• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diglosia dalam Penerjemahan Komik Studi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Diglosia dalam Penerjemahan Komik Studi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

431

Diglosia dalam Penerjemahan Komik:

Studi Kasus Penerjemahan Suske en Wiske

dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia

Zahroh Nuriah

Universitas Indonesia

zahroh.nuriah@ui.ac.id / zahrohnuriah@yahoo.com

Abstract

Indonesian language has a diglossic characteristic because the language consists of formal and informal varieties. In translating a text into Indonesian, a translator must choose the variety to be used as the target language. This paper examines which variety a translator should choose in translating a comic so that the text will be equivalent to the source text, what should be considered in deciding the target language variety that will be used, and which variety the readers prefer. To answer those questions, a qualitative case study of a translation of the comic Suske en Wiske from Dutch to Indonesian is conducted by comparing each panel of the target text to the source text, supported by quantification of respondents meaning of the use of both varieties. The result shows that equivalence must not only be based on the text since comic is a semiotic system which does not only consist of verbal elements but also pictures; the translation of a comic should then intersemiotic by considering both elements. Both language varieties can be used in the translation of comics. The choice of a language variety for each panel must be based on the context showed by the pictures, namely the social role of the speaker(s) and the addressee(s). The target readers of Suske en Wiske children age 10-12 still prefer formal variety for written language, but adults are already able to differentiate the function of both varieties for different contexts. The variety choosen should reflect the real target language use for resulting the dynamic equivalence.

Keywords: comic, equivalence, intersemiotic, translation

1. Pendahuluan

Bahasa Indonesia merupakan bahasa kesatuan yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada umumnya bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua yang diperoleh di sekolah setelah bahasa pertama yang biasanya merupakan bahasa daerah. Di samping bahasa Indonesia formal yang wajib digunakan sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar pendidikan, atau pun bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi lainnya sesuai UU Kebahasaan (24/2009), terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, terdapat variasi bahasa sehari-hari. Sneddon (2003) menyatakan bahwa dengan adanya dua variasi ini maka dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat gejala diglosia.

(2)

432 Variasi bahasa mana yang sebaiknya digunakan dalam menerjemahkan komik agar teks sasaran (Tsa) sepadan dengan teks sumber (Tsu)? Faktor apa yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan variasi bahasa yang digunakan? Bagaimana sikap pembaca terhadap terjemahan dalam kedua variasi bahasa itu?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, komik Suske dan Wiske yang berjudul Het Machtige Monument ‘Monumen Mahakarya’ dijadikan data penelitian. Komik ini

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Belanda. Kalimat-kalimat dalam setiap panel dalam TSa dibandingkan dengan kalimat pada TSu dengan memperhatikan konteks percakapan.Penelitian ini bersifat kualitatif, tetapi juga didukung dengan kuantifikasi data. Untuk mendukung kesimpulan teoretis, juga dilakukan penjaringan sikap bahasa para pembaca komik. Empat potongan cerita yang terdiri dari tiga panel disajikan kepada para responden dalam variasi formal dan informal. Di samping itu, juga disajikan terjemahan asli yang merupakan campuran antara kedua variasi itu. Satu dari empat potongan cerita itu merupakan percakapan informal, tiga lainnya merupakan percakapan formal, yaitu percakapan dengan polisi, perdana mentri, dan raja. Responden diminta memilih penggunaan bahasa sasaran (Bsa) yang menurut mereka paling berterima dan paling tidak berterima. Karena seri ini ditujukan untuk anak umur 10-12 tahun, maka yang dijadikan responden utama juga anak-anak berumur 10-12 tahun, 36 anak, 16 anak mengisi angket di rumah, sedangkan 20 anak mengisinya di sekolah. Di samping itu, 30 orang responden dewasa berumur 18-20 tahun juga diminta untuk melakukan hal yang sama sebagai data pembanding.

2. Komik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komik didefinisikan sebagai “cerita bergambar (dl majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yg umumnya mudah dicerna dan lucu”. Kerrien & Auquier (tt) dalam situs Museum Komik Belgia di Brussel mendefinisikan komik sebagai “een opeenvolging van stilstaande beelden die een verhaal vormen, waarvan het scenario geïntegreerd is in de beelden”1. Dalam bukunya Understanding Comics, McCloud (1993, hlm. 9) mendefinisikan komik sebagai “juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequence”. Dari definisi-definisi itu, dapat disimpulkan bahwa gambar merupakan unsur utama dalam komik. McCloud (1993) bahkan tidak menyinggung teks sama sekali dan Kerrien & Auquier (tt) menyebutkan bahwa skenario terintegrasi dalam gambar. Komik juga didukung unsur-unsur penting lainnya seperti tanda tipografis (jenis huruf, lay-out, format), tanda-tanda gambar (warna, garis-garis aksi, sketsa, perspektif), serta tanda-tanda-tanda-tanda linguistis (Kaindl, 1999, dalam: Zanettin 2008).

