TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Manfaat Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan hutan yang hanya terletak pada pertemuan
daratan dan lautan di dunia bagian tropik maupun subtropik (Alongi, 2002).
Ekosistem mangrove merupakan tempat di mana air pasang dan arus pantai
membawa perbedaan terhadap hutan dan di mana tumbuh-tumbuhan beradaptasi
terhadap perubahan kimiawi, fisika dan karakteristik biologis lingkungannya.
Batasan-batasan dari ekosistem daerah pesisir ini dapat disesuaiakan definisinya
terhadap yang berhubungan dengan bumi dan ekosistem lautan yang
membatasinya. Dalam tahun terbaru ada studi-studi khusus mengenai fauna, flora,
ekologi, hidrologi fisiologi dan produktivitas dari banyak perbedaan
ekosistem-ekosistem mangrove, kebanyakan adalah kondisi dalam keadaan asli
(Field, 1996).
Sebagai suatu negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 81.000 km,
Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas. Selain menempati wilayah
yang sangat luas, kawasan pesisir yang terdiri dari berbagai ekosistem pendukung
seperti ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan lahan basah.
Memiliki keanekaragaman hayati dan berbagai sumber daya alam seperti ikan dan
bahan-bahan tambang yang bernilai tinggi. Potensi yang demikian besar tentunya
memberikan peluang yang besar pula terhadap terciptanya berbagai bentuk
pemanfaatan seperti usaha pertambakan, pertanian, perindustrian, pemukiman,
pariwisata, pertambangan dan penangkapan ikan (Savitri dan Khazali, 1999).
pendukung kehidupan berupa daerah asuh bagi banyak spesies ikan. Di Indonesia,
wilayah pesisir dan laut menjadi habitat bagi sejumlah besar hewan dan tumbuhan
yang menjadi penunjang kehidupan manusia. Wilayah pesisir juga berfungsi
sebagai pelindung alami dari dinamika proses kelautan dan iklim yang sering kali
tidak dapat diduga. Selain itu, keterkaitan wilayah pesisir dan laut sangat
berpengaruh terhadap keberadaan dan kesehatan habitat dan rantai makanan
(Gunawan dkk, 2004).
Kondisi Terkini Ekosistem Hutan Mangrove
Ekosistem alami di kawasan tropika sering kali amat rentan terhadap
degradasi oleh kegiatan penebangan, kebakaran, penggembalaan dan budidaya
pertanian dan perladangan yang berlebihan yang menyebabkan vegetasi asli sulit
untuk pulih kembali. Kondisi hutan yang rusak tersebut tidak akan pernah dapat
untuk pulih kembali seperti semula (Kusmana dkk, 2004).
Sering kali kita menghadapi kondisi wilayah pesisir dan laut yang sudah
tidak mampu melangsungkan fungsi ekologisnya atau sudah tidak utuh secara
ekologis. Dalam perencanaan kawasan konservasi, kita harus dapat menilai dan
mengevaluasi keberadaan sasaran konservasi di wilayah perencanaan. Seperti
yang terjadi di wilayah-wilayah lain, di banyak wilayah pesisir di Indonesia,
kondisinya telah terfragmentasi sehingga fungsionalitas ekosistem telah berada di
bawah viabilitas, atau kelayakan. Berbagai bentuk gangguan yang merupakan
bagian penting dari fungsionalitas tersebut sudah tidak berfungsi dengan baik
Tidak hanya terjadi di wilayah pesisir pedalaman yang jauh dari pantauan
pemerintah. Kerusakan ekosistem mangrove yang rusak juga ternyata terjadi juga
di wilayah perkotaan seperti kasus di DKI Jakarta. Dimana ekosistem mangrove
mengalami tekanan yang berat akibat kegiatan perambahan dan atau
pengalihfungsian kawasan mangrove sebagai akibat tumbuh kembangnya
pusat-pusat kegiatan dan aktivitas manusia seperti pengembangan pemukiman,
pembangunan fasilitas rekreasi dan pemanfaatan lahan pasang surut
untukkepentingan pertambakan (Waryono dan Didit, 2002).
Adanya kemudahan aksesibilitas terhadap kawasan ini akan cenderung
meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang. Selain
itu, hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah fakta yang menunjukkan bahwa
tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia bermukim di kawasan ini.
