BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan di bidang
pemerintahan dan hukum tertuang dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 19452 dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi, “segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Dengan adanya jaminan dari konstitusi ini, memberikan kesempatan pada
perempuan untuk terlibat di dalam pemerintahan. Tetapi, pada kenyataannya
peran perempuan tidak begitu tampak. Hal ini karena budaya patriarki masih
mendominasi banyak bagian di pemerintahan, seperti dalam bidang legislatif
yang didominasi oleh laki-laki.
Padahal, dengan seimbangnya jumlah laki-laki dan perempuan di
lembaga legislatif tersebut secara umum dapat menjadi sumber inisiatif, ide
dan konsep dari berbagai peraturan daerah yang dikeluarkan.
Diharapkan,keberadaan legislator perempuan dapat membentuk kebijakan
yang memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat lebih baik.
Bebeberapa peraturan yang dianggap tidak adil dan substansinya
merugikan perempuan menurut Departemen Hukum dan Ham dan UNDP3
tahun 2007 adalah;
a. Dalam ranah hukum pidana, beberapa rumusan dalam KUHP tentang
kejahatan kepada perempuan di kategorikan sebagai „kejahatan
2
Selanjutnya akan di singkat dengan UUD 1945 3
kesusilaan‟ (crime against ethics). Padahal kejahatan tersebut juga
membahayakan nyawa (crime against person) bukan hanya kepada
perempuan dewasa tetapi juga terhadap anak.
b. Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, disini beberapa pasal
menunjukkan adanya bias gender dan standar ganda. Diantaranya adalah
pasal 31 ayat (3) yang terkait dengan rumusan suami sebagai kepala rumah
tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga, rumusan pasal ini menimbulkan
dampak diskriminasi bagi perempuan kawin yang bekerja.
c. Dalam rumusan pasal 214 Undang Undang Nomor 10 tahun 2008
tentang Pemilu memperkuat kebijkan kuota 30% untuk perempuan, yang
kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan
Nomor.2-24/PUU-VI/2008.
Beberapa peraturan tersebut dianggap merugikan perempuan karena tidak
seimbangnya legislatif perempuan di kalangan perumus peraturan
perundang-undangan, yang menjauhkan produk legislasi dari pengalaman keseharian
perempuan4. Sehingga hal ini memunculkan kesadaran politik Perempuan di
Indonesia sebagai salah satu subyek maupun obyek pembangunan
kesejahteraan masyarakat, dan perempuan dapat mengambil inisiatif dalam
segala kebijakan menyangkut hidupnya dan kebaikan masyarakat.
Dengan melihat pentingnya peran perempuan di lembaga legislatif
tersebut, negara membentuk suatu kebijakan khusus bersifat sementara
(affirmative action) dengan ketentuan kuota 30% (tiga puluh persen) dalam
pencalonan legislatif oleh Partai Politik. Dibentuknya kebijakan ini agar
memberikan kemudahan bagi perempuan ikut dalam pencalonan legislatif
serta untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen.
Kebijakan affirmative ini pertama kali dimuat pada Undang Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah . Pada pasal
65 ayat (1) menyebutkan “setiap partai politik peserta pemilu dapat
mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
untuk setiap daerah dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%”. Sayangnya, hasil dari pelaksanaan Undang
Undang ini tidak sesuai harapan sehingga di sempurnakan pada Undang
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dalam pasal 8 ayat (1) huruf d yang berbunyi “partai politik dapat menjadi
peseerta pemilu setelah memenuhi persyaraatan salah satunya yaitu
menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada
kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Selanjutnya peraturan ini di
sempurnakan kembali dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012. Pada
Undang Undang pemilu terbaru ini, pemerintah membentuk zipper system
pada pasal 56 ayat (2) yang berbunyi “di dalam daftar bakal calon, setiap 3
(tiga) orang bakalcalon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
perempuan”.
