• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diferensiasi Umat Islam Indonesia Klik R

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Diferensiasi Umat Islam Indonesia Klik R"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Komunikasi Antar Budaya

Dosen : Dr. Hj. Kiki Zakiah, M.Si.

Nama: Rd. Laili Al Fadhli NPM: 20080013047

PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI PASCASARJANA UNISBA

(2)

Puji syukur kehadirat Allah subhaanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya dan dengan pertolongan serta atas izin-Nya pula Peneliti dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tidak lupa untuk disampaikan dan semoga tetap tercurahlimpahkan kepada uswatuna wa qudwatuna, nabiyullaah wa rasuulullaah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Serta kepada keluarganya (ahlul bait), para Khulafaau Rasyidiin dan Shahabat, para tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga seluruh umatnya yang tetap istiqamah di seluruh penjuru dunia, Peneliti ungkapkan sebuah ucapan terindah yang merupakan sunnah Rasulullah, Assalamualaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

Dalam kata pengantar ini Peneliti mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua atas segala doa dan dukungannya, Ibu Dr. Hj. Kiki Zakiah, M.Si. selaku dosen mata kuliah Komunikasi Antar Budaya atas segala arahannya dan kepada seluruh pihak yang telah membantu Peneliti dalam menyelesaikan makalah ini, syukran katsiran, jazakumullaahu khairan.

Bandung, Juni 2014

Peneliti

(3)

DAFTAR ISI...iii

PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang Penelitian...1

1.2. Fokus Penelitian...4

1.3. Tujuan Penelitian...5

1.4. Subjek Penelitian...5

1.5. Metode Penelitian...5

1.6. Kegunaan Penelitian...5

1.6.1. Kegunaan Praktis...5

1.6.2. Kegunaan Teoritis...5

1.7. Sistematikan Penulisan...6

KERANGKA KONSEPTUAL DAN TEORI YANG DIGUNAKAN...10

2.1. Diferensiasi Sosial...10

2.2. Madzhab Akidah (Firqah)...10

2.3. Madzhab Fikih...13

2.4. Gerakan Islam Transnasional...14

2.5. Corak Beragama...15

2.6. Komunikasi Dakwah...16

MADZHAB-MADZHAB DALAM ISLAM YANG MEMPENGARUHI KONDISI UMAT ISLAM DI INDONESIA...18

3.1. Madzhab-Madzhab Aqidah (Firqah)...18

3.1.1. Ahlul Hadits/ Ahlul Atsar...18

(4)

3.1.5. Mu’tazilah...28

3.1.6. Syi’ah...30

3.1.7. Sufiyah...32

3.2. Madzhab-Madzhab Fikih...34

3.2.1. Syafi’iyyah...34

3.2.2. Hanabilah...36

3.2.3. Ja’fariyah...38

3.2.4. Madzhab Talfiq (Lintas Madzhab)...40

GERAKAN ISLAM TRANSNASIONAL YANG MEMPENGARUHI UMAT ISLAM DI INDONESIA...43

5.1. Ikhwanul Muslimin (IM) dan Gerakan yang Serupa Dengannya...43

5.2. Aliran-Aliran Ishlahi Tarbawi (Reformasi Pendidikan)...47

5.3. Gerakan Salafi Konvensional...47

5.4. Gerakan Salafi Haraki...51

5.5. Gerakan Salafi Jihadi...52

5.6. Hizbut Tahrir (HT)...56

5.7. Jamaah Tabligh dan Dakwah...58

CORAK BERAGAMA DAN KOMUNIKASI DAKWAH UMAT ISLAM DI INDONESIA...62

5.1. Corak Beragama Umat Islam di Indonesia...62

5.1.1. Tradisional...62

5.1.2. Modern...64

(5)

5.2.1. Pendekatan Sosial-Budaya (Kultural)...79

5.2.2. Pendekatan Dakwah dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar...82

5.2.3. Pendekatan Politik (Struktural)...83

5.2.4. Pendekatan Jihad...84

PENUTUP...86

(6)

1.1. Latar Belakang Penelitian

Dalam Penelitian lapangan di Mojokuto dari bulan Mei 1953 sampai bulan September 1954, Clifford Geertz menggolongkan penduduk berdasarkan tipe utama kebudayaan berdasarkan tingkah laku. Petani, buruh, pekerja tangan, pedagang, dan pegawai Jawa digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu abangan, santri, dan priyayi. Hasil Penelitian ini kemudian diajukan sebagai disertasi doktoral dan diterbitkan dengan judul The Religion of Java (1960).

Trikotomi Clifford Geertz menuai banyak kritikan. Salah satunya disampaikan Profesor Harsja W. Bachtiar dalam tulisannya. Ia mengidentifikasi terdapat beberapa kritik terhadap trikotomi Clifford Geertz. Pertama mengenai pengertian tentang agama. Geertz sangat kabur membedakan agama dengan kepercayaan. Trikotomi ini juga tidak merepresentasikan seluruh agama orang Jawa karena hanya daerah Mojokuto (nama samaran untuk kota Pare, Kediri) sebagai obyek penilitian. Selain itu, agama Kristen dan Katolik (yang juga diimani oleh sebagian minoritas orang-orang Jawa) tidak dijelaskan pada tesisnya ini (Bachtiar, 1973).

Kritik yang kedua mengenai dasar pembagian ketiga varian ini. Terdapat ketidaksamaan dasar pembagi untuk ketiga varian yang disampaikan oleh Geertz. Di satu sisi, abangan dan santri dikategorikan dengan dasar yang sama yaitu pola kesalehan dan keimanan mereka. Namun, di sisi lain priyayi dikategorikan dengan pola yang lain. Kuntowijoyo pun sependapat dengan hal ini. Untuk priyayi, Geertz memberi monopoli terhadap kesenian klasik dan populer, hal yang tidak diberikannya kepada varian lain, abangan dan santri. Untuk abangan hanya disebutkan simbol-simbol berupa magis, mitologi, dan ritual, sedangkan untuk santri pembicaraan terutama berkisar pada soal organisasi sosial dari agama (Kuntowijoyo, 1987).

Kritik lain juga disampaikan Mitsuo Nakamura (1983) dalam bukunya mengenai pergerakan Muhammadiyah di Kotagede.Ia berpendapat bahwa trikotomi Clifford Geertz tidak relevan. Menurutnya peletakan struktur

(7)

masyarakat jawa, khususnya anggota Muhammadiyah sangat sulit karena batas-batas dari kategori-kategori ini semakin kabur.

Zaini Muchtarom (1988: 8) juga sependapat dengan hal ini. Akan sangat sulit membatasi peng-kotak-an kepercayaan agama jawa berdasar pada kategori-kategori seperti itu. Santri maupun abangan terdapat pada setiap lapisan masyarakat jawa, mulai dari wong cilik sampai ndara.

Kalaupun apa yang dikemukakan oleh Geertz mengenai trikotomi ini benar dan sesuai fakta di lapangan pada saat itu, namun Ahmad Farid Okbah menyebut bahwa trikotomi hasil Penelitian Geertz sudah out of date. Dalam ceramah yang disampaikan pada acara bedah buku “Mendamaikan Ahlus Sunnah di Nusantara”1ia menyebutkan bahwa pemetaan kaum muslimin di Indonesia tidak lain dan tidak bukan merupakan sebuah grand design yang dirancang oleh kekuatan Amerika dan Eropa untuk mengalahkan kekuatan kaum muslimin pasca runtuhnya Komunisme. Asumsi ini berpijak dari tesis “Clash of Civilization” yang diangkat oleh Samuel P. Huntington.

Berbagai Penelitian dilakukan di Indonesia, sebagai komunitas umat Islam terbesar di dunia, untuk memilah dan mengkotak-kotakan, bahkan membenturkan sesama umat Islam. Dari trikotomi Geertz, lalu muncul istilah modernis-tradisional, dan kini diangkat wacana di tengah-tengah umat Islam tentang adanya kaum fundamentalis, liberalis, formalistik,2 dan nasionalis.3 Farid Okbah menyebutkan bahwa seluruh umat Islam yang bercita-cita mengembalikan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimasukan ke dalam kategori fundamentalis yang dikenal juga dengan istilah Islam Radikal. Adapun ketiga golongan yang lain berusaha dibenturkan dengan golongan fundamentalis.

Golongan formalistik dan nasionalis yang lebih dikenal dengan istilah Islam moderat hari ini sedang diarahkan untuk berkolaborasi dengan golongan liberalis. Padahal sebagaimana kita ketahui bersama bahwa liberalisme yang lahir di tengah-tengah kaum muslimin tidak bersih dari campur tangan Barat. Akhirnya, umat Islam akan dihadapkan pada pilihan yang sulit. Bila ia bercita-cita menegakkan syariat Islam maka ia termasuk fundamentalis-radikal dan menjadi

(8)

musuh bersama. Namun bila ia tidak ingin menjadi musuh bersama, maka ia “terpaksa” menjadi muslim moderat, yang hari ini diarahkan pada liberalisme Islam.

