BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rencana Pembangunan Monorel di Kota Medan
2.1.1. Monorel
Monorail atau Monorel yang memiliki arti satu rel adalah sebuah metro atau rel dengan jalur yang terdiri dari rel tunggal. Sementara kereta biasa atau konvensional
memiliki dua rel paralel. Rel kereta monorel sendiri terbuat dari beton dan untuk roda
keretanya terbuat dari karet, sehingga suara kereta api monorel tidak akan sebising kereta
api konvensional. Tidak hanya itu, dalam monorel biasanya jalur keretanya ditempatkan di
atas tiang-tiang, jadi monorel tidak akan memakan atau mempersempit jalur jalanan
lainnya (Parekh, 2013). Menurut jenisnya, monorel terdapat dua tipe (Parekh, 2013) :
1. Suspended type
Tipe suspended adalah tipe monorel dimana kereta bergantung dan melaju di bawah
rel. Dalam tipe jenis ini, keretanya menggantung karena jalur relnya berada diatas
atau dengan kata lain lebih mirip dengan kereta gantung.
Gambar 2.1 Ilustrasi monorel tipe straddle-beam
Tipe straddle-beam ini adalah tipe monorel dimana kereta berjalan diatas rel. Tipe
straddle-beam ini memiliki konsep yang sama dengan kereta biasa, dimana kereta berjalan
diatas jalur rel.
Gambar 2.2 Ilustrasi monorel tipe suspended
Monorel yang merupakan moda angkutan umum yang pertama sekali dibuat pada
tahun 1820 oleh Ivan Emanov, sampai saat ini telah dioperasikan di 20 negara, dan yang
telah melayani 40 kota besar di dunia. Monorel sebagai suatu sistem juga memiliki
kelebihan dan kekurangan (Adiputra dan Ardiansah, 2012).
Kelebihan dari sistem monorel adalah:
1. Membutuhkan ruang yang kecil baik ruang vertikal maupun horizontal. Lebar
yang diperlukan adalah selebar kereta dan karena dibuat di atas jalan hanya
membutuhkan ruang untuk tiang penyangga.
2. Terlihat lebih “ringan” daripada kereta konvensional dengan rel terelevasi dan
hanya menutup sebagian kecil langit.
3. Tidak bising karena menggunakan roda karet yang berjalan di beton.
5. Lebih aman karena dengan kereta memegang rel, resiko terguling jauh lebih
kecil. Resiko menabrak pejalan kaki pun sangat minim.
6. Lebih murah untuk dibangun dan dirawat dibanding kereta bawah tanah.
Sedangkan kekurangan dari sistem monorel adalah:
1. Dibanding dengan kereta bawah tanah, monorel terasa lebih memakan tempat.
2. Dalam keadaan darurat, penumpang tidak bisa langsung dievakuasi karena
tidak ada jalan keluar kecuali di stasiun.
3. Kapasitasnya masih dipertanyakan.
4. Biaya dan energi yang cukup tinggi (untuk monorel yang menggunakan ban
karet) dan dan pergantian yang lebih lambat jika dibandingkan dengan sistem
rel biasa.
2.1.2. Rute Monorel
Adapun Feasibility Study rute monorel Kota Medan dibagi 5, yaitu :
1. Rute I (Loop) : Jalan Balai Kota–Jalan Guru Patimpus–Jalan Gatot Subroto–Jalan
Gagak Hitam–Jalan Ngumban Surbakti –Jalan AH Nasution –Jalan
Sisingamangaraja–Jalan Mesjid Raya –Jalan Katamso–Pemuda–Jalan Ayani –Jalan
Balai Kota.
2. Rute 2 (Komuter) : Jalan Gatot Subroto (Lotte Mart)–Jalan Asrama–Jalan
Cemara–Kolonel Bejo–Jalan Pancing–Jalan Aksara–Jalan AR Hakim–SP.
Menteng.
3. Rute 3 (Komuter) : Jalan Pinang Baris–TB Simatupang–Jalan Gatot Subroto–Jalan
Asrama–Jalan Cemara-Kolonel Bejo–Jalan Pancing–Jalan Aksara–Jalan AR
Hakim–SP. Menteng–Jalan Menteng–Sungai–Terminal Amplas.
4. Rute 4 (Komuter) :Jalan Jamin Ginting (Laucih/Stasiun bis)– Setia Budi – Dr
Diponogoro - Pengadilan - Raden Saleh – BalaiKota (Lapangan Merdeka).
Moh.Yamin – Letda Sujono dan berhenti di sekitar akses Jalan Tol.
5. Rute 5 (Komuter) : Jalan Jendral AH Nasution (Depan jalan karya wisata)–
menyusuri sungai ke Carefour–Jamin Ginting– Patimura/SP arman–Sudirman–
Pangeran Diponogoro–Pengadilan Raden Saleh– BalaiKota (Lapangan
Merdeka).Moh.Yamin–Letda Sujono dan berhenti di sekitar akses Jalan Tol .
2.2.Sistem Transportasi
Perangkutan adalah usaha terhadap jarak karena ada perpindahan dari ke A ke B.
Keadaan tersebut terbentuk karena ada kegiatan, yaitu kegiatan di A yang ingin mencapai
B, dan kegiatan di B yang menginginkan pelayanan dari A. Kemudian diwujudkan dalam
gerak pelayanan dari A menuju B. Gerak ini menggunakan sarana dan prasarana yang
kesemuanya adalah hasil teknologi. Jadi angkutan terjadi karena adanya kegiatan,
pergerakan dan teknologi.
Sistem transportasi perkotaan harus di tata dan disesuaikan dengan perkembangan
ekonomi, tingkat kemajuan teknologi, kebijakan tata ruang dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Dalam merencanakan sistem transportasi keempat aspek menjadi dasar
acuan sehingga masalah-masalah yang timbul dari sistem transportasi yang tidak tepat
dapat diperkecil.