Pemenuhan kuota perempuan di lembaga legislatif adalah suatu hal yang
penting. Lebih lanjut Adinda Tentangker mengatakan;
kepekaan akan isu-isu kebijakan public, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, serta lingkungan, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian. Argument tersebut tidak hanya ideal sebagai wujud modal dasar kepemimpinan dan pengalaman organisasi perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, argument tersebut juga menunjukkan perempuan dekat dengan isu-isu kebijakan publik dan relevan untuk
memiliki keterwakilan dalam jumlah yang signifikan dalam
memperjuangkan isu-isu kebijakan publik dalam proses kebijakan,
terutama di lembaga perwakilan rakyat. 5
Untuk memberikan perempuan peran yang sama dalam pemerintahan,
kebijakan affirmative berkembang dan muncul pada Undang Undang Nomor
27 tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
untuk memperhatikan keterwakilan perempuan sebagai pimpinan alat
kelengkapan Lembaga Legislatif.
Berbicara tentang keterwakilan perempuan di Lembaga Perwakilan
Rakyat, maka tidak lepas dengan politik. Keterlibatan perempuan dalam
politik penting6, karena perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus
yang hanya dapat di pahami oleh perempuan itu sendiri. Disini, politik menjadi
jalan pembuka bagi perempuan untuk ikut berperan di Lembaga Perwakilan
Rakyat.
Pentingnya keterwakilan perempuan tidak hanya di DPR pusat saja, tetapi
juga di DPRD Kabupaten/Kota, khususnya pada DPRD Kota Binjai.
5
Adinda Tenriangke Muchtar, Mendorong keterwakilan Perempuan dalam politik, Media Indonesia, 2008
(http://politik2.blogspot.com/2008/09/mendorong-keterwakilan-perempuan-dalam.html) diakses pada 25 Januari 2015 6
Masyarakat Kota Binjai memberikan kesempatan bagi perempuan dari 30 (tiga
puluh) kursi yang tersedia sebagai legislator. Dalam dua periode terakhir
pemilihan umum anggota legislatif di Kota Binjai selalu memberikan kursi
untuk perempuan sebagai legislator. Hal ini dapat di lihat pada tabel berikut:
Tabel: Nama anggota legislative Kota Binjai Periode 2009-2014
(Sumber :Profil Kota Binjai )
No. Nama Anggota Legislatif Jenis
Kelamin Partai
1 Ir. Mulia Ginting Laki-Laki DEMOKRAT
2 Rimbun Sitepu Laki-Laki DEMOKRAT
3 H. Bahman Nasution,SH Laki-Laki DEMOKRAT
4 H. Abdul Muis Matondang,SE Laki-Laki DEMOKRAT
5 Nurlela Kaloko Perempuan DEMOKRAT
6 Harsoyo Laki-Laki DEMOKRAT
7 Zainuddin Purba,SH Laki-Laki GOLKAR
8 H.Noor Sri Syah Alam Putra,
ST Laki-Laki GOLKAR
9 Hj. Rini Sofyanti, SE Perempuan GOLKAR
10 Helga Octora Halim, S.Sos Perempuan GOLKAR
11 H.M. Yusuf, SH.M.Hum Laki-Laki GOLKAR
12 Nizamuddin Siagian Laki-Laki GOLKAR
13 Surya Wahyu
Danil,SH.M.Hum Laki-Laki HANURA
14 Irfan Asriandi,S.Kom Laki-Laki PAN
15 Ir. Irwan Yusuf Laki-Laki PAN
16 Ismail Hasan Laki-Laki PBB
17 Mariono Laki-Laki PDIP
18 Bob Andika Mamana Sitepu,
SH Laki-Laki PDIP
19 Herman Sembiring Laki-Laki PDIP
20 Raidertha Sitepu Laki-Laki PDIP
21 Peterus, SH Laki-Laki PDS
22 Arjuli Indrawan, SE. Ak Laki-Laki PKS
23 Drs.Suharjono Mulyono Laki-Laki PKS
24 Bagus Handoko,SE. MMA Laki-Laki PKS
25 Arjuli Indrawan, SE. Ak Laki-Laki PKS
26 H. Zulkarnain D. Lubis Laki-Laki PP
27 Irhamsyah Putra Pohan Laki-Laki PPP
28 Hairul Sembiring Laki-Laki PPP
30 H. Antasari Laki-Laki PPP
Tabel: Nama anggota legislatif Kota Binjai Periode 2014-2019
(Sumber: Profil DPRD Kota Binjai)
No. Nama Anggota Legislatif Jenis
Kelamin Partai
1 Njoreken Pelawi Laki-laki DEMOKRAT
2 H.M. Sajali Laki-laki DEMOKRAT
3 H. Ahmad Hasian Siregar Laki-laki DEMOKRAT
4 Ardiansyah Putra,SE Laki-laki DEMOKRAT