Kesemuanya merupakan tekanan-tekanan dan beban yang harus dipikul
lingkungan pesisir. Dengan memperhatikan fenomena di atas maka pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan adalah suatu kebutuhan
(Savitri dan Khazali, 1999).
Pengertian Restorasi
Restorasi merupakan upaya memulihkan kawasan hutan yang mengalami
kerusakan (degraded) atau terganggu (disturbed) akibat aktivitas manusia atau
gangguan alam (Basyuni, 2002). Dengan upaya restorasi, kemungkinan pulihnya
proses ekologi akan kembali, serta dengan upaya ini, ketahanan yang menjadi
Salah satu tantangan dan tanggung jawab paling penting yang dihadapi
rimbawan adalah membangun hutan pada kawasan hutan yang tidak berhutan dan
menghutankan kembali areal hutan bekas penebangan. Dorongan untuk
menghutankan kembali suatu kawasan hutan dapat timbul karena alasan ekonomi
sosial maupun alasan ekologi. Dorongan ekonomi timbul karena adanya interaksi
antara persediaan dan permintaan kayu di kalangan masyarakat. Berkaitan dengan
persediaan kayu atau sumber kayu yang suatu ketika mengalami keterbatasan
jumlah, maka pengelolaan hutan semata-mata dilakukan untuk menjaga
kesinambungan suplai kayu. Alasan sosial dan ekologi didasari oleh adanya
manfaat hutan secara langsung atau tidak langsung untuk kehidupan masyarakat
di sekitar serta lingkungan yang dipengaruhinya. Tanggung jawab sosial untuk
menghutankan kembali kawasan hutan biasanya mendapatkan dukungan dari
berbagai kalangan masyarakat, pemerintah dan swasta (Indriyanto, 2008).
Mencermati uraian pentingnya konservasi sumber daya alam hayati,
dengan demikian konsep pengembangan pemulihan kawasan mangrove dalam
bidang konservasi dapat dilakukan melalui (1) penanganan dan pengendalian
lingkungan fisik dari berbagai bentuk faktor penyebabnya, (2) pemulihan secara
ekologis baik terhadap habitat maupun kehidupannya, (3) mengharmoniskan
perilaku lingkungan sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui, mengerti,
memahami, hingga pada akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung jawab
untuk mempertahankan, melestarikannya, serta (4) meningkatkan akuntabilitas
kerja institusi yang bertanggung jawab dan atau pihak-pihak terkait lainnya
Menyadari fungsi ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem hutan
mangrove yang sangat penting bagi wilayah pesisir, dimana dalam
pemanfaatannya yang tidak tepat sehingga kondisinya terus mengalami kerusakan
yang mencapai 530.000 ha/tahun. Perlu dilakukan pemulihan kembali hutan
mangrove yang telah rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya bagi
kesejahteraan manusia khususnya masyarakat sekitar hutan mangrove serta
mendukung dalam kegiatan pembanguan wilayah pesisir. Penggalakan dan
peningkatan kesadaran masyarakat tentang arti penting keberadaan mangrove
dalam kehidupan dan perekonomian mereka. Pengikutsertaan masyarakat dalam
upaya pemulihan pantai menjadi kunci keberhasilan pelestarian ekosistem
mangrove (Anwar dan Gunawan, 2006).
Lewis (2000) menyatakan bahwa, untuk memperbaiki manajemen dari
proses restorasi lahan basah bermaksud memiliki kegagalan yang lebih kecil dan
keberhasilan restorasi menjadi norma tanpa terkecuali. Maka rehabilitasi yang
bertujuan konservasi memastikan kembalinya seluruh proses ekologis dan
keragaman genetik (Field, 2007). Dan menentukan biomassa serta produksi
mangrove (Smith dan Whelan, 2006).
Pemilihan jenis mangrove untuk restorasi
Untuk pemilihan spesies mangrove untuk tujuan restorasi, survey terinci
bagian timur India sama bagusnya dengan bagian pantai barat India yang
diusahakan. Urutan dan zonasi spesies mangrove berhubungan dengan lapisan
pengamatan, kesesuaian spesies dipilih untuk restorasi mangrove. Berdasarkan
data kandungan karbon yang telah diamati, meskipun spesies mangrove berbunga
dan berbuah pada waktu-waktu yang berbeda dalam tahunya, spesies mangrove
yang dominan secara ekologis dan ekonomis, pentingnya pengembangan
persemaian-persemaian yang dewasa atau propagul-propagul selama musim
hujan. Sebab itu, pengumpulan yang matang untuk persemaian ditempatkan
selama Juni-Juli atau musim hujan (Untawale, 1996).
Perlu dilakukan observasi untuk mengetahui kondisi distribusi hutan alam
dan memperhatikan kondisi tempat tumbuhnya, misalnya tepi sungai dan tinggi
permukaan tanah dari permukaan laut dan mengobservasi kondisi di sepanjang
tepi batas penyebarannya. Juga perlu untuk mengetahui ketersediaan benih yang
diperlukan. Bila tinggi permukaan tanah, kondisi topogafi atau kondisi tanah
tempat penanaman mirip dengan hutan alam di dekatnya, bisa dipilih spesies yang
sama dengan yang dijumpai di hutan alam. Namun kegiatan pembalakan oleh
manusia biasanya sangat mempengaruhi sebagian besar kondisi tersebut.
Karena itu, pemilihan spesies tidak hanya berdasar hasil observasi ini
(Taniguchi dkk, 1999). Melibatkan pengetahuan masyarakat setempat juga dapat
dilakukan dalam pemilihan jenis. Seperti di Myanmar, pengetahuan umum
masyarakat menentukan pemilihan jenis A. marinna sebagai spesies yang
digunakan karena dipercaya mampu menahan topan (Aung dkk, 2011).
Tingkat salinitas yang berbeda berpengaruh terhadap respon pertumbuhan
tinggi maupun pertambuhan jumlah daun anakan Rhizopora mucronata dan
Avicennia marina pada umumnya diketahui bahwa respon pertumbuhan tinggi
untuk jenis Avicenia marina lebih baik pada tingkat salinitas yang lebih luas
(Hutahaean dkk, 1999). R. mucronata dan A. marinna merupakan species bernilai
penting yang dominan (Mohamed, 2009). Namun species mangrove hitam
(Avicennia germinans) juga merupakan species yang digunakan dalam program
restorasi (Toledo dkk, 2001).
Penelitian mengenai karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh vegetasi
mangrove terkait dengan respon dan toleransinya terhadap kondisi lingkungan
yang ekstrem yakni lingkungan yang memiliki salinitas tinggi, tanah jenuh air dan
miskin oksigen, radiasi sinar matahari, suhu yang tinggi telah banyak dilakukan.
Penelitian tersebut menemukan bahwa beberapa jenis tumbuhan mangrove seperti
pada jenis Avicennia dan Rhizopora memiliki adaptasi anatomi yang dikenal
dengan istilah secreter dan nonsecreter, sistem perakaran yang khas serta struktur
posisi daun yang khas dalam pengaruhnya terhadap radiasi sinar matahari dan
suhu yang tinggi (Onrizal, 2005).
Upaya dalam meningkatkan keberhasilan restorasi ekosistem hutan
memerlukan pemahaman fungsi spesies dan ekosistem. Sementara banyak dari
berbagai proyek rehabilitasi yang telah dilakukan di Indonesia berakhir gagal dan
tidak berkelanjutan (Eijk, 2012). Kriteria dalam menilai keberhasilan restorasi
harus didasarkan pada sebuah perbandingan dengan lebih dari satu referensi
lapangan yang menyediakan waktu dan ruang yang dinamis dari sebuah
ekosistem (Jaen dan Aide, 2005). Rendahnya tingkat ketahanan dapat terjadi
sebagian besar disebabkan oleh dua faktor yaitu spesies yang tidak sesuai dan
Teknik pembibitan benih untuk program restorasi
Bibit mangrove yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang
mampu menunjang keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi. Penggunaan bibit
berkualitas tinggi dan siap tanam berpeluang tinggi terhadap pertumbuhannya di
lapangan serta sebaliknya. Penyiapan bibit bakau sebaiknya menggunakan buah
yang telah masak (Wibsono dkk, 2006).
Suksesi alami akan bergantung pada tersedianya benih dari induk.
Penyebaran biji spesies pionir meliputi kawasan yang luas, dengan bantuan angin,
air atau satwa sebagai agen penyebar. Mereka dengan cepat mengkoloni tanah
terbuka. Yang lebih sulit adalah menggalakan regenerasi spesies klimaks.
Mungkin memang ada regenerasi dari biji yang tersebar secara alami dari blok
hutan berdekatan, tetapi sering diperlukan perbanyakan secara buatan dan
penyemaian tanaman (Mackinnon dkk, 1993).
Persepsi Masyarakat Sekitar Hutan Mangrove dan Kegiatan Restorasi
Kegiatan restorasi mencakup keseluruhan yang terintegrasi dengan baik
dalam setiap tahapannya, kegagalan restorasi mangrove dapat disebabkan
dikarenakan kesalahan dalam pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut,
tipe tanah dan pemiliha jenis yang tepat. Selain itu di daerah lain seperti di Pesisir
Bangi, partisipasi kelompok-kelompok tani dalam manajemen pengelolaan sangat
menentukan keberhasilan program restorasi mangrove. Sehingga masyarakat
diwajibkan menjaga kelestarian mangrove dan sebagai imbalannya mereka
mendapatkan manfaat ekologi seperti perlindungan garis pantai dan terjaganya
Persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai
pemerintah yang menganggap bawha hutan mangrove merupakan sumber daya
yang kurang berguna yang hanya cocok sebagai tempat pembuangan sampah atau
dikonversi untuk keperluan lain, kegiatan pembukaan tambak-tambak serta
ketidaktahuan akan nilai alamiah yang diberikan oleh ekosistem mangrove dan
ketiadaan perencanaan untuk pembangunan secara integral menjadi ancaman yang
serius bagi ekosistem mangrove (Ridho dkk. 2006).
Masyarakat memiliki pandangan/persepsi yang berbeda-beda mengenai
hutan mangrove, sesuai dengan kebutuhan, tujuan dan keinginan yang ingin
dicapai dalam melakukan penanaman mangrove (Walter, 2004). Pola pikir yang
etis berkaitan dengan kerangka biofisik yang ekonomis memiliki jangkauan yang
lebih luas terhadap rasa bertangung jawab dan perilaku etis yang memimpin pada
pembuatan keputusan jangka panjang yang lebih baik (Adolphson, 2004).
Interaksi antara manajemen sumberdaya pantai dengan bentuk sistem sosial secara
langsung membangun jaringan antara ekologis dan ketahanan sosial masyarakat
(Adger, 2000).
Keterlibatan Masyarakat Setempat
Pemerintah berkewajiban memberikan bimbingan baik formal maupu n
nonformal yang bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran
masyarakat serta menambah wawasan masyarakat mengenai pengelolaan
kelestarian lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam Pasal 10
lingkungan dengan segala permasalahannya, dan dengan pengetahuan,
keterampilan, sikap motivasi dan komitmen untuk bekerja secara individu dan
kolektif terhadap pemecahan permasalahan dan mempertahankan kelestarian
fungsi-fungsi lingkungan (Erwin, 2008).
Menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan yang ditetapkan
benar-benar berbasiskan pada nilai-nilai serta kearifan sistem sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat setempat masyarakat akan menumbuhkan sikap tanggung
jawab dan kepemilikan masyarakat tersebut terhadap hutan di sekitar mereka
(Oszaer, 2007). Di beberapa negara, partisipasi masyarakat dihindarkan,
sedangkan di negara lainnya digalakkan. Paling sedikit masyarakat setempat
biasanya dilibatkan dalam pengelolaan zona penyangga. Bila situasi mengijinkan,
masyarakat setempat juga dilibatkan dalam pengawasan pemungutan hasil
(seperti berburu dan pengumpulan kayu bakar tidak bertentangan dengan tujuan
pengelolaan), (Mackinnon dkk, 1993).
Masyarakat yang tinggal di sekitar atau di dalam hutan, sudah seharusnya
diperlakukan sebagai stakeholder utama dan pertama dalam pengelolaan hutan
(Wiratno, 2006). Tanpa komunikasi yang efektif proyek konservasi akan relative
tidak signifikan (Farley dkk, 2010). Kemitraan diantara stakeholders utama
(pemerintah dan masyarakat) dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
merupakan hal penting untuk mencapai pengelolaan dan pemanfaatan yang lestari