Dalam struktur sosial, diferensiasi merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Bahkan, bila kita melihat dari sudut pandang Islam, diferensiasi di tengah-tengah umat manusia adalah sunnatullah. Hal ini sebagaimana firman-Nya,

ْمُكاَََنْلَعَجَو ٰىَثْن

ُأَو ٍرَََكَذ نّم مُكاَََنْقَلَخ اّنإإ ُساّنل اَََهّيَأٰي

ٱ

ْمُكاَََقْت

َأ إهّلل ََدََنإع ْمُكَمَرََْكَأ ّنإإ ْا ُفَراَعَتإل َلإئآَبَقَو ًابوُع ُش

ٱ

ۤو

ٌريإبَخ ٌَميإلَع َهّلل ّنإإ

ٱ

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [QS. Al Hujuraat, 49: 13]

Kenyataannya, dalam struktur sosial masyarakat, secara horizontal mereka telah terbagi-bagi ke delam perbedaan suku, ras, agama, adat-istiadat, gender, bahasa, dan pekerjaan. Lebih dari itu, diferensiasi sosial juga dapat terjadi lebih kecil lagi. Misal dalam Islam, diferensiasi antar umat Islam dapat terjadi karena beberapa sebab. Di antaranya adalah perbedaan madzhab, gaya beragama, komunikasi dakwah, dan organisasi atau jamaah.

Bila kita mengkaji sejarah perjalanan umat Islam sejak awal kemunculannya, perbedaan tersebut dapat ditemui sejak lama. Perbedaan-perbedaan dalam, tubuh umat Islam seringkali menjadi sebab perpecahan. Diawali dari perbedaan pendapat dalam memandang dan memahami Al-Quran dan As-Sunnah atau perbedaan pendapat dalam isu politik, kemudian berkembang menjadi perbedaan paham dan melahirkan madzhab-madzhab teologis, atau yang kemudian dikenal dengan istilah “firqah” atau “sekte”.

(9)

dengan pedang. Bahkan, banyak sekali perbedaan-perbedaan tajam dalam masalah akidah justru menjadi sebab lahirnya semangat keilmuan dan khazanah di tengah-tengah kaum muslimin, bukan melahirkan perpecahan dan permusuhan yang berkepanjangan. Kecuali beberapa aliran yang memang memiliki kecenderungan bersikap keras terhadap golongan di luar kelompoknya.

Adapun hari ini, perbedaan pendapat di tengah-tengah kaum muslimin hampir selalu melahirkan permusuhan. Jangankan dalam permasalahan akidah, bahkan dalam permasalahan fikih yang sifatnya cabang sekalipun, yang para ulama terdahulu sudah saling legowo dan “sepakat untuk tidak sepakat” kemudian diangkat kembali sebagai isu yang harus dibahas.

Makalah ini berusaha menampilkan realita umat Islam dilihat dari berbagai sudut pandang. Hal tersebut bertujuan untuk menampilkan wajah kaum muslimin di Indonesia dengan apa adanya, sekaligus berusaha mencari titik temu di antara masing-masing kelompok sehingga perbedaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi bom waktu, namun justru akan menjadi khazanah keilmuan sebagaimana yang pernah terjadi pada masa lampau.

Peneliti melihat diferensiasi umat Islam di Indonesia dari sudut pandang perbedaan madzhab, pengaruh gerakan Islam Transnasional, gaya beragama, dan komunikasi dakwah masing-masing kelompok. Apa yang ditampilkan dalam makalah ini tidak bermaksud untuk mengangkat satu kelompok tertentu dan menjatuhkan kelompok yang lain. Semua kelompok ditampilkan apa adanya dan sesuai dengan apa yang mereka yakini, yang telah disebarkan melalui sumber-sumber resmi mereka.

(10)

1.2. Fokus Penelitian

Adapun fokus Penelitian ini adalah menggambarkan diferensiasi sosial umat Islam di Indonesia.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kaum muslimin di Indonesia.

1.4. Subjek Penelitian

Subjek Penelitian ini adalah umat Islam di Indonesia.

1.5. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan berdasakan pengalaman Peneliti selama berinteraksi dengan berbagai kalangan, khususnya beberapa gerakan Islam di Indonesia.

1.6. Kegunaan Penelitian 1.6.1. Kegunaan Praktis

Di antara kegunaan Penelitian ini yang bersifat praktis adalah untuk, 1. Memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Antar Budaya,

2. Mengetahui apa dan bagaimana diferensiasi umat Islam di Indonesia, serta sebab-sebab yang menjadi latar belakang terjadinya diferensiasi tersebut,

3. Menjadi acuan bagi pihak-pihak terkait dalam rangka membangun dan memperbaiki ukhuwah Islamiyah di Indonesia.

1.6.2. Kegunaan Teoritis

Adapun kegunaan teoritis Penelitian ini adalah untuk,

1. Menambah wawasan dan khazanah keilmuan dalam bidang Sosiologi dan Komunikasi Dakwah.

(11)

1.7. Sistematikan Penulisan Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini dijelaskan latar belakang Penelitian, rumusan masalah, tujuan Penelitian, subjek Penelitian, metode Penelitian, kegunaan Penelitian, dan sistematika penlulisan. Bab ini merupakan pintu gerbang untuk memasuki tulisan hasil Penelitian.

Bab II Kerangka Konseptual dan Teori yang Digunakan

Bab ini menjelaskan beberapa hal mendasar yang menjadi acuan dalam Penelitian yang akan dilakukan. Beberapa konsep seperti diferensiasi sosial, madzhab akidah atau yang lebih dikenal sebagai firqah, madzhab fikih, gerakan islam transnasional, corak keberagamaan umat Islam, dan komunikasi dakwah dipaparkan terlebih dahulu untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan persepsi yang sama mengenai persoalan yang akan dibahas kemudian.

Bab III Madzhab-Madzhab dalam Islam yang Mempengaruhi Kondisi Umat Islam di Indonesia

Pada bab iniPeneliti memberikan gambaran umum tentang madzhab-madzhab dalam Islam yang keberadaannya memberikan pengaruh yang besar bagi kaum muslimin di Indonesia. Indikator pengaruh itu sendiri dilihat dari besarnya penganut madzhab yang bersangkutan. Lalu, dipaparkan realita umat Islam di Indonesia yang menganut masing-masing madzhab yang telah disebutkan.

Peneliti sengaja hanya membahas sebagian madzhab saja, yakni madzhab yang kemudian dianut, baik secara keseluruhan atau sebagian pemikirannya saja oleh kaum muslimin di Indonesia. Hal ini disebabkan terlalu banyaknya madzhab yang ada dalam kaum muslimin bila harus dibahas secara lebih luas.

Bab III Kebangkitan Gerakan Islam Transnasional

(12)

gerakan-gerakan Islam kontemporer yang dikenal dengan istilah Gerakan Islam Transnasional. Gerakan Islam Transnasional adalah gerakan Islam yang memiliki kekuatan dalam skala internasional. Gerakan ini memandang umat Islam sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak dibatasi oleh batas-batas politis dan geografis. Corak ini kemudian memberikan pengaruh yang signifikan bagi gaya beragama kaum muslimin di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Maka, untuk memahami bagaimana perkembangan kaum muslimin di Indonesia, perlu dijelaskan beberapa gerakan Islam kontemporer yang memberikan pengaruh dan warna baru bagi perjalanan kaum muslimin di Indonesia.

Gerakan Transnasional yang dimaksud adalah Ikhwanul Muslimin, Aliran-Aliran Ishlah Tarbawi, Gerakan Salafi, Hizbut Tahrir, dan Jamaah Tabligh. Penyebutan sebagian gerakan tersebut merupakan hasil kajian dari edaran milik BIN yang berjudul Gerakan Islam Transnasional dan Pengaruhnya di Indonesia, Perjalanan Gerakan Jihad yang ditulis Abu Mush’ab As-Suri, dan Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal yang ditulis oleh Shadiq Amin.

Dalam edaran BIN, disebutkan bahwa Gerakan Islam Transnasional terdiri atas Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi, Jamaah Tabligh, dan Syi’ah. Menurut Abu Mush’ab As-Suri, gerakan Islam kontemporer yang cukup berpengaruh adalah Ikhwanul Muslimin dan Gerakan yang Serupa Dengannya, Hizbut Tahrir, Aliran Ishlah Tarbawi, Jamaah Tabligh dan Dakwah, serta Gerakan Salafi. Adapun Shadiq Amin menyebutkan lima gerakan dakwah dalam bukunya: Jamaah Tabligh, Salafi, Sufi, Hizbut Tahrir, dan Ikhwanul Muslimin.

