• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis penerapan Advance Pricing Agree

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis penerapan Advance Pricing Agree"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura

Yudistira Aria Satyakusuma dan Ning Rahayu

Ilmu Administrasi Fiskal Program Ekstensi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia

E-mail: yudistirasatyakusuma@yahoo.com

Abstrak

Transfer pricing merupakan praktik yang lazim digunakan oleh multinational enterprises dalam kegiatan usahanya. Transfer pricing yang dilakukan oleh multinational enterprises memungkinkan terjadinya pengenaan pajak berganda. Untuk mendapatkan kepastian dalam metode transfer pricing yang dilakukannya maka advance pricing agreement dapat digunakan. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan faktor-faktor yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam penerapan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis data kualitatif. Data kualitatif didapatkan melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah penerapan advance pricing agreement di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan bila dibandingkan dengan Singapura, faktor-faktor penghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan saran agar Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia memperbaiki peraturan pelaksana advance pricing agreement dan mengatasi faktor-faktor penghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia.

Analysis on Advance Pricing Agreement Application in Indonesia and Singapore

Abstract

Transfer pricing is a common practices used by multinational enterprises in their business activities. Transfer pricing used by multinational enterprises leads to possibility of double taxation. To get a certainty on their transfer pricing method, multinational enterprises can use advance pricing agreement. This study aims to provide an overview of advance pricing agreement application in Indonesia and obstacles faced by Directorate General of Tax in its application. The method use was a qualitative study with qualitative data analysis. Qualitative data was obtained through study of literature and in-depth interviews. The result of this study is advance pricing agreement application in Indonesia still have many inadequacy compared with Singapore, obstacle on advance pricing agreement application in Indonesia and suggestion so Directorate General of Tax as Indonesian tax authority can make improvement on advance pricing agreement regulation and how to overcome obstacles on advance pricing agreement implementation in Indonesia.

Key Words: Advance Pricing Agreement, transfer pricing, double taxation

(2)

Berkembangnya era globalisasi, perdagangan internasional, dan teknologi memberikan dampak

signifikan terhadap ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi global juga dibantu oleh perusahaan

multinasional (Multinational enterprises) sebagai pelaku perdagangan internasional yang

memanfaatkan perkembangan teknologi, transportasi dan komunikasi untuk menjalankan usaha

nya di beberapa negara.

Ada beberapa alasan mengapa investor asing dari negara maju melakukan investasi di negara

berkembang. Lal Das menyebutkan bahwa ada tiga alasan utama yang mendorong investor asing

dari negara maju melakukan investasi di negara berkembang. Pertama adalah pemahaman bahwa

keuntungan dari modal yang diperoleh di negaranya kurang memadai, kedua adalah sebagai

upaya untuk mengkombinasikan modal yang dimilikinya dengan tenaga kerja yang murah di

negara tujuan investasi untuk mengurangi biaya produksi, dan ketiga adalah penggunaan bahan

baku di negara berkembang yang dekat dengan sumbernya (Rahayu, 2008, p. 2).

Berkembangnya multinational enterprises di Indonesia membuka jalan terjadinya cross-border

transaction atas transaksi intracompany antara perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam

satu grup (related parties). Transaksi antar related parties adalah masalah penting dalam hal

perpajakan, hal ini dikarenakan adanya perbedaan perlakuan perpajakan antara transaksi dengan

related parties dan transaksi yang tidak dipengaruhi oleh related parties (independen). Transaksi

antar related parties memungkinkan adanya perhitungan harga, imbalan, atau persyaratan dagang

(term of trade) pembiayaan dan pelaksanaan bisnis antar related parties ditentukan berdasarkan

kebijakan harga transfer (transfer pricing) sebagai salah satu cara dalam melakukan manajemen

pajak (tax planning) yang bertujuan untuk melakukan penghematan pembayaran pajak (tax

saving) (Gunadi, 2007, p. 222).

Otoritas pajak suatu negara dalam usahanya untuk melindungi penerimaan negara di bidang

perpajakan umumnya memberlakukan keharusan pelaporan dokumentasi transfer pricing (TP

Doc / Transfer Pricing Documentation) atas transaksi yang dilakukan oleh wajib pajaknya

dengan related parties untuk membuktikan bahwa transaksi yang dilakukan dengan related

parties sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm’s Length Principle) sehingga

transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value). Pada dasarnya

arm’s length principle adalah prinsip dimana dalam melakukan transaksi dengan related parties

(3)

menentukan arm’s length principle, untuk suatu komoditas atau barang berwujud, fair market

value dapat terlihat dari perbandingan harga serupa dengan pihak lain di luar related party.

