• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH DAN KPLN INDO FIX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH DAN KPLN INDO FIX"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh realitas politik domestik Indonesia. Di lain sisi situasi politik domestik Indonesia juga tidak dapat terlepas dari konstelasi politik global. Politik luar negeri indonesia bebas aktif pada era demokrasi liberal tentulah menjadi situasi politik yang menarik untuk dicermati. Pada masa era itu dimana Indonesia masih berupa bayi yang baru terlahir setelah sekian lama dikandung dalam situasi kolonialisme (penjajahan), harus menentukan sikap politik luar negerinya.

Dalam situasi ini tuntutan terhadap sebuah Negara yang baru merdeka seperti Indonesia untuk menentukan sikap dan posisinya dalam kancah politik Global. Sistem pemerintahan di Indonesia yang saat itu dapat kita katakan sebagai masa percobaan demokrasi, yang mana semenjak revolusi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, di tandai dengan polarisasi maupun fragmentasi politik di Indonesia yang di tandai dengan menjamurnya partai politik saat itu yang di bentuk oleh elit politik sebagai sarana pengejahwantahan kepantingan politik masing-masing. Bukti yang cukup kuat untk menegaskan situasi ini adalah situasi politik domestik yang tidak stabil dan sering bergantinya pimpinan pemerintah dalam hal ini perdana menteri beserta kabinetnya yang setiap masa kepemimpinannya selalu mengutamakan kepentingan atas ideologi maupun partainya. Silih bergantinya kabinet ternyata berdampak pada pola kebijakan luar negeri Indonesia. Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif pun tetap bertendensi sesuai kepentingan pemimpin pemerintahan saat itu. Hal ini dapat dilihat pada kedekatan cabinet tertentu dengan salah satu blok baik itu barat maupun timur.

(2)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan Politik Luar Negeri ?

2. Bagaimana Sejarah Politik Luar Negeri di Indonesia ?

3. Mengapa Indonesia mengambil Politik Luar Negeri Bebas Aktif ?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui Pengertian Politik Luar Negeri

2. Untuk mengetahui Sejarah Politik Luar Negeri di Indonesia

3. Untuk mengetahui mengapa Indonesia mengambil Politik Luar Negeri Bebas Aktif

(3)

2.1 Pengertian Politik Luar Negeri 2.1.1 Politik Luar Negeri

Secara sederhana politik luar negeri diartikan sebagai skema atau pola dari cara dan tujuan secara terbuka dan tersembunyi dalam aksi negera tertentu berhadapan dengan Negara lain atau sekelompok Negara lain. Politik luar negeri merupakan perpaduan dari tujuan atau kepentingan nasional dengan power dan kapabilitas (kemampuan). Dalam arti luas, politik luar negeri adalah pola perilaku yang digunakan oleh suatu Negara dalam hubungannya dengan Negara-negara lain. Politik luar negeri berhubungan dengan proses pembuatan keputusan untuk mengikuti pilihan jalan tertentu.

Menurut buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (1984-1988), politik luar negeri diartikan sebagai “suatu kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha untuk mencapai tujuan nasional”. Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan kepentingan nasionalnya ke dalam masyarakat antar bangsa”. Hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik luar negeri suatu negara termasuk Indonesia, berikut definisi atau pengertian dari politik luar negeri :

1. Politik luar negeri adalah strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam berhubungan dengan negara lain.

2. Politik luar negeri merupakan kumpulan kebijaksanaan atau setiap yang ditetapkan oleh suatu negara untuk mengatur hubungan dengan negara lain untuk yang ditujukan untuk kepentingan nasional.

3. Politik luar negeri merupakan penjabaran dari politik nasional, sedangkan politik nasional merupakan penjabaran untuk dari kepentingan nasional atau tujuan negara yang bersangkutan.

Jadi, pada dasarnya politik luar negeri merupakan strategi untuk melaksanakan kepentingan nasional atau tujuan negara yang ada kaitannya dengan negara lain.

2.1.2 Politik Luar Negeri Bebas Aktif

(4)

yang bebas menunjukkan tingkat nasionalisme yang tinggi, yang menolak keterlibatan atau ketergantungan terhadap pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia. Kedua, kata "aktif" menunjukkan bahwa Politik Luar Negeri Indonesia tidaklah pasif dan hanya mengambil sikap netral dalam menghadapi permasalahan-permasalahan international. Muqadimah UUD 45 secara jelas menuntut Indonesia untuk menentang segala bentuk penjajahan dan ikut memajukan perdamaian dunia.

Dalam bulan september 1948 sebagai wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan,bung Hatta memberi keterangan kepada Badan Pekerja KNIP tentang kedudukan dan politik Negara Republik Indonesia dewasa itu. RI menghadapi berbagai kesulitan yang tidak sedikit. Sejak keterangan bung Hatta itu politik luar negeri Republik Indonesia di sebut ‘politik bebas aktif’. Bebas, artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun juga, Aktif, artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan seluruh bangsa.

Tampak jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif, Sudah merupakan suatu konsensus nasional bahwa dasar politik luar negeri kita adalah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN dengan tujuan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sedangkan watak dan sifatnya adalah anti kolonialisme. Secara eksplisit, istilah politik luar negeri bebas aktif tersebut tidak terdapat dalam UUD ataupun peraturan-peraturan lainnya. Namun istilah ini mulai banyak dipergunakan oleh para politisi dan negarawan kita semasa memuncaknya perang Korea (1950 – 1953). Kabinet RI ke-12 di bawah Perdana Menteri Dr. Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952) yang untuk pertama kalinya mencantumkan istilah ini dalam Program Kabinet yang antara lain menyatakan, menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif menuju perdamaian“.

(5)

sekutunya, demi kepentingan nasional dan perdamaian internasional. Dalam suasana perang dingin yang tidak menentu, Gerakan Non Blok tahun 1961 muncul sebagai suatu gerakan moral dari negara-negara dunia ketiga yang berupaya untuk menjembati perang dingin dua kekuatan raksasa tersebut guna mencegah jangan sampai terjadi konfrontnasi terbuka apalagi perang nuklir yang dapat memusnahkan peradaban manusia. Pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif itu sebenarnya dapat bersifat kenyal artinya dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada saat itu walaupun prinsipnya tetap tetapi nuansanya dapat berubah.

