• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Hukum Dalam Tindak Pidana Perikanan Yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing (Studi kasus No. 584/Pid.B/2007/PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Penyelesaian Hukum Dalam Tindak Pidana Perikanan Yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing (Studi kasus No. 584/Pid.B/2007/PN.Mdn)"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA

PERIKANAN YANG DILAKUKAN OLEH

WARGA NEGARA ASING

(Studi kasus No.

584/Pid.B/2007/PN.Mdn) S K R I P S I

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

oleh:

RAHMAH NIM: 030200066

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENYELESAIAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA

PERIKANAN YANG DILAKUKAN OLEH

WARGA NEGARA ASING

(Studi kasus No.

584/Pid.B/2007/PN.Mdn)

S K R I P S I

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum OLEH:

RAHMAH NIM: 030200066

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

H. ABUL KHAIR, SH. M. HUM NIP: 131 842 854

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

SYAFRUDDIN, SH. MH. DFM Dr. MARLINA, SH. M. Hum

NIP: 131 842 853 NIP: 132 300 072

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari kawasan maritim, termasuk didalamnya yakni Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Menurut UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia menegaskan batasnya yakni 200 mil dari garis pangkal laut wilayah Indonesia, namun apabila bersinggungan dengan ZEE dari Negara lain maka harus ada persetujuan atau kesepakatan antara Indonesia dengan Negara tersebut. Hal ini menjadi sangat penting karena Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh perairan serta perbatasan yang sangat tipis dengan negara lain sehingga perairan berpotensi digunakan sebagai jalur melakukan kegiatan illegal. Salah satu bentuk kegiatan illegal tersebut adalah terjadinya pencurian ikan yang dilakukan oleh warga negara asing di perairan Indonesia. Mengingat potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia yang begitu besar, namun ternyata potensi dan kekayaan sumber daya tersebut belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh bangsa Indonesia, bahkan terjadi sebaliknya, kekayaan tersebut dimanfaatkan oleh pihak asing melalui pencurian ikan (illegal fishing) dan penyalahgunaan izin penangkapan (abuse licensing).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana peraturan perundang-undangan tentang perairan Indonesia, pengaturan tentang tindak pidana pencurian ikan di Indonesia, dan penyelesaian hukum dalam tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara asing

Indonesia telah memiliki Undang-Undang tentang perairan Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1996; yang mengatur wilayah perairan Indonesia sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB. Undang ini mencabut Undang-Undang No.4 Tahun 1960 sedangkan peraturan-peraturan pelaksanaannya sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang baru tetap berlaku.

Pengaturan tindak pidana perikanan diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yakni diatur dalam Pasal 84 s/d Pasal 105. Dari pasal-pasal tersebut, ketentuan pasal yang dikategorikan mengatur tentang pencurian ikan terdapat dalam pasal 92 s /d pasal 95 dan pasal 98.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan hikmat dan karunian-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan sebaik mungkin.

Swalawat beriring salam kita panjatkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad Saw, yang telah membawa kita manusia dari alam kegelapan sampai kealam terang benderang, dan juga salam kepada keluarga, sahabat dan serta pengikut-pengikutnya yang seiman dan seaqidah.

Skripsi ini disusun dalam rangka memnuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk mencapai Program S-1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis bahas adalah: “Penyelesaian Hukum Dalam Tidak Pidana Pencurian Perikanan yang dilakukan oleh Warga Negara Asing (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 584/Pid.B/2007/PN.Mdn).

Sebagai seorang hamba Allah, tidak ada gading yang tak retak Penulis sadar bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab lainnya adalah terbatasnya pengetahuan yang penulis miliki.

Untuk itu segala kerendahan hati, penulis mengharap saran dan kritik yang konstruksi sama lebih terciptanya suasan untuk mendekati kesempurnaan didalam skripsi ini.

(5)

langsung telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama menempuh perkuliahan, khususnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu,SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Abul Khair, SH,M.Hum, selaku ketra Departemen Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Syafruddin, SH. Mh. Dfm selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk serta pemasukan dalam penulisan skripsi ini.

4. Dr. Marlina, SH. M. Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran dan petunjuk serta pemasukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan khususnya Ibu Nurmalawaty, SH, ibu Puspa Melati SH, M.Hum, Bang Chairul Naim, Ibu Swesena SH yang telah sedia memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengikuti perkuliahan

6. Seluruh Staf Dosen-dosen

(6)

1. Kedua orang tua Penulis yang tercinta Alm, Ayahanda Syahren SH, dan Ibunda Nursyam yang telah mencurahkan kasih sayang, pengorbanan yang tak terhingga baik di masa perkuliahan sampai selesai.

2. Saudara-saudaraku Kakanda Herna, Kakanda Nurhalimah, Ahanda Budi Abdullah dan serta kakak ipar Yossie, Abang ipar M. Salim, Abang Ipar Iful

3. Kakak-kakak di Fak. Hukum serta rekan-rekan Stb 03.

(7)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 3

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan... 5

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERAIRAN INDONESIA... 22

A. Pengaturan Tentang Perairan Indonesia dalam Peraturan Perundang-Undangan... 22

B. Landasan Hukum terhadap Penegakan Hukum di Perairan di Indonesia ... 29

BAB III TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN... 42

A. Tindak Pidana Perikanan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Bidang Kelautan... 34

B. Pengaturan tentang Tindak Pidana Perikanan di Indonesia ... 38

(8)

C. Kasus ... 42

D. Analisa kasus... 51

E. Proses Penyelesaian Hukum Terhadap Warga Negara Asing yang Melakukan Tindak Pidana Perikanan... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 63