Peneliti sengaja tidak memasukan Syi’ah dan Sufi ke dalam bab ini karena sejatinya mereka adalah termasukke dalam madzhab-madzhab akidah. Karenanya mereka dimasukan ke dalam Bab I yang membahas madzhab-madzhab dalam Islam. Selain itu, Peneliti melakukan rincian terhadap gerakan Salafi, yang dalam perkembangannya mengalami perubahan-perubahan, sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Mush’ab As-Suri dan apa yang dijelaskan oleh Akram Hijazi dalam Salafi Jihadi dan Masa Depan Palestina.

(13)

Dalam bab ini Peneliti berusaha melihat diferensiasi umat Islam berdasarkan sudut pandang corak beragama dan komunikasi dakwah masing-masing kelompok. Menurut Budhy Munawar Rahman (2013), corak beragama umat Islam profesional, khususnya dalam sebuah perusahaan, terbagi ke dalam lima kategori: tradisional, puritan, fundamentalis, modern, dan liberal. Hal ini disampaikan dalam acara Studium General Program Studi Perbandingan Agama di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada Rabu (2/10/13).4 Namun, Peneliti hanya akan membahas empat kelompok saja: tradisional, puritan, modern, dan liberal. Karena istilah “fundamental” sendiri kurang sesuai dengan kondisi real yang ada di lapangan.

Selain itu Peneliti juga akan melihat diferensiasi kaum muslimin di Indonesia dari sudut pandang komunikasi dakwah masing-masing kelompok. Menurut As-Suri (2009), pendekatan dakwah gerakan Islam terbagi menjadi empat aliran: non-politik, politik, jihadi, dan aliran-aliran yang menyimpang.5Sedangkan Kuntowijoyo pernah mengeluarkan istilah Islam Kultural dan Islam Struktural untuk membedakan pendekatan dakwah gerakan Islam di Indonesia.6

Apa yang disebutkan oleh As-Suri sebagai gerakan non-politik, praktiknya terbagi dua: mereka yang melakukan pendekatan sosial-budaya (Islam kultural menurut bahasa Kuntowijoyo) dan mereka yang melakukan pendekatan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar (sebagaimana yang dilakukan oleh Salafi, Sufi, Jamaah Tabligh, dan FPI). Sedangkan apa yang disebutkan oleh As-Suri sebagai aliran politik adalah mereka yang oleh Kuntowijoyo disebut melakukan pendekatan dakwah struktural. Dari sini, Peneliti menyimpulkan bahwa komunikasi dakwah umat Islam di Indonesia terbagi ke dalam empat aliran: pendekatan sosial-budaya (kultural), pendekatan tarbiyah dan dakwah, pendekatan politik, dan pendekatan jihad.

Peneliti akan mencoba melihat kelompok-kelompok Islam dari sudut pandang tersebut agar dapat terlihat dengan jelas bagaimana warna kelompok

4Lihat http://www.lpminstitut.com/2013/10/corak-keberagamaan-dalam-dunia.html

5Maksudnya adalah mereka yang terpengaruh pemikiran khawarij dan menjadi takfiri. Namun,

aliran ini tidak akan dibahas secara khusus, melainkan akan disinggung sedikit dan digabungkan dalam pembahasan aliran jihad.

6Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bambang S. Maarif dalam kelas Mata Kuliah Fenomena

(14)

yang bersangkutan. Walaupun harus Peneliti akui bahwa gradasi masing-masing kelompok realitanya begitu nyata sehingga hampir tidak terihat batasnya.

Bab V Penutup

(15)

2.1. Diferensiasi Sosial

Dilihat dari sudut pandang bahasa, diferensiasi berasal dari bahasa Inggris “Different” yang artinya berbeda, perbedaan, atau membeda-bedakan. Adapun secara istilah maksudnya adalah klasifikasi terhadap perbedaan atau yang sejenis dalam kehidupan manusia. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto diferensiasi sosial merupakan variasi pekerjaan prestise akan kekuasaan kelompok dalam masyarakat.7

Diferensiasi sosial adalah perbedaan individu atau kelompok dalam masyarakat yang tidak menunjukkan adanya suatu tingkatan (hierarkis). Dengan kata lain, tidak ada gologan dari pembagian tersebut yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi ataupun yang lebih rendah.Menurut Kamus Sosiologi, diferensiasi adalah klasifikasi atau penggolongan terhadap perbedaan-perbedaan tertentu yang biasanya sama atau sejenis.8

Dari pengertian-pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa diferensiasi sosial bermakna perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat, yang disebabkan oleh perbedaan ciri fisik, sosial, atau budaya.

Di antara jenis diferensiasi sosial adalah diferensiasi agama.Yakni perbedaan yang disebabkan perbedaan keyakinan terhadap ajaran tertentu. Secara lebih jauh, diferensiasi juga terjadi dalam sebuah ajaran agama. Dalam Islam, dikenal dengan istilah madzhab-madzhab yang menjadi pembeda antara satu golongan kaum muslimin dengan golongan yang lain. Baik madzhab dalam masalah akidah (firqah) atau madzhab dalam masalah fikih.

2.2. Madzhab Akidah (Firqah)

Madzhab (bahasa arab: بهذم, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama

7Lihat http://widy-mutiarahati.blogspot.com/2012/01/diferensiasi-sosial.html

(16)

dan ahli agama Islam, yang dinamakan madzhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan Penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.9

Adapun akidah (Bahasa Arab: ُةَدْيِقَعْلَا; transliterasi: Aqidah), dalam istilah Islam berarti iman atau kepercayaan. Semua sistem kepercayaan atau keyakinan bisa dianggap sebagai salah satu akidah. Pondasi akidah Islam didasarkan pada Hadits Jibril, yang memuat definisi Islam, Rukun Islam, Rukun Iman, Ihsan dan peristiwa hari akhir.10

Akidah dari segi bahasa berarti simpulan iman ataupun pegangan yang kuat atau satu keyakinan yang menjadi pegangan yang kuat. Sedangkan akidah dari sudut istilah ialah kepercayaan yang pasti dan keputusan yang tidak bercampur dengan syak atau keraguan di dalamnya.Akidah Islam ialah kepercayaan dan keyakinan terhadap Allah sebagai rabb11 dan ilaah12 serta

beriman dengan nama-nama-Nya dan segala sifat-sifat-Nya juga beriman dengan adanya Malaikat, kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhirat dan beriman dengan takdir Allah, baik atau buruk termasuk segala apa yang datang dari Allah.13

Perbedaan dalam permasalahan akidah di tengah-tengah umat Islam terjadi sejak masa para Sahabat. Tepatnya pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib. Pada masa itu, muncul dua golongan yang berawal dari perbedaan sikap politis, Khawarij dan Syi’ah, yang kemudian berkembang menjadi madzhab dalam masalah akidah. Setelah itu muncul kemudian Murji`ah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Asy’ariyah, dan lainnya.

Madzhab-madzhab dalam akidah tidak lazim disebut madzhab, melainkan biasa disebut dengan istilah firqah. Karena untuk membedakan dengan madzhab-madzhab fikihyang lebih lazim menggunakan istilah madzhab-madzhab.

Arti bahasa dari kata firqah atau iftiraaq adalah perpecahan atau perpisahan. Dari sudut pandang syar’i adalah keluar dari manhaj yang benar

9Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Madzhab 10Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Aqidah

11Rabb, yakni Allah sebagai subjek mutlak yang mengatur alam semesta. Dia adalah Pencipta,

Yang Menghidupkan, Mematikan, Penguasa dan Pengatur Alam Semesta (Raja Diraja).

12Ilaah maknanya sesembahan. Dalam hal ini Allah sebagai objek yang disembah. Laa ilaaha illallah maknanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah.

(17)

dalam mengerti dan menitiagama Islam dan masuk ke manhaj yang baru (HASMI: tanpa tahun). Istilah firqah juga telah disampaikan oleh Rasulullah dalam beberapa riwayatnya, di antaranya sabda beliau,

يإف اَََهّلُك ًةَق ْرإف ََنْيإعْبَسَوٍثَلَث ىَلَع ُقإرَتْفَتَس ْيإتّمُأ ّنإإَو

؟إهََللا َلْو ُ

ََس َر اَََي َيإه ْنَمَو :اْوُلاَََق .ًةَدََإحاَو ّلإإ إراّنلا

يإباَحْصَأَو إهْيَلَع اَنَأ اَم :َلاَق ةياور يفو ُةَعاَمَجْلا:َلاَق

Artinya: Sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu saja. Para Sahabat bertanya : Siapakah golongan yang selamat itu wahai Rasulallah? Rasulullah menjawab : Al Jamaa’ah. Dalam riwayat yang lain: Apa yang aku dan para Sahabatku berada di atasnya.14

Dengan kata lain, golongan yang selamat (firqatun najiyah) sebagaimana yang Rasulullah kabarkan adalah mereka yang mengikuti As-Sunnah beliau dan para sahabatnya (secara istilah disebut Ahlus Sunnah) dan mereka yang mengikuti Al-Jamaah (Ahlul Jamaah). Dari sinilah kemudian muncul istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah, sering disingkat Ahlus Sunnah atau Aswaja. Hakikat kelompok ini diperebutkan oleh firqah-firqah yang ada. Masing-masing firqah mengklaim mereka adalah Ahlus Sunnah yang selamat dari siksa neraka.