Dampak dari pertumbuhan perekonomian di negara berkembang dapat dilihat
dengan meningkatnya aksesibilitas di dalam wilayah melalui jaringan transportasi. Selain
itu dengan meningkatnya jumlah manusia menyebabkan semakin besarnya ukuran kota
dan semakin besarnya jumlah lalu lintas dalam kota. Ditambah dengan makin banyaknya
jumlah dan jenis kendaraan yang beroperasi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup
manusia, hal diatas telah menyebabkan perangkutan menjadi masalah yang harus ditangani
Sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang disertai pula dengan peningkatan
perekonomian, maka tingkat mobilitas baik orang maupun barang akan meningkat pula.
Keadaan ini harus diimbangi dengan persediaan sarana dan prasarana transportasi yang
memadai. Karena bila tidak, hal tersebut akan menghadapkan kota yang sedang tumbuh
pada tantangan masalah yang sangat pelik. Di satu pihak, kota dihadapkan pada kenyataan
meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk ruang kehidupan dan penghidupan
penduduknya, dan lain pihak, kota juga dihadapkan pada tantangan menyediakan
berjalur-jalur lahan untuk prasarana lalu lintas.
Perkembangan teknologi angkutan juga mempengaruhi pola gerak masyarakat. Atau
sebaliknya, tuntutan kebutuhan gerak masyarakat mendorong perkembangan sarana
perangkutan. Dengan kata lain, perangkutan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu :
1. Sosial : Masyarakat yang membutuhkan, menggunakan, dan mengelola
perangkutan, dan juga melakukan pergerakan.
2. Fisik : Prasarana dan saran perangkutan yang memerlukan ruang bagi
pergerakannya.
3. Ekonomi : Bagaimanapun masalah ini tidak dapat dipisahkan. Karena
pembangunan prasarana perhubungan suatu daerah akan mempengaruhi
perekonomian daerah yang bersangkutan. (Warpani,S,1990).
Perencanaan transportasi merupakan proses yang panjang meliputi kebutuhan
perjalanan, pembangunan fasilitas pergerakan penumpang dan barang antara beberapa
kegiatan yang terpisah dalam ruang. Faktor utama dalam perencaanaan transportasi selalu
saling mempengaruhi antara moda perjalanan dengan perkembangan kota. Sistem
transportasi meliputi keseimbangan antara supply dan demand baik untuk pelayanan
2.3. Sarana dan Prasarana Transportasi
Sarana dan prasarana transportasi merupakan faktor yang saling menunjang, dalam
sistem transportasi keduanya menjadi kebutuhan utama. Sarana dan prasarana perlu dirinci
dan dicatat ciri khasnya, termasuk tingkat pelayanan dan pemencarannya dalam wilayah
perkotaan.
2.3.1. Prasarana Transportasi
Jaringan jalan merupakan prasarana transportasi yang mempunyai daya rangsang
terhadap pertumbuhan di sekitarnya. Tidak seimbang penyediaan jaringan jalan terhadap
jumlah pertambahan kebutuhan ruang jalan merupakan gambaran permasalahan yang besar
akan timpangnya sistem penyediaan (supply) dengan sistem permintaan (demand).
Transportasi selalu dikaitkan dengan tujuan misalnya perjalanan dari rumah ke tempat
bekerja, ke pasar atau tempat rekreasi.
Ciri utama prasarana transportasi adalah melayani pengguna, bukan merupakan
barang atau komoditas. Oleh karena itu, prasarana tersebut tidak mungkin disimpan dan
digunakan hanya pada saat diperlukan. Prasarana transportasi harus dapat digunakan
dimanapun dan kapanpun, karena jika tidak, kita akan kehilangan manfaatnya. Menurut
Undang-Undang No.13, 1980 ; pasal 1, prasarana transportasi adalah jalan.
Pada dasarnya, prasarana transportasi ini mempunyai dua peranan utama yaitu :
1. Sebagai alat bantu untuk mengarahkan pembangunan di perkotaan.
2. Sebagai prasarana pergerakan manusia dan atau barang yang timbul akibat adanya
kegiatan di daerah perkotaan tersebut.
Oleh sebab itu, kebijakan yang harus dilakukan adalah menyediakan sistem
prasarana transportasi dengan kualitas minimal agar dapat dilalui. Adanya keterhubungan
2.3.2. Sarana Transportasi
Sarana transportasi dibuat untuk mendukung pergerakan masyarakat dari satu
tempat ke tempat lain dengan menggunakan moda angkutan umum yang tersedia, sarana
transportasi juga dimaksudkan untuk melayani masyarakat dalam kegiatannya mencapai
tujuan dari pergerakan.
Sarana angkutan yang menyangkut perlalulintasan adalah terminal, rambu dan
marka lalulintas, fasilitas pejalan kaki, fasilitas parkir, dan tempat henti.
a. Terminal
Terminal transportasi adalah prasarana angkutan yang merupakan bagian dari
sistem transportasi untuk melancarkan arus penumpang dan barang, dan juga
sebagai alat pengendalian, pengawasan, pengaturan dan pengoperasian lalu
lintas.
Terminal transportasi merupakan titik simpul dalam jaringan transportasi jalan
yang berfungsi sebagai pelayanan umum yang juga merupakan unsur tata ruang
yang mempunyai peranan penting bagi efisiensi kehidupan.
b. Rambu dan Marka Lalu Lintas
Rambu dan marka lalu lintas sebagai alat untuk mengendalikan lalu lintas,
khususnya untuk meningkatkan keamanan dan kelancaran. Pada sistem jalan
marka dan rambu lalu lintas merupakan obyek fisik yang dapat menyampaikan
informasi (perintah,peringatan, dan petunjuk) kepada para pemakai serta dapat
mempengaruhi pengguna jalan.
c. Fasilitas Pejalan Kaki
Pejalan kaki adalah suatu bentuk transportasi yang penting di daerah perkotaan.
Kebutuhan para pejalan kaki merupakan suatu bagian terpadu dalam sistem
Para pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan
kendaraan, maka mereka memperlambat arus lalu lintas. Oleh karena itu, salah
satu tujuan utama dari manajemen lalu lintas adalah berusaha untuk
memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan
gangguan-gangguan yang besar terhadap aksesibilitas.
d. Fasilitas Parkir Kendaraan
Kebutuhan tempat parkir untuk kendaraan baik kendaraan pribadi, angkutan
penumpang umum, sepeda motor maupun truk adalah sangat penting.
Kebutuhan tersebut sangat berbeda dan bervariasi tergantung dari bentuk dan
karakteristik masing-masing kendaraan dengan desain dan lokasi parkir.
e. Rambu dan Marka Lalu Lintas
Rambu dan marka lalu lintas sebagai alat untuk mengendalikan lalu lintas,
khusunya untuk meningkatkan keamanan dan kelancaran. Pada sistem jalan
marka dan rambu lalu lintas merupakan objek fisik yang dapat menyampaikan
informasi (perintah, peringatan, dan petunjuk) kepada pemakai jalan serta dapat
mempengaruhi pengguna jalan.
2.4. Analisa Permintaan Transportasi
Sasaran utama dari analisa permintaan transportasi adalah terdapatnya kebutuhan
akan jasa transportasi dari penduduk atau masyarakat, yang berawal dari interaksi di antara
aktivitas sosial ekonomi masyarakat tersebut, yang aktivitas sosial ekonominya itu
memiliki kecenderungan untuk menyebar ke segala penjuru dalam suatu lingkup ruang
wilayah atau kota (Miro, 2004). Analisa permintaan transportasi merupakan proses yang
berusaha menghubungkan antara kebutuhan akan jasa transportasi dengan kebutuhan sosial
jasa transportasi dari penumpang/orang timbul oleh akibat kebutuhan orang untuk
melakukan perjalanan dari suatu lokasi ke lokasi lainnya dalam rangka beraktivitas separti
bekerja, sekolah, belanja, dan lain sebagainya.
Karakteristik dari permintaan transportasi yaitu:
1. Karakteristik Tidak Spasial (Bukan Berdasarkan Ruang/Space)
Ciri pergerakan tidak spasial adalah semua ciri pergerakan yang berkaitan dengan
aspek tidak spasial, seperti sebab terjadinya pergerakan, waktu terjadinya pergerakan, dan
moda transportasi apa yang akan digunakan.
a. Sebab terjadinya pergerakan
Sebab terjadinya pergerakan dapat dikelompokkan berdasarkan maksud perjalanan.
Penyebab terjadinya pergerakan dapat dilihat pada tabel 2.1 (Tamin, 2000). Biasanya
maksud perjalanan dikelompokkan sesuai ciri dasarnya, yaitu yang berkaitan dengan
ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan agama. Jika ditinjau lebih jauh lagi akan
dijumpai kenyataan bahwa lebih dari 90% perjalanan berbasis tempat tinggal.Artinya
mereka memulai perjalanan tempat tinggal (rumah) dan mengakhiri perjalanannya kembali
ke rumah. Pada kenyataan ini biasanya ditambahkan kategori keenam tujuan perjalanan,
Tabel 2.1 Klasifikasi pergerakan orang di perkotaan berdasarkan maksud pergerakan.
Aktivitas Klasifikasi Perjalanan Keterangan
I. Ekonomi
a. Mencari nafkah
b. Mendapatkan barang
dan pelayanan
1. Ke dan dari tempat kerja
2. Yang berkaitan dengan
penduduk. Perjalanan yang
berkaitan dengan pekerja
termasuk:
a. pulang ke rumah
b. mengangkut barang
c. ke dan dari rapat
Pelayanan hiburan dan
rekreasi diklasifikasikan secara
terpisah tetapi pelayanan
medis, hukum dan
dalam lingkungan keluarga
dan tidak menghasilkan
banyak perjalanan. Butir 2
juga terkombinasi dengan
maksd hiburan
III. Pendidikan 1. Ke dan dari sekolah, kampus, dan lain – lain
Hal ini terjadi pada sebagian
besar penduduk yang berusia
5-22 tahun. Di negara sedang
berkembang jumlahnya sekitar
Sumber: LPM ITB, 1996
b. Waktu terjadinya pergerakan
Waktu terjadinya pergerakan sangat bergantung pada kapan seseorang melakukan
aktivitasnya sehari-hari. Dengan demikian waktu pergerakan sangat tergantung pada
maksud perjalanan. Pergerakan ke tempat kerja atau pergerakan untuk maksud bekerja
biasanya merupakan perjalanan yang dominan (Tamin, 2000). Karena pola kerja biasanya
dimulai jam 08.00 dan berakhir jam 16.00, maka pola pergerakan akan mengikuti pola jam
kerja. Sehingga jam 06.00 sampai jam 08.00 akan banyak pergerakan dari rumah ke
tempat kerja. Pada sore hari sekitar jam 16.00 sampai jam 18.00 akan banyak pergerakan
dari tempat kerja ke rumah. Selanjutnya, perjalanan dengan maksud sekolah atau pun
pendidikan cukup banyak jumlahnya dibandingkan dengan tujuan lainya. Biasanya sekolah
dimulai jam 08.00 dan berakhir jam 16.00. Sehingga jam 06.00 sampai jam 07.00 akan
banyak pergerakan dari rumah ke sekolah. Pada sore hari sekitar jam 13.00 sampai jam
14.00 akan banyak pergerakan dari sekolah ke rumah, sehingga pola perjalanan sekolah ini
pun turut mewarnai pola waktu puncak perjalanan. Sedangkan perjalanan lain yang cukup
berperan adalah perjalanan untukmaksud berbelanja. Pola perjalanan yang diperoleh dari
penggabungan ketiga pola perjalanan tersebut terkadang disebut juga pola variasi harian, IV. Rekreasi dan hiburan 1. Ke dan dari tempat rekreasi
2.Yang berkaitan dengan perjalanan dan berkendaraan untuk rekreasi
Mengunjungi restoran,
kunjungan sosial, termasuk
perjalanan pada hari libur.
V. Kebudayaan 1. Ke dan dari tempat ibadah
2. Perjalanan bukan hiburan
ke dan dari daerah budaya
serta pertemuan politik
Perjalanan kebudayaan dan
yang menunjukkan tiga waktu puncak, yaitu waktu puncak pagi, waktu puncak siang, dan
waktu puncak sore.
c. Moda transportasi apa yang akan digunakan
Dalam melakukan perjalanan, orang biasanya dihadapkan pada pilihan jenis
angkutan seperti mobil, angkutan umum, pesawat terbang, atau kereta api. Dalam
menentukan pilihan jenis angkutan, orang mempertimbangkan berbagai faktor, yaitu
maksud perjalanan, jarak tempuh, biaya dan tingkat kenyamanan. Meskipun dapat
diketahui faktor yang menyebabkan seseorang memilih jenis moda yang digunakan, pada
kenyataannya sangatlah sulit untuk merumuskan mekanisme pemilihan moda ini.