Berbeda dengan penentuan arm’s length principle untuk suatu barang khusus, barang tidak

berwujud, atau jasa yang terkadang sulit untuk menentukan barang atau jasa pembanding yang

digunakan untuk menentukan arm’s length principle.

Dalam penentuan arm’s length principle oleh wajib pajak, terkadang terjadi dispute antara

otoritas pajak dengan wajib pajak mengenai metode yang digunakan dalam penentuan arm’s

length principle. Untuk mengurangi ketidakpastian bagi wajib pajak yang menunggu disetujui

atau tidaknya arm’s length principle yang telah ditentukannya oleh otoritas pajak melalui

pemeriksaan dan penyidikan pajak yang memakan waktu dan dana yang tidak sedikit, wajib

pajak dapat melakukan negosiasi di muka mengenai metode transfer pricing yang dilakukannya

dengan memanfaatkan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement / APA). Advance

pricing agreement dikembangkan sebagai suatu alternatif dalam mengatasi masalah penentuan

metode transfer pricing dengan menegosiasikan metode transfer pricing yang digunakan oleh

wajib pajak dengan otoritas pajak dan bila diperlukan dengan mitra otoritas pajak negara lain (tax

treaty partner).

Perbedaan sistem perpajakan antara dua Negara akan menyebabkan terjadinya pengenaan pajak

berganda terhadap penghasilan orang atau badan yang sama (Surahmat, 2005, p. 2) untuk

menghindari hal tersebut advance pricing agreement dapat digunakan karena advance pricing

agreement adalah salah satu bentuk dari advance ruling system yaitu sebuah sistemb dalam

perpajakan yang dapat digunakan oleh wajib pajak untuk mendapatkan suatu kepastian pajak atas

kegiatan bisnisnya. Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, wajib pajak dapat memperoleh

kepastian perpajakan atas kegiatan bisnisnya untuk menghindari kesalahan dan sanksi yang

mungkin didapatkan karena ketidaktahuannya. Advance pricing agreement juga dapat dilakukan

secara bilateral dan multilateral untuk menghindari terjadinya pajak berganda.

Sebagai salah satu pendekatan yang proaktif dalam menangani permasalahan transfer pricing,

advance pricing agreement dapat meningkatkan baik efektifitas maupun efisiensi perusahaan

dengan memberikan sebuah perkembangan administratif dalam hal penentuan metode transfer

pricing dan mencegah terjadinya dispute di masa yang akan datang dengan otoritas pajak

(4)

kepastian dan mengurangi biaya yang mungkin terjadi karena advance pricing agreement

merupakan suatu perjanjian yang mengikat. Banyak negara yang telah mengadopsi advance

pricing agreement sebagai salah satu cara mengatasi permasalahan transfer pricing yang telah

mendunia, tercatat per januari 2012 telah ada lebih dari 30 negara yang mengadopsi advance

pricing agreement (Ernst &Young Global survey 2010).

Perkembangan advance pricing agreement di Indonesia yang terbilang lambat sejak pertama kali

diundangkan mulai mencapai titik cerah saat PER-69/PJ/2010 dikeluarkan karena untuk pertama

kali nya sejak diundangkan wajib pajak di Indonesia mendapatkan suatu panduan (guidelines)

untuk memulai proses pengajuan advance pricing agreement. PER-69/PJ/2010 mengatur tentang

tata cara pengajuan advance pricing agreement meskipun belum secara sempurna memberikan

hal-hal yang dirasa penting bagi wajib pajak untuk menggunakan advance pricing agreement

dalam penentuan metode transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak. Namun sejak

keluarnya PER-69/PJ/2010 hingga tahun 2014 belum ada satu pun perusahaan yang proses

pengajuan advance pricing agreement nya dapat diselesaikan (hasil wawancara dengan Anung

Andang Wiratama), berbeda dengan Singapura yang pada tahun 2012 saja berhasil

merampungkan 11 pengajuan advance pricing agreement secara unilateral dan bilateral.

Dalam proses pematangan yurisdiksi transfer pricing oleh pemerintah Indonesia salah satu yang

harus diperhatikan adalah penting nya peran advance pricing agreement sebagai solusi dalam

pencegahan penyalahgunaan transfer pricing khususnya bagi multinational enterprises yang

banyak berekspansi ke Indonesia. Lambatnya perkembangan advance pricing agreement di

Indonesia bertolak belakang dengan perkembangan advance pricing arrangement di Singapura,

dengan adanya beberapa faktor yang menghambat perkembangan advance pricing agreement di

Indonesia. Pokok permasalahan di atas dapat dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian

sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan di Singapura?