Seorang komikus menggambar dan menulis dialog sedemikian rupa sebagai satu kesatuan yang menjadi dasar imajinasi para pembaca. McCloud (1993) berpendapat bahwa makna komik berada di antara panel gambar. Pembaca seakan-akan menyelami kehidupan para tokohnya dengan menyusun cerita sendiri berdasarkan panel-panel yang disajikan. Mereka menghubungkan panel yang satu dengan panel lainnya. Berbeda dengan pembaca novel yang lebih bebas berfantasi, para pembaca komik merangkai ceritanya sesuai gambar.

Banyak komik terkenal yang berasal dari Belgia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti Tintin, Smurf, atau Lucky Luke, termasuk dari Belgia utara (daerah

(3)

433 berbahasa Belanda), seperti Jommeke juga Suske en Wiske. Suske en Wiske awalnya merupakan komik yang terbit di koran harian De Nieuwe Standaard (yang kemudian berubah nama menjadi De Standaard). Tokoh utama komik ini adalah seorang anak laki-laki bernama Suske dan anak perempuan bernama Wiske. Mereka tinggal bersama Tante Sidonia, tantenya Wiske, yang mengadopsi Suske. Seperti pesaingnya, Jommeke, komik ini berceritakan petualangan anak (Suske dan Wiske yang humoristis) beserta beberapa temannya. Awalnya Suske en Wiske disajikan dalam dialek sehari-hari Belgia utara, Vlaams, tetapi kemudian disajikan dalam bahasa Belanda standar.

3. Diglosia

Diglosia didefinisikan oleh Ferguson (Ferguson 1959: 36) sebagai “a relatively stable language situation in which [...] there is a very divergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed variety [...] which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation” (dalam Sneddon 2003: 519). Situasi diglosia dapat dijumpai dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia formal merupakan bahasa resmi kenegaraan yang digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan, dalam komunikasi tingkat nasional, transaksi, dan dokumentasi niaga, juga sebagai bahasa media massa, yang telah dikodifikasi dalam bentuk kamus dan buku tata bahasa serta diperoleh melalui pendidikan di sekolah. Dalam pada itu, variasi formal tidak digunakan dalam situasi informal. Dalam kehidupan sehari-hari digunakan variasi informal yang tidak – atau setidaknya belum – dikodifikasi dan diperoleh di rumah sebagai bahasa pertama.

Variasi formal dan informal cukup berbeda. Perbedaan ini tidak hanya terletak pada pelafalan tetapi juga pada tingkat leksikon dan gramatika. Variasi informal lebih sederhana dibandingkan dengan variasi formal. Pada tingkat leksikon misalnya terdapat perbedaan bentuk kata ganti. Dalam variasi formal dibedakan antara kata ganti orang pertama jamak ekslusif kami dengan bentuk inklusif kita, sementara dalam variasi informal hanya ada satu kata ganti orang pertama jamak, yaitu kita. Selain itu, dalam variasi formal untuk merujuk pada orang pertama digunakan saya dan untuk orang kedua anda, sedangkan dalam variasi informal kata ganti orang pertama cukup beragam, yaitu aku, gue atau gua untuk konteks yang lebih intim, juga nama diri. Beberapa perbedaan leksikon lainnya misalnya:

Variasi formal Variasi informal

(4)

434 F: Saya marah dengan/pada dia.

I: Gua marah sama dia.

F: Saya menceritakan itu kepada nenek saya. I: Gua ceritain itu sama nenek gua.

F: Astrid suka meminjam uang dari ayahnya. I: Si Astrid suka minjem duit sama bokapnya.

F: Saya dan ayah saya tidak dekat. I: Gua sama bokap gua nggak deket.

F: Saya tidak diterima oleh orang tuanya dan dia juga ditolak oleh keluarga saya. F: Gua enggak diterima sama orang tuanya dan dia pun, dia juga ditolak sama

keluarga gua.

