TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Deskripsi Umum S. alba
Berdasarkan Puspayanti et al. (2013), klasifikasi S. alba adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Sonneratiaceae
Genus : Sonneratia
Spesies : Sonneratia alba Smith.
Sonneratia alba Smith. (Perepat) tumbuh pada substrat berlumpur, kulit
batang berwarna krem hingga cokelat dengan retak-retak halus di permukaannya.
S. alba memiliki akar pasak (pneumatophore) yang terlihat pada saat air laut
sedang surut. Daunnya tebal berbentuk bulat telur yang berwarna hijau cerah dan
letaknya saling berhadapan (opposite). Buah berbentuk bola yang berwarna hijau
keabu-abuan dengan diameter 5-7,5 cm. Bunganya berbenang sari cukup banyak,
terdapat diujung-ujung ranting dan berwarna putih. Tumbuhan ini dapat
dimanfaatkan kayunya untuk dijadikan rusuk dan siku-siku perahu
(Sugiarto dan Willy, 1996).
S. alba ditemukan pada daerah estuaria yang berbatasan antara muara
sungai dengan substrat yang berpasir. Menurut Bengen (2004) S. alba dapat
Komponen dan Zonasi Vegetasi Mangrove
Menurut Tomlinson (1986) vegetasi mangrove tersusun atas tiga
komponen, yaitu mayor, minor, dan asosiasi. Komponen mayor merupakan
vegetasi yang memiliki peran yang besar dalam menyusun struktur mangrove dan
mampu membentuk tegakan murni, mempunyai karakteristik adaptasi
morfologi/anatomi seperti sistem perakaran udara (aerial root) dan memiliki
mekanisme fisiologis khusus untuk mengeluarkan garam. Komponen mayor
terdiri dari lima famili dengan sembilan genus, yaitu: Avicennia, Bruguiera,
Ceriops, Kandelia, Laguncularia, Lumnitzera, Nypa, Rhizophora dan Sonneratia.
Komponen minor hanya muncul pada batas luar habitat mangrove serta
jarang membentuk tegakan murni. Komponen minor terdiri dari sebelas genus
dari famili yang berbeda, yaitu: Camptostemon, Excoecaria, Pemphis,
Xylocarpus, Aegiceras, Osbornia, Pelliciera, Aegialitis, Acrostichum,
Scyphiphora dan Heritiera. Sedangkan komponen asosiasi merupakan vegetasi
yang tidak pernah tumbuh dalam komunitas mangrove dan sering muncul sebagai
vegetasi daratan. Komponen asosiasi terdiri dari 29 famili dengan 40 genus,
antara lain : Acanthus, Calophyllum, Terminalia, Derris dan Pongamia.
Setiap jenis tumbuhan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang
berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan seperti kondisi tanah, salinitas,
temperatur, curah hujan dan pasang surut. Hal ini menyebabkan terjadinya
struktur dan komposisi tumbuhan mangrove dengan batas-batas yang khas, mulai
dari zona yang dekat dengan daratan sampai dengan zona yang dekat dengan
lautan, serta menyebabkan terjadinya perbedaan struktur tumbuhan mangrove dari
Pola zonasi erat kaitannya dengan kondisi ekologi terutama yang
berhubungan dengan kemampuan hidup jenis tumbuhan penyusunnya terhadap
berbagai tingkat salinitas, suhu, sedimentasi, terjangan ombak, lamanya periode
pasang surut air laut dan pasokan air tawar dari darat (Noor etal., 1999).
Faktor-faktor lainnya seperti toleransi naungan, cara penyebaran tumbuh-tumbuhan
mangrove muda serta seleksi terhadap mangrove muda oleh kepiting akan
berpengaruh terhadap zonasi mangrove (Talib, 2008). Oleh karena itu,
karakteristik mangrove bervariasi pada lokasi yang berbeda dan dapat saling
tumpang tindih antar zona atau bahkan dapat terjadi pengurangan zona akibat
kondisi beberapa faktor penunjang pertumbuhan yang tidak normal. Pada
umumnya lebar zona mangrove jarang melebihi 4 km, kecuali pada beberapa
daerah sekitar muara serta teluk yang dangkal dan tertutup. Jenis mangrove
tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama tanah endapan lumpur
terakumulasi. Dalam hubungannya dengan zonasi pada hutan mangrove,
Noor et al. (1999) membaginya menjadi 4 zona yaitu:
1. Mangrove terbuka, yaitu kawasan mangrove yang berhadapan langsung
dengan laut. Pada tempat-tempat yang tanahnya berpasir dan agak keras
didominasi oleh Sonneratia alba, sedangkan pada tanah berlumpur cenderung
didominasi oleh Avicenia marina dan Rhizophora mucronata.