2. Karakteristik Spasial
Pergerakan terjadi karena manusia melakukan aktivitas di tempat yang berbeda
dengan daerah tempat mereka tinggal. Artinya keterkaitan antarwilayah ruang sangatlah
berperan dalam menciptakan pergerakan. Jika suatu daerah sepenuhnya terdiri dari lahan
tandus tanpa tumbuhan dan sumber daya alam, dapat diduga bahwa pada daerah tersebut
tidak akan timbulPergerakan mengingat di daerah tersebut tidak mungkin timbul aktivitas.
Juga, tidak akan pernah ada keterkaitan ruang antara daerah tersebut dengan daerah
lainnya. Konsep yang paling mendasar yang menjelaskan terjadinya pergerakan atau
perjalanan selalu dikaitkan dengan pola hubungan antara distribusi spasial. Pergerakan
dengan distribusi spasial tata guna lahan yang terdapat di dalam suatu wilayah. Dalam hal
ini, konsep dasarnya adalah bahwa suatu perjalanan dilakukan untuk melakukan kegiatan
tertentu di lokasi yang dituju, dan lokasi kegiatan tersebut ditentukan oleh pola tata guna
lahan kota tersebut. Jadi, faktor tata guna lahan sangat berperan. Berikut ini dijelaskan
beberapa ciri perjalanan spasial, yaitu pola perjalanan orang dan pola perjalanan barang
a. Pola Perjalanan orang
Perjalanan terbentuk karena adanya aktivitas yang dilakukan, bukan di tempat
tinggal sehingga pola sebaran tata guna lahan suatu kota akan sangat
mempengaruhi pola perjalanan orang. Dalam hal ini pola penyebaran spasial
yang sangat berperan adalah sebaran spasial dari daerah industri, perkantoran,
dan pemukian. Pola sebaran spasial dari ketiga jenis tata guna lahan ini sangat
berperan dalam menentukan pola perjalanan orang, terutama perjalanan dengan
maksud bekerja. Tentu saja sebaran spasial untuk pertokoan dan areal
pendidikan juga berperan.
b. Pola Perjalanan Barang
Berbeda dengan pola perjalanan orang, pola perjalanan barang sangat
dipengaruhi oleh aktivitas produksi dan konsumsi yang sangat tergantung pada
sebaran pola tata guna lahan pemukiman (konsumsi), serta industri dan
pertanian (produksi). Selain itu, pola perjalanan barang sangat dipengaruhi
oleh pola rantai distribusi yang menghubungkan pusat produksi ke daerah
konsumsi.
2.5. Bangkitan Perjalanan/Pergerakan
Bangkitan Pergerakan (Trip Generation) adalah tahapan pemodelan yang
memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan atau
jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona (Tamin, 1997).
Bangkitan Pergerakan (Trip Generation) adalah banyaknya lalu lintas yang ditimbulkan
oleh suatu zona atau tata guna lahan persatuan waktu (Wells, 1975). Bangkitan Pergerakan
(Trip Generation) adalah jumlah perjalanan yang terjadi dalam satuan waktu pada suatu
Bangkitan pergerakan adalah suatu proses analisis yang menetapkan atau
menghasilkan hubungan antara aktivitas kota dengan pergerakan.(Tamin,1997.) perjalanan
dibagi menjadi dua yaitu:
a. Home base trip, pergerakan yang berbasis rumah. Artinya perjalanan yang dilakukan
berasal dan rumah dan kembali ke rumah.
b. Non home base trip, pergerakan berbasis bukan rumah. Artinya perjalanan yang asal dan
tujuannya bukan rumah.
Pernyataan di atas menyatakan bahwa ada dua jenis zona yaitu zona yang
menghasilkan pergerakan (trip production) dan zona yang menarik suatu pergerakan (trip
attraction). Defenisi trip attraction dan trip production adalah:
a. Bangkitan perjalanan (trip production) adalah suatu perjalanan yang mempunyai
tempat asal dari kawasan perumahan ditata guna tanah tertentu.
b. Tarikan perjalanan (trip attraction) adalah suatu perjalanan yang berakhir tidak pada
kawasan perumahan tata guna tanah tertentu. Kawasan yang membangkitkan
perjalanan adalah kawasan perumahan sedangkan kawasan yang cenderung untuk
menarik perjalanan adalah kawasan perkantoran, perindustrian, pendidikan,
pertokoan dan tempat rekreasi.
Bangkitan pergerakan digunakan untuk menyatakan suatu pergerakan berbasis
rumah yang mempunyai asal dan/atau tujuan adalah rumah atau pergerakan yang
dibangkitkan oleh pergerakan berbasis bukan rumah. Seperti terlihat pada gambar 2.3
Bangkitan
Gambar 2.3 Bangkitan dan Tarikan
Bangkitan dan tarikan pergerakan digunakan untuk menyatakan bangkitan
pergerakan pada masa sekarang, yang akan digunakan untuk meramalkan pergerakan pada
masa mendatang. Bangkitan pergerakan ini berhubungan dengan penentuan jumlah
keseluruhan yang dibangkitkan oleh sebuah kawasan.
Parameter tujuan perjalanan yang sangat berpengaruh di dalam produksi perjalanan
(Levinson, 1976), adalah:
Perjalanan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :
a. Berdasarkan tujuan perjalanan, perjalanan dapat dikelompokkan menjadi beberapa
bagian sesuai dengan tujuan perjalanan tersebut yaitu:
1) perjalanan ke tempat kerja,
4) perjalanan untuk kepentingan sosial.
b. Berdasarkan waktu perjalanan biasanya dikelompokkan menjadi perjalanan pada jam
sibuk dan jam tidak sibuk. Perjalanan pada jam sibuk pagi hari merupakan perjalanan
utama yang harus dilakukan setiap hari (untuk kerja dan sekolah).
c. Berdasarkan jenis orang, pengelompokan perjalanan individu yang dipengaruhi oleh
tingkat sosial-ekonomi, seperti:
1) tingkat pendapatan,
2) tingkat pemilikan kendaraan,
3) ukuran dan struktur rumah tangga.