Ancaman tersebutberlaku secara umum bahwa 72 golonganitu harus memasuki neraka terlebih dahulusebelum memasuki jannah (selama perbedaan mereka dalam akidah tidak sampai derajat kufur yang mengakibatkan mereka murtad). Tetapi hal ini tidak menyangkal adanya orang-orangdari golongan-golongan tersebut yang terampuni,sehingga tidak harus masuk neraka terlebih dahulu,yang demikian itu karena kapasitas penyimpangan dan sebab-sebab penyimpangan mereka bermacam-macamdan berbeda-beda. Demikian juga hasanah (kebaikan)mereka pun bertingkat-tingkat, di samping semuadosa selain syirik akan berada di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, dosa-dosa itu akan diampuni, dan jika Allah tidak menghendaki untuknyaampunan maka si pendosa harus dicuci dineraka terlebih dahulu (HASMI: tanpa tahun).

14Hadits seperti ini datang dari lebih dari 10 jalur periwayatan dengan redaksi yang sedikit

(18)

2.3. Madzhab Fikih

Fikih menurut bahasa berarti “paham”.15Dalam prakteknya, istilah fikih ini lebih banyak digunakan untuk ilmu agama secara umum, dimana seorang yang ahli di bidang ilmu-ilmu agama sering disebut sebagai faqih, sedangkan seorang yang ahli di bidang ilmu yang lain, kedokteran atau arsitektur misalnya, tidak disebut sebagai faqih atau ahli fikih.

Istilah fiqih pada masa awal dahulu bermakna mutlak (umum) untuk ilmu akhirat, pengetahuan kehalusan dan kerusakan jiwa, kemulian akhirat dan kehinaan dunia.16 Namun kemudian mengalami penyempitan makna dan membatasi pada hukum-hukum amaliyah saja. Artinyafikih merupakan formulasi dari Al-Quran dan As-Sunnah yang dilakukan oleh para ulama dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fikih yang berbentuk hukum amaliyah yang akan diamalkan oleh umatnya.17

Bila kita memperhatikan kitab-kitab fikih yang mengandung hukum-hukum syariat, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian.Semuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Perinciannya adalah sebagai berikut:

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, Salat, puasa, haji dan yang lainnya. Ini disebut dengan Fikih Ibadah.

2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Ini disebut dengan Fikih Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah.

3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Ini disebut Fikih Muamalah.

4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syariat, serta yang berkaitan dengan

(19)

kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya,yang disebut dengan Fikih Siyasah Syar’iyah.

5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Ini disebut Fikih Al ‘Uqubaat.

6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Ini dinamakan dengan Fikih As-Siyar.

7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk, yang dikenal dengan istilah adab dan akhlak.

Madzhab-madzhab fikih dalam dunia Islam sangat banyak. Namun, yang masyhur dan masih bertahan sampai kini hanya sedikit sekali. Di antaranya madzhab Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah yang hingga kini banyak dianut oleh kalangan Sunni serta madzhab Ja’fariyah yang kini hanya dianut oleh kalangan Syi’ah. Ditambah dengan madzhab talfiq atau talfiq madzhab yang belakangan banyak dianut oleh aktivis Islam. Adapun yang populer dan berkembang di Indonesia adalah Syafi’iyah, Hanabilah, madzhab talfiq, dan Ja’fariyah. Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah kurang populer dan kurang mendapat tempat di tengah-tengah kaum muslimin Indonesia.

2.4. Gerakan Islam Transnasional

Suwari (2013) mengatakan bahwa istilah ideologi transnasional ini dipopulerkan pertama kali oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Muzadi, sejak pertengahan 2007 silam. Istilah itu merujuk pada ideologi keagamaan lintas negara yang sengaja diimpor dari luar dan dikembangkan di Indonesia.

(20)

sel-selnya tanpa batas dan sekat geografis atau politis.Dalam edaran ini, BIN (halaman 4) mengemukakan beberapa ciri gerakan Islam transnasional:

1. Bersifat transnasional.

2. Ideologi gerakan tidak lagi bertumpu pada konsep nation-state, melainkan konsep umat.

3. Didominasi oleh corak pemikiran skripturalis (puritan, pen.), fundamentalisme atau radikal.

4. Secara parsial mengadaptasi gagasan dan instrumen modern

Dari beberapa penjelasan di atas, gerakan Islam transnasional merupakan gerakan kebangkitan Islam di Timur Tengah yang menyebarkan pahamnya ke seluruh negara kaum muslimin. Hal ini juga senada dengan Penelitian yang dilakukan SETARA Institute (Hasani: 2010: 29) yang menyatakan bahwa gerakan Islam transnasional adalah gerakan Revivalisme Islam Timur Tengah.

Adapun gerakan-gerakan yang termasuk ke dalam gerakan Islam transnasional menurut BIN (halaman 5) adalah:

1. Ikhwanul Muslimin (IM), 2. Hizbut Tahrir (HT), 3. Jihadi,

4. Salafi Dakwah dan Salafi Sururi, 5. Jama’ah Tabligh, dan

6. Syi’ah.

Dalam makalah ini, Peneliti tidak memasukkan Syi’ah ke dalam gerakan Islam transnasional.Hal ini disebabkanpertimbangan Peneliti yang menilai bahwa Syi’ah termasuk ke dalam salah satu madzhab akidah yang dibahas pada bab tersendiri.

2.5. Corak Beragama

(21)

Hal ini tidak jauh berbeda dengan pra penelitian yang dilakukan oleh penulis di lapangan. Artinya, apa yang disampaikan oleh Rahman tidak hanya terjadi dalam sebuah perusahaan saja melainkan juga terjadi dalam kehidupan masyarakat secara lebih luas. Namun, istilah “fundamentalisme” tidaklah begitu tepat untuk diterapkan kepada Islam karena istilah ini diambil dari Kristen yang memiliki konteksnya sendiri, yang berarti seseorang yang percaya dasar-dasar dari Bibel dan Kitab Suci. Dalam pengertian ini, setiap Muslim bisa dikatakan seorang “fundamentalis” karena mereka percaya kepada dasar-dasar fundamental dari Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi (Rusli, 2009: 106). Maka, bila kita jujur dengan makna tersebut harusnya kelompok “non fundamental” adalah mereka yang tidak mempercayai dasar-dasar dalam Islam, yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi. Sedangkan kelompok-kelompok Islam, baik tradisional, puritan, modernis, dan liberal, semuanya masih mempercayai dasar-dasar tersebut.

Oleh karena itu, Peneliti tidak akan membahas “fundamentalisme Islam” sebagai kelompok yang terpisah dari yang lain. Adapun bila yang dimaksud “fundamental” adalah gerakan Islam yang berusaha untuk menumbuhkan kesadaran untuk meningkatkan keberagamaan secara individual dan kolektif serta mengembalikan semua permasalahan kepada ajaran Islam yang murni, maka lebih tepat bila dikatakan sebagai gerakan “purifikasi Islam” atau Islam Puritan. Beberapa gerakan Islam menggunakan kalimat “tashfiyah” (pemurnian) untuk menggambarkan corak tersebut.

Pemetaan semacam ini dilakukan untuk melihat bagaimana umat Islam menjalankan keyakinan dan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Dari sini pula kita bisa menilai mana yang lebih tepat dengan kondisi realita yang ada dan mana yang kurang tepat. Kita juga dapat menganalisis lebih jauh mana corak yang dapat memberikan nilai positif bagi Islam dan kaum muslimin serta sebaliknya.

2.6. Komunikasi Dakwah

(22)

dan Sunnah, dengan tujuan agar orang lain dapat berbuat amal saleh sesuai dengan pesan-pesan yang disampaikan.

Masing-masing gerakan atau organisasi Islam memiliki pendekatan dan karakteristik yang berbeda dalam menjalankan aktivitas dakwahnya. Menurut As-Suri(2009), pendekatan dakwah gerakan Islam terbagi menjadi empat aliran: non-politik, non-politik, jihadi, dan aliran-aliran yang menyimpang. Sedangkan Kuntowijoyo pernah mengeluarkan istilah Islam Kultural dan Islam Struktural untuk membedakan pendekatan dakwah gerakan Islam di Indonesia.

Apa yang disebutkan oleh As-Suri sebagai gerakan non-politik, praktiknya terbagi dua: mereka yang melakukan pendekatan sosial-budaya (Islam kultural menurut bahasa Kuntowijoyo) serta mereka yang melakukan pendekatan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar (sebagaimana yang dilakukan oleh Salafi, Sufi, Jamaah Tabligh, dan FPI). Sedangkan apa yang disebutkan oleh As-Suri sebagai aliran politik adalah mereka yang oleh Kuntowijoyo disebut melakukan pendekatan dakwah struktural. Dari sini, Peneliti menyimpulkan bahwa komunikasi dakwah umat Islam di Indonesia terbagi ke dalam empat aliran: pendekatan sosial-budaya (kultural), pendekatan tarbiyah dan dakwah, pendekatan politik, dan pendekatan jihad.