A. Kesimpulan ... 63

B. Saran... 64

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama kekayaan lautnya yang luar biasa. Namun selama ini kekayaan laut tersebut belum dikelola dengan baik, sehingga hasil laut belum banyak ikut membantu mensejahterakan rakyat. Bahkan ada indikasi kekayaan laut Indonesia dicuri pihak asing hingga puluhan triliun rupiah.1

Pembangunan sektor kelautan pada saat ini merupakan pilihan yang strategis dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional, agar tercipta landasan ekonomi yang kuat. Mengingat potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia sebesar 6,3 juta ton dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 5 juta ton, dan di ZEEI 1,9 juta ton dengan JTB 1,5 juta ton. Kenyataan potensi dan kekayaan sumber daya tersebut belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh bangsa Indonesia, bahkan terjadi sebaliknya. Kekayaan tersebut dimanfaatkan oleh pihak asing melalui pencurian ikan (illegal fishing) dan penyalahgunaan izin penangkapan (abuse licensing). Departemen kelautan dan perikanan memperkirakan dari 7.000 izin operasi penangkapan ikan, 70% merupakan kapal asing. Perkiraan kerugian dari operasi kapan asing ini menurut departemen kelautan dan perikanan sudah mencapai US$ 1,36 milyar yang merupakan

(10)

kerugian akibat hilangnya fee, hilangnya iuran keterampilan tenaga kerja dan lost akibat subsidi BBM secara tidak langsung.2

Pencurian ikan atau Illegal fishing hingga kini belum dapat diatasi dan merugikan negara puluhan triliun rupiah. Koalisi rakyat untuk keadilan perikanan (KIARA), dalam catatan sepanjang 2005-2008, terdapat sekitar 800 kasus kejahatan perikanan yang dilakukan oleh kapal asing di perairan Indonesia. Akibat kejahatan perikanan tersebut, dalam satu tahun negara dirugikan Rp. 30 Triliun. Pencurian ikan ini tidak hanya melanggar kesepakatan internasional di ranah kelautan, namun juga melemahkan kedaulatan Indonesia dan keberlanjutan sumber daya perikanan nasional.3

Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change

(perubahan cuaca), drug trafficking (perdagangan obat terlarang), political violence out of control (kekerasan politik) mendapat porsi yang cukup besar di media massa, khususnya di Indonesia. Sebaliknya masalah pencurian ikan (illegal fishing) tampaknya kurang mendapat porsi yang cukup memadai, padahal menurut data, kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di seluruh dunia mencapai USD 9 milyar per tahun.4

Kejahatan serta pencurian ikan terus terjadi di laut Indonesia, hal ini masih terus didapati walaupun pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. 17 Tahun 2006 yang telah diperbaharui melalui Permen No. 5 Tahun 2008, akan

2

Harian Media Indonesia, Pencurian Ikan Kembali Terjadi, 24 Juni 2001. 3

Sinar harapan, “Illegal Fishing” di Indonesia, Fenomena Pencurian Ikan dan Karang Memutih, 14 januari 2009.

4

(11)

tetapi para pencuri ikan tersebut, khususnya para warga negara asing tidak jera-jera atau tidak menghormati hukum serta undang-undang di Indonesia.5

Oleh karena hal tersebut, maka penegakan hukum pidana terhadap para pencuri ikan di Indonesia harus segera mendapat perhatian serius. Hal ini ditujukan agar praktek-praktek pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal yang dioperasikan oleh warga negara asing tidak terus terjadi sehingga tidak terus menerus merugikan keuangan negara.

Oleh karena hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah skripsi yang berjudul “Penyelesaian Hukum dalam Tindak Pidana Perikanan yang Dilakukan oleh Warga Negara Asing”.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penulisan skripsi ini, maka ada beberapa permasalahan yang akan menjadi bahasan penulis dalam skripsi ini. Adapun perumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peraturan perundang-undangan tentang perairan Indonesia? 2. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana pencurian ikan di Indonesia? 3. Bagaimana penyelesaian hukum dalam tindak pidana yang dilakukan oleh

warga negara asing? (Studi Kasus No. 584/Pid.B/2007/PN.Mdn)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penelitian

(12)

Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang perairan Indonesia.

b. Untuk mengetahui pengaturan tentang tindak pidana pencurian di Indonesia.

c. Untuk mengetahui penyelesaian hukum dalam tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan oleh warga negara asing (Studi Kasus No. 584/Pid.B/2007/PN.Mdn)

2. Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan memiliki manfaat antara lain : a. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan dokumentasi segi hukum dalam rangka membahas penyelesaian hukum dalam tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing.

b. Secara Praktis

(13)

mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “Penyelesaian Hukum dalam Tindak Pidana Perikanan yang Dilakukan oleh Warga Negara Asing (Studi Kasus No.

584/Pid.B/2007/PN.Mdn), belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana Perikanan

(14)

pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.6

2. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana

a. Menurut Waktu

Asas Legalitas

Pada zaman Romawi kuno, suatu perbuatan dianggap tindak pidana dan jenis pidananya ditentukan raja, tanpa adanya aturan yang jelas perbuatan mana yang dianggap tindak pidana dan jenis pidana apa yang diterapkan. Hal ini dianggap kejam dan sangat bergantung kepada pendapat pribadi raja. Oleh karena itu, pada saat memuncakknya reaksi terhadap kekuasaan raja yang absolut, ide asas legalitas dicetuskan oleh Montesqueau tahun 1748 (L’espritdes Lois) dan J.J. Rousseau tahun 1762 (Du Contract Social) untuk menghindari tindakan sewenang-wenang raja/penguasa terhadap rakyatnya.7

Asas ini pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789), sebuah undang-undang yang keluar pada tahun pecahnya Revolusi Perancis. Selanjutnya Napoelon Bonaparte memasukkan asas legalitas dalam Pasal 4 Code Penal dan berlanjut pada Pasal 1 WvS Nederland

6

Pasal 84 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004. 7

(15)

1881 dan Pasal 1 WvSNI 1918. Pasal 1 (1) KUHP mengatur asas legalitas tersebut sebagai berikut:8

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht

(1801) merumuskan asas legalitas dengan “nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali” (tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa undangundang pidana yang mendahului) yang berkaitan dengan teori paksaan psikis yang dicetuskannya.