2. Apa faktor-faktor yang menghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia?

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan bagaimana penerapan advance pricing

agreement di Indonesia dan Singapura serta menjelaskan faktor-faktor yang menghambat

(5)

Tinjauan Teoritis

1. Perusahaan multinasional ( Multinational Enterprise / MNE )

Menurut Rugman (2007, p. 1) adalah perusahaan yang menjalankan produksi dan atau

mendistribusikan produk dan atau jasa antar Negara. Ekspansi yang dilakukan oleh

multinational enterprises dalam bentuk Foreign Direct Investment / FDI untuk menjalankan

usahanya dapat terbagi menjadi dua yaitu cabang (branch) dan anak perusahaan (subsidiary

company)

2. Tax Planning

Mohammad Zain dalam buku Manajemen Perpajakan, menyatakan bahwa tax planning

adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa

sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya berada dalam

posisi yang paling minimal sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan yang berlaku maupun secara komersial. Lebih lanjut, ia

juga menyimpulkan bahwa tax planning adalah perbuatan yang sifatnya mengurangi beban

pajak secara legal dan bukan mengurangi kesanggupan memenuhi kewajiban perpajakannya

melunasi utang-utang pajaknya.

3. Transfer Pricing

Transfer pricing dapat disimpulkan sebagai salah satu strategi tax planning yang sering

dilakukan oleh MNE yang tergabung dalam related parties dimana pemberian imbalan atas

suatu jasa dan atau barang dapat direkayasa sedemikian rupa sesuai dengan kebijaksanaan

induk perusahaan. Hal tersebut dilakukan karena umumnya MNE bertujuan untuk

memaksimalkan laba perusahaan secara keseluruhan. Menurut Santoso (2007, p. 59) transfer

pricing dipercaya menjadi salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan

dalam memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas bagi multinational enterprises.

4. Advance Pricing Agreement

Menurut Gunadi (2007, p. 249) advance pricing agreement adalah suatu perjanjian yang

mengikat kedua belah pihak (wajib pajak dan otoritas pajak) yang dimulai dengan

permintaan wajib pajak untuk memperoleh kepastian atas metode transfer pricing yang

dilakukannya. Salah satu kepastian yang diperoleh dengan adanya advance pricing

agreement adalah terhindar dari pengenaan pajak berganda jika dilakukan secara bilateral

(6)

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif karena dapat

memberikan pemahaman menyeluruh atas penerapan advance pricing agreement di indonesia,dan

memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan advance pricing

agreement di Indonesia dan perbandingan penerapan advance pricing agreement di Singapura.

Salah satu ciri dari penelitian kualitatif adalah digunakannya metode-metode kualitatif. Metode

yang sering digunakan pada penelitian kualitatif adalah pengamatan, wawancara, atau penalahaan

dokumen (Lexy J. Moleong, 2007, p. 9). Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan

dalam penelitian ini digunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Studi Kepustakaan (Library Research)

2. Studi Lapangan (field research)

Analisis data dilakukan sejalan dengan pengumpulan data, tidak ada aturan baku untuk

menganalisis data kualitatif. Data yang berasal dari wawancara dianalisis secara deskriptif dan

diilustrasikan dengan contoh-contoh, termasuk kutipan-kutipan dan rangkuman dari dokumen

dianalisis secara verbal (Lexy J. Moleong, 2007, p. 36). Studi kepustakaan dilakukan dengan

mempelajari dan menelaah berbagai literature untuk mengumpulkan sebanyak mungkin

pengetahuan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang dapat diterapkan dalam

penelitian yang dilakukan.

Agar penelitian menjadi fokus dan terarah peneliti membatasi penelitian ini pada penerapan

advance pricing agreement di Indonesia, faktor–faktor yang menghambat penerapan advance

pricing agreement di Indonesia dan perbandingan penerapan advance pricing agreement di

Singapura. Penelitian tidak dilakukan untuk menentukan metode transfer pricing yang tepat

dalam pengajuan permohonan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Melalui perbandingan penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura

(7)

Tabel 1. Perbandingan Penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura

Proses APA Indonesia Singapura Perbedaan

Sejarah Diundangkan pertama

Pertemuan Awal Pertemuan dilakukan

antara wajib pajak dan

(8)
(9)

Jenderal Pajak pricing agreement dan

mendiskusikan detail

advance pricing

agreement  

Pajak dan wajib pajak

Evaluasi Evaluasi atas advance

pricing agreement

1. Perbandingan Pertemuan Awal dan Pembahasan

Dalam proses pengajuan advance pricing agreement di Indonesia melalui perbandingan

dengan Singapura sesuai dengan tabel di atas dapat dilihat bahwa proses pembahasan

advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral di Singapura berawal dari wajib

pajak yang juga melakukan pembahasan advance pricing arrangement dengan otoritas pajak

asing, sedangkan proses pembahasan tersebut di Indonesia berawal dari permohonan wajib