5 Ambi Suswandi Buana, ST Laki-laki GERINDRA
6 Hj. Juliati, SE Perempuan GERINDRA
7 Drs. H. Saidi Susiono, Msi Laki-laki GERINDRA
8 Agus Supriyantono Laki-laki GERINDRA
9 Zainuddin Purba,SH Laki-laki GOLKAR
10 Hj. Norasiah Perempuan GOLKAR
11 Hj. K.Gusuartini Br. Surbakti Perempuan GOLKAR
12 H.M. YusufSH.M.Hum Laki-laki GOLKAR
13 H. Noor Sri Syah Alam Putra,
ST Laki-laki GOLKAR
14 Elmita Perempuan HANURA
15 Irfan Ahmadi, SH Laki-laki HANURA
16 Jonita Agina Bangun Laki-laki HANURA
17 Dr. Ediy Putra Laki-laki NASDEM
18 Drs. T. Matsyah Laki-laki NASDEM
19 Deni Surianto Laki-laki NASDEM
20 Irfan Asriandi, A.Md. Kom Laki-laki PAN
21 Hj. Ema Gata Perempuan PAN
22 Rudi Alfahri Rangkuti SH. MH Laki-laki PAN
23 Gim Ginting Laki-laki PDIP
24 Ir. Muhammad Syarif Sitepu Laki-laki PDIP
25 M. Atan Laki-laki PDIP
26 Ari Amjah Surbakti Laki-laki PKS
27 Drs. Suharjo Mulyono Laki-laki PKS
28 Irhamsyah Putra Pohan Laki-laki PPP
29 Maruli Malau Laki-laki PPP
Hal ini memberi gambaran bahwa sebagian masyarakata Kota Binjai telah
memberikan kepercayaan kepada legislator perempuan untuk mewakili
mereka dalam pengambil kebijakan di lembaga legislatif.
Dari uraian diatas, penting untuk dilakukan penelitian guna melihat peran
legislator perempuan tersebut dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan di
Kota Binjai. Penelitian ini akan melihat peran yang telah dilakukan oleh
legislator perempuan dalam pelaksananaan fungsi legislasi dan anggaran di
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai (studi pada legislator
Perempuan terpilih 2004-2009)
B.Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, yang menjadi permasalahan
adalah sebagai berikut;
4. Bagaimanakah pengaturan keterwakilan Perempuan pada lembaga
legislatif di Indonesia?
5. Bagaimana peranan Legislator Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota Binjai dalam melaksanakan fungsi legislasi dan anggaran?
6. Apa yang menjadi hambatan bagi legislator perempuan di DPRD Kota
Binjai dalam melaksanakan Fungsi Legislasi dan Fungsi Anggaran?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Sejalan dengan pokok permasalahan yang diuraikan sebelumnya,
penelitian ini bertujuan sebagai berikut;
1. Untuk menjawab bagaimana pengaturan keterwakilan Perempuan pada
2. Untuk menjawab bagaimana Legislator Perempuan tersebut dalam
melaksanakan fungsi legislasi, dan anggaran.
3. Untuk menjawab apa yang menjadi hambatan bagi legislator perempuan di
DPRD Kota Binjai dalam melaksanakan Fungsi Legislasi dan Fungsi
Anggaran
Dan juga, penelitian ini di harapkan menjadi salah satu karya ilmiah yang
dapat menjadi rekam jejak dari perkembangan kesadaran berpolitik Perempuan
dari perspektif hukum di Indonesia. Sebab, tidak banyak penelitian yang
mengambil tema tentang peranan Perempuan dalam ke ikut sertaan mereka
untuk mensejahterakan masya rakat, terutama untuk kaum Perempuan sendiri.
D.Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelurusan yang dilakukan di perpustakaan di lingkungan
Universitas Sumatera Utara, belum ditemukan penulisan skripsi yang
membahas tentang “PERANAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM
PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DAN ANGGARAN (STUDI PADA
ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN TERPILIH DI KOTA BINJAI
2009-2014)” sampai dengan skripsi diajukan. Kalaupun ada dengan judul yang
sama, penulis yakin isi dan penelitiannya akan berbeda. Sehingga dapat
dikatakan bahwa penulisan skripsi ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan
penulis.
Sebelum UUD 1945 diamandemen, kedaulatan rakyat di pegang oleh
suatu Badan yang bernama “Majelis Permusyawaratan Rakyat”, sebagai
penjelmaan seluruh masyarakat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des
Staatvolkes). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi.
Setelah UUD 1945 di amandemen, makapelaksanaan kedaulatan rakyat di
Indonesia dilaksanakan menurut UUD 1945.
Di dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 juga menyebutkan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang
Dasar. Selanjutnya pada pasal 1 ayat ( 3) UUD 1945 disebutkan bahwa Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum. Sehingga jelas bahwa kekuasaan
tertinggi di dalam negara Indonesia adalah hukum yang dibuat oleh rakyat
melalui wakil-wakilnya7.
Menurut teori kedaulatan rakyat, rakyatlah yang berdaulat dan mewakili
kekuasaannya kepada suatu badan yaitu pemerintah. Bilamana pemerintahan
ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat
akan bertindak mengganti pemerintah itu8.
Indonesia merupakan negara hukum, salah satu ciri negara hukum adalah
adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara9.
Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Espirit de Lois” (1748) yang
mengikuti jalan pikiran John Locke membagi kekuasaan negara dalam tiga
cabang, yaitu10;
(i) Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang undang
7
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung; Cv. Mandar Maju, 2014, hlm.74
8
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung; Cv.MandarMaju, 1990, hlm.42 9
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta; Rajawali Press, 2009., hlm. 281
10
(ii) Kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang undang
(iii) Kekuasaan yang menghakimi (yudikatif).
Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara
modern dalam tiga fungsi (trias politica), yaitu legislatif (the legislatif
function), eksekutif (the executive or administrative function) dan yudisial (the
judicial function)11.
Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang
pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat12. Kewenangan untuk menetapkan
peraturan diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau lembaga legislatif.
Ada hal penting yang harus di atur oleh wakil rakyat melalui lembaga
legislatif, yaitu fungsi legislasi atau pengaturan. Dalam bentuk konkretnya ,
fungsi pengaturan (regelend function) ini terwujud dalam fungsi pembentukan
undang undang (wetgevende function atau law making function)13.
Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa fungsi anggaran termasuk
ke dalam fungsi legislasi. Seperti yang ditulis Jimly Asshidiqie mengenai
fungsi penganggaran yang merupakan suatu fungsi yang tersendiri sebagai
berikut;
Anggaran pendapatan dan belanja negara itu dituangkan dalam baju hukum undang undang sehingga penyusunan anggaran dan belanja negara identik dengan pembentukan undang undang tentang APBN, meskipun rancangannya selalu datang dari Presiden. Sementara itu, pelaksanaan APBN itu sendiri harus pula diawasi oleh DPR dan pengawasan itu
sendiri termasuk kategori fungsi pengawasan oleh parlemen14.
Selanjutnya, Jimly Asshidiqie mengelompokkan fungsi lembaga legislatif
menjadi tiga15, yaitu
(i) Legislasi
(ii) Pengawasan
(iii) Representasi
Oleh beberapa sarjana di tambahkan pula fungsi lainnya, yaitu
(iv) Fungsi deliberative
(v) Fungsi penyelesaian konflik
2. Demokrasi
Sampai saat ini tidak ada pengertian yang lengkap tentang demokrasi16.
Seperti yang di kemukakan Harold Laski pada bukunya Encyclopedia of social
sciences yang diterjemahkan sebagai berikut17;
Tidak ada definisi demokrasi yang memadai untuk dijadikan sebagai
konsep dalam sejarah. Demokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan,sekaligus sebagai pandangan hidup sosial. Esensinya dapat ditemukan dalam karakter pemilih, hubungan pemerintah dengan rakyat, tidak adanya perbedaan warga negara di dalam bidang ekonomi, menolak pengakuan terhadap hak-hak istimewa karena kelahiran, atau karena kekayaan, karena ras, suku atau kepercayaan.
Sedangkan Abraham Lincoln memberikan pengertian demokrasi adalah
pemerintahan rakyat dari rakyat dan untuk rakyat (democracy is a government
15 Ibid. 16
Juanda, Hukum Pemerintah Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah,Bandung; PT. Alumni, 2008, hlm.57
of the people,by the people, and for the people)18. Amien rais memberikan
sepuluh kriteria negara dapat di katakana demokrasi 19, yaitu:
1. Partisipasi dalam pembuatan keputusan
2. Persamaan di depan hukum
3. Distribusi pendapatan secara adil
4. Kesempatan pendidikan yang sama
5. Kebebasan mengeluarkan pendapat, persuratkabaran, berkumpul, dan
beragama (Amien Rais menyebutnya „Empat Kebebasan‟)
Esensi negara demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai penentu
utama dalam semua aktivitas pemerintahan20 dengan di wakilkan oleh badan
perwakilan rakyat. Hal ini senada dengan pengertian demokrasi menurut Sri
Soemantri21 yang mendefiniskan demokrasi Indonesia dalam arti formil
(indirect democracy) sebagai suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan
rakyat itu tidak dilaksanakan secara langsung melainkan melalui lembaga
perwakilan-perwakilan rakyat. Sehingga badan perwakilan rakyat harus
dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk
menyusun undang-undang ialah yang dinamakan “legislative”22.
Indonesia yang mengakui dirinya sebagai negara demokrasi telah
mengatur tentang eksistensi lembaga perwakilan rakyat dengan membentuk
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
18
Defining Democracy
http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm 19
Amin Rais, Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta : LP3ES Jakarta, 1986. Hlm. xvi
20
Ibid. hlm.85 21
Sri Soemantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Bandug, Alumni,1971, hal. 26
22
Kansil,C.S.T, dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia
serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan lembaga perwakilan
baru sejak UUD 1945 di amandemen23. Anggota dari lembaga perwakilan
rakyat tersebut dipilih melalui mekanisme pemilu.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 148 Undang Undang Nomor 23 tahun2014 tentang Pemerintahan
Daerah menyebutkan DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan
rakyat Daerah kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota.
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi24 yaitu,
a. pembentukan Perda Kabupaten/Kota,
b. anggaran, diwujudkan dalam bentuk pembahasan untuk persetujuan bersama
terhadap Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD25
c. pengawasan, diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap26,
1) pelaksanaan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota;
2) pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait
dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; dan
3) pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan.
DPRD kabupaten/kota mempunyai wewenang dan tugas27:
23Juanda,… op.cit. hlm.87 24
lihat Pasal 149 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244
25
Lihat Pasal 152 ayat(1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244
26
Lihat Pasal153 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
a. membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota;
b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD kabupaten/kota;
d. dihapus;
e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota dan/atau wakil bupati/wakil wali kota kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah; g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;
i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah; j. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundangundangan.
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai beberapa hak28, yaitu;
a. hak interpelasi, adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta
keterangan kepada bupati/wali kota mengenai kebijakan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara
b. hak angket, untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan masyarakat, Daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. hak menyatakan pendapat, adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk
menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/wali kota atau mengenai
27
Lihat Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
28
kejadianluar biasa yang terjadi di Daerah kabupaten/kota disertai dengan
rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak
interpelasi dan hak angket.
4. Affirmative Action
Setiap Negara akan berbeda pemakaian istilah affirmative action dalam
kebijakan yang mereka bentuk. Pada Negara Eropa, mereka lebih umum
memakai istilah positive action dan beberapa istilah lainnya29.
Pada mulanya affirmative action ini muncul pada permasalahan
segregrasi rasial bidang pendidikan pada di Amerika Serikat pada tahun
1960-an yang memunculkan istilah “affirmative duty”30 . Lalu istilah ini
diperkenalkan dalam Executive Order (1961) oleh Presiden Amerika
Serikat31.
Secara umum affirmative action memiliki pengertian adalah kebijakan
yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi)
memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam
bidang yang sama. Affirmative action juga dapat diartikan sebagai kebijakan
yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu32. Dalam konteks
politik di Indonesia, salah satu bentuk tindakan affirmative dilakukan untuk
mendorong agar jumlah perempuan di lembaga legislatif lebih representatif.
5. Hubungan Gender dan Hukum
Istilah gender sering diartikan sebagai jenis kelamin (seks). Kedua stilah
tersebut (gender dan seks) memang mengacu pada perbedaan jenis kelamin,
29
Yusrin Nazief,Jurnal Konstitusi Vol.I No.2: Affirmative Action Dalam Pembentukan Lembaga Perwakilan Rakyat (LPR) di Indonesia,Medan; Lk SPs Universitas Sumateraa Utara , 2009, hlm. 79
tetapi istilah seks terkait pada komponen biologis. Artinya, masing-masing
jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) secara biologis berbeda dan sebagai
perempuan dan laki-laki mempunyai keterbatasan dan kelebihan tertentu
berdasarkan fakta biologis masing-masing. 33
Sebaliknya, gender adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seorang. Dapat
diartikan gender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap dan
perilaku seorang yang ia pelajari selama hidupnya. Seperti sifat „feminitas‟
bagi perempuan dan „maskulinitas‟ bagi laki-laki ditentukan oleh lingkungan
budaya melalui apa yang diajarkan orangtuanya, guru-guru sekolahnya,guru
agamanya, dan tokoh masyarakat dimana seorang tergabung34.
Selain itu, gender sebagai alat analisis umumnya dipergunakan oleh
penganut aliran ilmu sosial sebagai masalah yang memusatkan perhatian pada
ketidakadilan struktural dan sistem yang disebabkan oleh gender35. Perbedaan
gender (gender differences) yang selanjutnya melahirkan peran gender (gender
role) sesungguhnya tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi yang menjadi
masalah oleh mereka yang menggunakan analisis gender adalah struktur
ketidak adilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender
tersebut36.
Gender sebagai konsep yang menyoroti persoalan-persoalan kemanusiaan
dan memiliki kaitan dengan masalah keadilan dan kesetaraan laki-laki dan
perempuan, merupakan isu yang masih baru di Indonesia dibandingkan dengan
33
Saparinah Sadli,”Pemberdayan Perempuan dalam perspektif Hak Asasi Manusia” dalam T.O.Ihromi, dkk (eds) Penghapusan diskriminasi terhadapa perempuan, Bandung ; Alumni, 2000, hlm.4
34
Ibid. hlm. 5 35
Mansour Fakih, dkk, Membincang feminisme: diskursus gender perspektif Islam.
Surabaya; Risalah Gusti, 1996, hlm. 46 36
negara-negara lain di Barat. Istilah ini baru banyak menjadi bahan pembicaraan
pada awal tahun 1980-an bersamaan dengan munculnya lembaga-lembaga
advokasi perempuan. Namun demikian, wacana feminisme muncul dan
dikenal di Indonesia kurang lebih sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Zaman kaum perempuan bergerak di Indonesia diawali oleh pemikiran R.A.
Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan sejak tahun
1912. Sejak saat itu, wacana dan gerakan perempuan mewarnai bangsa
Indonesia. Gerakan perempuan yang banyak muncul sepanjang tahun 1950-an
sampai pertengahan 1960-an memunculkan berbagai tuntutan persamaan dalam
hukum dan politik antara laki-laki dan perempuan dengan model organisasi
yang berkait atau di bawah partai politik37.
Dalam hal keikut sertaan perempuan dalam politik inilah, hukum
diperlukan untuk memberi kepastian hukum bagi perempuan. Hukum
dipahami sebagai norma, yaitu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang
dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya38.
Karena itu hukum diharapkan untuk membentuk suatu keadilan bagi setiap
orang, termasuk perempuan.
6. Pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat
Politik yang jauh dari perempuan tentu lebih dekat kepada
kepentingan-kepentingan laki-laki. Sehingga produk yang dihasilkan pun dibangun dalam
logika laki-laki. implikasinya adalah memperkokoh hubungan yuridis sosial
37
Muhammad Nuruzzaman, Kia Husein membela perempuan., Yogyakarta ; LKIS Pelangi Aksara, 2005, hlm. 2
38
yang patriarkis39. Hubungan yang dimaksud adalah yang didasarkan pada
norma, pengalaman dan kekuasaan laki-laki.serta mengabaikan pengalaman
perempuan40.
Banyak yang terjadi dan terdapat di Indonesia yang memutlakan
keterwakilan para perempuannya yang memadai dalam kuantitas dan kualitas
di lembaga-lembaga negara dan sektor-sekto publik lainnya untuk
menciptakan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat41.
Yang membuat penting keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif
adalah menyangkut kewenangan dan fungsi anggota parlemen dalam hal
legislasi, penganggaran dan pengawasan, dari sini akan lahir berbagai produk
hukum. Ketiadaan pengetahuan tentang pengalaman hidup perempuan dan
kepekaan gender akan melahirkan produk legislasi yang merugikan bahkan
semakin menjauhkan perempuan dari potensi yang ada pada dirinya42.
7. Kota Binjai
Kota Binjai adalah salah satu kota (dahulu daerah tingkat II berstatus
kotamadya) dalam wilayah provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Binjai terletak
22 km di sebelah barat ibukota provinsi Sumatera Utara,Medan. Sebelum
berstatus kotamadya, Binjai adalah ibukota Kabupaten Langkat yang kemudian
dipindahkan ke Stabat. Binjai berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat
di sebelah barat dan utara sertaKabupaten Deli Serdang di sebelah timur dan
39
Sulistyowati Irianto, Pendekatan Hukum Berspektif Perempuan, dalam T.O. Ihromi (ed), Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Bandung; Alumni, 2000, hlm. 93
40 Ibid. 41
Imas Rosidawati , Jurnal Keterwakilan Perempuan Di Dewan Perwakilan Rakyat Kesiapan Partai Politik & Perempuan Indonesia Di Arena Politik Prakti, tanpa tahun, hlm.3
(http://www.uninus.ac.id/data/data_ilmiah/Quota%20Perempuan%20di%20DPR.pdf) diakses pada 28 Januari 2015
42
selatan. Letak geografis Binjai 03°03'40" - 03°40'02" LU dan 98°27'03" -
98°39'32" BT. 43
Pemerintah Kota Binjai pertama kali terbentuk berdasarkan
Undang-Undang Darurat Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi
Kota Kota Kecil Dalam Lingkungan Propinsi Sumatera Utara, dengan luas
wilayah 1.710 Ha44.
Akibat pembangunan yang semakin pesat, dan dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Kota Binjai diperluas sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1986 tentang Perubahan Batas
Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Binjai, Kabupaten Daerah Tingkat II
Langkat dan Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang, maka wilayah Kota
Binjai telah diperluas menjadi 9.023,63 Ha dengan 5 (lima) wilayah
Kecamatan yaitu Kecamatan Binjai Selatan, Kecamatan Binjai Utara,
Kecamatan Binjai Timur, Kecamatan Binjai Barat dan Kecamatan Binjai Kota.
Kota Binjai merupakan kota multi etnis, dihuni oleh suku Jawa, suku Karo,
suku Tionghoa dan suku Melayu. Kemajemukan etnis ini menjadikan Binjai
kaya akan kebudayaan yang beragam. Jumlah penduduk kota Binjai dari data
BPS Kota Binjai45 pada tahun 2013 adalah 252.263 jiwa dengan kepadatan
penduduk 18.813 jiwa/km persegi.
F. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian
43
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Binjai, diakses pada 9 Februari 2015 44
Profil DPRD Kota Binjai, tanpa tahun, hlm..4 45
Penelitian ini dilakukan di Kota Binjai, tepatnya di Kantor Dewan
Perwakilan Rakyat Kota Binjai. Penulis memilih tempat tersebut sebagai
lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa tempat tersebut memenuhi
karakteristik penulis untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah yang
akan diteliti.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif, yang bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,gejala atau
kelompok tertetu. Atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala , atau
untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala
lain dalam masyarakat.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.
Yuridis normatif membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu
hukum.46 Yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan dan
ditujukan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang topik
yang penulis angkat,kemudian melihat kesesuaian antara hal yang ditentukan
dalam peraturan hukum tersebut dengan pelaksanaannya di lapangan.
Sedangkan yuridis empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum
(hukum tidak tertulis), dimaksudkan untuk mengetahui hukum yang berlaku
dalam masyarakat47. Dalam penelitian secara yuridis empiris, penulis harus
berhadapan dengan warga masyarakat yang menjadi objek penelitian
46
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Sinar Grafika, 2010,hlm.29 47
sehingga banyak peraturan-peraturan yang tidak tertulis berlaku dalam
masyarakat.48
4. Data yang digunakan
Dalam pengumpulan data yang diperoleh guna penyusunan penulisan
hukum ini meliputi :
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama.49 Data yang dapat diperoleh langsung dari informan dengan
cara menggunakan kuisioner dan melalui wawancara bebas terpimpin,
yaitu dengan terlebih dahulu mempersiapkan pokok-pokok pertanyaan
(guide interview) sebagai pedoman dan variasi-variasi dengan situasi
ketika wawancara.