Konsekuensi Asas Legalitas Formil

1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana dan dilarang untuk melakukan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.

2. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana, yaitu bahwa aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif). Yang menjadi dasar pemikiran dari hal ini adalah:

a. menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.

b. berhubungan dengan teori paksaan psikis dari Anselem von Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.

(16)

Di negara-negara yang menganut faham individualistis asas legalitas ini dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926.

Menurut asas legalitas formil, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kecuali telah ditentukan dengan aturan pidana. Hal ini menjadikan masalah, jika menurut hukum adat/masyarakat adat ada sebuah perbuatan yang menurut mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan kejahatan (dengan tidak dicantumkan di dalam KUHP). Oleh karena itu dahulu Pasal 14 (2) UUDS 1950 telah menyebutkan aturan ini, bahwa asas legalitas meliputi juga aturan hukum tidak tertulis. Sedangkan di dalam KUHP hanya menggunakan kata-kata “…perundangundangan…” yang berarti bersifat asas legalitas formil (tertulis).

Dengan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, posisi hukum pidana adat/tidak tertulis tetap diakui. Hal ini di dasarkan pada:

a. Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951.

“Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap dengan hukuman yang tidak lebih tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan si terhukum”.

(17)

10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.

Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”

b. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”

Dengan demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak tertulis. Artinya tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun juga berdasar asas legalitas materiil, yaitu menurut hukum yang hidup/tidak tertulis/hukum adat. Artinya suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup/adat dianggap sebagai tindak pidana, walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang pidana, tetap dapat dianggap sebagai tindak pidana. Asas ini berdasar pada Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951 dan Pasal 27 (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas.

(18)

masyarakat dan antara kepastian hukum dengan keadilan. Pasal 1 (3) Konsep KUHP menyebutkan:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (tentang asas legalitas formil, pen.) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan.”

Pasal 1 ayat (1) di samping mengandung asas legalitas juga mengandung asas lex temporis delictie, yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. Jika terjadi perubahan perundang-undangan pidana setelah tindak pidana itu dilakukan maka (Pasal 1 (2)) dipakailah ketentuan yang paling meringankan terdakwa. Konsep KUHP lebih memperinci perubahan undang-undang pidana tersebut. Perincian tersebut merupakan hasil perbandingan dengan KUHP Korea dan Thailand.

Selengkapnya Pasal (3) Konsep KUHP berbunyi:

1. Jika terdapat perubahan undang-undangan sesudah perbuatan dilakukan atau sesudah tidak dilakukannya perbuatan, maka diterapkan peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan.

2. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka narapidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.

3. Jika setelah pitisan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.

b. Menurut Tempat

(19)

berlakunya hukum pidana Indonesia sekaligus juga terkait dengan bagi siapa hukum pidana itu diberlakukan.

Kekuatan berlakunya hukum pidana Indonesia menurut tempat ini diatur dalam Pasal 2 s.d. 9 KUHP yang kemudian dikelompokkan menjadi empat asas, yaitu asas teritorial, asas personal (nasional aktif), asas perlindungan (nasional pasif) dan asas universal.

1) Asas Teritorial atau Asas Wilayah

Asas teritorial mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Memang menjadi keniscayaan dan logis jika suatu ketentuan hukum suatu negara berlaku di seluruh wilayah negara itu.

Asas teritorial dianut oleh Indonesia dan disebutkan dalam Pasal 2 dan 3 KUHP. Dalam Pasal 2, yang menjadi patokan adalah wilayah dan tidak mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di wilayah itu. Artinya, siapapun, baik orang Indonesia maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia maka diberlakukan hukum pidana Indonesia.

(20)

Indonesia sesuai dengan yang dimaksud pada waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia yang meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Wilayah ini kemudian dikukuhkan dengan UU No. 7 Tahun 1976 yang memasukkan Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia.

Pasal 3 KUHP kemudian memperluas berlakunya asas teritorial dengan memandang kendaraan air/perahu (vaartuig) sebagai ruang berlakunya hokum pidana. Pasal 3 ini tidak memperluas wilayah Indonesia. Arti harfiyah vaartuig adalah segala sesuatu yang dapat berlayar, yang dapat bergerak di atas air. Namun berdasarkan hukum internasional, kendaraan air yang dapat diberlakukan asas teritorial ini adalah kapal perang dan kapal dagang Iaut terbuka yang diberlakukan ius passagii innoxii (ketentuan yang mengatur suatu kapal yang lewat secara damai di wilayah laut negara lain). Semula Pasal 3 KUHP tidak menyebut adanya kapal udara, karena saat KUHP dibentuk belum dikenal adanya pesawat udara. Namun dengan keluarnya UU Nomor 4 Tahun 1976 bunyi Pasal 3 ini kemudian diubah menjadi: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

2) Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif

(21)

orang Indonesia di luar negeri maka diberlakukan hukum pidana Indonesia. Di sini tidak dipersoalkan apakah tindak pidana tersebut dianggap sebagai kejahatan menurut hukum pidana negara tempat orang Indonesia itu berada. Karena dianggap membahayakan kepentingan negara Indonesia, maka sejumlah Pasal dalam Pasal 5 ayat (1) ke-1 tersebut tetap dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia. Pasal 5 ayat (1) ke-2 menentukan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar Indonesia melakukan tindak pidana yang dianggap kejahatan bagi hukum pidana Indonesia dan di luar negeri tempat tindak pidana dilakukan diancam dengan pidana. Angka ke-2 ini bertujuan agar orang Indonesia yang melakukan tindak pidana kejahatan di luar negeri dan kemudian pulang ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri tidak bebas dari pemidanaan. Namun demikian, negara Indonesia tidak akan menyerahkan warganya diadili di luar Indonesia. Angka ke-2 ini juga membatasi bahwa yang dapat dipidana adalah yang masuk kategori kejahatan. Artinya, jika ada orang Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar negeri kemudian pulang sebelum diadili di luar negeri, dan di Indonesia perbuatannya dianggap sebagai pelanggaran, maka tidak akan diadili di Indonesia. Ayat (2) dari Pasal 5 memperluas dalam hal penuntutan. Jadi, apabila ada orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri kemudian melarikan diri ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia, tidak membebaskan dia dari penuntutan pidana.

(22)

maka ketika warga negara Indonesia itu melarikan diri ke Indonesia, di Indonesia juga tidak akan dipidana mati.

3) Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif

Asas perlindungan menentukan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika perbuatan tersebut melanggar kepentingan negara yang bersangkutan. Asas tersebut juga diberlakukan di Indonesia, sehingga hukum pidana Indonesia berlaku bagi tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun bukan. Asas perlindungan ini diatur dalam Pasal 4, 7, dan 8 KUHP, diperluas juga dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan UU Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam KUHP, beberapa tindak pidana yang dikelompokkan ke dalam asas perlindungan adalah:9

1. Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat Presiden (Pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127, dan 131).

2. Kejahatan tentang merk atau materai yang dikeluarkan oleh pemerinta Indonesia.

3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas beban Indonesia 4. Kejahatan jabatan (Bab XXVIII Buku II KUHP)

5. Kejahatan pelayaran (Bab XXIX Buku II KUHP).

Tindak pidana-tindak pidana tersebut dianggap menyerang kepentingan negara. Oleh karena itu, asas ini tidak berlaku jika terjadi pelanggaran terhadap kepentingan individu/pribadi warga negara di luar negeri.

9

(23)

4) Asas Universal

Asas ini diberlakukan demi menjaga kepentingan dunia/internasional, yaitu hukum pidana suatu negara dapat diberlakukan terhadap warga negaranya atau bukan, di wilayah negaranya atau di luar negeri. Di sini, hukum pidana diberlakukan melampaui batas kewilayahan dan personalitas. Siapapun dan di manapun tindak pidana dilakukan, hukum pidana Indonesia dapat diterapkan.

Beberapa kejahatan yang dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia berdasarkan asas universal adalah:

1. Kejahatan mata uang yang dikeluarkan oleh negara tertentu (Pasal 4 sub ke-2 KUHP) yang didasarkan pada Konvensi Jeneva 1929.

(24)

dari negara tempat ia melakukan tindak pidana. Hak imunitas ini didasarkan pada Perjanjian Wina 1961 yang dapat diberlakukan bagi:10

1. Kepala negara asing dan keluarganya 2. Duta besar negara asing dan keluarganya 3. Anak buah kapal perang negara asing

4. Pasukan negara sahabat yang berada di wilayah negara atas persetujuan negara yang bersangkutan.

F. Metode Penelitian

Metodologi memiliki peranan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu di antaranya:11

a. menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap

b. memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui

c. memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner.

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dapat dibagi dalam:12 a. Penelitian hukum normatif

10

Ibid, hal. 3 11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI: Press, Jakarta, 2006, hal. 7. 12

(25)

b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris

Sedangkan menurut Soetandyo Wognojosoebroto, penelitian hukum dibagi atas:

a. Penelitian doktrinal b. Penelitian non doktrinal

Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berfikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.13 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it iswritten in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)14. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.15

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan,

13

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 105.

14

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2006, hal. 118.

15

(26)

buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

Jadi disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.16 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku mengenai penerapan bukti elektronik terhadap tindak pidana khususnya terhadap tindak pidana penipuan melalui transaksi elektronik.

2. Sumber Data

Materi dalam skripsi ini diambil dari sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud ialah:

a) Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.17 Bahan hukum primer dalam tulisan ini di antaranya Undang-undang

16

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, UMM Press: Malang, 2007, hal. 57.

17

(27)

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan peraturan lain yang terkait.

b) Bahan Hukum Sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c) Bahan Hukum Tertier

Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

(28)

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:18

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran akan hasilnya, maka dalam hal ini peneliti memperoleh data dalam penelitian ini dengan menggunakan alat pengumpul data melalui studi dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Studi dokumen dari literatur yang berasal dari kepustakaan ataupun yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan masalah penyelesaian hukum dalam tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing.

4. Analisa data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif19 dan induktif20. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang

18

Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 63.

19

Adalah metode yang dilakukan dengan cara membaca, menafsirkan dan membandingkan berbagai data yang diperoleh yang berkaitan dengan objek penelitian.

20

(29)

berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesui dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.21

Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang penyelesaian hukum dalam tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing. Analisis data dilakukan secara kualitatif 22, yaitu dengan cara penguraian, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku, menghubungkan dengan pendapat pakar hukum. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif.