(23)

KONDISI UMAT ISLAM DI INDONESIA

3.1. Madzhab-Madzhab Aqidah (Firqah) 3.1.1. Ahlul Hadits/ Ahlul Atsar

Ditinjau dari sudut pandang bahasa, ahlul hadits atau ahlul atsar artinya orang yang memegang teguh hadits Nabi atau atsar para Sahabat.18 Golongan ini berpendapat bahwa keselamatan hanya akan diraih dengan berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah dan keyakinan para Sahabatnya, baik dalam permasalahan akidah, ibadah, atau akhlak.

Ulama yang mengangkat dan disebut-sebut sebagai orang yang paling berjasa dalam menyebarkan istilah ini adalah Ibn Taymiyah. Dalam Majmu’ Fatawa (3/347) ia mengatakan,

Manusia yang lebih berhak menjadi golongan yang selamat adalah Ahlul Hadits dan As-Sunnah. Mereka tidak memiliki panutan yang diikuti kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka manusia yang paling mengetahui perkataannya dan perbuatan Nabi. Mereka manusia yang paling membedakan antara hadits yang shohih dan yang lemah. Para imam hadits adalah ulama’ yang faqih, mereka adalah manusia yang paling memahami makna hadits dan mengikutinya dengan keyakinan, perbuatan, kecintaan dan loyalitas kepada siapa yang loyalitas terhadap As-Sunnah. Mereka memusuhi siapa yang memusuhi As-Sunnah, yaitu orang-orang yang menolak nash-nash yang bersifat global yang datang dari Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka bukanlah orang yang mengambil perkataan, lalu menjadikannya sebagai dasar agama dan keyakinan mereka, walaupun tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasul, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang menjadikan seluruh apa yang dibawa Rasul dari Al-Quran dan As-Sunnah sebagai dasar yang mereka yakini dan jadikan sandaran.

Ciri khas pemahaman Ahlul Hadits adalah mengikuti pemahaman para sahabat Nabi dalam menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah, serta tidak menafsirkan kata-kata yang memang tidak ditafsirkan oleh pada Sahabat atau Tabi’in. Misalnya, kata “yadullah” tangan Allah atau “wajhullah” wajah Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah, golongan Ahlul Hadits menetapkan semua itu bagi Allah dengan meyakini bahwa semua itu sesuai

18Hadits adalah ucapan, akhlak, perbuatan, dan persetujuan Nabi, sedangkan atsar adalah ucapan,

akhlak, perbuatan, dan persetujuan para Sahabat.

(24)

dengan kesucian dan ketinggian Allah, serta tidak sama dengan makhluk-Nya. Hal ini disebabkan, para sahabat ataupun para ulama setelahnya tidak menafsirkan kalimat tersebut, melainkan mereka mendiamkannya dan meneyerahkan hakikat maknanya kepada Allah saja.

Sebelum Ibn Taymiyah, ulama yang berperan menyebarkan pemahaman ini adalah Ahmad ibn Hanbal, pendiri madzhab Hanbali dan puteranya Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal. Ia yang kemudian menuliskan fatwa-fatwa ayahnya dan menyebarkannya. Para ulama Ahlul Hadits selalu menyandarkan keyakinannya kepada para ulama terdahulu (ulama salaf). Karenanya, mereka juga dikenal dengan nama madzhab salaf. Dari kalangan madzhab Syafi’i, mereka menyandarkan pendapatnya kepada Abul Hasan Karji, Abu Hamid Al-Isfirayini, dan Abu Ishaq Asy-Syirazi. Dari kalangan madzhab Hanafi, mereka menyandarkan pendapatkan kepada Abu Ja’far Ath-Thahawi, yang merangkum keyakinan Ahlul Hadits dalam kitabnya yang dikenal dengan nama “Aqidah Thahawiyah”, dan Ibn Abil ‘Izz Al-Hanafi, yang kemudian memberikan penjelasan kitab Aqidah Thahawiyah.

Adapun dari kalangan madzhab Maliki, para ulama yang dijadikan sandaran di antaranya Ibn Abdil Barr Al-Maliki dan Ibn Khuwaiz Mindaz. Lebih dari itu, golongan Ahlul Hadits berpendapat bahwa inilah keyakinan yang dianut oleh keseluruhan para sahabat dan para ulama setelahnya dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Fudhail ibn Iyadh, Malik ibn Anas (pendiri madzhab Maliki), dan Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i (pendiri madzhab Syafi’i).

Tokoh-tokoh kemudian yang menganut keyakinan Ahlul Hadits selain Ibn Taymiyah di antaranya IbnQayimAl-Jawziyah, dan Muhammad ibn Abdul Wahab. Pada masa dakwah Muhammad ibn Abdul Wahab, orang-orang yang berpandangan negatif terhadap paham ini menyebut madzhab Ahlul Hadits sebagai Wahhabi, yang dinisbatkan kepada Muhammad ibn Abdul Wahab. Istilah Wahhabi sendiri merupakan celaan yang ditujukan kepada Muhammad ibn Abdul Wahab dan para pengikutnya. Hal ini disebabkan cara-cara mereka yang dianggap frontal terhadap pelaku TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat).19Paham ini

19Kebanyakan tuduhan yang diarahkan kepada Muhammad ibn Abdul Wahab tidak bisa dibuktikan

(25)

kemudian menyebar di wilayah Hijaz dan disebarkan oleh para ulama Hanabilah kontemporer seperti Abdullah ibn Abdul Aziz ibn Bazz, Muhammad ibn Shalih Al-Utsaymin, dan Nashiruddin Al-Albani.

Paham Ahlul Hadits disebut-sebut telah masuk ke Indonesia pada masa Imam Bondjol, dimana ia adalah orang yang cukup keras dan tegas dalam menolak paham-paham di luar Islam. Baik berasal dari kebudayaan setempat atau ajaran agama lain. Namun, semua itu butuh Penelitian ulang mengingat belum ada catatan sejarah yang detail mengenai hal ini.

Paham Ahlul Hadits sendiri mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan banyaknya para pelajar dari Indonesia yang menuntut ilmu ke wilayah Arab, khususnya di Makkah dan Madinah. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintahan Saudi Arabia secara resmi menganut paham Ahlul Hadits dalam masalah akidah dan madzhab Hanabilah dalam masalah fikih.

Selain itu, berdirinya beberapa lembaga pendidikan seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) atau beberapa Ma’had yang disokong oleh pemerintahan dan para ulama Saudi semakin memperluas penyebaran madzhab Ahlul Hadits. Bahkan beberapa tahun terakhir, lembaga pendidikan, organisasi, atau yayasan yang mengikuti paham ini semakin banyak bermunculan. Sebut saja misalnya Yayasan Al-Huda di Bogor, yang menginisiasi berdirinya Harakah Sunniyah untuk Masyarakah Islam (HASMI), atau Yayasan Al-Sofwa di Jakarta yang telah lama bekerjasama dengan Saudi Arabia dalam rangka pertukaran pelajar dan mengisiasi masuknya para ulama Timur Tengah untuk memberikan ta’lim di Indonesia. Di luar Jawa ada Yayasan Fathul Mu’in di Makassar yang menginisiasi berdirinya Wahdah Islamiyah (WI), Ma’had As-Sunnah di Makassar, Yayasan AnshorusAs-Sunnah di Batam, dan masih banyak lagi yayasan, ma’had, atau organisasi berbasis madzhab Ahlul Hadits yang tersebar di seluruh Nusantara.

(26)

3.1.2. Asy’ariyah

Mereka adalah pengikut Abul Hasan Ali ibn Isma’il Al-Asy’ari (wafat th. 324 H). Sebelumnya ia menganut pemahaman Mu’tazilah selama 40 tahun, kemudian berpindah kepada paham Ibn Kullab yang menetapkan sebagian sifat-sifat Allah dan mentakwil sebagian yang lain. Setelah itu menjelang akhir hayatnya ia kembali kepada pemahaman Salaf (Ahlul Hadits) dan menulis kitab Al-Ibanah dan Maqalaatul Islamiyyin. Pada kedua kitab tersebut disebutkanbahwa ia mengikuti pendapat Ahmad ibn Hanbal, dan pendapatnya mengikuti semua pendapat Ahmad. Namun, para pengikutnya mengambil pemahaman Abul Hasan yang masih menganut paham Ibn Kullab dan menisbatkan pemahaman tersebut kepadanya, sehingga mereka menamakan diri dengan Al-Asyaa’irah atau Al-Asy’ariyah (Al-Syahrastani, 1992: I/ 81).