Sneddon (2003) juga memaparkan perbedaan gramatika pada tataran morfologi. Dalam variasi formal digunakan sufiks -kan dan sufiks -i, tetapi dalam variasi informal keduanya dapat digantikan dengan -in. Perbedaan lain yang tidak disinggung oleh Sneddon adalah penggunaan prefiks meng- dalam variasi formal, yang dalam variasi informal berbentuk -ng. Perbedaan ini bukan hanya terkait pemilihan prefiks saja, tetapi juga berimbas pada kaidah morfofonemis. Perhatikan contoh berikut.

Dasar kata Formal Informal

baca membaca baca/ngebaca

cuci mencuci nyuci

foto memfoto moto

jambak menjambak ngejambak lempar melempar ngelempar rebut merebut ngerebut

Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa terdapat beberapa perbedaan kaidah morfofonemis dalam pembentukan kata pada kedua variasi bahasa tersebut. Dalam variasi formal, proses prefiksasi dengan dasar kata berawalan [b] mengakibatkan terjadinya asimilasi, sedangkan dalam variasi informal menyebabkan delesi atau insersi. Dalam proses prefiksasi dengan dasar kata berawal dengan [c] dan [f] yang dalam dalam variasi formal juga mengakibatkan terjadinya asimilasi, dalam variasi informal menyebabkan peleburan. Proses prefiksasi dalam variasi formal dengan dasar kata berawalan [j] yang juga mengakibatkan asimilasi, serta bunyi likuida [l] dan [r] yang mengakibatkan delesi, dalam variasi informal justru mengakibatkan insersi. Prefiks -ng ini terkadang juga menggantikan prefiks ber-, misalnya:

Dasar kata Formal Informal

tani bertani nani

(5)

435 Dalam pada itu, prefiks ter- dalam variasi formal pada umumnya digantikan dengan prefiks ke- seperti pada contoh berikut.

Dasar kata Formal Informal

sambar tersambar kesamber tabrak tertabrak ketabrak

Namun terkadang prefiks ke- juga menggantikan prefiks ber-, seperti pada dasar kata temu yang dalam variasi formal diberi imbuhan ber- menjadi bertemu dan pada variasi informal diimbuhkan dengan prefiks ke- menjadi ketemu. Prefiks ter- juga tidak selalu dapat digantikan dengan ke-, seperti terjatuh dalam variasi formal tidak muncul dalam kata *kejatuh dalam variasi informal. Sepertinya terdapat sedikit perbedaan sistematika struktur argumen verba pada variasi formal dan informal terkait pemilihan prefiks, tetapi untuk memastikannya dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

Pemilihan variasi bahasa formal dan informal disesuaikan dengan situasi tindak tutur, peran sosial penutur dan mitra tutur. Pada pertemuan resmi kenegaraan, dalam dunia pendidikan, komunikasi tingkat nasional, transaksi, dan dokumentasi niaga, juga media massa digunakan variasi formal. Sneddon (2003) memaparkan bahwa bahasa tulis pada umumnya lebih diasosiasikan dengan variasi formal. Sastra akan diterjemahkan dalam variasi formal. Namun ia juga menyebutkan bahwa belakangan ini, majalah, siaran radio, dan drama yang ditujukan untuk kaum muda mulai menggunakan variasi informal. Sneddon juga menjelaskan bahwa tidak ada garis pemisah yang jelas di antara variasi bahasa formal dan informal, tetapi ada kontinuum di antara keduanya.

3. Penerjemahan

Nida dan Taber (1974: 4) mendefinisikan penerjemahan sebagai “the interpretation of the verbal signs of one language by means of the signs of another”. Catford (1965: 20) kurang lebih juga memberikan definisi yang sama, yaitu the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL). Hatim dan Mason (1997: vi) memandang penerjemahan agak berbeda, yaitu “an act of communication which attempts to relay, across cultural and linguistic boundaries, another act of communication (which may have been intended for different purposes and different readers/hearers)”. Menurut Hatim dan Mason penerjemahan bukan hanya sekedar pengalihan bahasa saja, tetapi merupakan satu bentuk komunikasi yang didasarkan pada bentuk komunikasi lainnya yang ditujukan pada pendengar atau pembaca dengan bahasa dan budaya yang berbeda.

Gambar 1. Proses Komunikasi

Komunikasi itu sendiri merupakan proses penyampaian pesan kepada penerima. Dengan demikian seorang penerjemah merupakan penerima pesan dalam bahasa dan budaya

Pesan Penerima

(6)

436 sumber, sekaligus pengirim pesan dalam bahasa dan budaya sasaran. Dalam penerjemahan, pesan merupakan tongkat estafet yang harus diterima oleh pembaca TSa secara utuh. Oleh karena itu seorang penerjemah harus memperhatikan kesepadanan Tsa dengan Tsu.