G. Sistematika Penulisan

BAB I: Bab ini merupakan bab Pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan terhadap perairan Indonesia, yang mengulas tentang pengaturan tentang perairan Indonesia dalam peraturan perundang-undangan dan landasan hukum terhadap penegakan hukum di perairan Indonesia. BAB III: Dalam bab ini akan dibahas secara singkat mengenai tindak

pidana perikanan dalam peraturan perundang-undangan yang akan penulis lakukan pembahasan jenis-jenis tindak pidana di

21

(30)

bidang perikanan dan pengaturan tentang tindak pidana perikanan di Indonesia.

BAB IV: di dalam bab ini akan dibahas tentang penyelesaian hukum terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana perikanan, dimana akan penulis deskripsikan kasus yang menyangkut tentang tindak pidana dan perikanan dan akan penulis berikan analisa terhadap kasus tersebut.

(31)

BAB II

TINJAUAN TERHADAP PERAIRAN INDONESIA

A. Pengaturan Tentang Perairan Indonesia dalam Peraturan

Perundang-Undangan

Konvensi Hukum Laut 1982 ditandatangani 10 Desember 1982 dan dinyatakan berlaku 14 Nopember 1994. Melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional, Indonesia menyatakan dirinya terikat dengan ketentuan KHL 1982. Suatu perkembangan baru dalam Hukum Laut Internasional, yaitu diterimanya rejim hukum Negara Kepulauan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta perkembangan yang dirumuskan dalam KHL 1982.

(32)

menguntungkan dan tentunya berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal inilah yang mendasari lahirnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, maka UU No. 4/Prp/1960 dinyatakan tidak berlaku.

Undang-undang No. 6 Tahun 1996 menyatakan yang dimaksud dengan perairan Indonesia meliputi:23

a. Laut teritorial Indonesia b. Perairan Kepulauan c. Perairan Pedalaman.

Selanjutnya disebutkan lebar laut teritorial adalah 12 mil dihitung dari garis pangkal kepulauan Indonesia.24

Selain perairan yang disebut diatas, Indonesia juga mempunyai hak-hak berdaulat atau kedaulatan terbatas, yaitu:

a. perairan “contiguous zona” (zona tambahan) b. perairan di atas landas kontinen.

c. perairan zona ekonomi eksklusif.

1. Laut

Pengertian laut teritorial sebagaimana di atur dalam Pasal 3 ayat 2 UU No. 6 Tahun 1996, adalah jalur laut selebar 12 mil diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia dengan menggunakan garis-garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan

23

Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996. 24

(33)

karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.25 Status hukum laut teritorial Indonesia adalah tunduk di bawah kedaulatan Negara Indonesia. Konsekwensi dari kedaulatan ini, bahwa segala pengaturan hukum yang berkenaan dengan pemanfaatan laut teritorial baik atas kepentingan internasional maupun kepentingan nasional yang terdapat di dalamnya tunduk pada pengaturan dan kekuasaan Indonesia. Di perairan laut teritorial Indonesia mempunyai kekuasaan mutlak atas wilayah perairan, dasar laut dan tanah dibawahnya serta udara diatasnya. Tetapi sepanjang berkenaan dengan perairan laut teritorial kedaulatan ini dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi kapal asing dan dijamin keberadaannya oleh Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982), yaitu Pasal 17 sampai dengan Pasal 32. Sedangkan dalam Hukum Laut Nasional Indonesia ketentuan lintas damai bagi kapal asing di atur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 17 UU No. 6 Tahun 1996. Dan sebagai peraturan pelaksanaannya masih tetap dengan peraturan yang lama, yaitu PP No. 8 Tahun 1962 sebelum diganti dengan yang baru.

2. Perairan Kepulauan

Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan Indonesia tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Panjang garis pangkal lurus yang dimaksudkan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut kecuali, 3 % dari jumlah

(34)

keseluruhan garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia hingga suatu kepanjangan maksimum 125 meter .26

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 UU, bahwa kapal semua negara baik berpantai atau tidak berpantai dapat menikmati hak lintas damai di perairan kepulauan. Dalam melakukan lintas damai di perairan kepulauan, yaitu melalui alur-alur laut yang khusus ditetapkan untuk pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan di atasnya (lihat Pasal 18 UU). Untuk keperluan hak lintas alur kepulauan ini Pemerintah Indonesia menentukan alur-alur laut rute penerbangan di atasnya serta dapat juga menetapkan skema pemisah untuk keperluan keselamatan navigasi atau pelayaran. Dalam menetapkan alur laut dan rute penerbangan ini ditentukan dengan suatu rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute hingga keluar melalui perairan kepulauan dan laut teritorial yang berhimpit dengannya (lihat Pasal 19 UU).

Penentuan alur-alur laut dan rute penerbangan ini dilakukan dengan pertimbangan agar dapat dilakukan lintas yang langsung dan terus menerus serta dengan menempuh jarak yang terdekat. Selain dari itu untuk menjamin keselamatan pelayaran dan juga menetapkan skema pemisah di daerah yang rawan kecelakaan.

3. Perairan Pedalaman.

Dalam UU No. 6 Tahun 1996 perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian perairan perairan yang terletak

26

(35)

pada sisi darat dari suatu garis penutup pada mulut sungai, kuala teluk, anak laut dan pelabuhan.27

Perairan pedalaman ini terdiri dari laut pedalaman dan perairan darat seperti sungai dan danau. Di perairan pedalaman ini Negara pantai mempunyai kedaulatan mutlak seperti wilayah daratan. Pada umumnya di perairan pedalaman tidak ada hak lintas damai bagi kapal asing, kecuali jika perairan tersebut dahulunya adalah laut lepas atau laut teritorial yang karena perubahan pemakaian menjadi staright base lines dalam mengukur laut teritorialnya, maka laut-laut tersebut menjadi laut pedalaman di perairan ini hak lalu lintas damai tetap dijamin.