Para pengikut Asy’ariyah sendiri meragukan kebenaran kitab Al-Ibanah. Mereka berpendapat bahwa buku tersebut telah mengalami perubahan dari para kelompok Ahlul Hadits (yang lebih sering disebut Wahhabi oleh mereka)dan dipalsukan atas nama Abul Hasan Al-Asy’ari.20 Namun pendapat tersebut dibantah oleh para pengikut Ahlul Hadits.21 Jadi, pengikut Asy’ariyah berpendapat bahwa Abul Hasan tidak pernah mengikuti paham Ahlul Hadits, sebagaimana yang disebutkan oleh para pengikut Muhammad ibn Abdul Wahab. Bahkan, mereka menyatakan bahwa paham ulama salaf bukanlah sebagaimana yang diyakini oleh golongan Ahlul Hadits, melainkan apa yang diyakini oleh Asy’ariyah.

Di antara paham Asy’ariyah yang membedakan antara mereka dengan Ahlul Hadits adalah dalam permasalahan nama dan sifat Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Bila Ahlul Hadits menerima kata-kata seperti “yadullah” atau “wajhullah”, maka Asy’ariyah memilih untuk mentakwil maknanya (mengalihkan maknanya) kepada sesuatu yang dianggap lebih sesuai dengan kebesaran dan kesucian Allah. Maka, mereka menafsirkan “yadullah” sebagai “kekuatan” dan “wajhullah” sebagai Dzat Allah. Hal ini disebabkan

20Lihat

https://salafytobat.wordpress.com/category/salafywahaby-palsukan-kitab-al-ibanah-imam-al-asyari/, http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/04/pemalsuan-kitab-al-ibanah-imam-abu-hasan-al-asyariy/

21Lihat

(27)

kehati-hatian mereka agar tidak terjebak pada menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.22

Organisasi Islam di Indonesia yang resmi menganut madzhab Asy’ariyah dalam masalah akidah adalah Nahdlatul Ulama (NU).23 NU mengakui bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah bukanlah madzhab Ahlul Hadits yang disebarkan oleh Ibn Taymiyah atau Muhammad ibn Abdul Wahab (mereka menyebutnya Wahhabi). Menurut NU, madzhab akidah yang layak mendapatkan gelar Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah madzhab Asy’ariyah. Karenanya, secara resmi NU menganut madzhab Asy’ariyah, yang dikombinasikan dengan Maturidiyah24 dalam masalah akidah, mengikuti salah satu Tarekat Sufiyah dalam permasalahan tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dan mengikuti salah satu dari empat madzhab yang diakui ulama Sunni: Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah dalam permasalahan fikih. Dalam praktiknya, masyarakat Nahdliyin (sebutan bagi para pengikut NU) lebih memilih madzhab Syafi’iyah dalam masalah fikih.

Selain NU, hampir sebagian besar organisasi dan gerakan Islam di Indonesia berbasis pada madzhab Asy’ariyah-Maturidiyah dalam masalah akidah. Persis dan Muhammadiyah misalnya. Walaupun kedua ormas tersebut memiliki perbedaan gaya beragama dengan NU, namun dari sisi pemahaman akidah mereka memiliki kesamaan dengan NU. Namun, karena Persis dan Muhammadiyah cenderung lebih terbuka dengan madzhab yang lain, maka pengaruh-pengaruh Ahlul Hadits -dengan mengkaji kitab-kitab Ibn Taymiyah atau Muhammad ibn Abdul Wahab- dan Mu’tazilah -yang menjadikan landasan ilmu logika mereka-juga mudah masuk.

Selain itu, secara organisatoris tidak ada ketentuan dari kedua ormas tersebut bahwa kader-kadernya harus menuntut ilmu di tempat tertentu, sehingga beberapa kader mereka yang menuntut ilmu di Timur Tengah membawa warna baru saat kembali ke tanah air. Hal ini berbeda dengan NU yang cenderung

22Lihat

http://muslimsumbar.wordpress.com/2012/04/13/sejarah-istilah-ahlus-Sunnah-wal-jamaah-meluruskan-pemahaman-habib-rizieq-shihab/,

http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/09/22/madzhab-asyariyah-ahlus-Sunnahkah/

23Lihat http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,7-t,paham+keagamaan-.phpx 24Tidak ada perbedaan yang signifikan antara madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah. Keduanya

(28)

tertutup dalam permasalahan pemikiran. Bahkan, kebanyakan kader NU benar-benar harus memilah dan memilih tempat mana yang benar-benar-benar-benar layak untuk dijadikan tempat menuntut ilmu. Sampai saat ini Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Al-Ahgaf di Yaman menjadi pilihan utama para kader NU. Kedua universitas tersebut dianggap relatif “aman” untuk menjaga akidah Asy’ariyah. Khusus Universitas Al-Ahgaf, mereka memang secara resmi menganut akidah Asy’ariyah.

Walaupun demikian, belakangan generasi muda NU justru sangat dipengaruhi oleh Mu’tazilah, terbukti bahwa di antara mereka bergabung dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Hal ini merupakan akibat dari banyaknya kader NU yang juga mulai membuka diri dengan pemikiran Barat, baik dengan menuntut ilmu di Barat atau mengkaji pemikiran-pemikiran mereka. Akhirnya sebagian di antara mereka ada yang lebih memprioritaskan akal dibandingkan wahyu.

Beberapa organisasi Islam yang lain, seperti Darul Islam (DI) dan Al-Irsyad Al-Islamiyah juga berbasis madzhab Asy’ariyah dalam masalah akidah. Namun, dalam perkembangannya ada sebagian tokoh mereka yang sangat terpengaruh madzhab Ahlul Hadits yang kemudian berusaha mengubah warna organisasi tersebut. Usaha itu tidak sepenuhnya berhasil. Akibatnya terjadi perpecahan atau pemisahan diri, seperti yang dilakukan oleh Abdullah Sunkar dan Abu Bakr Ba’asyir saat memisahkan diri dari DI dan membentuk Jamaah Islamiyah (JI) pada awal 1990-an. Sedangkan Al-Irsyad hari ini terpecah menjadi dua kubu, kubu Asy’ariyah yang cenderung tradisional dan kubu Ahlul Hadits yang cenderung modern.

3.1.3. Khawarij

Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibn Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jamaah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Nama Khawarij berasal dari kata “kharaja” berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.25

25Ibn Abi Bakar Ahmad al-Syahratani, al-Milal wa al-Nihal, Dar al-Fikr, Libanon, Beirut, tt. Hlm.

(29)

Khawarij adalah golongan politik yang menolak sikap Ali ibn Abi Thalib dalam menerima paham penyelesaian sengketa antara Ali sebagai Khalifah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang menuntut Khalifah.Meskipun mereka semula adalah pengikut Ali, tetapi akibat politik penolakan mereka atas sikap Ali dalam paham itu.

Mereka lalu keluar dari kelompok Ali dan membentuk golongan sendiri yang dikenal golongan Khawarij. Golongan ini disebut juga dengan nama Haruriyah, karena mereka berjumlah 12.000 orang itu memisahkan diri dari Ali menetapkan pimpinan baru disuatu kampung yang bernama Harura yang terletak didekat kota Kufah, Irak. Dalam pertempuran dengan pasukan Ali,Khawarij mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seorang Khariji bernama Abd AlRahman Ibn Muljam dapat membunuh Ali.26

Berkenaan dengan keyakinan orang-orang Khawarij, Harun Nasution27 mengidentifikasi beberapa ciri yang dapat dikategorikan sebagai aliran Khawarij atau minimal terpengaruh pemikiran Khawarij, yaitu:

1. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.

2. Islam yang benar adalah Islam yang mereka pahami dan amalkan.

3. Orang-orang islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali pada Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang seperti mereka pahami dan amalkan.

4. Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri. 5. Mereka bersifat fanatik dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan

kekerasan dan membunuh untuk tujuan mereka.

Saat ini sepertinya sulit menemukan golongan yang murni menganut madzhab Khawarij dalam masalah akidah. Namun, golongan yang terpengaruh madzhab ini sangat banyak. Awal perkembangan golongan ini dalam dunia gerakan kontemporer bermula di Mesir pada sekitar tahun 1960-1970. Saat penguasa Mesir semakin represif, para aktivis Islam, yang sebagian besarnya

Lentera. Cet I. Bandung, 1993, hlm. 5.

26 http://abasawatawalla01.blogspot.com/2013/06/sejarah-dan-pemikiran-aliran-Khawarij.html 27 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.Jakarta: Univesitas

(30)

merupakan anggota Ikwhanul Muslimin mengalami penyiksaan, pemenjaraan, dan kekerasan lainnya. Efeknya, sebagian di antara mereka ada yang bekerjasama dengan pemerintah Mesir dan dilabeli pengkhianat oleh aktivis yang lain. Sedangkan sebagian lainnya justru semakin kuat memegang teguh keyakinannya, bahkan mengarah kepada sikap ekstrem dalam beragama dan beraktivitas.

Beredarnya buku-buku akidah dan jihad pada saat itu merupakan berkah tersendiri bagi gerakan Islam. Sayangnya, buku-buku tersebut kemudian banyak dikaji oleh mereka yang memiliki kecenderungan ekstrem dalam beragama, sekaligus tidak memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.Sehingga sangat berpotensi memunculkan distorsi pemahaman. Saat itulah kemudian muncul gerakan yang disebut sebagai “Jamaah Hijrah wat Takfir (JHT).”

JHT sendiri kebanyakan merupakan mantan aktivis Ikhwanul Muslimin, bahkan salah satu tokohnya Syukri Mustafa merupakan anggota aktif IM yang kemudian dikeluarkan karena memiliki paham yang berbeda dengan IM. Ciri khas JHT adalah mengkafirkan pemerintahan yang zhalim dan mengkafirkan orang-orang yang tidak berada di golongan mereka. Khususnya orang-orang-orang-orang yang tidak mau ikut serta dalam memerangi pemerintahan. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk membunuh orang-orang yang telah divonis murtad-kafir tadi.

Pemikiran ini terus berkembang hingga kini. Di Indonesia, pemikiran ini menyebar di kalangan aktivis DI dan organisasi turunannya, seperti Jamaah Muslimin (Hizbullah), Khilafatul Muslimin (Khilmus), dan NII KW-IX Al Zaytun. Pemikiran ini juga mempengaruhi organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang sebelumnya bernama Islam Jamaah dan Lemkari.

(31)

Penyebaran paham tersebut sangat meresahkan aktivis Islam, karena di antara akibat dari paham tersebut adalah mudahnya mereka menumpahkan darah kaum muslimin. Bagi orang-orang yang tidak mengidentifikasi golongan ini dengan baik, maka biasanya ia akan terjebak dalam menyamaratakan gerakan SalafiJihadi atau menyamaratakan golongan yang berbasis pada pemikiran Ahlul Hadits (Wahhabi) sebagai kelompok Takfiri.28 Lebih jauh, orang-orang awam akan menyamaratakan seluruh aktivis Islam sebagai orang yang keras dan haus darah.

3.1.4. Murji`ah

Nama Murji`ah diambil dari kata irja atau arja`a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja`a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja`a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji`ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.

Aliran Murji`ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran Khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim dihadapan Allah, karena hanya Allah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula seorang mukmin yang melakukan dosa besar. Mereka masih dianggap mukmin di kalangan Murji`ah.

Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji`ah adalah:

1. Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan ini tidak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal dan sulit diterima kalangan Sunni secara

28Sebutan bagi kelompok yang mudah mengkafirkan orang lain. Hal ini digunakan oleh para

(32)

umum, karena iman dan amal perbuatan dalam Islam merupakan satu kesatuan.

2. Selama meyakini dua kalimah syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tidakdivonis murtad. Hukuman terhadap perbuatan manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang berhak menjatuhkannya di akhirat.29

Dalam perkembangannya, Murji`ah juga mengalami perpecahan dan perbedaan pendapat internal. Karenanya kemudian terjadi pemilahan yang dikenal dengan istilah Murji`ah fuqaha atau Murji`ah Sunnah, Murji`ah moderat, dan Murji`ah ekstrem.

Pemikiran Murji`ah Ekstrem dianggap telah keluar dari Islam karena penyimpangan mereka terlalu jauh. Bahkan hingga terjadi penolakan mereka terhadap ayat-ayat Al Qur`an. Sedangkan Murji`ah Moderat masih diakui sebagai bagian dari kaum muslimin namun tidak dimasukan sebagai bagian dari kaum Sunni.

Murji`ahSunnah atau disebut juga Murji`ah Fuqaha merupakan pemikiran Murji`ah yang paling pesat berkembang. Murji`ah ini masih dianggap bagian dari Sunni. Salah satu tokohnya, Abu Hanifah juga dikenal sebagai ulama besar di kalangan Sunni. Akibatnya, para ulama Sunni baik dari kalangan Ahlul Hadits maupun Asy’ariyah-Maturidiyah banyak dipengaruhi oleh pemahaman Murji`ahAs-Sunnah.

Menurut Abu Mush’ab As-Suri (2009: 44), doktrin Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan ulama penguasa, yaitu saat sistem monarki lahir dan sistem khilafah lenyap. Di sini, terjadi pemisahan antara penguasa dan Al-Quran.Akidah ini secara ringkas bisa digambarkan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan pernyataan dengan lisan saja. Para penganut doktrin ini tidak memasukkan amal dari bagian makna iman.

Pemahaman ini sangat mendukung keberadaan para penguasa yang zhalim, karena mereka berpendapat bahwa kezhaliman tersebut tidak akan membahayakan keimanan seseorang. Artinya, sezhalim apapun seseorang,masih dianggap seorang muslim mukmin. Padahal para ulama Sunni sepakat bahwa ada

(33)

amalan-amalan tertentu yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran dan mengakibatkan murtad.

Adapun pada masa kini, beberapa golongan yang terpengaruh pemikiran Murji`ah adalah sebagian kelompok SalafiKonvensional, yakni mereka yang berafiliasi kepada Ali Hasan Al-Halabi (Markaz Al-Albani, Yordania) dan Rabi ibn Hadi Al-Madkhali (Ulama Madinah yang pindah ke Yaman). Dua aliran Salafi ini telah mendapatkan teguran yang keras dari Lajnah Daimah Saudi Arabia.30 Bahkan Lajnah telah mengeluarkan fatwa khusus yang menyatakan bahwa Al-Halabi dan Al-Madkhali memang terpengaruh pemikiran Murji`ah.31

Selain dua aliran Salafi yang telah disebutkan, paham Murji`ah juga mempengaruhi akidah dan keyakinan Taqiyudin An-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir. Dalam masalah iman, An-Nabhani(2003: 30-32) menyatakan bahwa amal apapun tidak akan memengaruhi keimanan seseorang. Ia juga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan iman adalah tashdiqul jazim (keyakinan yang kuat), adapun amalan bukan termasuk bagian dari keimanan itu sendiri.

3.1.5. Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam Islam yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis Islam (‘aqlaniy), di samping Maturidiyah Samarkand. Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan dan khalifah Hisyam Ibn Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil ibn Atha’.

Kemunculan Mu’tazilah diawali dari sebuah majlis ta’lim Hasan Bashri, dimana dalam satu kesempatan ada seseorang yang bertanya kepada Al-Hasan mengenai kondisi Ali ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah, serta kaitannya dengan hukum pelaku dosa besar. Hal ini ditanyakan karena pada saat itu telah berkembang aliran Khawarij dan Murji`ah yang saling bertolak belakang.

30Majelis Ulama Arab Saudi

31Mengenai penjelasan lebih jauh tentang gerakan Salafi dan Murji`ah, lihat Anung Al Hamat, Mewaspadai Penyimpangan Neo Murji`ah. Bekasi: FS3I, dan Mut’ab ibn Suryan Al ‘Ashimi,

(34)

Belum sempat Al-Hasan menjawab, tiba-tiba Washil ibn Atha menjawab bahwa bahwa muslim yang melakukan dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, atau yang dikenal dengan istilah “fii manzilah bayna manzilatain”. Sedangkan Al-Hasan sendiri berpendapat bahwa seorang muslim pelaku dosa besar masih mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan Mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Yakni keluar dari majlis Al-Hasan dan keluar dari perselisihan Khawarij dan Murji`ah.

Dalam perkembangannya, para pengikut Mu’tazilah lebih mengedepankan akal sebagai sumber hukum. Akibatnya, mereka juga disebut sebagai aqlaniy (pemuja akal) oleh orang-orang yang bersebrangan dengan mereka. Doktrin merekalah yang kemudian melahirkan berbagai fenomena keilmuan karena keberanian mereka untuk mengikuti cara pandang filsafat dalam beragama, sehingga muncullah istilah akidah filsafat.

Pandangan ini banyak dikecam oleh para ulama Sunni, baik dari kalangan Ahlul Hadits maupun Asy’ariyah karena dianggap mengesampingkan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber utama yang disepakati para sahabat. Selain itu, perkembangan Mu’tazilah memang melahirkan paham-paham baru yang tidak dikenal oleh kaum muslimin generasi pertama, bahkan sampai pada titik menolak ayat-ayat Al-Quran dan As-Sunnah yang dianggap bertentangan dengan akal. Hal ini dianggap penyimpangan dan penyelewengan dari jalan yang lurus.32

Pengaruh Mu’tazilah di Indonesia terasa sekali sejak kelahiran tokoh-tokoh modernis, seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholis Madjid (Cak Nur). Pemikiran mereka yang mengedepankan akal dan rasio terus berkembang hingga munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang digagas oleh Ulil Abshar Abdalla.