Nida dan Taber (1974) membedakan antara kesepadanan dinamis dan kesepadanan formal. Bagi mereka, kesepadanan dinamis tidak hanya terkait dengan teks, tetapi juga dengan kesepadanan reaksi pembaca teks terjemahan dengan pembaca teks asal. Menurut mereka kesepadanan dinamis lebih penting daripada korespondensi formal. Kesepadanan yang absolut tentunya tidak ada, mengingat adanya perbedaan budaya. Namun, penerjemahan tetap dapat dilakukan walaupun nuansa pesan yang disampaikan tidak utuh. Dengan demikian kesepadanan yang maksimal tetap dapat dan harus diusahakan.

Sebagai pesan, komik tidak hanya terdiri dari elemen verbal yang bersifat simbolis saja, tetapi juga terdiri dari gambar ikonis. Simbol ataupun ikon merupakan tanda semiotis yang harus diperhatikan dalam proses penerjemahan. Terkait pesan advertensi, Torresi (2007) memaparkan adanya pergerakan dari pendekatan yang hanya memperhatikan unsur verbal saja ke arah pandangan baru yang menerjemahkan teks advertensi sebagai teks multimodal dan bersifat intersemiotis. Dia menganjurkan pelokalan terjemahan teks secara menyeluruh, misalnya dengan mengganti elemen visual untuk mempertahankan komponen makna verbal, atau dengan membangun teks verbal yang sama sekali baru demi mengakomodir pasar yang berbeda.

Pendapatnya ini dapat diadopsi dalam penerjemahan komik, karena komik juga terdiri dari gambar dan komponen verbal. Untuk tujuan tertentu, gambar dalam komik memang dapat, atau sebaiknya diubah (Nuriah, 2016). Begitu pula dengan teks yang harus disesuaikan dengan gambar. Kesepadanan yang diupayakan dalam penerjemahan komik bukan lagi kesepadanan formal, tetapi kesepadanan dinamis yang fungsional, agar pembaca komik terjemahan dapat memberikan reaksi yang sama dengan pembaca teks asal.

4. Diskusi dan Pembahasan

Secara semiotis, komik terdiri dari ikon (berupa gambar) dan simbol (berupa elemen verbal). Kedua elemen ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena saling tergantung satu sama lain. Dalam menerjemahkan komik, kedua elemen ini harus diperhatikan. Dalam menerjemahkan teks verbal, elemen visual harus diperhatikan. Konteks yang digambarkan melalui elemen visual menentukan variasi bahasa yang digunakan.

Sneddon (2003) menjelaskan bahwa memang dalam bahasa Indonesia tidak ada garis pemisah yang jelas di antara variasi bahasa formal dan informal. Namun, itu tidak berarti variasi bahasa yang digunakan bersifat manasuka. Pemilihan variasi bahasa yang tepat tetap diperlukan guna memberikan hasil terjemahan yang sepadan. Penggunaan variasi formal pada semua situasi akan membuat komik terasa kaku, sedangkan penggunaan variasi informal pada situasi formal membuat terjemahan komik terasa aneh.

Suske en Wiske merupakan komik berbahasa Belanda standar yang berasal dari Belgia utara. Pada awalnya komik ini disajikan dalam dialek Vlaams, bahasa sehari-hari yang digunakan di Belgia utara. Namun, kemudian disajikan dalam bahasa Belanda standar. Bagaimana dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia?

(7)

437 Dengan demikian, variasi bahasa yang digunakan pun sebaiknya disesuaikan. Dalam situasi formal digunakan variasi formal dan dalam situasi informal digunakan variasi informal. Perhatikan dua contoh berikut (Gambar 2).

Contoh 1:

Contoh 2:

Gambar 2. Terjemahan Potongan Cerita Suske en Wiske: Het Machtige Monument

Pilihan kata nggak pada contoh 1 masih dirasa wajar. Kalimat yang dilontarkan merupakan reaksi terkejut atas hilangnya atomium yang tidak ditujukan pada orang tertentu. Dalam pada itu, contoh 2 merupakan percakapan dengan seorang raja. Pilihan kata nggak yang disejajarkan dengan kata sapaan Anda terasa janggal. Bagaimana tanggapan para pembaca terhadap penggunaan variasi formal dan informal dalam komik?