Di Indonesia di perairan kepulauan (perairan nusantara) dapat ditarik garis-garis penutup untuk keperluan penetapan batas perairan pedalaman ke arah darat yang disebut dengan perairan darat di mana Indonesia mempunyai kedaulatan penuh termasuk di dalamnya laut pedalaman, sungai, teluk dan danau. Oleh karena itu diperairan pedalaman ini tidak terdapat hak lintas damai bagi kapal asing.

4. Contguous Zona (Zona Tambahan).

Yang dimaksud dengan zona tambahan yang dirumuskan dalam Konvensi Hukum Laut adalah suatu jalur laut yang berbatasan dengan laut teritorial yang terletak di laut lepas sejauh 24 mil dari garis pangkal laut teritorial.28

Di perairan zona tambahan Negara pantai mempunyai kewenangan-kewenangan seperti:

27

(36)

a. Mencegah terjadinya pelanggaran hukum berkenaan dengan pabean, fiskal, imigrasi, bea cukai dan kesehatan.

b. Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut diatas yang dilakukan di wilayah atau di laut teritorialnya.

Pada hakekatnya status hukum dari zona tambahan tunduk pada prinsip-prinsip kebebasan di laut lepas, akan tetapi dengan adanya perkembangan hukum laut dengan diterimanya konsepsi zona ekonomi eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut 1982, maka prinsip kebebasan lautan tidak sepenuhnya berlaku di zona tambahan. Hal ini disebabkan perairan zona tambahan telah menjadi (“overlav”) perairan zona ekonomi eksklusif. Namun demikian sepanjang yang menyangkut kepentingan pelayaran status perairan zona tambahan tetap tinduk pada rejim hukum laut lepas, yang bebas dilalui oleh kapal-kapal semua negara. Dengan demikian di perairan zona tambahan ini tidak dikenal adanya ketentuan lintas damai bagi kapal asing.

5. Perairan Di Atas Landas Kontinen

Menurut UU No. 1 Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia, tertera pengertian landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di alur perairan Indonesia sampai kedalaman 200 meter atau lebih. Di landas kontinen ini Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alamnya baik hayati termasuk jenis ikan sedenter serta kekayaan alam non hayati termasuk minyak dan gas bumi.29

29

(37)

Di perairan di atas landas kontinen sebagaimana yang dimaksud UU No. 1 Tahun 1973 adalah laut lepas, oleh karena itu pengaturannya tunduk pada rejim hukum laut lepas. Dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia maka perairan tersebut berobah menjadi perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Di perairan ini Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alamnya, dengan ketentuan tetap menjamin kebebasan berlayar bagi kapal-kapal asing tanpa di batasi adanya ketentuan lintas damai.

6. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Dalam UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia menyatakan yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur laut di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dan perairan di atasnya sejauh 200 mil dari garis pangkal laut teritorial.30

Di zona ekonomi eksklusif Indonesia mempunyak hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya, serta yurisdiksi-yurisdiksi tertentu dan hak-hak lain yang berkaitan dengan hak berdaulat tersebut. Disamping hak berdaulat tersebut Indonesia berkewajiban untuk menghormati hak-hak negara lain, seperti kebebasan berlayar dan penerbangan dan kebebasan pemasangan pipa dan kabel bawah laut. Dengan demikian di perairan zona ekonomi tidak ada pengaturan mengenai hak lintas damai bagi kapal asing sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional, bahwa perairan ZEE untuk pelayaran

(38)

adalah perairan laut lepas yang dapat dilalui oleh semua kapal semua negara, serta menjamin penerabangan di udara di atas perairan tersebut.

B. Landasan Hukum terhadap Penegakan Hukum di Perairan di Indonesia

Dalam UU No. 6 Tahun 1996 mengatur mengenai yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan penegakan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan menurut ketentuan Konvensi dan hukum internasional lainnya serta peraturan nasional atau undang yang berlaku.31

Dalam penjelasannya menyatakan bahwa yurisdiksi penegakan kedaulatan dan penegakan hukum tersebut, yaitu yurisdiksi pidana, perdata dan yurisdiksi lainnya. Dalam KHL 1982 menyatakan bahwa yurisdiksi kriminal pidana atau kriminal negara pantai tidak dapat dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial untuk menangkap siapapun atau untuk mengadakan penyidikan yang berhubungan dengan kejahatan itu berdampak terhadap negara pantai. Misalnya mengganggu kedamaian dan ketertiban laut wilayah, apabila diminta bantuan oleh wakil diplomatik atau konsuler negara bendera dan juga apabila diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap obat narkotik dan bahan psikotropika.32

Selanjutnya dalam Pasal 28 KHL 1982 menyatakan bahwa yurisdiksi perdata tidak dapat dilakukan terhadap kapal asing atau orang yang berada di atasnya, kecuali berkenaan dengan kewajiban gati rugi yang dibebankan terhadap

31

Pasal 24 ayat 2 UU No. 6 Tahun 1996 32

(39)

kapal tersebut dan juga untuk melaksanakan eksekusi atau penangkapan sesuai dengan undang yang berlaku. Selain yurisdiksi pidana dan perdata juga yurisdiksi lainya seperti yurisdiksi administratif.

1) Landasan Hukum Penegakan Hukum Di Laut

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pengertian penegakan hukum dalam bentuk kongkritnya adalah segala kegiatan operasional yang diselenggarakan di seluruh perairan Indonesia dalam rangka menjamin tegaknya satu hukum nasional. Namun demikian diperlukan suatu landasan hukum untuk terlaksananya penegakan hukum tersebut agar dapat berjalan secara efektif dan mempunyai kekuatan hukum.

