• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Legislator Perempuan Dalam Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dan Anggaran (Studi Pada Legislator Perempuan Terpilih Di Kota Binjai 2009-2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Legislator Perempuan Dalam Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dan Anggaran (Studi Pada Legislator Perempuan Terpilih Di Kota Binjai 2009-2014)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan di bidang

pemerintahan dan hukum tertuang dalam Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 19452 dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi, “segala

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan

wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Dengan adanya jaminan dari konstitusi ini, memberikan kesempatan pada

perempuan untuk terlibat di dalam pemerintahan. Tetapi, pada kenyataannya

peran perempuan tidak begitu tampak. Hal ini karena budaya patriarki masih

mendominasi banyak bagian di pemerintahan, seperti dalam bidang legislatif

yang didominasi oleh laki-laki.

Padahal, dengan seimbangnya jumlah laki-laki dan perempuan di

lembaga legislatif tersebut secara umum dapat menjadi sumber inisiatif, ide

dan konsep dari berbagai peraturan daerah yang dikeluarkan.

Diharapkan,keberadaan legislator perempuan dapat membentuk kebijakan

yang memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat lebih baik.

Bebeberapa peraturan yang dianggap tidak adil dan substansinya

merugikan perempuan menurut Departemen Hukum dan Ham dan UNDP3

tahun 2007 adalah;

a. Dalam ranah hukum pidana, beberapa rumusan dalam KUHP tentang

kejahatan kepada perempuan di kategorikan sebagai „kejahatan

2

Selanjutnya akan di singkat dengan UUD 1945 3

(2)

kesusilaan‟ (crime against ethics). Padahal kejahatan tersebut juga

membahayakan nyawa (crime against person) bukan hanya kepada

perempuan dewasa tetapi juga terhadap anak.

b. Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, disini beberapa pasal

menunjukkan adanya bias gender dan standar ganda. Diantaranya adalah

pasal 31 ayat (3) yang terkait dengan rumusan suami sebagai kepala rumah

tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga, rumusan pasal ini menimbulkan

dampak diskriminasi bagi perempuan kawin yang bekerja.

c. Dalam rumusan pasal 214 Undang Undang Nomor 10 tahun 2008

tentang Pemilu memperkuat kebijkan kuota 30% untuk perempuan, yang

kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan

Nomor.2-24/PUU-VI/2008.

Beberapa peraturan tersebut dianggap merugikan perempuan karena tidak

seimbangnya legislatif perempuan di kalangan perumus peraturan

perundang-undangan, yang menjauhkan produk legislasi dari pengalaman keseharian

perempuan4. Sehingga hal ini memunculkan kesadaran politik Perempuan di

Indonesia sebagai salah satu subyek maupun obyek pembangunan

kesejahteraan masyarakat, dan perempuan dapat mengambil inisiatif dalam

segala kebijakan menyangkut hidupnya dan kebaikan masyarakat.

Dengan melihat pentingnya peran perempuan di lembaga legislatif

tersebut, negara membentuk suatu kebijakan khusus bersifat sementara

(affirmative action) dengan ketentuan kuota 30% (tiga puluh persen) dalam

pencalonan legislatif oleh Partai Politik. Dibentuknya kebijakan ini agar

(3)

memberikan kemudahan bagi perempuan ikut dalam pencalonan legislatif

serta untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen.

Kebijakan affirmative ini pertama kali dimuat pada Undang Undang

Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah . Pada pasal

65 ayat (1) menyebutkan “setiap partai politik peserta pemilu dapat

mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota

untuk setiap daerah dengan memperhatikan keterwakilan perempuan

sekurang-kurangnya 30%”. Sayangnya, hasil dari pelaksanaan Undang

Undang ini tidak sesuai harapan sehingga di sempurnakan pada Undang

Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dalam pasal 8 ayat (1) huruf d yang berbunyi “partai politik dapat menjadi

peseerta pemilu setelah memenuhi persyaraatan salah satunya yaitu

menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada

kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Selanjutnya peraturan ini di

sempurnakan kembali dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012. Pada

Undang Undang pemilu terbaru ini, pemerintah membentuk zipper system

pada pasal 56 ayat (2) yang berbunyi “di dalam daftar bakal calon, setiap 3

(tiga) orang bakalcalon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang

perempuan”.