2. Mangrove tengah, adalah kawasan mangrove yang berada di belakang
mangrove terbuka dan terhindar dari hempasan gelombang. Di sini
Rhizophora masih mendominasi tempat-tempat yang berlumpur dengan
perakaran terendam saat air laut pasang (Arief, 2003). Di bagian dalam dari
dengan baik pada salinitas kurang dari 25 o/oo (Supriharyono, 2000). Jenis
pohon lain yang juga sering dijumpai di sini adalah Excoecaria agallocha dan
Xylocarpus granatum.
3. Mangrove payau, terdapat di sepanjang tepi sungai yang berair payau sampai
hampir tawar. Jenis-jenis tumbuhan yang biasanya mendominasi vegetasi di
daerah ini antara lain adalah nipah (Nypa fruticans) dan jenis-jenis dari marga
Sonneratia. Jenis-jenis pohon lainnya adalah Cerbera manghas, Gluta
velutina dan Xylocarpus granatum.
4. Mangrove daratan, terletak di perairan payau (hampir tawar) di belakang jalur
hijau mangrove. Zona ini memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dari
zona lain karena berbatasan langsung dengan ekosistem darat. Tumbuhan
yang umum dijumpai antara lain adalah Lumnitzera racemosa, Intsia bijuga,
Ficus microcarpus, Heritiera littoralis, Nypa fruticans dan Pandanus spp.
Cekaman Garam pada Mangrove
Keragaman jenis hutan mangrove secara umum relatif rendah jika
dibandingkan dengan hutan alam tipe lainnya, hal ini disebabkan oleh kondisi
lahan hutan mangrove yang secara periodik digenangi oleh air laut (dipengaruhi
pasang surut), sehingga mempunyai salinitas yang tinggi dan berpengaruh
terhadap keberadaan jenisnya (Talib, 2008).
Salinitas atau cekaman garam secara sederhana dapat diartikan sebagai
suatu keadaan dimana garam larut dalam jumlah yang berlebih dan dapat
berakibat buruk bagi pertumbuhan tanaman. (Syakir et al., 2008). Menghadapi
cekaman garam yang tinggi, jenis-jenis tumbuhan mangrove memiliki banyak
Jenis S. alba mampu menyimpan kadar garam yang tinggi pada daun-daun tua,
sehingga konsentrasi garam pada daun muda akan berkurang. Kadar garam akan
dikeluarkan dari pohon bersamaan dengan gugurnya daun-daun tua
(Atmoko dan Kade, 2007). Arief (2003) menyatakan bahwa semua ciri morfologi
dan anatomi pohon mangrove mencerminkan kondisi pada posisi
mempertahankan diri terhadap lingkungan yang bersalinitas tinggi.
Pada umumnya respon pertumbuhan tinggi mangrove yang baik diperoleh
pada salinitas yang rendah. Hal ini terjadi karena tumbuhan mangrove bukan
merupakan tumbuhan yang membutuhkan garam (salt demand) tetapi tumbuhan
yang toleran terhadap garam (salt tolerance). Mangrove bukan halofit obligat,
yang berarti bahwa tumbuhan mangrove dapat tumbuh pada air tawar, tetapi
mangrove akan tumbuh maksimum pada pertengahan antara air tawar dan air laut
(Hutahaen et al., 1999).
Metabolit Sekunder pada Mangrove
Senyawa metabolit sekunder merupakan jenis senyawa yang dihasilkan
oleh mahluk hidup untuk mempertahankan dirinya dari lingkungan yang ekstrim
maupun gangguan makhluk hidup lain di habitatnya. Senyawa metabolit sekunder
dihasilkan suatu tanaman bukan untuk kebutuhan utamanya seperti untuk
pertumbuhan maupun perkembangannya. Senyawa metabolit ini umumnya
memiliki kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari
gangguan hama penyakit atau lingkungan yang tidak mendukung untuk tumbuhan
Mangrove adalah tanaman yang toleran terhadap garam dan dikenal kaya
sumber metabolit sekunder dan memiliki potensi sebagai bahan obat alami.
Misalnya triterpenoida, alkaloida, dan fitosterol. Zat kimia ini merupakan
senyawa aktif untuk pengembangan agen bioaktif baru (Basyuni et al., 2013).
Senyawa-senyawa metabolit sekunder memiliki efek toksik, farmakologik,
dan ekologik penting (Bandaranayake, 2002). Senyawa fenolat diketahui sebagai
senyawa pelindung tumbuhan dari herbivora, dan fungsi utama sebagian besar
senyawa fenolat adalah melindungi tumbuhan dari kerusakan akibat cahaya yang
berlebihan dengan bertindak sebagai antioksidan, dan levelnya bervariasi sesuai
dengan kondisi lingkungannya (Close dan McArthur, 2002). (Agati et al., 2007)
juga menyatakan bahwa senyawa fenolat dapat melindungi mangrove dari
kerusakan akibat radiasi ultraviolet. (Banerjee et al., 2008) melaporkan adanya
kecenderungan peningkatan produksi senyawa fenolat pada tumbuhan mangrove
bila tumbuh dan bertahan dalam kondisi tertekan.
Milon et al. (2012) menyatakan bahwa tanaman dari famili Sonneratiaceae
memiliki kandungan metabolit sekunder berupa tanin yang berperan sebagai
antimikroba. Sudira et al. (2011) menambahkan bahwa senyawa tanin merupakan
senyawa organik yang aktif menghambat pertumbuhan mikroba dengan
mekanisme merusak dinding sel mikroba dan membentuk ikatan dengan protein
fungsional sel mikroba. Kusumadewi (2014) menemukan bahwa ekstrak buah
S. alba mengandung metabolit sekunder yaitu alkaloid, tanin dan flavonoid.
Senyawa alkaloid, flavonoid dan tanin memiliki aktivitas sebagai antijamur.
mikroba. Sedangkan flavonoid dapat merusak permeabilitas dinding sel mikroba
mampu menghambat pertumbuhan mikroba.
Non Saponifiable Lipids (NSL)
Seperti karbohidrat, lipid tersusun dari atom-atom karbon, hidrogen, dan
oksigen. Tetapi lemak memiliki porsi atom hidrogen yang lebih banyak
dibandingkan dengan molekul karbohidrat. Selain itu, dalam berat yang sama,
energi yang terkandung dalam molekul lipid lebih dari 2 kali lipat dibandingkan
dengan yang terkandung dalam karbohidrat. Lemak disintesis dari gliserol dan
asam-asam lemak. Lemak merupakan bagian dari lipida. Semua molekul lipida
dibentuk dari asam-asam organik, tetapi tidak semua mengandung gliserol,
sedangkan lemak selalu terbentuk dengan kerangka gliserol. Lilin (wax) yang
dihasilkan tumbuhan merupakan contoh lipida yang bukan lemak. Baik lemak
maupun minyak dibentuk dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam
lemak (Lakitan, 2008).
Lipid merupakan bagian penting dari karbon yang dihasilkan oleh
mangrove. Pengetahuan tentang komposisi lipid dibutuhkan untuk menduga
sumber dan akumulasi rata-rata dari sendimentasi bahan organik.
Non-saponifiable lipid (NSL) pada dasarnya merupakan bagian lipid yang sederhana
kecuali asam lemak (saponifiable lipid) setelah hidrolisis alkaline dari total lipid,
dan mengandung sterols, rantai panjang alkohol, dan alkanes
(Basyuni et al., 2012).
Polyisoprenoid pada Mangrove
Polyisoprenoid telah ditemukan sejak awal tahun 60-an pada bakteri, ragi,
polyisoprenoid, telah dihasilkan sejumlah publikasi yang sangat menarik.
Polyisoprenoid merupakan sekelompok polimer hidrophobik yang tersebar luas di
alam (Swiezewska, 2005). Rantai polyisoprenoid terdiri dari 5 – 100, bahkan lebih
unit isoprenoid yang membentuk polimer berbeda dengan rantai panjang dan atau
konfigurasi geometrikalnya (Ciepichal et al, 2011).
Polyisoprenoid terbagi menjadi polyprenols dan dolichols. Polyisoprenoid
tersusun atas polimer lurus yang terdiri dari beberapa hingga lebih dari 100 unit
isoprenoid yang telah diidentifikasi di hampir semua makhluk hidup
(Tudek et al., 2007). Kandungan polyprenol pada tanaman pernah dilaporkan
menunjukkan perubahan akibat umur (Ibata et al., 1983) dan musim, (Swiezewska
et al., 1994) namun arti fisiologi dan fungsi dari polyprenols belum diketahui.
Sebaliknya, rantai panjang dolichol pernah dilaporkan terdapat pada hewan, ragi,
dan tanaman. Kandungan dolichol di hewan dan tanaman pernah dilaporkan
bertambah karena akibat perbedaan umur (Jankowski et al., 1994).
Metode one-dimensional plate thin layer chromatography (1D – TLC)
merupakan metode yang dibuat untuk memisahkan campuran dolichol dan
polyprenols secara efektif dan efisien. Metode 1D-TLC akan menunjukkan