(10)

Gambar 1 Proses Pembahasan advance pricing agreement Bilateral di Indonesia

Gambar 2 Proses Pembahasan advance pricing agreement Bilateral di Singapura

Melalui kedua gambar di atas dapat dilihat bahwa proses yang terjadi pada pembahasan

advance pricing agreement secara bilateral di Indonesia sesuai ilustrasi tersebut adalah PT. A

mengajukan permohonan advance pricing agreement kepada Direktur Jenderal Pajak,

Direktur Jenderal Pajak kemudian memanfaatkan Exchange of Information dengan otoritas

(11)

terjadi kesepakatan maka otoritas pajak asing tersebut akan melakukan coresponding

adjustment kepada A Corp. Sedangkan proses yang terjadi di Singapura melalui ilustrasi di

atas adalah A Corp berkoordinasi dengan related party mereka di luar negeri yaitu A Bhd

untuk bersama-sama mengajukan advance pricing agreement kepada otoritas pajak

masing-masing Negara lalu otoritas pajak masing-masing-masing-masing negara akan menggunakan Exchange of

Information untuk kemudian bersama-sama melakukan mutual agreement procedure.

Pembahasan advance pricing agreement di Indonesia dilaksanakan oleh Subdirektorat

Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional sedangkan di Singapura pembahasan

advance pricing agreement dilaksanakan oleh Corporate Tax Division dalam hal advance

pricing agreement yang diajukan adalah unilateral karena masih merupakan bagian dari

advance ruling system yang berlaku di Singapura, dan International Tax Affairs and

Relations Branch jika advance pricing agreement yang diajukan adalah bilateral atau

multilateral. Pembahasan advance pricing agreement secara bilateral atau multilateral akan

dilakukan oleh otoritas pajak Negara yang terkait dengan advance pricing agreement

tersebut.

Tahapan pembahasan advance pricing agreement adalah tahapan yang paling lama dalam

proses pengajuan advance pricing agreement ditambah lagi jika advance pricing agreement

yang diajukan berupa bilateral dan multilateral karena kesepakatan yang ingin dicapai bukan

hanya antara wajib pajak dan otoritas pajak melainkan memerlukan kesepakatan dengan

otoritas pajak asing yang terkait untuk menghindari terjadinya double taxation. Pembahasan

advance pricing agreement sebaiknya dilakukan oleh tim yang kompeten dan memiliki

pengalaman, khususnya dalam bidang audit untuk mengetahui secara pasti apakah metode

transfer pricing yang diajukan oleh wajib pajak telah sesuai dengan fakta dan negosiator

yang memahami perpajakan internasional untuk melakukan negosiasi dengan otoritas pajak

asing agar melakukan corresponding adjustment. Dalam proses pembahasan secara bilateral

dan multilateral sebaiknya turut melibatkan wajib pajak untuk menyampaikan pandangannya

terhadap metode transfer pricing yang digunakannya agar dapat menjadi pertimbangan para

otoritas pajak yang terlibat.

Pembagian pelaksanaan pembahasan advance pricing agreement seperti yang dilakukan oleh

(12)

pricing agreement secara unilateral melibatkan tim pelaksana yang memiliki spesialisasi

dalam perpajakan internasional. Pembagian pelaksanaan pembahasan advance pricing

agreement tersebut juga berdampak pada load kerja yang dilakukan tim pembahasan

sehingga akan lebih efektif jika pembagian kerja dilakukan berdasarkan jenis advance

pricing agreement yang diajukan.

Pembagian pelaksanaan pembahasan advance pricing agreement unilateral dapat

dilimpahkan kepada Subdirektorat Peraturan Pajak Penghasilan Badan karena sesuai dengan

fungsinya yang tertulis pada PMK 184/PMK.01/2010 pasal 415 salah satunya adalah

penyiapan dan penyusunan petunjuk pelaksanaan dan penegasan (ruling) di bidang Pajak

Penghasilan Badan. Dengan fungsi Subdirektorat Peraturan Pajak Penghasilan Badan untuk

memberikan penegasan (ruling) maka akan relevan dengan sifat dari advance pricing

agreement secara unilateral karena masih termasuk dalam advance ruling system.

2. Perbandingan Jangka Waktu Berlakunya Advance Pricing Agreement

Advance pricing agreement merupakan suatu kesepakatan yang memberikan kepastian

kepada wajib pajak atas metode transfer pricing pada suatu transaksi terhadap related party

yang akan dilakukannya dalam suatu periode yang telah disepakati. Periode yang dicakup

dalam advance pricing agreement belum termasuk dengan periode sebelumnya yang dapat

disesuaikan (compensating adjustment) jika wajib pajak merasa periode sebelumnya belum

mencerminkan hasil advance pricing agreement (roll-back).