Di Indonesia landasan hukum dalam penegakan hukum di laut, yaitu hukum nasional dan hukum internasional. Hukum nasional terdiri dari produk hukum peninggalan jaman Pemerintah Hindia Belanda dan hukum laut produk nasional.

(40)

Sedangkan landasan hukum yang merupakan produk nasional yang berkaitan dengan bidang pelayaran yaitu :

1. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Kapal Asing dalam peraira Indonesia.

2. Pengumuman Pemerintah RI 17 Pebruari 1969 tentang Landasan Kontinen Indonesia.

3. Surat Keputusan Men/Pangal 23 September 1961 tentang Penunjukan Pejabat-pejabat yang diberi wewenang untuk mengadakan penyidikan terhadap kejahatan di laut.

4. Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep. 056/D.A/7/1969 tentang Penyelesaian Perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.

5. Surat Keputusan Pangal No. 5810.3 Tahun 1969 tentang Penunjukan pejabat-pejabat dilingkungan ALRI untuk melaksanakan wewenang Pangal dalam menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.

6. Kep. Menhankam/Pangab. No. Inst/B/92/1969 tentang Pengamanan Pelabuhan di wilayah RI.

7. Keppres RI No. 16 Tahun 1971 tentang wewenang pemberian ijin berlayar bagi segala kegiatan kerderaan asing dalam wilayah Perairan Indonesia. 8. Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep/17/IV/75 tentang Penetapan Alur

(41)

9. Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep/099/DA/12/71 tentang pendelegasian wewenang penyelesaian perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.

10. Instruksi Jaksa Agung RI No. Inst.006/DA/12/72 tentang jumlah dan cara-cara penenetapan serta Penyetoran Densa Damai.

11. Surat Keputusan Bersama antara Menhankam Pangab, Menhub, Menkeh, Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/75, SK/901/B/1972, Kep/779/12/1972, JS.B/72/1 dan Kep/085/JA/12/72 tentang pembentukan Barkorkamla. Landasan Hukum penegakan hukum dalam Hukum Laut Internasional, bahwa pengaturan penegakan hukum di laut berkaitan erat dengan hukum laut internasional. Misalnya Pengumuman Pemerintah tanggal 13 Desember 1957 tentang konsep negara nusantara yang merupakan titik tolak perkembangan baru hukum laut Indonesia memberi pengarahan bagi perkembangan hukum laut internasional selanjutnya.

(42)

BAB III

TINDAK PIDANA PERIKANAN

DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Tindak Pidana Perikanan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana

Bidang Kelautan

Tindak pidana perikanan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang marak terjadi di perairan indonesia. Lebih jelasnya berbagai tindak pidana di bidang perairan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pelanggaran Wilayah

Instansi pertama yang berwenang dan betanggung jawab melakukan pengamanan wilayah laut, yang semula berdasar UU No. 2 Drt 1949 berada di tangan KASAL, kemudian berdasarkan Keppres No. 7 Tahun 1974 beralih ketangan Menhankam/Pangab. Berdasarkan Skep/B/371/V/1972 Menhankam Pangab, telah menunjuk pejabat-pejabat untuk melaksanakan wewenang Menhankam/Pangab dalam menyelesaikan perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia. Selanjutnya berdasarkan keputusan bersama Menhankam/Pangab, Menhub, Menkeu dan Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/1972; SK.901/M;Kep.779/MK/XII/12/1972, Kep-085/JA/12/1972 tanggal 19 Desember 1972 dibentuk Badan Kordinasi Keamanan di laut (Bakorkamla) dan Komando

(43)

2. Pemberatasan Pembajakan

Ketentuan yang mengatur pemberantasan pembajakan yang terjadi di laut dalam Ordonansi 1939 Pasal 14 menyebutkan beberapa Pasal KUHP yang mengatur mengenai kejahatan pembajakan yang terjadi di laut, yaitu Pasal 438 s/d 451. Dalam Pasal-Pasal ini membedakan empat macam jenis pembajakan menurut tempat di mana kejahatan terjadi, yaitu pembajakan di laut, pembajakan ditepi laut, pembajakan di tepi pantai dan pembajakan di sungai. Ordonansi ini masih dalam pengertian hukum laut tradisional, oleh karena itu pengaturan dalam Pasal-Pasal tersebut belum dapat menampung permasalahan hukum di bidang pemberantasan penyeludupan di perairan Indonesia dengan konsepsi Nusantara menurut UU No. 4/Prp/1960. Selain itu juga ditemukan dalam UU No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958, yaitu Pasal 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22, yang mengatur tentang pemberantasan pembajakan di laut lepas atau di tempat lain di luar kekuasaan hukum suatu negara.

3. Pemberantasan Penjualan Budak Belian Dan Wanita

Ketentuan yang mengatur bidang pemberantasan penjualan budak belian di dapat dalam Pasal 321, 325, 326 serta 327 KUHP. Selain itu dijumpai dalam UU No. 19 Tahun 1961, khususnya dalam Konvensi tentang Laut Lepas Pasal 13 dan 22 ayat (1) yang menetapkan tiap negara akan menyetujui peraturan yang efektif untuk mencegah serta menghukum pengangkutan budak-budak.