Pedoman pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif Indonesia dewasa ini adalah Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang antara lain menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional dengan menitik-beratkan pada solidaritas antara negara berkembang, mendukung kemerdekaan bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.

Di samping itu, dengan telah disyahkannya Undang-Undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri tanggal 14 September 1999 maka Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan politik luar negeri selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tersebut.

2.1.3 Tujuan Politik Luar Negeri

Tujuan politik luar negeri setiap negara adalah mengabdi kepada tujuan nasional negara itu sendiri. Tujuan nasional bangsa Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat yang menyatakan ”… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

Menurut Drs. Moh. Hatta, mengatakan, bahwa tujuan politik luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan Negara

(6)

c. Meningkatkan perdamaian internasional, karena hanya dalam keadaan damai Indonesia dapat membangun dan syarat-syarat yang diperlukan untuk memperbesar kemakmuran rakyat

d. Meningkatkan persaudaraan segala bangsa sebagai cita-cita yang tersimpul dalam Pancasila, dasar dan falsafah negara Indonesia.

2.1.4 Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri

Dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, bangsa Indonseia menjalankan prinsip-prinsip berikut:

a. Negara Indonesia menjalankan politik damai, dalam arti bangsa Indonesia bersama-sama dengan masyarakat bangsa-bangsa lain di dunia ingin menegakkan perdamaian dunia; b. Negara Indonesia ingin bersahabat dengan negara-negara lain atas dasar saling

menghargai dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Indonesia menjalankan politik bertetangga baik dengan semua negara di dunia.

c. Negara Indonesia menjunjung tinggi sendi-sendi hukum internasional.

d. Indonesia membantu pelaksanaan keadilan sosial internasional dengan berpedoman kepada Piagam PBB.

2.1.5 Landasan Hukum Politik Luar Negeri Indonesia

(7)

2.2 Sejarah Kebijakan Luar Negeri di Indonesia 2.2.1 Kebijakan Luar Negeri Era Soekarno Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Soekarno

17 Agustus 1945 merupakan peristiwa monumental bagi Indonesia karena sejak itu Indonesia resmi memproklamirkan dirinya sebagai negara merdeka. PowerIndonesia sebagai sebuah negara masih lemah karena belum adanya pondasi yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik luar negeri merupakan pondasi dasar yang menentukan sikap Indonesia dalam kancah internasional. Pada awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia difokuskan pada bagaimana memperoleh pengakuan dari negara lain atas kemerdekaannnya. Untuk mencapai kedaulatan penuh Indonesia membutuhkan pengakuan dari negara lain. Indonesia bisa berperan dalam dunia internasional jika keberadaannya telah diakui oleh negara lain. Kemerdekaan yang telah diproklamirkan tidak lantas membuat Belanda melepaskan Indonesia, serangkaian intervensi masih dilakukan Belanda. Stigma bahwa kemerdekaan Indonesia diberikan oleh Belanda ingin dihapuskan. Oleh karena itu, dukungan dari negara lain sangat diperlukan untuk membantu Indonesia melawan intervensi Belanda.

(8)

Indonesia bebas untuk bertindak menurut dirinya sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pihak manapun dan aktif dimana Indonesia aktif menjaga perdamaian dunia.Dengan demikian Indonesia memilih jalan tengah untuk menyikapi adanya dua blok dalam Perang Dingin.

Di tahun 1960-an, kendali politik luar negeri Indonesia berada di bawah Pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dipimpin Soekarno. Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno telah mencapai prestasi yang berarti yakni menyerukan negara- negara di dunia terutama Asia Afrika untuk tidak berpihak pada salah satu blok yang sedang berseteru pada Perang Dingin saat itu yakni Blok Barat dan Blok Timur serta mendukung adanya kemerdekaan bagi negara-negara di Asia Afrika melalui Konferensi Asia Afrika maupun Gerakan Non Blok yang diinisiasi dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok di Bandung pada tahun 1955. Banyaknya inisiatif yang muncul dari kebijakan luar negeri Indonesia pada masa itu menunjukkan bahwa Soekarno secara serius mengagendakan pengakuan eksistensi Indonesia di mata internasional dan pembentukan aliansi anti kolonialisme serta imperialisme Barat dalam setiap kebijakan luar negeri Indonesia.

Pemerintahan Demokrasi Terpimpin Soekarno ini bersifat konfrontatif. Politik luar negeri Indonesia juga menjadi lebih militan, dikarenakan saat itu Indonesia menentang keras adanya nekolim, yakni imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme (Bunnell, 1966:37). Dalam masa pemerintahannya, Soekarno sebagai sosok yang kharismatik memiliki peran yang sangat signifikan terhadap kebijakan terkait politik luar negeri Indonesia. Kebijakan Soekarno dalam politik luar negeri yang cenderung konfrontatif ini didasarkan pada dua faktor utama, yakni ideologi dan psikologi. Dari segi ideologi, Soekarno menganut paham neo-Marxis Leninis yang melihat pada sejarah kontemporer yang berisikan pertentangan antara negara kapitalis lama (Barat) dengan negara-negara yang baru muncul serta negara-negara sosialis baru (Bunnell, 1966:38). Sedangkan dalam segi psikologi, trauma akibat praktek imperialism dan kolonialisme oleh negara-negara Barat yang begitu lama membuat Soekarno perlu untuk mencantumkan politik konfrontasi sebagai arah kebijakan politik luar negerinya.

(9)

dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri indonesia yakni condong ke komunis, baik secara domestik maupun internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara Indonesia dengan China dan bagaimana Soekarno mengijinkan berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Alasan Soekarno mengijinkan perluasan PKI itu sendiri adalah agar para komunis mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap sebagai kelompok luar (Bunnell, 1966:41). Selain itu, tujuan Soekarno dengan kemurahan hatinya terhadap PKI adalah untuk mengurangi kekuatan tentara / TNI yang dianggapnya menjadi batu sandungan terhadap implementasi nasakom.

Ketidaksukaan Soekarno terhadap imperialisme juga dapat dilihat dari responnya terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer diambil untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow. Taktik konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro terhadap imperialisme Barat.

(10)

Desember 1961, Soekarno mengeluarkan perintah yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat atau Trikora. Trikora tersebut berisi :

1. Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial. 2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa (crayonpedia.org).

Selain itu, Soekarno juga melakukan jalan lain yakni melalui cara aksi massa, pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah Irian Barat. Dalam pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah Irian Barat tersebut, Indonesia dibantu oleh Uni Soviet yang saat itu terlibat Perang Dingin dengan Amerika Serikat sekaligus sebagai taktik dalam menarik perhatian Amerika Serikat. Tindakan tersebut dilatar belakangi oleh penolakan Amerika Serikat terhadap pemberian bantuan bersenjata ke Indonesia. Menghadapi hal tersebut, Amerika Serikat mendesak Belanda yang saat itu sebagai sekutunya agar segera berunding dengan Indonesia dengan syarat – syarat perundingan yang diajukan Amerika Serikat terhadap Belanda sangat menguntungkan Indonesia. Selain itu, Amerika Serikat juga khawatir akan terjadinya konflik bersenjata di tanah Irian Barat. Sehingga 15 Agustus 1962 menjadi hari yang bersejarah bagi Indonesia. Dimana ditandanginya Perjanjian New York antara Indonesia dengan Belanda yang bertempat di Markas Besar PBB di New York. Isi perjanjian New York tersebut adalah :

Pemerintah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Penguasa Pelaksana Sementara PBB (UNTEA = United Nations Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962.

Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera PBB akan berkibar di Irian Barat berdampingan dengan bendera Belanda, yang selanjutnya akan diturunkan pada tanggal 31 Desember untuk digantikan oleh bendera Indonesia mendampingi bendera PBB.

Pemerintah UNTEA berakhir pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada pihak Indonesia.

(11)

Pada tahun 1969 rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya tetap dalam wilayah RI atau memisahkan diri dari RI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) (crayonpedia.org).

Demikian juga ketika Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Dalam PEPERA yang diadakan di akhir tahun 1969 tersebut, rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan Indonesia. Sehingga Belanda harus secepatnya keluar dari bumi Irian Barat, mengingat kedua belah pihak baik Indonesia maupun Belanda telah berjanji untuk menghormati hasil PEPERA tersebut. kemudian, hasil dari PEPERA tersebut dilaporkan ke New York melalui utusan Sekjen PBB Ortisz Sanz untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke 24 pada November 1969 (crayonpedia.org).

Disamping permasalahan pembebasan Irian Barat, Indonesia juga mengalami konfrontasi dengan Malaysia. Konfrontasi tersebut terjadi pada tahun 1963 hingga 1966. Hal tersebut dilatar belakangi oleh pernyataan Tengku Abdul Rachman, Perdana Menteri Malaya yang mengemukakan gagasan pembentukan Federasi Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah. Sehingga muncullah bentuk penolakan Indonesia atas pembentukan negara federasi tersebut dengan melahirkan konsep “Ganyang Malaysia”. Konsep tersebut merupakan bukti bahwa Indonesia menolak dan melawan adanya neokolonialisme yang terjadi di Malaysia. Soekarno beranggapan bahwa dengan adanya Negara Federasi Malaysia akan membuka jalan kolonialisme dan imperialisme di Asia Tenggara. Disamping itu, konsep Negara Federasi Malaysia sangat bertolak belakang dengan politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Selain itu, Indonesia beranggapan bahwa Negara Federasi Malaysia merupakan gagasan Inggris, bukan gagasan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah. Selain itu, jika Negara Federasi Malaysia tersebut terbentuk Indonesia khawatir akan dikepung di sebelah utara oleh Inggris yang berujung pada proyek neokolonialisme yang membahayakan revolusi Indonesia. Tidak hanya Indonesia, Filipina juga menentang pembentukan Negar Federasi Malaysia. Hal ini didasari oleh keinginan Filipina untuk memiliki wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina beranggapan bahwa secara historis wilayah Sabah merupakan milik Sultan Sulu (klikbelajar.com).

(12)

yakni PM Malaya Tengku Abdul Rachman, Presiden Indonesia Ir. Soekarno, dan Presiden Filipina Diosdado Macapagal diadakanlah KTT Maphilindo (Malaya, Philipina, dan Indonesia) di Manila (Filipina) pada 31 Juli – 5 Agustus 1963 (klikbelajar.com). Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama merupakan hasil KTT Maphilindo yang berisi Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia seandainya rakyat Kalimantan Utara mendukungnya (klikbelajar.com). Sehingga PBB membentuk suatu tim penyelidik dengan ditunjuknya delapan orang sekretariat di bawah pimpinan Lawrence Michelmore yang mulai bertugas pada 14 September 1963. Namun, sebelum tugas penyelidikan PBB tersebut selesai, Malaysia telah memproklamirkan berdirinya Negara Federasi Malaysia pada 16 September 1963. Tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan tersebut mengejutkan Indonesia dan Filipina. Sehingga Indonesia beranggapan bahwa Malaysia telah menodai martabat PBB dan menyulut permusuhan dengan Indonesia. Sebagai bentuk penolakan, dicetuskanlah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964 di Jakarta yang berisi :

1. Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.

2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk menggagalkan negara boneka Malaysia (klikbelajar.com).

Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan Indonesia. Hingga akhirnya pada 15 September 1965 Indonesia mundur dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada blok barat. Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan modernisasidi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan Internasional.

(13)

Salah satu tindakan usaha penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negara-negara sosialis dan komunis seperti China. Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama, karena konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China. Kedua, Indonesia perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Namun sayangnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan- kebijakan luar negeri yang diinisiasi Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestik

(14)

2.2.2 Kebijakan Luar Negeri Era Soeharto

Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Soeharto

Berakhirnya pemerintahan Soekarno yang diwarnai hal-hal kontroversial seperti Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada akhirnya tetap membawa Soeharto ke kursi pemimpin tertinggi pemerintahan dan negara Indonesia. Pergantian kepemimpinan ini turut pula memberikan dinamika baru pada struktur dan sistem politik maupun proses pengambilan keputusan pada masa itu. Perbedaan keyakinan, interpretasi dan gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan berpengaruh pada arah dan tujuan politik suatu negara, baik itu dalam negeri maupun luar negeri. Soeharto tidak dapat dipungkiri telah menjadi tokoh dan aktor politik yang sepak terjangnya dalam pemerintahan telah memberikan sejarah bagi tumbuh dan kembangnya Indonesia.

(15)

yang lebar bagi rakyat yang berada di bawahnya untuk menyuarakan pendapat (Koentjaraningrat dalam Suryadinata, 1998: 48).

Pada awal kepemimpinannya, Soeharto bersikap pasif terhadap masalah politik luar negeri Indonesia. Soeharto mempunyai dewan penasihatnya sendiri untuk membantunya dalam pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak terlibat secara penuh pada perumusan kebijakan terutama berkaitan dengan politik luar negeri Indonesia. Menurut Roeder (dalam Suryadinata, 1998: 48), alasan keterlibatan Soeharto yang tidak penuh dalam perumusan politik luar negeri adalah karena Soeharto tidak memiliki banyak pengalaman terkait dengan masalah-masalah internasional sehingga Soeharto tidak terlalu tertarik pada politik luar negeri. Pada awal Orde Baru ini terdapat sedikitnya dua pembantu perumus politik luar negeri Indonesia yakni militer (Departemen Pertahanan dan Keamanan, Lembaga Pertahanan Nasional dan Badan Koordinasi Intelijen Negara) dan Departemen Luar Negeri. Dalam pemerintahan Soeharto ini terdapat pembagian kerja yakni Deplu menangani politik luar negeri pada bidang politik, militer berurusan dengan politik luar negeri kaitannya dengan masalah keamanan dan Bappenas berhubungan dengan masalah ekonomi (Suryadinata, 1998: 55). Walaupun pada kenyataannya, militer, apalagi setelah kudeta 1965, lebih sering mengintervensi urusan politik luar negeri ini di berbagai bidang.

(16)

Bangkok dimana Indonesia meminta pangkalan militer asing di kawasan Asia Tenggara harus bersifat sementara dan juga masalah intervensi Indonesia di Timor Timur. Pemerintahan Orde Baru ini juga menunjukkan penyimpangan dari arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Pada era ini terlihat bahwa Indonesia memiliki kecenderungan untuk mendekati negara-negara Barat dan menjauhi negara-negara-negara-negara komunis (Suryadinata, 1998: 46). Sikap ini dapat dilihat dari hubungan beku antara Indonesia dengan RRC.

Presiden Soeharto mulai menampakkan ketertarikannya pada urusan politik luar negeri pada tahun 1980-an, khususnya setelah pemilu tahun 1982. Soeharto menjadi lebih aktif dalam perumusan politik luar negeri Indonesia dengan menjalankan politik luar negeri tingkat tinggi bagi Indonesia (Suryadinata, 1998: 63). Soeharto menjadi semakin percaya diri dengan kemenangan mutlak yang diraihnya dan partainya dalam pemilu 1982. Politik luar negeri Indonesia pun semakin berorientasi keluar. Indonesia semakin berkeinginan untuk memainkan peran dominan dalam masalah regional maupun ekstra-regional (Suryadinata, 1998: 46). Hal ini dapat dilihat dengan upayanya memunculkan citra Non-Blok dan menjadi pemimpin Gerakan Non-Blok.

Meningkatnya peran aktif Soeharto dalam politik dalam maupun luar negeri dapat dilihat dari masalah Timor Timur. Pada tahun 1980-an, Timor Timur telah berada di bawah kendali Indonesia dan Soeharto merasa bahwa saat itu adalah saat yang tepat bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam masalah-masalah internasional (Suryadinata, 1998: 63). Soeharto mulai mengemukakan inisiatif-inisiatifnya berkaitan dengan masalah internasional dan politik luar negeri Indonesia diantaranya tanggapannya terhadap peristiwa Dili dimana ia berada dalam kendali penuh, proses normalisasi hubungan dengan RRC walaupun ditentang oleh pihak militer dan masalah pengambilalihan Timor Timur. Indonesia mulai aktif menunjukkan peran kepemimpinannya kepada kawasan regional maupun dunia internasional. Indonesia mulai antusias mendukung APEC, terlibat sebagai Ketua Gerakan Non Blok, menjadi penengah antara Singapura dan Malaysia dan berupaya membantu memecahkan masalah Kamboja dimana hal ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai cara Indonesia menunjukkan kepemimpinan regional (Suryadinata, 1998: 65-66).

(17)

Salah satu alasan yang dianggap mempengaruhi kebijakan utnuk mengintegrasikan Timor Timur dengan Indonesia adalah adanya keyakinan bahwa masyarakat Timor Timur adalah saudara bangsa Indonesia. Walaupun terdapat kritik atas tindakan Indonesia yang dianggap berambisi kewilayahan, namun hal ini dianggap sebagai hal yang sangat nasionalistik. Isu Timor Timur ini penting karena isu ini memunculkan dinamika baru politik dan hubungan luar negeri Indonesia diantaranya merasakan rasanya dikecam dunia internasional atas tindakan intervensinya di Timor Timur hingga berujung pada ditariknya bantuan dari negara-negara Barat. Selain itu, faktor penting berkaitan dengan isu Timor Timur, khususnya dalam Tragedi Dili, adalah peran aktif yang dimainkan Presiden Soeharto dimana ia dapat melakukan inisiatif untuk menentramkan kritik internasional dan memperlihatkan kepiawaian luar biasa dalam menangani masalah politik dalam negeri maupun luar negeri (Suryadinata, 1998: 82). Soeharto memang menjadi figur utama dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia sehingga setiap kebijakan yang penting membutuhkan persetujuannya (Suryadinata, 1998: 58).

Dalam masa kepemimpinan Soeharto, sangat terlihat dengan jelas bahwa pengaruh militer sangat besar dalam pengambilan keputusannya. Hal tersebut tercermin melalui ABRI atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang anggotanya memegang posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Dimana anggota-anggota ABRI tersebut berasal dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) (Namira 2009). Bahkan, pada saat itu Jenderal A.H. Nasution mengungkapkan bahwa militer tidak akan mengambil alih pemerinthan, namun juga tidak akan nonaktif secara politik. Ungkapan A.H. Nasution tersebut tercermin melalui jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dikuasai oleh militer, seperti yang telah dijelaskan di atas.

(18)

BAPPENASpun mengalami hal yang sama dengan Departemen Luar Negeri. Dalam perumusan kebijakan, ABRI selalu melangkahi BAPPENAS. Tidak hanya melangkahi BAPPENAS, ABRI juga sering mengintervensi BAPPENAS. Intervensi ABRI pada BAPPENAS tersebut tercermin ketika BAPPENAS mengluarkan UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 yang dibuat sebagai upaya penarikan dana asing ke dalam negeri. Namun, UU Penanaman Modal Asing tersebut ditolak oleh beberapa kelompok ABRI seperti Ali Murtopo dan Ibnu Sutowo.

Latar belakang dari adanya intervensi ABRI pada posisi – posisi penting negara adalah kurangnya pengalaman Soeharto akan isu – isu internasional (Suryadinata 1998: 48). Namun, sebagai Presiden Indonesia, Soeharto harus terlibat dalam perumusan politik luar negeri Indonesia. Sehingga terdapat dua kelompok yang merumuskan politik luar negeri Indonesia di awal orde baru yakni Departemen Pertahanan dan Keamanan, LEMHAMNAS, dan BAKIN serta Departemen Luar Negeri (Deplu) dan BAPPENAS. Dimana Departemen Pertahanan dan Keamanan, LEMHAMNAS, dan BAKIN mengurusi masalah keamanan serta Departemen Luar Negeri (Deplu) dan BAPPENAS yang menangani masalah politik. Namun, pemisahan urusan tersebut dirasa tidak dapat dilaksanakan. Sehingga sering ditemui jalan buntu dalam menangani permasalahan tersebut. Oleh sebab itu, militer sering melakukan intervensi dan menjadi sangat dominan dalam seluruh aspek pemerintahan. Namun, intervensi ABRI tehadap perumusan kebijakan luar negeri Soeharto tidak selalu mulus. Contohnya pada kasus perbaikan hubungan diplomatik antara Jakarta dan Beijing (Suryadinata 1998b: 66). Pada Februari 1989 Soeharto membuat pernyataan mengejutkan yang menyebutkan bahwa Indonesia akan memulai proses normalisasi hubungan dengan RRC. Militer terkesan tidak antusias terhadap normalisasi dini tersebut (Suryadinata 1998b: 66)

(19)

Soekarno bersikap sangat agresif dan kurang memberi perhatian pada kondisi domestik. Sementara itu, Soeharto lebih lunak karena pemerintahannya lebih tertarik dalam membangun ekonomi Indonesia (Suryadinata,1998:67). Rehabiltasi ekonomi kemudian menjadi tujuan utama Soeharto pada waktu itu.

Pembangunan suatu negara melibatkan berbagai sektor dan setiap sektor saling berkaitan satu sama lain. Pembanguan sektor ekonomi tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan dari sektor keamanan dan sektor politik. Langkah utama Soeharto dalam melakukan rehabilitasi ekonomi adalah dengan menjalin hubungan baik dengan negara lain, baik dalam lingkup regional maupun internasional. Interaksi Indonesia dengan negara lain semakin intens dan hubungan yang sudah terjalin dibina dengan baik. Hubungan baik yang dijalin dengan negara lain berimplikasi besar pada batuan yang diterima Indonesia. Terdapat beberapa tindakan nyata yang dilakukan Soeharto untuk menjalin hubungan baik dengan negara lain.

Pertama, normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia. Ganyang Malaysia merupakan salah satu peninggalan Soekarno yang kemudian berujung pada konfrontasi antar dua negara. Menurut pandangan Soeharto konfrontasi semacam ini tidak diperlukan karena Malaysia adalah negara yang sangat dekat dengan Indonesia dan oleh karena itu justru perlu digalakkan hubungan baik antar dua negara. Soeharto melihat amat penting jika konfrontasi dihilangkan agar Indonesia dapat berhasil dalam negosiasi bantuan finansial dengan negara-negara barat (Elson, 2001).

Kedua, kembalinya Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 28 September 1966 setelah sebelumnya pada 31 Desember 1964 Soekarno menyatakan RI keluar dari PBB (www.beritasore.com,diakses pada 22 Oktober 2013). Keikutsetaaan Indonesia dalam PBB sangat penting karena PBB merupakan wadah poternsial untuk menjalin kerja sama dengan banyak negara dan sebagai media bagi Indonesia untuk memperkenalkan diri dalam dunia internasional.

(20)

anggotanya untuk menciptakan kemajuan bersama bagi warga di kawasan itu”. Hubungan baik antar anggota ASEAN mampu menciptakan kondisi stabilitas regional yang pada akhirnya berimplikasi terhadap stabilitas keamanan Indonesia dan pertumbuhan ekonomi.

Keempat, Indonesia mulai memperbaiki hubungan dengan negara-negara barat. Berbeda dengan Soekarno yang lebih condong ke negara komunis, Soeharto justru lebih dekat dengan Barat karena hanya pihak Barat yang bisa memenuhi ekonomi Indonesia pada saat itu (Pudjiastuti, 2008: 118).

2.2.3 Kebijakan Luar Negeri Era Bacharuddin Jusuf Habibie

Era pemerintahan B J Habibie dimulai dengan tuntutan rakyat Indonesia akan adanya reformasi pemerintahan dari sistem otokrasi ke sistem demokrasi. Semangat demokratisasi pun digalakkan untuk menggalang dukungan rakyat terhadap pemerintahannya. Namun, rakyat Indonesia pada masa itu hanya melihat era pemerintahan Habibie sebagai era transisioal pemerintahan Orde Baru dengan era reformasi yang dianggap masih membawa carut marut Orde Baru. Di sisi lain, Habibie menghadapi sisa kebobrokan Orde Baru yang meninggalkan krisis moneter di Indonesia. Fokus politik luar negeri Indonesia kemudian ditata untuk membangun kembali ekonomi Indonesia dan memperbaiki stabilitas keamanan di Indonesia. Instrumen yang digunakan Hbibie untuk dapat memenuhi kepentingan nasional Indonesia dalam masa transisi antara lain pengelolaan investasi swasta, diplomasi terhadap bantuan asing, perdagangan bebas, kekuatan militer dan sistem politik yang demokratis (Widhiasih, 2013).

(21)

tak semulus aksinya mendapat dukungan internasional, tindakan Habibie dalam menghadapi persoalan Timor Timur ternyata mengantarkan Indonesia pada mimpi buruk. Pasalnya, sebagai reslolusi konflik, Habibie menawarkan dua opsi kepada masayarakat Timor Timur untuk mendapat otonomi luas atau bebas menentukan nasib sendiri, yang pada akhirnya berujung pada lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1998 seiring dengan hasil jejak pendapat yang lebih tinggi untuk menentukan nasib sendiri. Mashad (2008:187) menyebutkan bahwa akibat kebijakan tersebut, Habibie harus rela kehilangan legitimasi di mata domestik maupun internasional. Hal ini dikarenakan tindakan Habibie telah berkebalikan dengan upaya Indonesia yang berusaha mati-matian untuk mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia pada era Soeharto yang menunjukkan inkonsistensi Indonesia terhadap kasus Timor Timur. Walaupun kebijaksanaan Habibie untuk memberikan opsi kepada masyarakat Timor Timur telah berbuah dukungan internasional, implikasi aksi TNI pasca referendum sebagai bentuk aksi pro-integrasi yang berdampak pada terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur dan lepasnya Timor Timur ternyata telah membawa Habibie ke akhir masa pemerintahannya.

2.2.4 Kebijakan Luar Negeri Era Abdurrahman Wahid

Abdurrahmad Wahid (1999-2000)

(22)

disintegrasi bangsa yang dihadapi Indonesia yang menjadi isu yang diprioritaskan, hal itu berdasarkan gerakan separatisme yang muncul di Aceh, Papua, dan lain-lain yang membuahkan hasil dukungan dari Australia dan Selandia Baru. Namun, kunjungan luar negeri Gus Dur ke setidaknya 80 negara tidak diikuti dengan kebijakan yang komprehensif untuk memajukan Indonesia. Di sisi lain, Gus Dur kurang memperlihatkan sensitivitas domestik, hal ini diperlihatkannya dengan mengambil kebijakan yang dinilai kontroversial seperti idenya untuk membuka hubungan kerjasama perdagangan dengan Israel yang kemudian dibatalkan karena menuai kecaman dalam negeri.

Pada dasarnya, tujuan politik luar negeri Indonesia pada era Gus Dur masih terfokus pada usaha stabilitas ekonomi dan keamanan melalui diplomasi yang direalisasikan melalui investasi swasta, diplomasi bantuan luar negeri, perdagangan bebas, otonomi regional, dan sistem politik demokratis (Widhiasih, 2013). Keberhasilan Gus Dur di era pemerintahannya yang singkat ditunjukkan dengan meningkatnya kredibilitas Indonesia di mata internasional yang diperlihatkan dengan mengalirnya bantuan internasional untuk membantu perekonomian dalam negeri. Tak hanya itu, keberhasilan pengelolaan masalah ancaman integrasi bangsa juga menjadi salah satu prestasi Gus Dur. Namun, keputusan Gus Dur yang dianggap menyimpang dan sosoknya yang konfrontatif serta emosional, membuatnya harus menyerah pada keputusan impeachment (Mashad, 2008:189)

2.2.5 Kebijakan Luar Negeri Era Megawati Soekarnoputri

Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

(23)

bahwa kepentingan nasional Indonesia masih berupa realisasi stabilitas ekonomi, politik, pertahanan, dan keamanan yang kesemuanya diwujudkan dengan adanya investasi sektor swasta, perdagangan bebas, dan kekuatan otonomi regional yang lebih diutamakan. Streategi Megawati antara lain juga memberikan peran utama polugri pada MenLu, Hasan Wirayuda.

Ujian berat yang harus dihadapi oleh politik luar negeri Indonesia adalah ancaman terorisme yang diperlihatkan dengan adanya serangkaian serangan bom yang dilancarkan di sejumlah tempat di Indonesia, seperti di Jakarta dan Bali. Isu ancaman terorisme ini merupakan isu berat yang turut mempengaruhi politik luar negeri Indonesia yang saat itu mengalami dilemma akibat adanya dorongan dari Amerika Serikat yang baru mengalami teror WTC 9/11, untuk memerangi terorisme dan menekan Islam (Mashad, 2008:191). Serangan terorisme ini pada dasarnya mempengaruhi politik luar negeri Indonesia, yang memaksa Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara Islam yang moderat untuk menggalang kepercayaan internasional. Berbagai peristiwa teror bom, khususnya Bom Bali, juga membuat Indonesia memutuskan pembentukan UU Anti Terorisme pada tahun 2003. Sementara itu, dalam kancah internasional, Indonesia masuk sebagai anggotaRegional Counter Terrorism Center yang didukung oleh Amerika Serikat dengan melancarkan bantuan ekonomi pada Indonesia. Di sisi lain, sifat konservatif Megawati ditengah kondisi domestik yang rapuh dan konstelasi internasional yang berubah-ubah, Megawati kehilangan Sipadan Ligitan dari Indonesia.

2.2.6 Kebijakan Luar Negeri Era Susilo Bambang Yudhoyono

Satu decade sudah masa pemerintahan SBY, pergulatan politik Indonesia di kancah dunia internasional mulai menunjukan hasil yang baik, terutama terlihat dari semakin membaiknya hasil yang diperoleh dari diplomasi ekonomi dan diplomasi budaya. Tak berlebihan jika pada masa pemerintahannya dan pergulatan politik dunia yang dijalankannya SBY mendapat banyak pujian dari rakyatnya.

(24)

dicapai oleh bangsa Indonesia terbukti dengan suksesnya beberapa penyelenggaraan dan keaktifan di berbagai forum-forum internasional seperti:

1. Cho-Chair dalam High Level Panel of Eminent Person of Post-2015 Development Agenda.

2. Ketua ASEAN ditahun 2011. 3. Ketua APEC di tahun 2013. 4. Tuan Rumah KTM WTO 2013

5. Dan secara regular menjadi tuan rumah Bali Democracy Forum sejak 2008.

Tentunya ini menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Indonesia atas usaha meningkatkan eksistensinya di percaturan politik dunia. Sebagaimana yang dapat kita amati dari perjalanan politik pemerintahan di era presiden SBY bahwa upaya-upaya politik santun yang dimainkan oleh presiden SBY ini adalah untuk meningkatkan kepercayaan negara-negara lain untuk menjalin hubunan yang erat dan persahabatan yang kokoh dan menguntungkan untuk kedua belah pihak dengan mengacu pada makna “thousand friends, zero enemy” tadi.

Selain itu pada masa pemerintahannya presiden SBY juga menekankan pada prinsip persatuan yang kuat dan kerja sama ekonomi dengan berbagai negara lain. Seperti kerjasama ekonomi yang dijalin dengan negara Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, Jerman dan Rusia. Serta yang terakhir adalah kerjasama IMT-GT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle) yang ke-20 yang resmi dijalin sejak September lalu.

Letak geopolitik yang strategis diantara 2 benua (Asia dan Australia) dan 2 Samudera (Pasifik dan Hindia) juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik luar negeri Indonesia. Terlihat dari peningkatan kerjasama ekonomi dan dalam keaktifan Indonesia sebagai anggota organisasi-organisasi Internasional yang berbasis pada kerjasama ekonomi. Dan penguatan kerjasama ekonomi regional di ASEAN itu sendiri, terlebih ASEAN sebagai prioritas utama politik luar negeri Indonesia.

(25)

idealisme yang diusung oleh presiden SBY dalam pelaksanaan politik luar negerinya yaitu “thousand friends zero enemy” dibandingkan dengan penggunaan cara-cara Hard Diplomacy.

Selang berjalannya politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY, pelaksanaan bebas aktif yang menjadi acuan dasar perpolitikan luar negeri Indonesia berjalan cukup baik. Terbukti pelaksaan idealisme bebas aktif yang dilakukan oleh presiden SBY saat itu adalah dengan melakukan kegiatan-kegiatan dan menguatkan jalinan kerjasama dengan banyak negara baik di kancah regional maupun skala internasional yang konstruktivis dan tidak berpandang bulu terhadap satu blok atau satu kekuatan negara hegemon. Sementara kemampuan Indonesia dalam keikutsertaannya dalam berbagai forum internasional dan ikut memerangi terorisme dunia, penjajahan dan lain sebagainya merupakan sebuah bentuk keaktifannya sebagai negara yang berdaulat, dengan memegang teguh makna prinsip bebas dan aktif.

Pelaksanaan politik bebas aktif pada masa pemerintahan presiden SBY yang baik itu pun masih perlu dilakukan evaluasi terhadap pembenahan beberapa aspek dan seharusnya ada upaya untuk memahami pendalaman makna akan arti bebas pada prinsip bebas dan aktif. Makna bebas dalam prinsip bebas dan aktif belum sepenuhnya berjalan dengan baik dan makna bebas ini bukanlah hanya pengertian bebas dalam arti bebas berteman dengan siapa saja melainkan memiliki kebebasan untuk menentukan hidup sendiri dengan segala ketegasan-ketegasan yang turut pula harus dimilki oleh bangsa ini. Karena seperti yang kita bisa lihat dalam perkembangan perpolitikan luar negeri pada masa ini, presiden SBY hanya sebagai “pemanut” dalam agenda-agenda internasional, dan terlalu sibuk dengan politik pencitraannya yang kharismatik.

(26)

friends, zero enemy” tidak melakukan sebuah langkah tegas dan cenderung lama dalam menentukan tindakan dan pengambilan keputusan tindakan.sebagai respons kepada Malaysia.

2.2.7 Kebijakan Luar Negeri Era Joko Widodo

Menteri Luar Negeri (menlu), Retno Marsudi, kembali menegaskan kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Pandangan kepentingan nasional dari Presiden Jokowi sudah jelas, sehingga kita dengan mudah merumuskan kebijakan luar negeri kita,” ujar Menlu Retno dalam menghadiri acara konferensi FPCI di Jakarta, Sabtu (13/6/2015).

Menlu Retno menambahkan, pemerintah akan melindungi seluruh wilayah Indonesia dan menjaga kepentingan WNI di luar negeri adalah prioritas Kementerian Luar Negeri Indonesia saat ini.

Menlu perempuan pertama Indonesia ini juga mengatakan, selama masa pemerintahan Jokowi Indonesia telah membantu banyak negara di dunia ini dengan alasan keamanan bukan hanya politik semata.

“Kita telah membantu Vanuatu dari bencana Topan. Selain itu, kita juga telah membantu Nepal setelah dihantam bencana Gempa dahsyat, “ tegas Menlu Retno.

Fokus perhatian dunia saat ini adalah masalah imigran Rohingya dan Bangladesh yang terdampar di Kepulauan Indonesia khususnya di wilayah Aceh dan Sumatera Utara, namun Menlu Retno memberikan penjelasan terhadap kasus tersebut.

“Indonesia adalah pelopor negara yang menolong imigran Rohingya yang terombang-ambing di lautan,” tambahnya.

(27)

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Politik luar negeri adalah strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Dalam arti luas, politik luar negeri adalah pola perilaku yang digunakan oleh suatu Negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Politik luar negeri berhubungan dengan proses pembuatan keputusan untuk mengikuti pilihan jalan tertentu. Menurut buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (1984-1988),politik luar negeri diartikan sebagai “suatu kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha untuk mencapai tujuan nasional”. Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan kepentingan nasionalnya ke dalam masyarakat antar bangsa”. Dari uraian di muka sesungguhnya dapat diketahui bahwa tujuan politik luar negeri adalah untuk mewujudkan kepentingan nasional. Tujuan tersebut memuat gambaran mengenai keadaan negara dimasa mendatang serta kondisi masa depan yang diinginkan. Pelaksanaan politik luar negeri diawali oleh penetapan kebijaksanaan dan keputusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang didasarkan pada faktor-faktor nasional sebagai faktor-faktor internal serta faktor-faktor-faktor-faktor internasional sebagai faktor-faktor eksternal.

(28)

Selanjutnya pada alinea IV dinyatakan bahwa …. dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ….. Dari dua kutipan di atas, jelaslah bahwa politik luar negeri RI mempunyai landasan atau dasar hukum yang sangat kuat, karena diatur di dalam Pembukaan UUD 1945.

Politik Luar Negeri di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 – 2009, dalam visi dan misi beliau diantaranya dengan melakukan usaha memantapkan politik luar negeri. Yaitu dengan cara meningkatkan kerjasama internasional dan meningkatkan kualitas diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional. Prestasi Indonesia sejak 1 Januari 2007 menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dimana Republik Indonesia dipilih oleh 158 negara anggota PBB. Tugas Republik Indonesia di Dewan Keamanan PBB adalah :

1). Ketua Komite Sanksi Rwanda

2). Ketua komite kerja untuk pasukan penjaga perdamaian 3). Ketua Komite penjatuhan sanksi untuk Sierra Leone 4). Wakil Ketua Komite penyelesaian konfik Sudan 5) Wakil Ketua Komite penyelesaian konflik Kongo

(29)

LAMPIRAN

Daftar Menteri Luar Negeri Indonesia

Berikut adalah daftar orang yang pernah menduduki jabatan sebagai Menteri Luar Negeri di

Indonesia:

No Foto Nama Kabinet Dari Sampai Keterangan

1 Achmad

Soebardjo Presidentil

2 September 1945

14

November 1945

Masjumi

2 Sutan Syahrir

Syahrir I

14

November 1945

12 Maret

1946 PSI

Syahrir II 12 Maret

1946

2 Oktober

1946 PSI

Syahrir III 2 Oktober

1946

26 Juni

(30)

3 Agus Salim

(3) Agus Salim Hatta II 04 Agustus

(31)

(1) Achmad

Soebardjo Sukiman Suwirjo

27 April 1951

03 April

1952 Masjumi

5 Wilopo

Wilopo

03 April 1952

29 April

1952 PNI

6 Moekarto

Notowidigdo

29 April

1952 30 Juli 1953 PNI

7 Soenario

Sastrowardoyo

Ali

Sastroamidjojo I 30 Juli 1953

12 Agustus

1955 PNI

8 Ide Anak Agung

Gde Agung

Burhanuddin Harahap

12 Agustus 1955

(32)

9 Roeslan

Karya 9 April 1957 10 Juli 1959

Kerja I 10 Juli 195918 Februari 1960

Ampera I 25 Juli 196617 Oktober

1967

Ampera II 17 Oktober

1967 6 Juni1968

(33)
(34)

16 Marty Natalegawa Indonesia Bersatu II

22 Oktober 2009

20 Oktober 2014

17 Retno Marsudi Kerja 27 Oktober 2014

masih menjabat

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Kementerian_Luar_Negeri_Republik_Indonesia

file:///E:/SEMESTER%20V/HUBUNGANINTERNASIONAL/

(35)

file:///E:/SEMESTER%20V/HUBUNGANINTERNASIONAL/makalah-politik-luar-negeri-indonesia_31.html. Diakses tanggal 5 November 2015. Jam 21:47

Mashad, Dhurorudin, 2008. ”Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi”, dalam Ganewati Wuryandari (ed.), 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar, hlm. 174-238.

Widhiasih, Anggraeni. [online]. 2013. ”Politik Luar Negeri RI Era Reformasi”, tersedia di http:// sejarah.kompasiana.com diakses pada 10 Oktober 2015

http://www.tempo.co/read/news/2014/10/13/078613808/Empat-Rapor-Merah-Kebijakan-Luar-Negeri-SBY/1/0

http://www.jakarta.diplo.de/Vertretung/jakarta/id/06_20Wirtschaft/0-Wirtschaft.html http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-dan-rusia-sepakat-tingkatkan-kerjasama-ekonomi/1858852.html

http://www.ekon.go.id/berita/view/imt-gt-harus-lebih-baik-less.967.html#.VFhhjj-Szi8 http://www.academia.edu/3725620/Politiki_Luar_Negeri_Indonesia_terhadap_ASEAN http://www.demokrat.or.id/2014/10/presiden-sby-bawa-indonesia-diakui-dunia/

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Setelah selesai di bungkus, taruh adonan tape ke baskom yang sudah di tutupi plastik... Lalu bungkus baskom

ELT classrooms in Indonesia, mixed levels of ability of knowledge small groups based on zone of proximal development concept may provide two major advantages, among others (1)

yönelmesi anlamına gelmektedir. Gierek yönetiminin 1976 ve 1979 

Tingginya persentase skor rata-rata gain yang dinormalisasi <g> keterampilan berpikir kritis pada aspek menemukan persamaan dan perbedaan pada kelas eksperimen

nasional adalah, “untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

Sistem dianggap air dangkal jika kedalaman fluida jauh lebih kecil daripada panjang gelombangnya atau persaman air dangkal hanya berlaku untuk gelombang yang

Tabel 2. Kandungan bahan organik media fermentasi G. lucidum pada level Cr dan lama fermentasi berbeda. TKS= campuran tandan kosong sawit dan serat sawit dengan perbandingan