Periode yang berlaku dalam advance pricing agreement di Indonesia paling lama adalah 3

tahun pajak yang dihitung sejak tahun pajak saat advance pricing agreement disepakati.

Periode roll-back di Indonesia diperbolehkan selama tahun pajak yang bersangkutan belum

pernah dilakukan pemeriksaan, keberatan, banding, dan tidak terdapat indikasi tindak pidana

di bidang perpajakan, kriteria tersebut berlaku untuk advance pricing agreement secara

unilateral, bilateral, dan multilateral.

Berbeda dengan Indonesia, periode yang dicakup dalam advance pricing arrangement di

Singapura paling lama adalah 5 tahun. Periode roll-back di Singapura diperbolehkan untuk

advance pricing arrangement secara bilateral dan multilateral namun tidak melebihi 2 tahun

(13)

perubahan besar dalam metode transfer pricing yang digunakan. Dalam advance pricing

arrangement secara unilateral, Inland Revenue Authority of Singapore tidak

memperbolehkan adanya periode roll-back.

Jangka waktu berlakunya advance pricing agreement di Indonesia sebaiknya ditingkatkan

paling tidak menjadi paling lama 5 tahun karena proses pengajuan advance pricing

agreement memerlukan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Analisis penulis juga didukung oleh OECD yang menyebutkan bahwa jangka waktu yang

efektif dalam berlakunya advance pricing agreement adalah 3 sampai 5 tahun yang berarti

jangka waktu berlakunya advance pricing agreement di Indonesia adalah jangka waktu

minimum seperti yang disarankan oleh OECD, ditambah lagi dalam PER-69/PJ/2010 belum

mengatur tentang proses renegosiasi advance pricing agreement yang akan atau sudah

berakhir sehingga dikhawatirkan wajib pajak akan merasa tidak efektif untuk mengikuti

program advance pricing agreement di Indonesia karena tidak dapat memberikan efek yang

signifikan terhadap kegiatan usaha wajib pajak.

Masa roll-back di Indonesia diperbolehkan selama belum pernah dilakukan pemeriksaan,

keberatan, banding dan tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, namun

menurut pasal 8 Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata

cara perpajakan (Undang-Undang KUP) tertulis bahwa pembetulan Surat Pemberitahuan

harus disampaikan paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa penetapan. Dengan kata lain masa

roll-back yang berlaku sesungguhnya di Indonesia adalah 3 tahun (2 tahun sebelum

daluwarsa penetapan), kecuali metode transfer pricing yang diajukan oleh wajib pajak dalam

advance pricing agreement tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu 5 tahun

(daluwarsa penetapan) yang menyebabkan wajib pajak tidak harus melakukan pembetulan

Surat Pemberitahuan sehingga masa roll-back adalah 5 tahun. Fakta yang terjadi di lapangan

ternyata berbeda dengan analisis penulis, berdasarkan wawancara dengan Bapak X, Transfer

Pricing Manager di salah satu konsultan pajak terkemuka di Indonesia, diketahui bahwa

hasil diskusi Bapak X dengan tim pelaksana advance pricing agreement menyimpulkan

bahwa roll-back ternyata hanya diberikan sejak tahun pajak pengajuan advance pricing

agreement, hal ini tidak dijelaskan di PER-69/PJ/2010 sehingga penulis merasa Direktorat

(14)

3. Tim Pelaksana Advance Pricing Agreement

Menurut OECD Guidelines, tim pelaksanaan advance pricing agreement harus mempunyai

transfer pricing specialist dalam bidang audit namun mempunyai peran yang berbeda dengan

transfer pricing specialist pada audit lapangan. Advance pricing agreement merupakan salah

satu solusi penanganan transfer pricing yang menyepakati metode transfer pricing yang

digunakan oleh wajib pajak dan prinsip kewajaran dan kelaziman yang digunakan. Untuk

mengetahui dengan tepat, maka tim pelaksana advance pricing agreement harus memiliki

auditor yang dapat menguji perumusan advance pricing agreement yang diberikan oleh wajib

pajak.

Berdasarkan wawancara dengan Anung Andang Wiratama, Pelaksana Seksi Perjanjian Asia

Pasifik, Direktorat Jenderal Pajak, proses seleksi yang telah dilaksanakan oleh Direktorat

Jenderal Pajak hanya menguji kemampuan Bahasa Inggris dan perpajakan internasional

sehingga penulis menganggap peningkatan kompetensi di tim pelaksana advance pricing

agreement belum tepat sasaran. Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan dua hal

yaitu dengan merekrut ahli-ahli di bidang yang diperlukan, atau dengan melakukan pelatihan

khusus, training, dan program kesempatan pendidikan. Proses rekrutmen dalam tim

pelaksana advance pricing agreement sebaiknya dilakukan dalam beberapa bidang seperti

ahli industri keuangan, manufacturing, jasa, minyak dan gas, pertambangan dan lain-lain, ahli

ekonomi, ahli perpajakan internasional dan auditor transfer pricing.

Peningkatan kompetensi dalam berbagai bidang industri dilakukan agar Direktorat Jenderal

Pajak dapat menggali lebih dalam tentang kegiatan usaha yang dilakukan oleh wajib pajak

yang mengajukan advance pricing agreement. Sifat advance pricing agreement yang

merupakan sebuah individual ruling berarti dalam pelaksanaan advance pricing agreement

Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat menerapkan prinsip umum suatu usaha karena mungkin

akan bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan sehingga diperlukan ahli dalam

bidang usaha wajib pajak yang mengajukan advance pricing agreement untuk mengetahui

fakta di lapangan.

Ahli ekonomi dalam tim pelaksana advance pricing agreement diperlukan untuk mengetahui

apakah critical assumptions yang diajukan saat pengajuan advance pricing agreement oleh

(15)

merupakan proyeksi atas beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan usaha wajib

pajak di masa yang akan datang yang juga mempengaruhi apakah metode transfer pricing

yang dicakup dalam advance pricing agreement akan tetap relevan atau tidak.

Ahli perpajakan internasional dibutuhkan dalam tim pelaksana advance pricing agreement

untuk melakukan perjanjian perpajakan internasional seperti mutual agreement procedure

dalam hal advance pricing agreement bilateral atau multilateral. Keahlian perpajakan

internasional juga diperlukan untuk menentukan adjustment pada transaksi transfer pricing

yang diajukan dalam rangka penghindaran pengenaan pajak berganda.

Auditor transfer pricing diperlukan dalam tim pelaksana advance pricing agreement untuk

mengetahui apakah metode transfer pricing yang diajukan sudah tepat atau tidak. Auditor

dalam pelaksanaan advance pricing agreement sebaiknya mempunyai peran yang berbeda

dengan auditor lapangan.

4. Perbandingan Sistem Hukum

Perbedaan sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan Singapura juga membedakan

penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura. Sistem hukum yang

berlaku di Indonesia adalah Civil Law yang banyak berkembang di benua Eropa dan dibawa

ke Indonesia oleh Belanda. Civil law menurut Tetley (1994, p, 596) “Civil law is highly

systematised and structured and relies on declaration of broad, general principles, often

ignoring the details” yang dapat diartikan dengan “Civil law sangat tersistematis dan

terstruktur dan bergantung kepada deklarasi secara umum, prinsip umum, seringkali tidak

melihat detail” Singapura yang lama diduduki oleh Inggris menganut sistem Common law

yang banyak berkembang di Inggris. Common law menurut Tetley (1994, p, 597) “Common

law adalah tradisi hukum yang berkembang di Inggris. Prinsip yang muncul dalam hampir

semua keputusan tergantung kepada fakta spesifik keadaan yang muncul dalam perselisihan

yang ditangani”

Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Civil law menggunakan prinsip yang

berlaku secara umum sedangkan Common law lebih melihat fakta spesifik yang terjadi dalam

(16)

Berdasarkan perbedaan tersebut penerapan advance pricing agreement di Indonesia akan

lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan Singapura karena advance pricing agreement

merupakan salah satu bentuk individual ruling. Dalam sistem civil law, hukum diterapkan

secara umum dengan menggunakan prinsip yang berlaku secara umum sehingga berbeda

dengan bentuk individual ruling yang ditentukan melalui fakta spesifik yang terjadi yang

mungkin bertentangan dengan prinsip umum dan mungkin berbeda dengan peraturan yang

berlaku.

Tabel 2. Advance Pricing Agreement di Beberapa Negara Tahun 2010

Negara Sistem Hukum Jumlah APA yang

berlaku

Kanada Common Law 96

Amerika Serikat Common Law 973

Inggris Common Law 72

Jerman Civil Law 12

Spanyol Civil Law 30

Prancis Civil Law 76

Berdasarkan data yang penulis kumpulkan dari beberapa sumber tersebut dapat terlihat bahwa

melalui perbandingan singkat sistem hukum di beberapa Negara terhadap advance pricing

agreement yang dihasilkannya Negara dengan sistem hukum common law melakukan

advance pricing agreement yang lebih banyak dibandingkan dengan Negara civil law,

rata-rata perbandingan di atas adalah 380 per Negara common law berbanding dengan 39 per

Negara civil law. Perbandingan juga dapat dilakukan antara Indonesia dengan India, India

yang menggunakan civil law baru mempunyai peraturan advance pricing agreement pada

Agustus 2012, namun pada Maret 2014 India sudah menerbitkan 5 advance pricing

agreement unilateral, berbeda dengan Indonesia yang lebih dulu mempunyai peraturan

pelaksana advance pricing agreement pada tahun 2010 namun hingga sekarang belum ada

(17)

5. Faktor Penghambat Penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia

Faktor penghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia dapat dibagi menjadi

dua yaitu

1. Faktor Internal

a. Peraturan advance pricing agreement yang belum sempurna

Terdapat beberapa kekurangan dalam PER 69/PJ/2010 yaitu belum memuat

tentang jangka waktu minimal pengajuan advance pricing agreement, kurang

mengatur tentang perlindungan hukum bagi wajib pajak atas informasi yang

diberikannya, belum mengatur tentang proses renegosiasi, dan periode roll-back

yang belum jelas.

b. Proses advance pricing agreement yang belum tepat

Proses pengajuan advance pricing agreement di Indonesia berbeda dengan

Singapura yang menggunakan proses MAP APA dalam pengajuan advance

pricing agreement secara bilateral dan multilateral.

c. Sumber daya manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak

i. Struktur Organisasi yang kurang memadai

Tidak ada direktorat khusus perpajakan internasional di Direktorat Jenderal

Pajak.

ii. Kurangnya kompetensi tim pelaksana

Tim pelaksana advance pricing agreement hanya terdiri dari auditor,dan

ahli perpajakan internasional dan memiliki kemampuan berbahasa Inggris,

tidak sesuai dengan kebutuhan advance pricing agreement yang paling

tidak terdiri dari ekonom, ahli industri, ahli perpajakan internasional, dan

auditor.

iii. Kurangnya keberanian dalam pengambilan keputusan

Wawancara dengan Gunadi menyebutkan bahwa dalam pengambilan

keputusan diperlukan keberanian moral karena advance pricing agreement

merupakan kesepakatan yang bisa berbeda dengan peraturan yang ada.

d. Kurangnya kerjasama dengan pihak lain yang terkait

Advance pricing agreement merupakan kebijakan pemerintah Indonesia jadi

(18)

seperti kepolisian, kejaksaan dan juga dengan komisi pemberantasan korupsi, hal

ini dikarenakan advance pricing agreement tidak mengikuti aturan yang berlaku

umum karena sifatnya adalah individual ruling.

2. Faktor Eksternal

a. Biaya dan waktu

Dalam pengajuan advance pricing agreement terdapat beberapa kelemahan antara

lain, biaya menggunakan jasa konsultan pajak, biaya pengurusan dokumen yang

diperlukan, dan waktu penyelesaian yang lama.

b. Keraguan terhadap Direktorat Jenderal Pajak

Keraguan terhadap Direktorat Jenderal Pajak terbagi menjadi dua yaitu keraguan

terhadap konsistensi Direktorat Jenderal Pajak dalam menerapkan peraturan dan

keraguan terhadap kompetensi tim pelaksana advance pricing agreement

c. Kerahasiaan Informasi

Kerahasiaan informasi merupakan keraguan utama wajib pajak karena infomasi

yang diberikan saat pengajuan advance pricing agreement merupakan informasi

rahasia yang tidak dapat diberikan kepada pihak lain.

Simpulan

Berdasarkan perbandingan penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura,

penulis bersimpulan bahwa penerapan advance pricing agreement di Indonesia masih tertinggal

dengan peraturan di Singapura antara lain, pertemuan awal di Indonesia tidak melibatkan otoritas

pajak asing, jangka waktu berlakunya advance pricing agreement hanya 3 tahun sedangkan

proses pengajuan memakan waktu yang lama, tidak adanya subdirektorat khusus untuk

perpajakan internasional di Direktorat Jenderal Pajak, dan sistem hukum Indonesia yang tidak

mendukung penerapan advance pricing agreement.

Faktor-faktor penghambat penerapan advance pricing agreement dapat dibagi menjadi dua yaitu:

a. Faktor Internal

1. Peraturan advance pricing agreement yang belum sempurna

(19)

3. Sumber daya manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak

i. Struktur Organisasi

ii. Kurangnya kompetensi sumber daya manusia

iii. Kurangnya keberanian dalam pengambilan keputusan

4. Kurangnya kerjasama dengan pihak lain yang terkait

b. Faktor Eksternal

1. Biaya dan waktu

2. Keraguan terhadap Direktorat Jenderal Pajak

3. Kerahasiaan Informasi

Saran

1. Dalam perbandingan penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura dapat

terlihat bahwa Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan Negara lain khususnya

dengan Singapura. Untuk menerapkan advance pricing agreement di Indonesia maka

Direktorat Jenderal Pajak dapat meniru beberapa ketentuan advance pricing agreement yang

diatur di Singapura contohnya seperti mengikuti Singapura dalam hal pertemuan awal agar

pengajuan advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral dapat dipercepat.