Pemenuhan kuota perempuan di lembaga legislatif adalah suatu hal yang

penting. Lebih lanjut Adinda Tentangker mengatakan;

(4)

kepekaan akan isu-isu kebijakan public, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, serta lingkungan, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian. Argument tersebut tidak hanya ideal sebagai wujud modal dasar kepemimpinan dan pengalaman organisasi perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, argument tersebut juga menunjukkan perempuan dekat dengan isu-isu kebijakan publik dan relevan untuk

memiliki keterwakilan dalam jumlah yang signifikan dalam

memperjuangkan isu-isu kebijakan publik dalam proses kebijakan,

terutama di lembaga perwakilan rakyat. 5

Untuk memberikan perempuan peran yang sama dalam pemerintahan,

kebijakan affirmative berkembang dan muncul pada Undang Undang Nomor

27 tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

untuk memperhatikan keterwakilan perempuan sebagai pimpinan alat

kelengkapan Lembaga Legislatif.

Berbicara tentang keterwakilan perempuan di Lembaga Perwakilan

Rakyat, maka tidak lepas dengan politik. Keterlibatan perempuan dalam

politik penting6, karena perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus

yang hanya dapat di pahami oleh perempuan itu sendiri. Disini, politik menjadi

jalan pembuka bagi perempuan untuk ikut berperan di Lembaga Perwakilan

Rakyat.

Pentingnya keterwakilan perempuan tidak hanya di DPR pusat saja, tetapi

juga di DPRD Kabupaten/Kota, khususnya pada DPRD Kota Binjai.

5

Adinda Tenriangke Muchtar, Mendorong keterwakilan Perempuan dalam politik, Media Indonesia, 2008

(http://politik2.blogspot.com/2008/09/mendorong-keterwakilan-perempuan-dalam.html) diakses pada 25 Januari 2015 6

(5)

Masyarakat Kota Binjai memberikan kesempatan bagi perempuan dari 30 (tiga

puluh) kursi yang tersedia sebagai legislator. Dalam dua periode terakhir

pemilihan umum anggota legislatif di Kota Binjai selalu memberikan kursi

untuk perempuan sebagai legislator. Hal ini dapat di lihat pada tabel berikut:

Tabel: Nama anggota legislative Kota Binjai Periode 2009-2014

(Sumber :Profil Kota Binjai )

No. Nama Anggota Legislatif Jenis

Kelamin Partai

1 Ir. Mulia Ginting Laki-Laki DEMOKRAT

2 Rimbun Sitepu Laki-Laki DEMOKRAT

3 H. Bahman Nasution,SH Laki-Laki DEMOKRAT

4 H. Abdul Muis Matondang,SE Laki-Laki DEMOKRAT

5 Nurlela Kaloko Perempuan DEMOKRAT

6 Harsoyo Laki-Laki DEMOKRAT

7 Zainuddin Purba,SH Laki-Laki GOLKAR

8 H.Noor Sri Syah Alam Putra,

ST Laki-Laki GOLKAR

9 Hj. Rini Sofyanti, SE Perempuan GOLKAR

10 Helga Octora Halim, S.Sos Perempuan GOLKAR

11 H.M. Yusuf, SH.M.Hum Laki-Laki GOLKAR

12 Nizamuddin Siagian Laki-Laki GOLKAR

13 Surya Wahyu

Danil,SH.M.Hum Laki-Laki HANURA

14 Irfan Asriandi,S.Kom Laki-Laki PAN

15 Ir. Irwan Yusuf Laki-Laki PAN

16 Ismail Hasan Laki-Laki PBB

17 Mariono Laki-Laki PDIP

18 Bob Andika Mamana Sitepu,

SH Laki-Laki PDIP

19 Herman Sembiring Laki-Laki PDIP

20 Raidertha Sitepu Laki-Laki PDIP

21 Peterus, SH Laki-Laki PDS

22 Arjuli Indrawan, SE. Ak Laki-Laki PKS

23 Drs.Suharjono Mulyono Laki-Laki PKS

24 Bagus Handoko,SE. MMA Laki-Laki PKS

25 Arjuli Indrawan, SE. Ak Laki-Laki PKS

26 H. Zulkarnain D. Lubis Laki-Laki PP

27 Irhamsyah Putra Pohan Laki-Laki PPP

28 Hairul Sembiring Laki-Laki PPP

(6)

30 H. Antasari Laki-Laki PPP

Tabel: Nama anggota legislatif Kota Binjai Periode 2014-2019

(Sumber: Profil DPRD Kota Binjai)

No. Nama Anggota Legislatif Jenis

Kelamin Partai

1 Njoreken Pelawi Laki-laki DEMOKRAT

2 H.M. Sajali Laki-laki DEMOKRAT

3 H. Ahmad Hasian Siregar Laki-laki DEMOKRAT

4 Ardiansyah Putra,SE Laki-laki DEMOKRAT

5 Ambi Suswandi Buana, ST Laki-laki GERINDRA

6 Hj. Juliati, SE Perempuan GERINDRA

7 Drs. H. Saidi Susiono, Msi Laki-laki GERINDRA

8 Agus Supriyantono Laki-laki GERINDRA

9 Zainuddin Purba,SH Laki-laki GOLKAR

10 Hj. Norasiah Perempuan GOLKAR

11 Hj. K.Gusuartini Br. Surbakti Perempuan GOLKAR

12 H.M. YusufSH.M.Hum Laki-laki GOLKAR

13 H. Noor Sri Syah Alam Putra,

ST Laki-laki GOLKAR

14 Elmita Perempuan HANURA

15 Irfan Ahmadi, SH Laki-laki HANURA

16 Jonita Agina Bangun Laki-laki HANURA

17 Dr. Ediy Putra Laki-laki NASDEM

18 Drs. T. Matsyah Laki-laki NASDEM

19 Deni Surianto Laki-laki NASDEM

20 Irfan Asriandi, A.Md. Kom Laki-laki PAN

21 Hj. Ema Gata Perempuan PAN

22 Rudi Alfahri Rangkuti SH. MH Laki-laki PAN

23 Gim Ginting Laki-laki PDIP

24 Ir. Muhammad Syarif Sitepu Laki-laki PDIP

25 M. Atan Laki-laki PDIP

26 Ari Amjah Surbakti Laki-laki PKS

27 Drs. Suharjo Mulyono Laki-laki PKS

28 Irhamsyah Putra Pohan Laki-laki PPP

29 Maruli Malau Laki-laki PPP

(7)

Hal ini memberi gambaran bahwa sebagian masyarakata Kota Binjai telah

memberikan kepercayaan kepada legislator perempuan untuk mewakili

mereka dalam pengambil kebijakan di lembaga legislatif.

Dari uraian diatas, penting untuk dilakukan penelitian guna melihat peran

legislator perempuan tersebut dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan di

Kota Binjai. Penelitian ini akan melihat peran yang telah dilakukan oleh

legislator perempuan dalam pelaksananaan fungsi legislasi dan anggaran di

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai (studi pada legislator

Perempuan terpilih 2004-2009)

B.Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, yang menjadi permasalahan

adalah sebagai berikut;

4. Bagaimanakah pengaturan keterwakilan Perempuan pada lembaga

legislatif di Indonesia?

5. Bagaimana peranan Legislator Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kota Binjai dalam melaksanakan fungsi legislasi dan anggaran?

6. Apa yang menjadi hambatan bagi legislator perempuan di DPRD Kota

Binjai dalam melaksanakan Fungsi Legislasi dan Fungsi Anggaran?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Sejalan dengan pokok permasalahan yang diuraikan sebelumnya,

penelitian ini bertujuan sebagai berikut;

1. Untuk menjawab bagaimana pengaturan keterwakilan Perempuan pada

(8)

2. Untuk menjawab bagaimana Legislator Perempuan tersebut dalam

melaksanakan fungsi legislasi, dan anggaran.

3. Untuk menjawab apa yang menjadi hambatan bagi legislator perempuan di

DPRD Kota Binjai dalam melaksanakan Fungsi Legislasi dan Fungsi

Anggaran

Dan juga, penelitian ini di harapkan menjadi salah satu karya ilmiah yang

dapat menjadi rekam jejak dari perkembangan kesadaran berpolitik Perempuan

dari perspektif hukum di Indonesia. Sebab, tidak banyak penelitian yang

mengambil tema tentang peranan Perempuan dalam ke ikut sertaan mereka

untuk mensejahterakan masya rakat, terutama untuk kaum Perempuan sendiri.

D.Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelurusan yang dilakukan di perpustakaan di lingkungan

Universitas Sumatera Utara, belum ditemukan penulisan skripsi yang

membahas tentang “PERANAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DAN ANGGARAN (STUDI PADA

ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN TERPILIH DI KOTA BINJAI

2009-2014)” sampai dengan skripsi diajukan. Kalaupun ada dengan judul yang

sama, penulis yakin isi dan penelitiannya akan berbeda. Sehingga dapat

dikatakan bahwa penulisan skripsi ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan

penulis.

(9)

Sebelum UUD 1945 diamandemen, kedaulatan rakyat di pegang oleh

suatu Badan yang bernama “Majelis Permusyawaratan Rakyat”, sebagai

penjelmaan seluruh masyarakat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des

Staatvolkes). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi.

Setelah UUD 1945 di amandemen, makapelaksanaan kedaulatan rakyat di

Indonesia dilaksanakan menurut UUD 1945.

Di dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 juga menyebutkan bahwa

kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang

Dasar. Selanjutnya pada pasal 1 ayat ( 3) UUD 1945 disebutkan bahwa Negara

Republik Indonesia adalah negara hukum. Sehingga jelas bahwa kekuasaan

tertinggi di dalam negara Indonesia adalah hukum yang dibuat oleh rakyat

melalui wakil-wakilnya7.

Menurut teori kedaulatan rakyat, rakyatlah yang berdaulat dan mewakili

kekuasaannya kepada suatu badan yaitu pemerintah. Bilamana pemerintahan

ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat

akan bertindak mengganti pemerintah itu8.

Indonesia merupakan negara hukum, salah satu ciri negara hukum adalah

adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara9.

Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Espirit de Lois” (1748) yang

mengikuti jalan pikiran John Locke membagi kekuasaan negara dalam tiga

cabang, yaitu10;

(i) Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang undang

7

Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung; Cv. Mandar Maju, 2014, hlm.74

8

M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung; Cv.MandarMaju, 1990, hlm.42 9

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta; Rajawali Press, 2009., hlm. 281

10

(10)

(ii) Kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang undang

(iii) Kekuasaan yang menghakimi (yudikatif).

Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara

modern dalam tiga fungsi (trias politica), yaitu legislatif (the legislatif

function), eksekutif (the executive or administrative function) dan yudisial (the

judicial function)11.

Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang

pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat12. Kewenangan untuk menetapkan

peraturan diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau lembaga legislatif.

Ada hal penting yang harus di atur oleh wakil rakyat melalui lembaga

legislatif, yaitu fungsi legislasi atau pengaturan. Dalam bentuk konkretnya ,

fungsi pengaturan (regelend function) ini terwujud dalam fungsi pembentukan

undang undang (wetgevende function atau law making function)13.

Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa fungsi anggaran termasuk

ke dalam fungsi legislasi. Seperti yang ditulis Jimly Asshidiqie mengenai

fungsi penganggaran yang merupakan suatu fungsi yang tersendiri sebagai

berikut;

Anggaran pendapatan dan belanja negara itu dituangkan dalam baju hukum undang undang sehingga penyusunan anggaran dan belanja negara identik dengan pembentukan undang undang tentang APBN, meskipun rancangannya selalu datang dari Presiden. Sementara itu, pelaksanaan APBN itu sendiri harus pula diawasi oleh DPR dan pengawasan itu

sendiri termasuk kategori fungsi pengawasan oleh parlemen14.

(11)

Selanjutnya, Jimly Asshidiqie mengelompokkan fungsi lembaga legislatif

menjadi tiga15, yaitu

(i) Legislasi

(ii) Pengawasan

(iii) Representasi

Oleh beberapa sarjana di tambahkan pula fungsi lainnya, yaitu

(iv) Fungsi deliberative

(v) Fungsi penyelesaian konflik

2. Demokrasi

Sampai saat ini tidak ada pengertian yang lengkap tentang demokrasi16.

Seperti yang di kemukakan Harold Laski pada bukunya Encyclopedia of social

sciences yang diterjemahkan sebagai berikut17;

Tidak ada definisi demokrasi yang memadai untuk dijadikan sebagai

konsep dalam sejarah. Demokrasi adalah suatu bentuk

pemerintahan,sekaligus sebagai pandangan hidup sosial. Esensinya dapat ditemukan dalam karakter pemilih, hubungan pemerintah dengan rakyat, tidak adanya perbedaan warga negara di dalam bidang ekonomi, menolak pengakuan terhadap hak-hak istimewa karena kelahiran, atau karena kekayaan, karena ras, suku atau kepercayaan.

Sedangkan Abraham Lincoln memberikan pengertian demokrasi adalah

pemerintahan rakyat dari rakyat dan untuk rakyat (democracy is a government

15 Ibid. 16

Juanda, Hukum Pemerintah Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah,Bandung; PT. Alumni, 2008, hlm.57

(12)

of the people,by the people, and for the people)18. Amien rais memberikan

sepuluh kriteria negara dapat di katakana demokrasi 19, yaitu:

1. Partisipasi dalam pembuatan keputusan

2. Persamaan di depan hukum

3. Distribusi pendapatan secara adil

4. Kesempatan pendidikan yang sama

5. Kebebasan mengeluarkan pendapat, persuratkabaran, berkumpul, dan

beragama (Amien Rais menyebutnya „Empat Kebebasan‟)

Esensi negara demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai penentu

utama dalam semua aktivitas pemerintahan20 dengan di wakilkan oleh badan

perwakilan rakyat. Hal ini senada dengan pengertian demokrasi menurut Sri

Soemantri21 yang mendefiniskan demokrasi Indonesia dalam arti formil

(indirect democracy) sebagai suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan

rakyat itu tidak dilaksanakan secara langsung melainkan melalui lembaga

perwakilan-perwakilan rakyat. Sehingga badan perwakilan rakyat harus

dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk

menyusun undang-undang ialah yang dinamakan “legislative”22.

Indonesia yang mengakui dirinya sebagai negara demokrasi telah

mengatur tentang eksistensi lembaga perwakilan rakyat dengan membentuk

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

18

Defining Democracy

http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm 19

Amin Rais, Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta : LP3ES Jakarta, 1986. Hlm. xvi

20

Ibid. hlm.85 21

Sri Soemantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Bandug, Alumni,1971, hal. 26

22

Kansil,C.S.T, dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia

(13)

serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan lembaga perwakilan

baru sejak UUD 1945 di amandemen23. Anggota dari lembaga perwakilan

rakyat tersebut dipilih melalui mekanisme pemilu.

3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 148 Undang Undang Nomor 23 tahun2014 tentang Pemerintahan

Daerah menyebutkan DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan

rakyat Daerah kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota.

DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi24 yaitu,

a. pembentukan Perda Kabupaten/Kota,

b. anggaran, diwujudkan dalam bentuk pembahasan untuk persetujuan bersama

terhadap Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD25

c. pengawasan, diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap26,

1) pelaksanaan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota;

2) pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait

dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; dan

3) pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh

Badan Pemeriksa Keuangan.

DPRD kabupaten/kota mempunyai wewenang dan tugas27:

23Juanda,… op.cit. hlm.87 24

lihat Pasal 149 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244

25

Lihat Pasal 152 ayat(1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244

26

Lihat Pasal153 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

(14)

a. membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota;

b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD kabupaten/kota;

d. dihapus;

e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota dan/atau wakil bupati/wakil wali kota kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;

f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah; g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional

yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;

i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah; j. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan

peraturan perundangundangan.

DPRD Kabupaten/Kota mempunyai beberapa hak28, yaitu;

a. hak interpelasi, adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta

keterangan kepada bupati/wali kota mengenai kebijakan Pemerintah Daerah

kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada

kehidupan bermasyarakat dan bernegara

b. hak angket, untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah

Daerah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada

kehidupan masyarakat, Daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. hak menyatakan pendapat, adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk

menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/wali kota atau mengenai

27

Lihat Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

28

(15)

kejadianluar biasa yang terjadi di Daerah kabupaten/kota disertai dengan

rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak

interpelasi dan hak angket.

4. Affirmative Action

Setiap Negara akan berbeda pemakaian istilah affirmative action dalam

kebijakan yang mereka bentuk. Pada Negara Eropa, mereka lebih umum

memakai istilah positive action dan beberapa istilah lainnya29.

Pada mulanya affirmative action ini muncul pada permasalahan

segregrasi rasial bidang pendidikan pada di Amerika Serikat pada tahun

1960-an yang memunculkan istilah “affirmative duty”30 . Lalu istilah ini

diperkenalkan dalam Executive Order (1961) oleh Presiden Amerika

Serikat31.

Secara umum affirmative action memiliki pengertian adalah kebijakan

yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi)

memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam

bidang yang sama. Affirmative action juga dapat diartikan sebagai kebijakan

yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu32. Dalam konteks

politik di Indonesia, salah satu bentuk tindakan affirmative dilakukan untuk

mendorong agar jumlah perempuan di lembaga legislatif lebih representatif.

5. Hubungan Gender dan Hukum

Istilah gender sering diartikan sebagai jenis kelamin (seks). Kedua stilah

tersebut (gender dan seks) memang mengacu pada perbedaan jenis kelamin,

29

Yusrin Nazief,Jurnal Konstitusi Vol.I No.2: Affirmative Action Dalam Pembentukan Lembaga Perwakilan Rakyat (LPR) di Indonesia,Medan; Lk SPs Universitas Sumateraa Utara , 2009, hlm. 79

(16)

tetapi istilah seks terkait pada komponen biologis. Artinya, masing-masing

jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) secara biologis berbeda dan sebagai

perempuan dan laki-laki mempunyai keterbatasan dan kelebihan tertentu

berdasarkan fakta biologis masing-masing. 33

Sebaliknya, gender adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seorang. Dapat

diartikan gender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap dan

perilaku seorang yang ia pelajari selama hidupnya. Seperti sifat „feminitas‟

bagi perempuan dan „maskulinitas‟ bagi laki-laki ditentukan oleh lingkungan

budaya melalui apa yang diajarkan orangtuanya, guru-guru sekolahnya,guru

agamanya, dan tokoh masyarakat dimana seorang tergabung34.

Selain itu, gender sebagai alat analisis umumnya dipergunakan oleh

penganut aliran ilmu sosial sebagai masalah yang memusatkan perhatian pada

ketidakadilan struktural dan sistem yang disebabkan oleh gender35. Perbedaan

gender (gender differences) yang selanjutnya melahirkan peran gender (gender

role) sesungguhnya tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi yang menjadi

masalah oleh mereka yang menggunakan analisis gender adalah struktur

ketidak adilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender

tersebut36.

Gender sebagai konsep yang menyoroti persoalan-persoalan kemanusiaan

dan memiliki kaitan dengan masalah keadilan dan kesetaraan laki-laki dan

perempuan, merupakan isu yang masih baru di Indonesia dibandingkan dengan

33

Saparinah Sadli,Pemberdayan Perempuan dalam perspektif Hak Asasi Manusia” dalam T.O.Ihromi, dkk (eds) Penghapusan diskriminasi terhadapa perempuan, Bandung ; Alumni, 2000, hlm.4

34

Ibid. hlm. 5 35

Mansour Fakih, dkk, Membincang feminisme: diskursus gender perspektif Islam.

Surabaya; Risalah Gusti, 1996, hlm. 46 36

(17)

negara-negara lain di Barat. Istilah ini baru banyak menjadi bahan pembicaraan

pada awal tahun 1980-an bersamaan dengan munculnya lembaga-lembaga

advokasi perempuan. Namun demikian, wacana feminisme muncul dan

dikenal di Indonesia kurang lebih sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Zaman kaum perempuan bergerak di Indonesia diawali oleh pemikiran R.A.

Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan sejak tahun

1912. Sejak saat itu, wacana dan gerakan perempuan mewarnai bangsa

Indonesia. Gerakan perempuan yang banyak muncul sepanjang tahun 1950-an

sampai pertengahan 1960-an memunculkan berbagai tuntutan persamaan dalam

hukum dan politik antara laki-laki dan perempuan dengan model organisasi

yang berkait atau di bawah partai politik37.

Dalam hal keikut sertaan perempuan dalam politik inilah, hukum

diperlukan untuk memberi kepastian hukum bagi perempuan. Hukum

dipahami sebagai norma, yaitu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang

dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya38.

Karena itu hukum diharapkan untuk membentuk suatu keadilan bagi setiap

orang, termasuk perempuan.

6. Pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat

Politik yang jauh dari perempuan tentu lebih dekat kepada

kepentingan-kepentingan laki-laki. Sehingga produk yang dihasilkan pun dibangun dalam

logika laki-laki. implikasinya adalah memperkokoh hubungan yuridis sosial

37

Muhammad Nuruzzaman, Kia Husein membela perempuan., Yogyakarta ; LKIS Pelangi Aksara, 2005, hlm. 2

38

(18)

yang patriarkis39. Hubungan yang dimaksud adalah yang didasarkan pada

norma, pengalaman dan kekuasaan laki-laki.serta mengabaikan pengalaman

perempuan40.

Banyak yang terjadi dan terdapat di Indonesia yang memutlakan

keterwakilan para perempuannya yang memadai dalam kuantitas dan kualitas

di lembaga-lembaga negara dan sektor-sekto publik lainnya untuk

menciptakan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat41.

Yang membuat penting keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif

adalah menyangkut kewenangan dan fungsi anggota parlemen dalam hal

legislasi, penganggaran dan pengawasan, dari sini akan lahir berbagai produk

hukum. Ketiadaan pengetahuan tentang pengalaman hidup perempuan dan

kepekaan gender akan melahirkan produk legislasi yang merugikan bahkan

semakin menjauhkan perempuan dari potensi yang ada pada dirinya42.

7. Kota Binjai

Kota Binjai adalah salah satu kota (dahulu daerah tingkat II berstatus

kotamadya) dalam wilayah provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Binjai terletak

22 km di sebelah barat ibukota provinsi Sumatera Utara,Medan. Sebelum

berstatus kotamadya, Binjai adalah ibukota Kabupaten Langkat yang kemudian

dipindahkan ke Stabat. Binjai berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat

di sebelah barat dan utara sertaKabupaten Deli Serdang di sebelah timur dan

39

Sulistyowati Irianto, Pendekatan Hukum Berspektif Perempuan, dalam T.O. Ihromi (ed), Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Bandung; Alumni, 2000, hlm. 93

40 Ibid. 41

Imas Rosidawati , Jurnal Keterwakilan Perempuan Di Dewan Perwakilan Rakyat Kesiapan Partai Politik & Perempuan Indonesia Di Arena Politik Prakti, tanpa tahun, hlm.3

(http://www.uninus.ac.id/data/data_ilmiah/Quota%20Perempuan%20di%20DPR.pdf) diakses pada 28 Januari 2015

42

(19)

selatan. Letak geografis Binjai 03°03'40" - 03°40'02" LU dan 98°27'03" -

98°39'32" BT. 43

Pemerintah Kota Binjai pertama kali terbentuk berdasarkan

Undang-Undang Darurat Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi

Kota Kota Kecil Dalam Lingkungan Propinsi Sumatera Utara, dengan luas

wilayah 1.710 Ha44.

Akibat pembangunan yang semakin pesat, dan dalam rangka

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Kota Binjai diperluas sesuai

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1986 tentang Perubahan Batas

Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Binjai, Kabupaten Daerah Tingkat II

Langkat dan Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang, maka wilayah Kota

Binjai telah diperluas menjadi 9.023,63 Ha dengan 5 (lima) wilayah

Kecamatan yaitu Kecamatan Binjai Selatan, Kecamatan Binjai Utara,

Kecamatan Binjai Timur, Kecamatan Binjai Barat dan Kecamatan Binjai Kota.

Kota Binjai merupakan kota multi etnis, dihuni oleh suku Jawa, suku Karo,

suku Tionghoa dan suku Melayu. Kemajemukan etnis ini menjadikan Binjai

kaya akan kebudayaan yang beragam. Jumlah penduduk kota Binjai dari data

BPS Kota Binjai45 pada tahun 2013 adalah 252.263 jiwa dengan kepadatan

penduduk 18.813 jiwa/km persegi.

F. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian

43

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Binjai, diakses pada 9 Februari 2015 44

Profil DPRD Kota Binjai, tanpa tahun, hlm..4 45

(20)

Penelitian ini dilakukan di Kota Binjai, tepatnya di Kantor Dewan

Perwakilan Rakyat Kota Binjai. Penulis memilih tempat tersebut sebagai

lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa tempat tersebut memenuhi

karakteristik penulis untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah yang

akan diteliti.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara deskriptif, yang bertujuan

menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,gejala atau

kelompok tertetu. Atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala , atau

untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala

lain dalam masyarakat.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

Yuridis normatif membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu

hukum.46 Yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan dan

ditujukan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang topik

yang penulis angkat,kemudian melihat kesesuaian antara hal yang ditentukan

dalam peraturan hukum tersebut dengan pelaksanaannya di lapangan.

Sedangkan yuridis empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum

(hukum tidak tertulis), dimaksudkan untuk mengetahui hukum yang berlaku

dalam masyarakat47. Dalam penelitian secara yuridis empiris, penulis harus

berhadapan dengan warga masyarakat yang menjadi objek penelitian

46

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Sinar Grafika, 2010,hlm.29 47

(21)

sehingga banyak peraturan-peraturan yang tidak tertulis berlaku dalam

masyarakat.48

4. Data yang digunakan

Dalam pengumpulan data yang diperoleh guna penyusunan penulisan

hukum ini meliputi :

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber

pertama.49 Data yang dapat diperoleh langsung dari informan dengan

cara menggunakan kuisioner dan melalui wawancara bebas terpimpin,

yaitu dengan terlebih dahulu mempersiapkan pokok-pokok pertanyaan

(guide interview) sebagai pedoman dan variasi-variasi dengan situasi

ketika wawancara.