Kelahiran JIL memberikan guncangan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat muslim Indonesia yang tidak terbiasa mengutamakan akal dibandingkan wahyu. Apalagi, basis akidah mayoritas masyarakat muslim di Indonesia adalah Asy’ariyah-Maturidiyah dan Ahlul Hadits, dimana mereka –

32Lihat

(35)

walaupun menerima penggunaan akal dan rasio- tetap mendahulukan nalar wahyu bila ditemukan “pertentangan” antara dalil dengan akal. Sedangkan JIL justru berusaha menafsirkan dalil yang disesuaikan dengan akal. Lebih jauh, mereka berusaha menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan konteks sosio-kultural, sehingga mereka berpendapat semua perintah dalam Al-Quran dan As-Sunnah bermakna kontekstual-substantif bukan tekstual-dogmatis.

Pemikiran ini banyak menuai kritik karena dianggap kontroversial dan tidak sesuai dengan apa yang telah dipegang oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Mereka juga dianggap telah melanggar ijma’ (konsensus) umat Islam yang telah ditetapkan sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Bila kita melihat kiprah JIL, memang mereka seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversional, bahkan mereka menjadi inisiator lahirnya paham pluralisme yang telah dilarang oleh MUI.

Selain JIL, Hizbut Tahrir (HT) juga dianggap terpengaruh pemikiran Mu’tazilah. Minimal dari sisi pendalilan akal yang cukup diutamakan dalam menghasilkan keputusan-keputusan hukum dan dalam permasalahan iman terhadap takdir dan permasalahan hadits ahad. Salah satu ulama Ahlul Hadits, Nashiruddin Al-Albani bahkan menyebut bahwa HT adalah Neo-Mu’tazilah (Mu’tazilah Gaya Baru).33

3.1.6. Syi’ah

Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna pembela dan pengikut seseorang. Selain itu, juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat, Syi’ah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali ibn Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal ia.

Syi’ah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman ibn ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan masa-masa awal kekhalifahan Utsman, umat islam bersatu dan tidak mengalami perselisihan. Pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya

33Simak rekaman ceramah Al-Albani, http://www.youtube.com/watch?v=JQ9i6xllEU4 atau http://

(36)

perpecahana. Muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam pun berpecah-belah.

Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan Syi’ah akan tetapi mereka menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para pengikutnya.

Saat itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.

1. Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka.

2. Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah ibn Saba’) bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri

3. Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar.

Dalam perkembangannya,Syi’ah terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghullat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya. Dari kelima sekte tersebut, Rafidhah merupakan sekte yang paling besar pengikutnya dan paling pesat perkembangannya hingga kini. Terutama setelah berdirinya Negara Syi’ah Iran.34

Di antara ciri khas dari Syi’ah Rafidhah adalah pendapatnya bahwa kecintaan terhadap Ali berbanding lurus dengan kebencian terhadap Mu’awiyah. Secara lebih umum, kecintaan terhadap keluarga Nabi (Ahlul Bait) berbanding lurus dengan kebencian terhadap para Sahabat Nabi. Hal ini kemudian membuat mereka menyebut golongannya sebagai madzhab Ahlul Bait.

Selain itu, Syi’ah juga mengutamakan Imamah dan Walayah (kepemimpinan dan kekuasaan) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran pokok mereka. Mereka berpendapat wajibnya hidup secara berjamaah di bawah satu Imam.35

34 http://muslim.or.id/manhaj/sejarah-kemunculan-syi.html 35Lihat http://www.al-shia.org/html/id/books/ensan-jahan/32.htm,

(37)

Perkembangan Syi’ah di Indonesia diyakini terjadi sejak pertama kali masuknya Islam di Nusantara. Namun, hal tersebut tidak bertahan lama karena setelah runtuhnya Dinasti Fathimiyah di Mesir dan digantikan oleh Dinasti Ayyubi (pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi), kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara kemudian lebih memilih madzhab akidah Dinasti Ayyubi, yakni As’ariyah-Maturidiyah dan meninggalkan keyakinan Syi’ah mereka, kecuali sebagian kecil masyarakatnya saja.

Keyakinan Syi’ah kembali berkembang di Indonesia pasca Revolusi Iran. Revolusi ini membuka mata dunia Islam, termasuk kaum muslimin di Indonesia. Bahkan sejak tahun 1980-an kemudian banyak para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Qum, Iran. Dari sinilah kemudian lahir cendikiawan Syi’ah di Indonesia.

Dalam perkembangannya, Syi’ah di Indonesia dimotori oleh dua organisasi besar, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), tokohnya adalah Jalaludin Rahmat dan Ahlul Bait Indonesia (ABI), tokohnya adalah Hasan Alaydrus dan Umar Shahab. Kedua ormas tersebut mengadopsi dan menganut madzhab Syi’ah 12 Imam (Imamiyah/ Rafidhah) dalam masalah akidah dan madzhab Ja’fari dalam masalah fikih. Basis gerakan Syi’ah di Indonesia ada di kota Bandung, Jakarta, dan Makassar.

3.1.7. Sufiyah

Tasawuf (ف ُو َصصصَت) diidentikkan dengan sikap totalitas dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Pelakunya disebut Sufi (selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim) (ٌيِف ْو ُصصص), dan jamaknya adalah Sufiyyah (ٌةَيِف ْو ُصصص). Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan tempat kelahiran Tasawuf dan Sufi. Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia, hingga akhirnya memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuf/ٌف ْوُص ).36

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam

(38)

di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.”37

Inti ajaran tasawuf adalah tazkiyatun nafs (kebersihan jiwa). Namun, mereka kemudian mencari thariqah38 tertentu berdasarkan pada pengalaman dan

bertumpu pada perasaan (dzauq). Perbedaan dalam thariqah itulah yang kemudian melahirkan beberapa kelompok tasawuf. Dalam istilah kaum muslimin di Indonesia dikenal dengan tarekat-tarekat tasawuf.

Abul Faraj Ibn Al-Jawzi dalam Kitab Talbis Iblis mengupas tuntas gaya beragama kaum sufi. Menurutnya, di antara thariqah yang lahir dari pengalaman dan dzauq itu ada yang masih sesuai dengan As-Sunnah dan ada yang sudah melampaui batas. Menurutnya, para ulama sufi-Sunni dari kalangan para Sahabat dan Tabi’in tidak mengambil thariqah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Proses tazkiyatun nafs berjalan alami sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

Namun kemudian, seiring berjalannya waktu, lahirlah thariqah-thariqah yang menurutnya tidak lagi sesuai dengan As-Sunnah, seperti menyambung puasa setiap hari (puasa wishal), meninggalkan makanan-makanan tertentu karena dianggap terlalu mewah, bahkan hingga meninggalkan dunia secara keseluruhan. Apalagi, dalam perkembangan selanjutnya muncul thariqah yang menurut Abul Faraj berasal dari jebakan setan, karena bertentangan dengan As-Sunnah, seperti menari-nari dan bernyanyi.39 Bahkan, selanjutnya memunculkan beberapa paham baru dalam aqidah seperti hullul atau dalam tradisi jawa dikenal dengan “manunggal ing kawula gusti”.

Tradisi sufi di Indonesia sudah berkembang sejak lama, bahkan sejak pertama kali Islam hadir di Nusantara. Namun, sufi ekstrem sendiri muncul pada masa Wali Songo, dimana salah seorang ulama yang bernama Syeikh Siti Jenar kemudian mengadopsi pemikiran Al Hallaj dengan konsep hullul-nya. Dalam

37Lihat http://muslimsumbar.wordpress.com/2012/05/10/tashawwuf-sufi/ 38Thariqah artinya cara atau jalan.

39Lebih lengkap mengenai beberapa persoalan yang menyangkut sufisme, silakan rujuk Ibn

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kaitan ini, komunitas ibu-ibu yasinan tangguh bencana diharapkan mampu atau terampil dalam upaya untuk mengurangi risiko bencana, seperti upaya-upaya apa saja yang

Memperoleh pengetahuan mengenai hambatan yang dialami masyarakat sebagai penerima kredit dan UPK sebagai pelaksana kegiatan atau pemberi kredit dalam proses pemberian

Baik dari potensi alam, social, budaya serta potensi-potensi lain yang dapat diperencanakan dan kembangkan oleh pengelola suatu hotel, karena fasilitas di suatu resort

[r]

Keterbatasan waktu, alat dan bahan dalam pembelajaran biologi yang menjadi penghambat kegiatan praktikum di ruang laboratorium, oleh sebab itu dengan menggunakan laboratorium

Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kemampuan disposisi matematis siswa setelah menggunakan pembelajaran dengan model pembelajaran SSCS lebih

Sedangkan pada sampel 6 %void paling kecil yaitu sebesar 2% yang mengakibatkan sifat mekanik nya paling baik Spesimen nomor juga juga memiliki massa jenis yang lebih

Tema : La irrupción del integrismo islámico en la región kurda fuera del control de Bagdad ha sido aprovechada por la red internacional de Al-Qaida para llevar su acción hasta las