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan
guna mendapatkan landasan teoritis terhadap peranan legislator
Perempuan dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan. Di samping itu tidak menutup kemungkinan diperoleh
bahan hukum lain, di mana pengumpulan bahan hukumnya dilakukan
dengan cara membaca, mempelajari, serta menelaah data yang
terdapat dalam buku. Antara lain dokumen resmi, buku-buku,
hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.50
Bahan-bahan hukum tersebut adalah :51
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukumyang mengikat dan terdiri
dari :
48
Ibid. hlm. 31 49
Amiruddin dan Zainal asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta;
Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.30 50
Ibid. 51
a) Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945
b) Peraturan dasar:
(1) Batang Tubuh UUD 1945,
(2) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
c) Peraturan perundang-undangan:
(1) Undang Undang dan peraturan yang setaraf,
(2) Peraturan Pemerintah dan peraturan setaraf,
(3) Keputusan Presiden dan peraturan setaraf,
(4) Keputusan menteri dan peraturan yang setaraf,
(5) Peraturan-peraturan Daerah
d) Bahanhukumyang tidak dikodifikasikan,
e) Yurisprudensi,
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil
penelitian, atau pendapat pakar hukum.
3) Bahan hukum tersier, bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus (hukum), ensiklopedia.
5. Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data primer maupun data sekunder penulis
menggunakan metode sebagai berikut;
a. Penelitian kepustakaan
Yaitu dengan meneliti berbagai sumber bacaan yang berkaitan
hukum, majalah hukum, artikel hukum di internet, pendapat sarjana yang
ahli di dunia hukum danbaha-bahan lainnya.
b. Penelitian lapangan
Yaitu dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan terhadap
praktek mengenai topik yang penulis angkat melalui kuisioner dan
wawancara pada narasumber ahlinya.
6. Analisa Data
Data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan akan dihubungkan
dengan studi kepustakaan. Kemudian data tersebut dianalisis secara logis dan
disusun dengan menggunakan metode kualitatif yaitu apa yang dinyatakan
oleh informan secara tertulis maupun lisan diteliti dan dipelajari kemudian
dianalisis secara deskriptif kualitatif yang tersusun dalam kalimat yang
sistematis.
G.Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya
harus diuraikan secara sistematik. Penulisan sistemtik ini dibagi beberapa
tahapan yang disebut dengan bab yang mana masing-masing bab diuraikan
permasalahannya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling
berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulis
menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam lima (5) bab
yang terperinci sebagai berikut;
Pada bab I di uraikan gambaran hal-hal yang bersifat umum, yang
dimulai dengan latar belakang kemudian dilanjutkan dengan permasalahan
dan tujuan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka,serta metode penelitian . Bab
Dalam bab II dengan judul Pengaturan Legislatif Perempuan Dalam
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Bab ini membahas tentang tiga
prinsip persamaan hak kaum Perempuan dalam hukum, Dasar hukum
keterwakilan Perempuan di lembaga perwakilan rakyat, dan perbandingan
kedudukan legislator Perempuan pada Undang-Undang Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam bab III dengan judul Peran Legislator Perempuan di Dewan
Perwakilan Rakyat Kota Binjai. Bab ini menguraikan mengenai gambaran
umum tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai, alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai serta peranan
legislator Perempuan dalam pelaksanaan fungsi legislasi dan fungsi anggaran.
Dalam bab IV dengan judul Hambatan dan Tantangan Legislator
Perempuan Dalam Melaksanakan Fungsi Legislatif di DPRD Kota Binjai .
Pada bab ini dijelaskan tentang hambatan dan tantangan legislator
Perempuan dalam melaksanakan fungsi legislasi dan fungsi anggaran.
Bab V di uraikan kesimpulan dan saran dari berbagai hal penting dan
dibahas pada bab-bab sebelumnnya, serta menyampaikan saran sebagai wujud