Dalam sistem perencanaan transportasi terdapat empat langkah yang saling terkait
satu dengan yang lain (Tamin, 1997), yaitu:
1) Bangkitan pergerakan (Trip generation)
2) Distribusi perjalanan (Trip distribution)
3) Pemilihan moda (Modal split)
4) Pembebanan jaringan (Trip assignment)
Untuk lingkup penelitian ini tidak semuanya akan diteliti, tetapi hanya pada lingkup
bangkitan pergerakan (trip generation).
Menurut Miro bangkitan perjalanan dapat diartikan sebagai banyaknya jumlah
perjalanan/pergerakan/lalulintas yang dibangkitkan pada sebuah zona (kawasan) persatuan
waktu (perdetik, menit, jam, hari, minggu, dan seterusnya). Pergerakan lalu lintas
merupakan fungsi tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna
lahan atau zona. Pergerakan lalu lintas mencakup fungsi tata guna lahan yang
menghasilkan pergerakan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas ini mencakup lalu lintas yang
meninggalkan suatu lokasi dan lalu lintas yang menuju atau tiba di suatu lokasi (Tamin,
Pergerakan yang Pergerakan yang
berasal dari zona i menuju zona d Gambar 2.4 Diagram Bangkitan dan Tarikan Pergerakan
Sumber : Tamin, 2000.
2.6. Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum (TPKPU)
2.6.1. Pengertian
Tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum terdiri dari halte
(shelter) dan tempat pemberhentian bus (bus stops). Dimana halte adalah tempat
pemberhentian kendaraan penumpang umum untuk menaikkan dan menurunkan
penumpang yang dilengkapi dengan bangunan. Sedangkan tempat pemberhentian bus
adalah tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang selanjutnya disebut
TPB (Direktorat Jendral Perhubungan Darat ,1996)
2.6.2. Tujuan
Tujuan perekayasaan tempat perhentian kendaraan penumpang umum
(TPKPU) adalah :
1. menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu lintas;
2. menjamin keselamatan bagi pengguna angkutan penumpang umum
3. menjamin kepastian keselamatan untuk menaikkan dan/atau menurunkan
penumpang;
4. memudahkan penumpang dalam melakukan perpindahan moda angkutan umum
2.6.3. Pengertian Halte
Berikut ini adalah definisi halte:
1. Menurut Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) ITB tahun 1997, halte
adalah lokasi di mana penumpang dapat naik ke dan turun dari angkutan umum dan
lokasi di mana angkutan umum dapat berhenti untuk menaikan dan menurunkan
penumpang, sesuai dengan pengaturan operasional.
2. Menurut Dirjen Bina Marga tahun 1990, halte adalah bagian dari perkerasan jalan
tertentu yang digunakan untuk pemberhentian sementara bus, angkutan penumpang
umum lainnya pada waktu menaikan dan menurunkan penumpang.
3. Menurut Dirjen Perhubungan Darat tahun 1996, halte adalah tempat adalah tempat
pemberhentian kendaraan penumpang umum untuk menurunkan dan/atau menaikan
penumpang yang dilengkapi dengan bangunan.
2.7.Jenis Halte Jalur Khusus
Halte pada jalur khusus adalah halte dengan desain khusus untuk menyampaikan
identitas yang dapat membedakan dari pelayanan transportasi umum lainnya,
mencerminkan jenis pelayanan prima dan terintegrasi dengan lingkungan sekitar, perlu
adanya keterlibatan masyarakat/organisasi profesional, sehingga memperhatikan :
1. Keserasian dengan lingkungan.
2. Berfungsi sebagai ornamen kota.
3. Memperhatikan aksesibilitas bagi penyandang cacat.
2.8.Fasilitas Halte
Fasilitas halte yang diperlukan untuk menjamin kenyamanan dan keamanan
penumpang menunggu, naik-turun kendaraan umum dan menjamin kelancaran pergerakan
lalu lintas, sehingga fungsi halte dapat efisien dan efektif diperlukan:
a) Tempat menunggu penumpang yang tidak mengganggu aktivitas jalan.
b) Tempat berteduh yang memenuhi
c) Tempat berhenti kendaraan umum beserta rambunya yang aman dan lancar.
d) Tempat duduk untuk penumpang menunggu kendaraan.
e) Fasilitas penyebrangan untuk pejalan kaki, yang tidak terganggu oleh aktivitas
halte.
f) Pemasangan pagar, supaya pejalan kaki tidak menyebrang di sembarang
tempat.
g) Informasi yang diperlukan
h) Telpon umum
2.9.Kriteria Penentuan Lokasi Halte
Didasarkan pada perencanaan kota dan persyaratan, penentuan lokasi halte
penumpang kendaraan angkutan umum dilakukan dengan memperhatikan rencana
kebutuhan lokasi simpul jaringan aktivitas penumpang dan jalur kendaraan umum, serta
diperhatikan pula :
a) Rencana umum tata ruang.
b) Kepada lalu lintas dan kapasitas jalan disekitar halte.
c) Keterpaduan antar moda transportasi
d) Kondisi geografi lokasi halte
Selain itu sebaran lokasi halte harus memperhatikan berbagai aspek yang berkaitan
dengan tuntutan umum (Warpani, 2002) yaitu:
a) Pusat keramaian yang ada; misalnya pasar, pertokoan,obyek wisata dan lain-lain.
b) Pusat kegiatan, misalnya kantor, sekolahan dan lain-lain.
c) Kemudahan perpindahan moda, misalnya persimpangan jalan.
Persyaratan penentuan lokasi halte secara umum (Iskandar Abubakar dan kawan-
kawan, 1995) adalah sebagai berikut:
a) Terletak pada jalur pejalan kaki/trotoar (footway)
b) Dekat dengan pusat kegiatan yang membangkitkan pemakai angkutan umum.
c) Tidak tersembunyi, aman terhadap gangguan kriminal.
d) Harus ada pengatur pergerakan kendaraan, pemakai halte dan pejalan kaki, sehingga
aman terhadap kecelakaan lalu lintas.
e) Tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas.
Melihat persyaratan umum dan pedoman praktis penentuan lokasi halte angkutan
umum, maka perlu diperhatikan kondisi lapangan :
a) Ada tidaknya trotoar.
b) Tersedianya lahan untuk membuat bus lay by.
c) Tingkat pelayanan jalan.
d) Kecukupan lebar jalan.
e) Tingkat permintaan penumpang yang menentukan perlu tidaknya lindungan.
2.10. Pemilihan Lokasi Halte
Berdasarkan Vucich (1981), lokasi halte angkutan umum di jalan raya
1. Near Side (NS), pada persimpangan jalan sebelum memotong jalan simpang (cross street)
2. Far Side (FS), pada persimpangan jalan setelah melewati jalan simpang (cross street)
3. Midblock street (MB), pada tempat yang cukup jauh dari persimpangan atau pada ruas jalan tertentu
Halte biasanya ditempatkan di lokasi yang tingkat permintaan akan penggunaan
angkutan umumnya tinggi serta dengan pertimbangan kondisi lalu lintas kendaraan lainnya
(Ogden dan Bennet, 1984). Untuk itu, pertimbangan khusus harus diberikan dalam
menentukan lokasi halte dekat dengan persimpangan. Faktor-faktor yang menjadi
pertimbangan dalam penentuan halte dekat persimpangan tersebut adalah:
1. Apabila arus kendaraan yang belok ke kanan padat, maka penempatan lokasi halte
yang paling baik adalah sebelum persimpangan.
2. Apabila arus kendaraan yang belok ke kiri padat, maka penempatan lokasi halte
adalah setelah persimpangan.
3. Di persimpangan dimana terdapat lintasan trayek angkutan umum lainnya,
penempatan halte harus mempertimbangkan jarak berjalan kaki penumpang dan
konflik kendaraan-penumpang yang mungkin terjadi agar proses transfer (alih
moda) penumpang berjalan lancar.
Sedangkan menurut Vuchic (1981) aspek – aspek yang mempengaruhi penentuan lokasi
halte:
1. Lampu lalu lintas
Untuk daerah pusat kota faktor lampu lalu lintas merupakan faktor utama yang
Halte sebaiknya ditempatkan di lokasi tempat penumpang menunggu yang
dilindungi dari gangguan lalu linta, harus mempunyai ruang yang cukup untuk
sirkulasi, dan tidak mengganggu kenyamanan pejalan kaku di trotoar. Pada
persimpangan sebaiknya ditempatkan halte untuk mengurangi jalan berjalan kaki
penumpang yang akan beralih moda.
3. Kondisi lalu lintas
Pembahasan kondisi lalu lintas diperlukan dengan tujuan agar penempatan lokasi
halte tidak mengakibatkan atau memperburuk gangguan lalu lintas.
4.Geometri jalan
Geometri jalan mempengaruhi lokasi halte. Pembahasan Geometri jalan diperlukan
dengan tujuan agar penempatan lokasi halte tidak mengakibatkan atau
memperburuk gangguan lalu lintas
2.11. Penentuan Jarak antara Halte dan/atau TPB
Penentuan jarak antara halte dan/atau TPB dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.2 Jarak Halte dan TPB
Zona Tata Guna Lahan Lokasi Jarak Tempat Henti (m)
1 Pusat kegiatan sangat padat: pasar, pertokoan
CBD, Kota 200 -- 300 *)
2 Padat : perkantoran, sekolah, jasa Kota 300 -- 400
3 Permukiman Kota 300 -- 400
4 Campuran padat : perumahan, sekolah, jasa
Pinggiran 300 -- 500
5 Campuran jarang : perumahan, ladang, sawah, tanah kosong
Pinggiran 500 -- 1000
Keterangan : *)= jarak 200 m dipakai bila sangat diperlukan saja, sedangkan jarak
umumnya 300 m.
Adapun persyaratan umum tempat perhentian kendaraan penumpang umum adalah:
1. Berada disepanjang rute angkutan umum atau bus.
2. Terletak pada jalur pejalan kaki dan dekat pada fasilitas pejalan kaki.
3. Diarahkan dekat dengan pusat kegiatan atau pemukiman.
4. Dilengkapi rambu petunjuk.
5. Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas.
2.12. Facility Location
Facility location adalah suatu proses pengidentifikasian lokasi geografis terbaik dari
suatu fasilitas produksi atau jasa. Facility location adalah suatu proses pemilihan lokasi
geografis untuk suatu operasi-operasi suatu perusahaan. Facility location untuk riset
operasi diselesaikan dengan pemodelan, pengembangan algoritma, dan teori – teori yang
kompleks (Daskin, 2008). Pemodelan lokasi dapat diaplikasikan untuk menentukan lokasi
emergency medical service (EMS), stasiun pemadam kebakaran, sekolah, rumah sakit,
bandara, tempat pembuangan sampah, dan gudang. Pemodelan lokasi juga digunakan pada
penentuan rute, dan analisis area arkeologi. Salah satu teori dan pemodelan lokasi yang
dipelopori oleh Weber (1929) adalah mempertimbangkan facility location dengan tujuan
untuk meminimalkan jumlah jarak perjalanan antara tempat fasilitas dan kumpulan
konsumen-konsumen.
1. Klasifikasi Pemodelan lokasi
Model lokasi pada dasarnya memodelkan hubungan antara titik permintaan
dan titik lokasi fasilitas pelayanan. Variabel keputusan pada model lokasi umumnya
menurut variannya. Pemodelan lokasi diklasifikasikan menjadi 4 macam, yaitu
analytical models, continuous models, network models, dan discrete models.
Pengklasifikasian pemodelan lokasi dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Klasifikasi Model Lokasi
Sumber : Daskin, 2008
Analytical model berasumsi bahwa alternatif lokasi fasilitas dan alternatif titik-titik permintaan keduanya tersebar kontinyu (uniform) pada suatu area. Continuous model merupakan model dengan permintaan hanya muncul pada lokasi atau titik-titik tertentu,
tetapi alternatif lokasinya mencakup seluruh titik pada area tersebut. Network model dan Discrete model keduanya berasumsi bahwa alternatif lokasi dan titik-titik permintaan keduanya bersifat diskrit, yaitu hanya terdapat pada titik-titik tertentu saja dalam area.
Network model mengasumsikan adanya network/path atau jalan yang menghubungkan titik-titik permintaan dengan titiktitik alternatif lokasi sementara discrete models tidak memerlukan asumsi seperti itu.
2. Discrete Model
Lebih rinci lagi, Daskin (2008) membagi Discrete models menjadi varian-variannya sebagaimana gambar 2.6. Discrete models terdiri dari 3 cabang, yaitu
covering base models, median base models, p dispersion. Dalam model ini menunjukkan bahwa adanya batasan-batasan permintaan pada suatu titik (node)
yang sekaligus dijadikan sebagai titik alternatif lokasi. Dalam model lokasi discrete
sendiri dibagi lagi menjadi beberapa bagian model. Location Models
Gambar 2.6 Uraian(breakdown) Model Lokasi Discrete Sumber : Daskin, 2008.
Kelompok covering-based model dibedakan menjadi tiga model berdasarkan fungsi
objektifnya, yaitu set covering, max covering dan p-center. Variabel keputusan untuk
ketiga model ini adalah sama, yaitu dimana lokasi-lokasi yang optimal untuk dibangun
fasilitas pelayanan sehingga fungsi objektif tercapai.
1. Set Covering Problem
Model set covering (Toregas et al., 1971) bertujuan meminimumkan jumlah titik
lokasi fasilitas pelayanan tetapi dapat melayani semua titik permintaan. Untuk
menggambarkan model set covering dapat dirumuskan atau formulasikan sebagai berikut :
Dimana :
I = titik demand dengan indek i
J = titik alternatif lokasi dengan indek j
dij = jarak antara titik permintaan i dengan alternatif lokasi j
= semua alternatif lokasi yang meliputi titik permintaan i
Dengan notasi di atas maka dapat di formulasikan sebagai berikut :
Minimize
Berdasarkan formulasi tersebut dapat diuraikan menjadi tujuan (2.1) untuk
meminimasi jumlah alternatif lokasi. Batasan (2.2) setiap titik pemintaan dapat dipenuhi
sedikitnya oleh satu fasilitas, (2.3) benar atau tidaknya suatu keputusan.
2. Max Covering Problem
Model lokasi maximal covering (Church and ReVelle, 1974) menunjukkan
adanya suatu batasan pada banyaknya fasilitas untuk dijadikan sebagai lokasi. Model max
covering memiliki fungsi objektif untuk memaksimumkan jumlah titik permintaan yang
terlayani dengan batasan hanya tersedia sejumlah p titik lokasi fasilitas pelayanan yang
dapat melayani titik-titik permintaan tersebut. Model maximal covering diformulasikan
sebagai berikut :
h
i= demand atau permintaan pada titik ip = banyaknya fasilitas untuk penentuan lokasi
Maximaze
Berdasarkan formulasi atau rumus pada model maximal covering dapat diketahui,
tujuan (2.4) memaksimalkan total permintaan yang dapat dipenuhi. Batasan (2.5)
pemenuhan permintaan pada titik i tidak terhitung, kecuali pada salah satu alternatif lokasi
yang dapat memenuhi titik i. (2.6) membatasi banyaknya fasilitas pada daerah penempatan. (2.7 dan 2.8) merupakan suatu keputusan penempatan lokasi sebagai
pemenuhan titik-titik permintaan.
3. p-center problem
Model p-center fungsi objektifnya adalah meminimumkan rata-rata jarak terjauh
(coverage distance) antara titik permintaan dan titik lokasi fasilitas pelayanan. Fungsi
objektif dalam model p-center sering disebut Min Max objective. Model p-center
diformulasikan sebagai berikut :
W = memaksimal antara titik permintaan dan lokasi pada
jarak yang telah ditentukan.
Berdasarkan variable keputusan di atas maka dapat diformulasikan :
Subject to :
x j
p
J
j
(2.10)1
J
j
yij
iI(2.11)
yij - x j ≤ 0 iI, jJ` (2.12)
W -
0
J
j
hi
d ij
yij
iI (2.13)
0,1
x j
iI (2.14)
0,1
yij
iI, jJ (2.15)Pada formulasi di atas maka dapat diketahui, tujuan (2.9) adalah meminimasi jarak
pada demand-weighted pada tiap titik permintaan dengan lokasi yang terdekat sehingga
dapat bernilai maksimal. Batasan (2.10) menetapkan p sebagai lokasi, (2.11) setiap titik
permintaan hanyadapat dipenuhi oleh satu lokasi saja, (2.12) pembatasan pada titik-titik
permintaan hanya pada satu lokasi, (2.13) pada demand-weighted yang maksimal dapat
diminimasi dengan jarak yang lebih kecil, 2.(14) variabel keputusan dengan bilangan
biner, (2.15) permintaan hanya dapat ditentukan oleh satu titik lokasi saja. Model lainnya
adalah model p-median atau sering disebut Weber problem. Model p-median memiliki
fungsi objektif untuk meminimumkan rata-rata jarak berbobot antara titik lokasi fasilitas
pelayanan dan titik permintaan. Fixed charge model memiliki fungsi objektif untuk
meminimumkan total biaya tetap (biaya investasi) dan biaya variabel (transportation cost)
2.8.Pemrograman Bilangan Bulat
Pemrograman bilangan bulat atau pemrograman linier integer (Integer Linier
Programing/ILP) pada intinya berkaitan dengan program – program linier dimana beberapa atau semua variable memiliki nilai – nilai integer (bulat) atau diskrit. Menurut
Hiller (1994) banyak sekali penerapan pemrograman bilangan bulat yang merupakan
perluasan dari suatu pemrograman linier. Akan tetapi bidang penerapan lain yang mungkin
lebih penting adalah masalah yang menyangkut sejumlah “keputusan ya atau tidak” yang
saling berhubungan. Dalam keputusan seperti ini, hanya ada dua pilihan kemungkinan
yaitu ya atau tidak. Sebagai contoh, apakah kita harus mengerjakan suatu proyek tertentu.
Dengan hanya dua pilihan ini, kita hanya dapat menyatakan keputusan-keputusan seperti
itu dengan peubah keputusan yang dibatasi hanya pada dua nilai, misalkan nol dan satu.
Jadi, keputusan ya atau tidak ke j akan dinyatakan dengan xj sedemikian sehingga,
xj
=
menyatakan bahwa pada dasarnya pemrograman bilangan bulat memiliki empat
karakteristik utama, yaitu :
1. Masalah pemrograman bilangan bulat berkaitan dengan upaya memaksimumkan
(pada umumnya keuntungan) atau meminimumkan (pada umumnya biaya).
Upaya optimasi (maksimum atau minimum) ini disebut sebagai fungsi tujuan
(objective function) dari integer linear programming. Fungsi tujuan ini terdiri
dari variabel- variabel keputusan (decision variable) yang bersifat bilangan bulat
(integer).
dalam fungsi-fungsi kendala (constraint’s functions), terdiri dari
variabel-variabel keputusan yang menggunakan sumber-sumber daya yang terbatas itu.
3. Memiliki sifat linieritas. Sifat linieritas ini berlaku untuk semua fungsi tujuan
dan fungsi kendala.
4. Memiliki sifat undivisibility. Sifat divisibility diperlukan, karena integer linear
programming memperhitungan jumlah solusi secara bilangan bulat. Jadi dalam
hal ini produk yang dihasilkan tidak dapat dalam bentuk pecahan.
2.8.1. Penyelesaian Bilangan Bulat
Menurut Taha (1996) terdapat dua metode untuk menghasilkan batasanbatasan
khusus yang akan memaksa pemecahan optimum dari masalah pemrograman bilangan
bulat yang dilonggarkan untuk bergerak ke arah pemecahan integer yang diinginkan, yaitu
1. Branch and bound
2. Bidang pemotongan
Cara yang populer yang digunakan untuk algoritma pemrograman bilangan bulat
adalah dengan menggunakan teknik pencabangan dan pembatasan (branch and bound) dan
gagasan yang berhubungan dengan pencacahan implisit penyelesaian penyelesaian
bilangan bulat yang layak (Hillier ,1994)
2.8.2. Teknik Branch and Bound
Konsep utama yang mendasari teknik Branch and bound adalah dengan membagi
dan menyelesaikan (divide and conquer). Karena masalah aslinya berukuran besar dan
sangat sulit untuk diselesaikan secara langsung maka masalah ini dibagi menjadi
submasalah yang lebih kecil dan kemudian menjadi anak gugus yang lebih kecil dan
kemudian menjadi anak gugus yang lebih kecil lagi. Pembagian (atau pencabangan) ini
gugus-anak gugus yang lebih kecil dan kemudian menjadi anak gugus yang lebih kecil
lagi. Penyelesaian dikerjakan sebagian-sebagian dengan adanya pembatasan seberapa
bagusnya penyelesaian terbaik pada suatu anak gugus dan kemudian membuang anak
gugus tersebut jika batas nilainya mengindikasikan bahwa anak gugus tersebut tidak
mungkin lagi mengandung suatu penyelesaian optimal untuk masalah asli. Algoritma
branch and bound untuk pemrograman bilangan biner (Hiller, 1994)
1. Langkah awal:
Tetapkan nilai Z*= -¥ . Gunakan langkah pembatasan, langkah penghentian, dan uji
keoptimalan untuk masalah keseluruhan. Jika masalah ini tidak terhenti maka
golongkanlah masalah ini sebagai submasalah sisa untuk menjalankan iterasi
pertama di bawah ini.
2. Langkah untuk setiap iterasi:
a) Pencabangan
Di antara sub masalah sisa (submasalah yang tidak terhenti) pilih satu
submasalah yang dibuat paling akhir (jika ada lebih dari satu kemungkinan, maka
pilih submasalah yang mempunyai batas lebih besar). Lakukan pencabangan dari
simpul untuk submasalah untuk membuat dua submasalah baru dengan menetapkan
nilai peubah berikutnya (yaitu peubah pencabangan) baik dengan nilai 0 ataupun 1.
b) Pembatasan
Untuk setiap submasalah baru, cari batasnya dengan menggunakan
metode simpleks untuk masalah PL relaksasinya dan membulatkan ke bawah nilai
Z untuk penyelesaian optimal yang dihasilkan.
c) Penghentian
3. Uji keoptimalan
Hentikan proses jika tidak ada lagi submasalah sisa dan incumbent pada saat ini
sudah layak. Jika tidak ada incumbent, maka kesimpulan adalah masalah tersebut
tidak mempunyai penyelesaian layak. Jika tidak demikian maka ulangi langkah
untuk menjalankan iterasi berikutnya.
2.9.UjiCochran Q-Test
Dalam penelitian ini dilakukan uji Cochran Q-Test. Uji ini dilakukan terhadap data
yang diperoleh. Dalam metode Cochran Q-Test, kita memberikanpertanyaan tertutup kepada responden, yaitu pertanyaan yang pilihan jawabannyasudah disediakan. Untuk
mengetahui mana di antara lokasi yang dipilih, dilakukan Cochran Q-Test dengan prosedur sebagai berikut:
1. Hipotesis yang mau diuji:
H0 : semua atribut yang diuji memiliki proporsi jawaban ”Ya” yang sama
H1 : tidak semua atribut yang diuji memiliki proporsi jawaban ”Ya” yang sama
2. Mencari Q hitung dengan rumus sebagai berikut:
Q =
3. Penentuan Qtabel (Qtab)
Dengan a = 0,05, derajat kebebasan (dk) = k – 1, maka diperoleh Qtabel (0,05:df)
dari tabel Chi Square Distribution.
Terima H1 dan tolak H0, jika Q hitung < Q tabel
5. Kesimpulan
Jika tolak H0 berarti proporsi jawaban ”Ya” masih berbeda padasemua atribut.
Artinya, belum ada kesepakatan diantara para responden tentang atribut.
Jika terima H0 berarti proporsi jawaban ”Ya” pada semua atribut dianggap
sama. Dengan demikian, semua responden dianggap sepakat mengenai semua