(8)

438

Hasil menarik lainnya adalah sikap bahasa anak-anak terkait tempat pengambilan sampel. Jumlah responden yang memilih variasi bahasa informal untuk situasi informal lebih tinggi persentasenya ketika mereka diminta menjawab angket di rumah. Para responden yang mengisi angket di sekolah, lebih memilih variasi formal untuk semua situasi. Hasil ini dapat saja terjadi karena anak dipengaruhi latar tempat dalam memilih variasi bahasa, dan sekolah diasosiasikan dengan variasi formal.

(9)

439 variasi bahasa yang digunakan dalam penerjemahan komik sebaiknya didasarkan pada situasi, latar, penutur dan mitra tutur yang diilustrasikan dalam gambar.

5. Simpulan

Penerjemahan komik sebaiknya tidak hanya didasarkan pada elemen verbal saja, karena komik merupakan sistem semiotis yang terdiri dari teks verbal dan gambar. Penerjemahan harus dilakukan secara intersemiotis dengan mempertimbangkan kedua elemen itu, termasuk dalam menentukan variasi bahasa yang digunakan dalam teks sasaran. Seorang penerjemah harus dapat menentukan variasi bahasa digunakan dalam TSa berdasarkan peran sosial penutur dan mitra yang tergambar dalam setiap panel untuk menghasilkan teks terjemahan yang sepadan.

Daftar Acuan

Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. Hatim, B. dan Mason, I. 1997. The Translator as Communicator. London/New York:

Routledge.

Kerrien, F. dan Auquier, J. Tanpa Tahun. De uitvinding van het Stripverhaal: Pedagogisch Dossier. Brussel: Belgisch Stripcentrum. [diakses pada 29 Mei 2016 pada https://www.stripmuseum.be/uploads/fichiers/pages/uitvinding-stripverhaal-web.pdf]. McCloud, S. 1993. Understanding Comics: The invisible Art. New York: Harper Collins &

Kitchen Sink Press.

Nida, E. A. dan Taber, C. R. 1974. The theory and practice of translation. Leiden: Brill. Nuriah, Z. 2016. “Cultuurbotsingen bij het Vertalen van Stripverhalen”, dalam: Eliza

Gustinelly, Munif Yusuf, dan Kees Groeneboer K. (ed), 45 Jaar Studie Nederlands in Indonesië (45 Tahun Studi Belanda di Indonesia), hlm. 339-359. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Sneddon, J.J. 2003. “Diglossia in Indonesian”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde

159 (4): 519-549.

Torresi, I. 2007. “Advertising”, dalam: M. Baker dan G. Saldanha (ed.), Routledge Encyclopedia of Translation Studies, hlm. 6-10. New York: Routledge.

(10)

Gambar

Gambar 2. Terjemahan Potongan Cerita Suske en Wiske: Het Machtige Monument
Tabel 1. Sikap bahasa anak

Referensi

Dokumen terkait

Kerja Sama Usaha tani Tebu Rakyat (KSU-TR), yaitu kerja sama saling menguntungkan dalam melaksanakan usaha tani tebu antara petani/kelompok tani/Koperasi dengan Pabrik

Pengantar $ebuah diskusi dalarn pelatihan keuangan menjadi penga- Iaman menarik karena ternyata banyak di antara peserta diskusi tersebut mengalami, merasakan, dan

Oleh karena itu mengingat pertumbuhan penduduk yang cukup pesat terutama di salah satu Kawasan Peruntukan Pariwisata dengan contoh kecamatan Batujaya tepatnya di Desa Batujaya

Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi setelah memeriksa dan meneliti serta mencermati dengan seksama berkas perkara beserta turunan resmi putusan Pengadilan

Kadar Hb pada tingkat borderline akan meningkat bila intervensi diperpanjang sampai dengan 6 bulan seperti halnya penelitian terdahulu (Mulyati 1985, 200a &

(2005) yang mengkaji suhu ion dan elektron di lapisan F ionosfera pada kawasan India ketika suria minimum tahun 1995 - 1996 mendapati bahawa suhu ion dan elektron adalah berkadar

Pada penelitian ini subtitusi tepung daun singkong fermentasi pada perlakuan P1 untuk tepung ikan 3% dan tepung jagung 7%, ini merupakan komposisi yang baik untuk pakan

Uji toksisitas tahap awal dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dilakukan terhadap ekstrak kental n -heksana dan metanol untuk mengetahui aktivitas