4. Pemberantasan Penyelundupan

(44)

angkatan laut dan bea cukai untuk tugas-tugas pemberantasan penyeludupan penangkapan dan pemeriksaan di kapal. Kejahatan demikian dapat di hukum atau diajurkan untuk berdamai apabila perbuatan itu hanya merupakan pelanggaran saja. Berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep. 099/DA/12/1971, Jaksa Agung mendelegasikan wewenang kepada Menhankam/Pangab untuk menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana di perairan Indonesia di luar sidang pengadilan dengan syarat pembayaran sejumlah uang (denda damai) kepada negara. Kemudian dengan instruksi Menhankam/Pangab Nomor T/59/1975 untuk sementara mencabut Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep-099/DA/12/1971 tersebut di atas, bahwa semua penyelesaian perkara pelanggaran di perairan diserahkan kepada Kejaksaan untuk selanjutnya diajukan di muka sidang Pengadilan. Jadi dengan Surat Keputusan Menhankam tersebut, dalam setiap penyeludupan baik merupakan suatu kejahatan maupun hanya merupakan pelanggaran administrasi yang dilakukan diwilayah perairan Indonesia diajukan kemuka sidang Pengadilan.

5. Pemberantasan Imigrasi Gelap

(45)

tanpa mempunyai dokumen imigrasi yang syah, dikwalifisir sebagai tindak pidana kejahatan oleh karena itu dapat dituntut atau dihukum pidana.

6. Pencurian Ikan

(46)

B. Pengaturan tentang Tindak Pidana Perikanan di Indonesia

Tindak pidana perikanan di Indonesia saat ini diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, yakni terdapat dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 105 undang-undang tersebut.

Lebih jelas Pasal-Pasal tersebut mengatur sebagai berikut: Pasal 84 ayat (1) menjelaskan:

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidyaan dengan menggunakan bahan kimia, bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,- (satu milyar dua ratus juta rupiah) Pasal 85 ayat (1)menjelaskan:

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perairan republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milayar rupiah).

Pasal 86 ayat (1) menjelaskan:

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikana Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).

Pasal 87 ayat (1) menjelaskan:

(47)

Pasal 88 ayat (1) menjelaskan:

Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu setengah milyar rupiah)

Pasal 89 ayat (1)

Setiap orang yang melakukana penanganan dan pengelolaan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratn kelayakan pengelolaan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan dipidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 90 ayat 1 menjelaskan:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 91 ayat (1)

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah).

Pasal 92 menjelaskan:

(48)

Pasal 93 menjelaskan:

Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). Pasal 94 menjelaskan:

Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) Pasal 95 menjelaskan:

Setiap orang yang membangun, mengimpor dan memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu, dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

Pasal 96 menjelaskan:

Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 97 menjelaskan:

Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Pasal 98 menjelaskan:

(49)

Pasal 99 menjelaskan:

(50)

BAB IV

PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP WARGA NEGARA ASING YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERIKANAN

A. Kasus

1. Kasus Posisi

Terdakwa Cho Buntiam sebagai nahkoda KM. Salmon 3 pada hari Sabtu, tanggal 06 Januari 2006 sekira pukul 00.00 WIB atau pada suatu hari dalam bulan Januari 2006, bertempat di perairan ZEE Indonesia di selat malaka tepatnya pada saat kapal KM. Salmon 3 berada pada posisi 04 02’ 90’’ U – 099 20’ 25’’ T, terdakwa memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing dan melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI, dan perbuatan tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:

(51)

beserta 12 orang ABK nya dibawa ke Lantamal I Belawan untu diproses lebih lanjut.

2. Keterangan Saksi

a. Lettu Laut (P) Cokorda G.P Pemayun

(52)

b. KLK LEK Suyitno

Saksi bekerja di TNI AL. di bawah sumpah saksi menerangkan bahwa saksi sebagai penjaga radar mendengar pengawas kiri melaporkan adanya kontak permukaan jarak sedang di merah 10. setelah itu perwira jaga memerintahkan saya untuk mentrecking kontak tersebut dan memerintahkan pengawas kiri untu terus mengawasi kontak tersebut. Kemudian saya mendengar pengawas lambung kiri melaporkan bahwa kontak tersebut adalah sebuah KIA yang sedang menarik jaring, kemudian paga memerintahkan juru mudi untuk merubah halu ke arah KIA tersebut. Selama proses Henrikhan saya terus berada di anjungan mengawasi kontak-kontak lain melalui radar Kelvin Hughes. Pada saat KRI TCB 532 mendeteksi KIA tersebut saya kembali mendengar pengawas kiri melaporkan bahwa di buritan KIA tersebut terlihat tali jaring, kemudian saksi mendengar paga memerintahkan kepada pengawas kiri untuk tetap mengawasi tali jaring tersebut. Pada saat jaring dari KIA diangkat terlihat banyak ikan campuran di dalam jaring tersebut dan setelah KIA merapat, tim pemeriksa dari KRI TCB 532 melaksanakan pemeriksaan.

c. Sahast Khuncan

d. Muc Zet, ABK KM. Salmon.

(53)

sekira pukul 13.00 waktu Thailand dan berlayar menuju perairan di sekitar perbatasan Malaysia – Indonesia dan masuk ke wilayah ZEEI selat malaka untuk menangkap ikan. Saksi menerangkan bahwa hal tersebut telah terjadi selama kurang lebih empat bulan dan pada hari Sabtu tanggal 6 Januari 2007 sekira pukul 00.00 WIB kapal saksi ditangkap oleh KRI TCB 532 pada saat KM. Salmon 3 sedang melakukan kegiatan penangkapan ikan dan pada saat itu kapal dan ABK sedang menarik jaring, sedangkan Nakhoda berada di ruangan Nakhoda mengawasi ABK bekerja.

e. Soeprapto Eries, SP (saksi ahli perikanan)

(54)

ikan di wilayah perikanan Indonesia karena SPI nya tidak dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

3. Keterangan Terdakwa

Bahwa terdakwa membenarkan keterangan para saksi. 4. Barang Bukti

a. