu penekanan eritropoetin di ginjal.26

Gambar 1. Skema Patogenesis Anemia akibat Inflamasi7

Bagian B menunjukkan interleukin-6 dan lipopolisakarida menstimulasi ekspresi dari hepsidin protein fase akut yang akan menurunkan absorbsi zat besi di diuodenum.8

(4)

pertahanan host untuk membatasi zat besi untuk mikroorganisme.27

Bagian C menunjukkan interferon-γ da lipopolisakarida atau keduanya akan meningkatkan ekspresi dari divalent metal transporter-1 (DMT-1) pada makrofag dan menstimulasi pengambilan zat besi. Sitokin interleukin-10 meningkatkan ekspresi reseptor transferrin dan meningkatkan pemasukan transferin ke dalam monosit. Interferon–γ da lipopolisakarida menurunkan ekpresi ferroportin yang menghambat pengeluaran zat besi dari makrofag dan juga dipengaruhi hepsidin.Pada waktu yang sama, TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-10 mempengaruhi ekspresi ferritin serta menstimulasi penyimpanan dan retensi zat besi di dalam makrofag. Mekanisme inilah yang menyebabkan penurunan konsentrasi zat besi di sirkulasi dan keterbatasan ketersediaan zat besi untuk eritroid.7

Bagian D menunjukkan bahwa TNF-α, interleukin-1 dan interferon-γ e gha at produksi eritropoetin di ginjal.7 Bagian E

menunjukkan TNF-α, interferon-γ da interleukin-1 menghambat diferensiasi dan proliferasi sel eritroid progenitor secara langsung. Selain itu, terbatasnya ketersediaan jumlah zat besi dan penurunan aktivitas biologis dari eritropoetin menyebabkan penghambatan eritropoesis dan terjadi anemia.7

Pada penderita anemia, keadaan malnutrisi dapat menjadikan seseorang memiliki massa tubuh yang tidak normal dan memperburuk prognosis penderita.28 Pada

penderita anemia terdapat kelainan regulasi serta nutrisi dalam tubuh. Kelainan nutrisi ini berupa kekurangan albumin, folat, dan mikronutrisi seperti selenium, zinc, vitamin B12,

vitamin D, dan zat besi6,29 sehingga memiliki

indeks massa tubuh dibawah normal.30

Indeks massa tubuh dihitung

berdasarkan hasil pembagian berat badan satuan kilogram dengan tinggi badan satu meter kuadrat.28 Indeks masa tubuh pada

keadaan individu yang terserang penyakit umumnya bervariasi. Pada penyakit metabolik keadaan berat badan normal sampai berat bedan berlebih sering ditemukan. Sedangkan berat badan berlebih dan obesitas dapat meningkatkan risiko hipertensi, diabetes melitus tipe 2, penyakit kardiovaskular dan

sindrom metabolik.31 Sedangkan pada penyakit

akibat inflamasi akut maupun kronik, keadaan indeks massa tubuh cenderung menurun.32

Malnutrisi sering ditemukan pada penderita TB paru. Penelitian di India menunjukkan bahwa penderita TB tujuh kali beresiko untuk mempunyai IMT <18,5 kg/m2

dan lingkar lengan tengah <24 cm.10 Aktivasi

respon imun selama infeksi akan meningkatkan komsumsi energi.33 Malnutrisi pada TB juga

diperkirakan akibat penurunan jumlah protein visceral, indeks antroprometri dan status mikronutrisi.10

Hubungan malnutrisi dengan

tuberkulosis terdapat dua hubungan yaitu efek tuberkulosis terhadap status nutrisi dan efek malnutrisi terhadap manifestasi klinis dari tuberkulosis sebagai akibat dari kelemahan sistem imun.34 Malnutrisi juga merupakan

faktor resiko utama dari onset aktif tuberkulosis dan juga malnutrisi dapat memperburuk prognosis dari penyakit TB.33

Malnutrisi berpengaruh terhadap cell-mediated immunity (CMI) dan CMI merupakan sistem pertahanan tubuh utama untuk melawan TB.35

TB merupakan wasting or consumption disease yang membuat adanya perubahan metabolik pada penderita tuberkulosis.36

Perubahan metabolik yang terjadi adalah

anabolic block.30 Anabolic block merupakan keadaan dimana asam amino tidak dapat dibangun menjadi protein yang lebih kompleks.30,36 Malnutrisi protein dapat

menyebabkan anemia normositik

normokromik dengan penurunan retikulosit dan eritropoesis di sumsum tulang dan limpa.37

Selain itu, perubahan metabolik yang dapat terjadi yaitu penurunan nafsu makan, malabsorbsi nutrisi dan malabsorbsi mikronutrisi.38

Defisiensi mikronutrisi merupakan penyebab tersering dari imuodefisiensi sekunder dan tuberkulosis. Pada penderita tuberkulosis didapatkan defisiensi beberapa mikronutrisi seperti zink, vitamin A dan selenium.38 Hal ini menyebabkan terganggunya

respon imun tubuh.38,39 Defisiensi zink

menyebabkan penurunan aktivitas fagositosis dan mengurangi jumlah sel T di sirkulasi.38,40

Zink mempunyai peranan yang penting dalam kontribusi makrofag terhadap pertahanan tubuh di tempat infeksi.38

(5)

epitel serta respon antibodi. Vitamin A dilaporkan dapat menghambatkan multiplikasi basil virulen pada kultur makrofag manusia. Selenium mempunyai fungsi penting dalam pertahanan proses imun dan berperan penting dalam pembersihan mycobacteria.38 Selenium juga merupakan bagian terpenting dari enzim antioksidatif seperti glutathion perioksidase yang berfungsi memproteksi sel dari kerusakan oksidatif.39

Tuberkulosis aktif berhubungan dengan kaheksia, penurunan berat badan, konsentrasi leptin di serum rendah. Leptin merupakan mediator utama antara nutrisi dan imuntitas.33

Ketika muncul gangguan terhadap leptin, maka akan terjadi anoreksia yang memungkinkan terjadinya keadaan penurunan status nutrisi.32,36 Anoreksia menyebabkan kelainan

pada status nutrisi yang buruk dengan cara mengurangi intake energi.5 Selain anoreksia,

terganggunya dari absorbsi nutrisi dan peningkatan katabolisme berpengaruh terhadap status nutrisi yang buruk.10

Inflamasi oleh M. tuberculosis

menyebabkan disregulasi dari sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-6,Interferon-γ dan IL-1β.7 Disregulasi dari sitokin seperti IL-6

dan TNF-α aka e gi duksi si tesis protei fase reaktan, menghambat produksi serum albumin dan pergeseran konsentrasi plasma dari mikronutrien penting.41 Prevalensi anemia

akan meningkat pada status nutrisi yang buruk.4

Indikator pengukuran status nutrisi

menggunakan indeks massa tubuh.42

Pengukuran indeks massa tubuh dapat mengetahui faktor resiko terhadap anemia sehingga dapat menurunkan angka mortalitas

serta morbiditas pada penderita

tuberkulosis.4,40 Penurunan indeks massa tubuh

menandakan adanya hubungan kejadian anemia dengan mekanisme penurunan status nutrisi karena wasting disease oleh M. tuberculosis dan menyebabkan penurunan eritroid progenitor 36,42

serta penurunan kekebalan tubuh terhadap infeksi mikroorganisme patogen.7,43 Penurunan

kekebalan tubuh dapat meningkatkan keparahan penyakit dan mengurangi efekasi pengobatan TB.36

Ringkasan

Tuberkulosis dapat menyebabkan bermacam-macam kelainan seperti anemia, peningkatan sedimentasi eritrosit, penurunan

jumlah serum albumin, hiponatremia, gangguan fungsi hepar, leukositosis dan hipokalsemia. Anemia yang terjadi pada tuberkulosis berupa anemia defisiensi besi (anemia mikrositik hipokromik) dan anemia akibat inflamasi (anemia normositik normokromik). Produksi sitokin proinflamasi yang berlebih seperti TNF-α, IFN- γ da IL-1 berpengaruh terhadap penurunan eritropoetin, supresi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin dan merusak metabolisme zat besi yang dapat mempengaruhi ketidakseimbangan eritropoesis. Malnutrisi pada TB terjadi akibat perubahan metabolik, kaheksia dan perubahan konsentrasi leptin dalam darah. Perubahan metabolik yang terjadi adalah proses anabolic block, penurunan nafsu makan, malabsorbsi

nutrisi dan malabsorbsi mikronutrisi. Keadaan nutrisi yang buruk dapat memperparah keadaan anemia dan memperburuk prognosis penyakit TB paru.

Simpulan

Tuberkulosis (TB) paru dapat menye-babkan malnutrisi dan anemia. Keadaan ini dapat meningkatkan keparahan penyakit dan mortalitas pada pasien TB. Pengukuran indeks massa tubuh dan kadar hemoglobin dapat dilakukan untuk meprediksi keparahan dan risiko mortalitas akibat TB.

Daftar Pustaka

1. Monjur F, Rizwan F. A Cross-sectional Study of Morphological Types of Anemia in Pulmonary Tuberculosis Patient and Associated Risk Indicators in a Selected Hospital of Dhaka City , Bangladesh. Int J Chem Environ Biol Sci. 2014;2(4):215–9. 2. World Health Organization. Global

Tuberculosis Report 2014. Geneva: WHO; 2014.

3. Kementrian Kesehatan Repbulik

Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. 4. Lee SW, Kang YA, Yoon YS, Um S, Lee SM,

Yoo C, et al. The Prevalence and Evolution of Anemia Associated with Tuberculosis. korean Acad Med Sci. 2006;21(12):1028– 32.

(6)

tuberculosis in Tanzania. NIH Public Access. 2011;15(10):1380–9.

6. Isanaka S, Mugusi F, Urassa W, Willett WC, Bosch RJ, Villamor E, et al. Iron Deficiency and Anemia Predict Mortality in Patients with Tuberculosis. The Journal of Nutritition. 2012; 350-357.

7. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of Chronic Disease. N Engl J Med. 2005;352(10):1011–23.

8. Aung KC, Feng L, Yap KB, Sitoh YY, Leong IY, Ng TP. Serum albumin and hemoglobin are associated with physical function in community-living older persons in Singapore. J Nutr Heal Aging. 2011;15(877):1–6.

9. Tsutsumi R, Tsutsumi YM, Horikawa YT, Takehisa Y, Hosaka T, Harada N, et al. Decline in anthropometric evaluation predicts a poor prognosis in geriatric patients. Asia Pac J Clin Nutr. 2012;21:44– 51.

10. Miyata S, Tanaka M, Ihaku D. The prognostic significance of nutritional status using malnutrition universal screening tool in patients with pulmonary tuberculosis. Nutrition Journal; 2013;12(1):1.

11. Bhargava A, Chatterjee M, Jain Y, Chatterjee B, Kataria A. Nutritional Status of Adult Patients with Pulmonary Tuberculosis in Rural Central India and Its Association with Mortality. PLoS One. 2013;8(10):1–11.

12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2006.

13. Ahmad S. Pathogenesis , Immunology, and Diagnosis of Latent Mycobacterium tuberculosis Infection. Kuwait Univ. 2011;1–17.

14. Punnose AR. Tuberculosis. J Am Med Assoc. 2013;309(9):938.

15. Rahajoe N, Setyanto DB.

editor.Patogenesis dan Perjalanan Alamiah. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2013.

16. Reyn CF Von. Tuberculosis. N Engl J Med. 2013;368(8):745–55. Reyn CF Von.

Tuberculosis. N Engl J Med.

2013;368(8):745–55.

17. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Publishing Interna; 2009.

18. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al., editor. Harriso ’s pri iples of i ter al edi i e. Edisi ke-18. New York: McGraw Hill; 2012.

19. Serafino RL. Tuberculosis 2:

Pathophysiology and microbiology of pulmonary tuberculosis. South Sudan Med. 2013;6(1):10–2.

20. Palomino JC, Ritacco V, Leao SC. Tuberculosis 2007 From basic science to patient care. 2007.

21. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011.

22. Naini RA, Moghtaderi A, Metanat M, Mohammadi M, Zabetian M. Factors associated with mortality in tuberculosis patients. J Res Med Sci. 2013;52–5.

23. WHO. Haemoglobin Concentrations for The Diagnosis of Anemia and Assesment of Severity. Geneva: WHO Press. 2011;1– 5.

24. Turgut M, Uzun O, Ý EKÝTL, Özer O. Pulmonary Tuberculosis Associated with Autoi u e He olyti A e ia : A

Unusual Presentation. Turk J

Haematologi.2002;19(4):477–80.

25. Kaufmann SHED. A Inflammation in Tuberculosis: Interactions, Imbalances and Interventions. Current Opinion in Immunology. Elsevier. 2013;25:441–9. 26. Morceau F, Dicato, M, Diederich D.

Pro-Inflammatory Cytokine-Mediated Anemia: Regarding Molecular Mechanisms of Erythropoiesis. Hindawi Publ Corp. 2009;2009:1–11.

27. Angelo GD, Coagulazione E, Chimica-clinica L, Microbiologia E, Ospedaliera A, Abate SA. Role of hepcidin in the pathophysiology and diagnosis of anemia. 2013;48(1).

28. Qin Y, Melse-boonstra A, Pan X, Yuan B, Dai Y, Zhao J, et al. Anemia in relation to body mass index and waist circumference 29. among chinese women. Nutrition Journal;

2013;12(1):1.

(7)

human immunodeficiency virus load and high interleukin-6 concentrations are risk factors associated with anemia in adults presenting with pulmonary tuberculosis in Zomba district , Malawi. Eur J Clin Nutr. 2005;59:526–32.

31. Kenangalem E, Waramori G, Pontororing GJ, Tjitra E. Tuberculosis Outcomes in Papua , Indonesia : The Relatio ship ith Different Body Mass Index Characteristics between Papuan and Non-Papuan Ethnic Groups. PLoS One. 2013;8(9):1–9.

32. Ramel A, Halldorsson TI, Tryggvadottir EA, Martinez JA, Kiely M, Bandarra NM, et al. Relationship between BMI and body fatness in three European countries. Eur J Clin Nutr. Nature Publishing Group; 2013;67(3):254–8.

33. Zheng Y, Ma A, Wang Q, Ha X, Cai J, Schouten et al. Relation of Leptin, Ghrelin and Inflammatory Cytokineswith Body Mass Index in Pulmonary Tuberculosis Patients with and without Type 2 Diabetes Mellitus. PLoS One. 2013;8:1–7.

34. Schaible U, Kaufmann S. Malnutrition and infection: Complex mechanisms and global impacts. PLoS Med. 2007;4(5):115

35. Oliveira MG, Delogo KN, Marinho H, Gomes DM, Ruffino-netto A, Kritski AL, et al. Anemia in hospitalized patients with pulmonary tuberculosis. Bras Pneumol. 2014;40:403–10.

36. Cegielski JP, Mcmurray DN. The relationship between malnutrition and tu er ulosis : e ide e fro studies i humans and experimental animals.Int J Tuberc Lung Dis. 2004;8:286–98.

37. Hood MLH. A Narrative Review of Recent

Progress in Understanding The

Relationship Between Tuberculosis and

Protein Energy Malnutrition. Eur J Clin Nutr. 2013;67:1122–8.

38. Borelli P, Blatt S, Pereira J, Maurino BB De, Tsujita M, Xavier G, et al. Reduction of erythroid progenitors in protein – energy malnutrition. Britiish J Nutr. 2007;97:307– 14.

39. Gupta KB, Gupta R, Atreja A, Verma M, Vishvkarma S. Tuberculosis and nutrition. Lung India. 2009;26(1):9–16.

40. United States Agency for International Development. Nutrition and Tuberculosis: A review of the literature and consideration for TB control programs. Afrika: USAID,2008.

41. Nagu TJ, Spiegelman D, Hertzmark E, Aboud S, Makani J, Matee MI, et al. Anemia at the Initiation of Tuberculosis Therapy Is Associated with Delayed Sputum Conversion among Pulmonary Tuberculosis Patients in Dar-es-Salaam , Tanzania. 2014;9(3).

42. Karyadi E, Schultink W, Nelwan RHH, Gross R, Amin Z, Dolmans WM V, et al. Community and International Nutrition Poor Micronutrient Status of Active Pulmonary Tuberculosis Patients in Indonesia 1. Am Soc Nutr Sci. 2000:2953– 8.

43. Villamor E, Saathoff E, Mugusi F, Bosch RJ, Urassa W, Fawzi W. Wasting and body composition of adults with pulmonary tuberculosis in relation to HIV-1 coinfection , socioeconomic status , and severity of tuberculosis. Eur J Clin Nutr. 2006; 60:163–71.

(8)

Gambar

Gambar 1. Skema Patogenesis Anemia akibat

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian dilakukan penyusunan makalah yang kedua yang merupakan pengembangan dari makalah pertama dengan judul “PENCARIAN PROPORSI PENAMBAHAN BEKATUL PADA MOCORIN

Meskipun dalam pasal 105 (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, namun

Di dalam UU No.41/1999, KPH sebagai bagian dari Unit Pengelolaan diartikan sebagai kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat

Berdasarkan hasil pengamatan selama 5 minggu tanaman kacang tanah ini setelah dirata-ratakan diperoleh data sebagai berikut: rata-rata jumlah daun 15 helai, rata-rata jumlah cabang

Hal tersebut sesuai dengan cara untuk memakmurkan masjid yang dilakukan oleh takmir masjid yaitu memperbanyak kegiatan.. Bentuk dan corak kegiatan seyogianya

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan : 1) Evaluasi konteks: Kesesuaian program dengan kebutuhan warga belajar; Tujuan program. 2) Evaluasi masukan:

Instrumen diujicobakan secara empiris kepada 35 orang siswa kelas XI SMA Negeri 1 Purwokerto. Tujuan uji oba empiris ini adalah untuk mengetahui

Walaupun Permendikbud Nomor 68 Tahun 2013 dengan Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 selanjutnya diganti dengan Permendikbud Nomor 24 Tahun 2016 , namun seperti yang