2. Dalam menghadapi faktor-faktor yang menghambat penerapan advance pricing agreement

Indonesia, penulis mempunyai beberapa saran yang dapat diterapkan yaitu:

a) Proses pengajuan advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral sebaiknya

mendorong wajib pajak untuk berinisiatif melakukan advance pricing agreement dengan

otoritas pajak Negara lain yang terkait melalui related party mereka.

b) Kompetensi tim yang menangani advance pricing agreement dan juga tim audit transfer

pricing sebaiknya ditingkatkan dengan berbagai cara, seperti memasukan ahli industri,

ekonom, dan audit pada tim pelaksana advance pricing agreement dan juga dengan

melakukan pelatihan-pelatihan khusus dan kerjasama dengan institusi pendidikan terkait.

c) Direktorat Jenderal Pajak harus menunjukan konsistensi dalam penerapan aturan

(20)

ditunjukan dengan menerapkan kebijakan yang telah diterbitkan sesuai dengan

ketentuannya.

d) Kerahasiaan informasi wajib pajak merupakan faktor penghambat yang paling utama

maka Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya menggunakan mekanisme tertentu untuk

melindungi informasi wajib pajak, salah satu contohnya adalah dengan membuat

non-disclosure agreement secara spesifik dalam setiap pengajuan advance pricing agreement.

Daftar Referensi

Buku

Gunadi.2004. Transfer Pricing: Suatu Tujuan Akuntansi, Manajemen dan Pajak. Jakarta: PT

Bina Rena Pariwara

_____. 2007. Pajak internasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia.

Rugman, Alan M. 2007. The Regional Multinationals: MNE and ‘Global’ Strategic

Management. United Kingdom: University Press, Cambridge.

Tetley, William Q.C. 1994 International Conflict of Laws, Common, Civil and Maritime.

Montreal: International Shipping Publications

Wallace, Cynthia Day. 2002 The Multinational Enterprise and Legal Control : Host State

Sovereignty in an Era of Economic Globalization. The Netherlands: Kluwer Law

International.

Zain, Mohammad 2007 Manajemen Perpajakan, Salemba empat

Disertasi

Rahayu, Ning. 2008. Praktik penghindaran pajak tax avoidance pada foreign direct invesment

yang berbentuk subsidiary company (PT PMA) di suatu kajian tentang kebijakan anti tax

Gambar

Tabel 1. Perbandingan Penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura
Gambar 1 Proses Pembahasan advance pricing agreement Bilateral di Indonesia
Tabel 2. Advance Pricing Agreement di Beberapa Negara Tahun 2010

Referensi

Dokumen terkait

2). Selama pengoperasian paver, campuran aspal tersebut harus disebarkan dan diturunkan sampai ketingkat, ketinggian dan bentuk penampang melintang yang diperlukan di atas seluruh

Kalau metode  NPV dan  IRR   digunakan untuk menilai suatu usulan investasi yang sama, maka hasilnya umumnya akan sama, dalam arti bila  NPV   menyatakan usulan diterima

Adanya minat penulis ingin mengetahui akan mekanisme pengelolaan dan sistem operasional perusahaan AJB Bumiputera 1912 Syari‟ah Surakarta serta ingin mengetahui akad-akad yang

Hasil simulasi menunjukkan bahwa ketiga konstanta tidak mempengaruhi lama terbukanya saluran ion Na karena pembukaan saluran ion ini berkaitan dengan persamaan pertama

Pada tabel 3 diperoleh hasil dari 35 sampel penelitian penderita prolaps organ panggul dibandingkan dengan 35 kontrol tanpa prolaps organ panggul, didapatkan hasil yang signifikan

Menurut Real Estate Indonesia (REI) memproyeksikan permintaan properti seperti perumahan, pusat perbelanjaan, hotel maupun resor ini akan terus bertambah pada tahun 2012

Pertemuan pertama peneliti memulai pembelajaran dengan mengkondisikan kelas, melakukan komunikasi tentang pengulangan materi SPLDV. Pada siklus II peserta didik berlatih

input gaya tersebut masuk ke master silinder dan output nya yaitu tekanan. Tekanan tersebut menekan fluida rem melalui house line brake, hingga sampai ke caliper. Input