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan

guna mendapatkan landasan teoritis terhadap peranan legislator

Perempuan dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran dan

pengawasan. Di samping itu tidak menutup kemungkinan diperoleh

bahan hukum lain, di mana pengumpulan bahan hukumnya dilakukan

dengan cara membaca, mempelajari, serta menelaah data yang

terdapat dalam buku. Antara lain dokumen resmi, buku-buku,

hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.50

Bahan-bahan hukum tersebut adalah :51

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukumyang mengikat dan terdiri

dari :

48

Ibid. hlm. 31 49

Amiruddin dan Zainal asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta;

Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.30 50

Ibid. 51

(22)

a) Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945

b) Peraturan dasar:

(1) Batang Tubuh UUD 1945,

(2) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,

c) Peraturan perundang-undangan:

(1) Undang Undang dan peraturan yang setaraf,

(2) Peraturan Pemerintah dan peraturan setaraf,

(3) Keputusan Presiden dan peraturan setaraf,

(4) Keputusan menteri dan peraturan yang setaraf,

(5) Peraturan-peraturan Daerah

d) Bahanhukumyang tidak dikodifikasikan,

e) Yurisprudensi,

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil

penelitian, atau pendapat pakar hukum.

3) Bahan hukum tersier, bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus (hukum), ensiklopedia.

5. Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data primer maupun data sekunder penulis

menggunakan metode sebagai berikut;

a. Penelitian kepustakaan

Yaitu dengan meneliti berbagai sumber bacaan yang berkaitan

(23)

hukum, majalah hukum, artikel hukum di internet, pendapat sarjana yang

ahli di dunia hukum danbaha-bahan lainnya.

b. Penelitian lapangan

Yaitu dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan terhadap

praktek mengenai topik yang penulis angkat melalui kuisioner dan

wawancara pada narasumber ahlinya.

6. Analisa Data

Data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan akan dihubungkan

dengan studi kepustakaan. Kemudian data tersebut dianalisis secara logis dan

disusun dengan menggunakan metode kualitatif yaitu apa yang dinyatakan

oleh informan secara tertulis maupun lisan diteliti dan dipelajari kemudian

dianalisis secara deskriptif kualitatif yang tersusun dalam kalimat yang

sistematis.

G.Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya

harus diuraikan secara sistematik. Penulisan sistemtik ini dibagi beberapa

tahapan yang disebut dengan bab yang mana masing-masing bab diuraikan

permasalahannya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling

berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulis

menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam lima (5) bab

yang terperinci sebagai berikut;

Pada bab I di uraikan gambaran hal-hal yang bersifat umum, yang

dimulai dengan latar belakang kemudian dilanjutkan dengan permasalahan

dan tujuan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka,serta metode penelitian . Bab

(24)

Dalam bab II dengan judul Pengaturan Legislatif Perempuan Dalam

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Bab ini membahas tentang tiga

prinsip persamaan hak kaum Perempuan dalam hukum, Dasar hukum

keterwakilan Perempuan di lembaga perwakilan rakyat, dan perbandingan

kedudukan legislator Perempuan pada Undang-Undang Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan

Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam bab III dengan judul Peran Legislator Perempuan di Dewan

Perwakilan Rakyat Kota Binjai. Bab ini menguraikan mengenai gambaran

umum tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai, alat

kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai serta peranan

legislator Perempuan dalam pelaksanaan fungsi legislasi dan fungsi anggaran.

Dalam bab IV dengan judul Hambatan dan Tantangan Legislator

Perempuan Dalam Melaksanakan Fungsi Legislatif di DPRD Kota Binjai .

Pada bab ini dijelaskan tentang hambatan dan tantangan legislator

Perempuan dalam melaksanakan fungsi legislasi dan fungsi anggaran.

Bab V di uraikan kesimpulan dan saran dari berbagai hal penting dan

dibahas pada bab-bab sebelumnnya, serta menyampaikan saran sebagai wujud

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan variabel kualitas pelayanan berpengaruh terhadap loyalitas dan juga berpengaruh terhadap loyalitas melalui kepuasan, kemudian hubungan pelanggan

Dampak pembelajaran dari model ini adalah: sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variative dimana peserta

Merupakan keputusan yang berulang dan telah ditentukan sebelumnya, dalam keputusan terprogram prosedur dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan

Setelah diberikan penyuluhan tingkat pengetahuan responden mengalami peningkatan, pada saat posttest yang terbanyak adalah pada kategori baik dengan jumlah

Keindahan alam di Tana Toraja tidak hanya sebagai sumber inspirasi dari warna ukiran, tetapi juga berbagai bentuk yang telah disederhanakan pada ragam hias.. Selain itu

The following oligosaccharide fractions were tested in vitro to establish whether they reduce leukocyte deceleration on U937 cells, which express the P-selectin ligand:

Nomor Induk Buku Nomor Klasifikasi Buku Judul Buku Pengarang Buku Penerbit Buku Tahun Terbit Buku Kategori Buku Status Buku Status Peminjaman Buku Halaman Buku Bahasa Buku Harga

Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian