• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEGARA ISLAM SEBAGAI NEGARA HUKUM Studi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NEGARA ISLAM SEBAGAI NEGARA HUKUM Studi"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

NEGARA ISLAM SEBAGAI NEGARA HUKUM (Studi Singkat Atas Pemikiran Imam Al-Syatibi)

Oleh: M. Taufiq Rahman

Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi (720-790 H.)1 adalah salah seorang ulama penting dari madzhab Maliki dan pemikiran pembaharuan Islam. Yang terkenal melalui pemikirannya tentang masalih al-mursalah, yang termaktub dalam doktrinnya tentang usul fiqh, terutama teorinya

tentang maqasid al-syari’ah dan juga dalam fatwa-fatwanya. Misalnya, dia mengizinkan untuk dipungut suatu pajak yang tidak disebut dalam syari’ah, tetapi semata-mata keperluan untuk menangani kesulitan ekonomi kerajaan Nasrid di Granada.2

Demikianlah pemikiran seorang faqih: pemikirannya selalu mencoba menggabungkan antara keperluan manusiawi dan risalah Illahi. Berikut akan kita lihat bagaimana seorang faqih, al-Syatibi, menjawab terhadap permasalahan kenegaraan, sebuah permasalahan yang selalu menjadi sumber pemikiran dan gerakan politik.

Menurut al-Syatibi, arti penting dari kekuasaan (al-sultah) adalah untuk menegakkan hukum (syari’ah) yang telah diturunkan Allah SWT untuk manusia. Kekuasaan (power) itu haruslah mampu untuk menegakkan keadilan dan mencegah

1

Abu Ishaq al-Syatibi,Al-Muwafaqat, Dar al-Fikr, Beyrut, t.t., Jilid I (selanjutnya disebut al-Muwafaqat, I saja), h. 32.

(2)

dari memperturutkan hawa nafsu. Allah menyatakan hal ini kepada Nabi Daud a.s. seperti tercantum dalam Qur’an Surat 38:26, “Hai Daud, sesungguhnya Kami

menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan

(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,

karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”3

Selanjutnya, al-Syatibi mengatakan bahwa Jama’ah itu ialah orang-orang yang mendahulukan ikhtiar mereka untuk hukum sebelum yang lain-lain. Inilah metode yang telah dilakukan para sahabat Nabi dalam melaksanakan musyawarah (al-shura). Konsekuensi dari pemikiran yang mendasarkan pada hukum ini ialah bahwa jika terjadi pengeliruan hukum karena diberikan urusannya kepada yang bukan ahlinya, maka hal ini telah keluar dari arti yang benar tentang musyawarah dalam Islam, dan dari sini akan muncullah bid’ah-bid’ah.4

Selanjutnya, al-Syatibi pun mengeluarkan kaedah politik umum dalam masalah kekuasaan (al-sultah) dan penegakkan hukum. Ia menyatakan, ‘Barangsiapa yang berkuasa pada satu wilayah maka ia harus menegakkannya (hukum itu); dan barangsiapa yang tidak berkuasa untuk menegakkannya maka ia mempunyai kewajiban lain, yaitu menegakkan kekuasaan itu sendiri’.5 Di sini jelaslah bahwa ia telah menunjukkan hukum sebab akibat (causality) tentang kekuasaan, yaitu bahwa

3Al-Muwafaqat, II: 153.

(3)

‘kekuasaan akan langgeng jika ada penegakkan hukum dan kekuasaan tidak akan langgeng jika tidak ada penegakkan (supremasi) hukum.’

Adapun tegaknya hukum pada suatu bangsa itu karena hal itu dihasilkan dari pemikiran ahli ilmu, orang arif, dan orang-orang yang adil. Demikian itu karena mereka tidak akan merusak manusia baik harta mereka, keturunan mereka, dan agama mereka. Hal-hal demikian akan rusak apabila dipegang oleh orang-orang yang bodoh, rakus, dan perusak.6 Para pembuat keputusan (decision makers) dan penegak hukum yang diperlukan adalah para ahli ilmu dan perbaikan (ahl al-salah). Sedangkan metodenya adalah dengan cara musyawarah para ahli ilmu, pemikiran, dan sekaligus mereka yang saleh. Metode tersebut akan tidak berguna jika mereka yang bermusyawarah adalah mereka yang memperturutkan hawa nafsunya, orang-orang yang licin, dan orang-orang yang rakus.7 Di sini dimensi etis masuk sebagai ukuran bagi moralitas para penguasa dan pengambil keputusan. Lebih jauh al-Syatibi bahkan menegaskan bahwa para penguasa Islam tidaklah bisa bermegah-megahan dalam kehidupannya. Mereka tidak bisa berbaju sutera, bercincin emas, dan sebagainya. Karena hal ini masuk kepada bid’ah dalam hal adat. Dengan pendapatnya ini ia ingin menyangkal pendapat-pendapat ahli fiqih lain yang menyebutkan bahwa hal-hal itu bagi penguasa adalah bisa (ja’iz).8

6Al-Muwafaqat, II: 178.

7Al-I’tisam

(4)

Lalu, apa yang disebut dengan kekuasaan politik? Dari penjelasan di atas dapatlah dijelaskan bahwa apa yang dipikirkan oleh al-Syatibi adalah apa yang sebetulnya ditekankan dalam demokrasi pada abad kontemporer ini. Yaitu bahwa ‘tidak ada kekuasaan tanpa konstitusi’. Di sini al-Syatibi berpendapat bahwa ‘tidak ada kekuasaan tanpa syari’ah’. Demikian pula ia berpendapat bahwa semua manusia berkedudukan sama dalam hukum. Berarti al-Syatibi telah lebih dahulu dari pemikiran demokrasi modern tentang persamaan di hadapan hukum (equality before the law).

Terhadap hal ini Al-Syatibi menegaskan pendapatnya dengan mengutip ayat 50 dari surat al-Ma’idah yang bermakna, ‘Apakah hukum Jahiliyah yang mereka

kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi

orang-orang yang yakin?’ dan Hadits riwayat Bukhari, Ahmad, dan Abu Daud, ‘Tidak ada

batasan yang berlaku kecuali batasan Allah dan Rasul-Nya’. Selanjutnya al-Syatibi menyatakan, ‘ayat dan hadits tersebut tidak mempunyai makna lain kecuali menyatakan asal dari syari’ah itu buat semua orang tanpa kecuali, berlaku umum dan tidak khusus, secara mutlak (tanpa kecuali) tidak muqayyad (khusus). Maka baik yang kecil maupun besar dari antaramutakallifin (yang kena beban), baik yang mulia ataupun yang hina, yang tinggi posisinya ataupun yang rendah, di depan hukum syari’ah semuanya sama.’9

(5)

Kemudian ia pun memperingatkan tentang siapa saja yang keluar dari asas hukum itu. Ia menyatakan, ‘maka barangsiapa yang keluar dari asas yang dikehendaki ini, ia telah keluar dari Sunnah kepada bid’ah dan dari tegak lurus (istiqamah) kepada kerentanan (angin-anginan).’10

Selain itu, al-Syatibi pun menegaskan pula bahwa tidak ada kekuasaan kecuali Allah (Laa sultata illa Allah). Di sini nampak bahwa al-Syatibi sedang mengangkat apa yang telah difirmankan Allah dalam QS. Ali Imran ayat 26, yang maksudnya:

‘Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan

kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang

Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau

hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan.

Seungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”’ Sementara itu, Allah memberikan hukum-hukum-Nya kepada manusia. Maka, barangsiapa keluar dari hal itu maka hukumnya adalah hukum Jahiliyah. Arti dari kekuasaan Allah itu tidak lain kecuali menegakkan hukum syari’at-Nya kepada hamba-hamba-Nya.11

Dengan demikian, al-Syatibi berpendapat bahwa sumber yang sebenarnya dari kedaulatan adalah kehendak Tuhan (will of God) seperti yang diwujudkan dalam hukum-hukum Syari’ah. Undang-undang Negara seperti itu timbul dari persetujuan rakyat di atas suatu kerja sama sosial, dan bisa dikatakan bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat sebagaimana halnya demokrasi. Tetapi, dalam masyarakat Islam

(6)

yang sejati, persetujuan rakyat di atas rencana tertentu ini adalah hasil dari penerimaan mereka kepada ajaran-ajaran Islam sebagai suatu peraturan Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada lagi soalnya mengenai kedaulatan yang diberikan kepada mereka yang telah menjadi hak mereka itu. Kekuasaan mereka adalah suatu macam dari perwakilan, yang memegang amanat dari Tuhan, dan negara Islam itu mengambil kekuasaannya dari Tuhan.

Selanjutnya, bagi al-Syatibi, sesungguhnya kaidah asas dalam hukum publik itu berlaku baik dalam hukum politik ataupun hukum pengadilan, yaitu selalu terikat dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Demikian itu karena kedua sumber itu adalah undang-undang politik sekaligus juga undang-undang hukum percabangan yang mendetail bagi undang-undang pengadilan untuk setiap individu. Tidaklah berlaku bahwa putusan hakim itu suatu undang-undang. Untuk ini al-Syatibi perlu untuk menjelaskan bahwa ini adalah perilaku sahabat pada zaman Islam awal. Menurutnya, mereka itu ‘tidak pernah dikisahkan membuat keputusan berasaskan pada adanya harta di sebaliknya, atau karena hal itu bersesuaian dengan kesukaan atau keinginan mereka.’12

Al-Syatibi menegaskan bahwa para khalifah yang empat (Khulafa al-Rasyidin) tidak pernah memberikan suatu putusan keluar secara asasi dari apa yang dilakukan Rasulullah S.A.W. Khalifah pertama Abu Bakar r.a. misalnya dalam politiknya selalu mengikut kepada perbuatan Rasulullah S.A.W. Abu Bakar berkata,

(7)

‘Aku tidak pernah meninggalkan sedikitpun dari apa-apa yang telah diperbuat oleh Rasulullah S.A.W. kecuali akupun kemudian melakukannya.’13

Adapun terikat dengan perbuatan Rasulullah S.A.W. adalah berarti pula terikat dengan kekuasaan (supremasi) Syari’ah. Di sini al-Syatibi berpendapat bahwa Khutbahnya Umar ibn Abd al-Aziz r.a. ketika diangkat menjadi khalifah telah menggambarkan benarnya ibarat dari kaidah ini sekaligus mengambil intisari dari politik Khulafa al-Rasyidin. Berikut bisa kita saksikan bagaimana khutbah Umar ibn Abd al-Aziz r.a. tersebut untuk menjelaskan kaidah negara konstitusional seperti yang kita kenal sekarang ini, yang sebenarnya telah pula dilakukan oleh para Khalifah yang Empat. Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz r.a. berkata:

Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi lagi setelah Nabi kalian, tidak ada kitab lagi setelah Kitab kalian, tidak ada sunnah lagi setelah Sunnah (Nabi) kalian, juga tidak ada umat lagi setelah kalian. Ingatlah bahwasanya yang halal itu adalah apa yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya lewat lisan Nabi-Nya, dan itu terus halal hingga hari kiamat. Ingatlah bahwasanya yang haram itu adalah apa yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya lewat lisan Nabi-Nya, dan itu terus haram hingga hari kiamat. Ingatlah bahwasanya aku ini bukanlah seorang bid’ah, tetapi aku seorang pengikut (muttabi’). Ingatlah bahwasanya aku bukanlah pemutus tetapi praktisi. Ingatlah bahwa aku bukanlah bendahara, tetapi aku akan menempatkan sesuai yang diperintahkan. Ingatlah bahwa aku ini bukanlah yang paling baik diantara kalian, tetapi aku adalah orang yang menanggung beban paling berat di antara kalian. Ingatlah bahwasanya tidak ada ketaatan kepada makhluk (Allah) untuk bermaksiat kepada Khalik.14

Sesungguhnya al-Syatibi dalam kekukuhannya dalam menetapkan kekuasaan Syari’ah telah menyingkapkan kepada kita bahwa umat Islam itu harus tetap dalam

(8)

hukum-hukum Islam tentang kekuasaan. Hukum Islam itulah sebenarnya yang mutlak dan kokoh, yang tidak ada pertentangan di dalamnya. Secara dogmatis al-Syatibi menyatakan, ‘Maka barangsiapa yang menyesuaikan dengannya (hukum Islam itu), maka ia benar adanya. Dan barangsiapa menyalahinya, maka ia berada dalam kesalahan. Barangsiapa yang sesuai dengannya maka ia terpuji lagi bahagia, dan barangsiapa yang menyalahinya maka ia tercela dan terkutuk. Barangsiapa yang sesuai dengannya maka ia telah menempuh jalan petunjuk (hidayah) dan barangsiapa yang menyalahinya maka ia telah jatuh ke jalan yang sesat dan menyesatkan.15

Selanjutnya al-Syatibi berpendapat tentang posisi syari’ah dalam negara. Ia memperingatkan bahwa negara itu tidak mensyari’atkan karena yang mensyari’atkan itu adalah Allah S.W.T. Negara hanyalah mengundangkannya secara detail dengan bantuan para ulama mujtahid yang melakukan pengambilan kesimpulan (istinbat) hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka negara itu hanya mengundangkan (mengkonstitusikan) dan tidak mensyari’atkan.

(9)

DAFTAR PUSTAKA Azhary, Muhammad Tahir

1992 Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta.

1995 Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Judul Asli “Islamic Legal Philosophy; a Study of Abu Ishaq Al-Syatibi’s Life and Thought,” Alih Bahasa Yudian Wahyudi Asmin, Al-Ikhlas, Surabaya.

___________,

1993 “Syatibi’s Theory of Meaning,” dalamIslamic Studies, 32:1. Moten, Abdul Rashid

1996 Political Science: An Islamic Perspective, St. Martin’s Press, London. Syatibi, Abu Ishaq,

Al-t.t. Al-Muwaffaqat fi Ushul Al-Ahkam, Dar El-Fikr, Beyrut ________________,

t.t. Al-I’tisham, Dar El-Fikr, Beyrut ________________,

1985 Al-Fatawa,Dinamika Berkah Utama, Jakarta Departemen Agama R.I.

1989 Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Toha Putra, Semarang. The Encyclopaedia of Islam

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan peningkatan aras starter hingga 6% dan lama pemeraman hingga 21 hari tidak menurunkan kadar NDF dan ADF..

Spesies serangga pengunjung bunga yang hanya ditemukan pada lahan pertanaman mentimun yang dekat dari habitat alami lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanaman mentimun

“Dia telah menjadikan di bumi ini sebagai sumber daya alam yang sangat memadai untuk segala keperluan manusia, agar manusia mau bersyukur kepada Allah, tetapi sangat sedikit

batu bara, coal washing, coalification, pembatubaraan, pencucian batu baram coal benification Ditulis oleh Ratna dkk pada 15-01-2010 Seperti disebutkan dimuka, batubara adalah

Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait dengan unit yang diproduksi dan biaya overhead produksi tetap dan variabel yang di alokasikan

SLEMAN 31-12-1942 Perempuan Janda/Duda (C.Mati) Kepala Keluarga

Di era sekarang ini dan sebuah keamanan menjadi perhatian utama bagi teknologi elektronik (Niranjanamurthy and Chahar 2013) agar tetap aman seiring meningkatnya

Untuk wilayah Pulau Singkep, sebaran batuan metamorfik dari Kompleks Malihan Persing dan granit Tanjungbuku merupakan kelompok batuan keras yang sangat potensial untuk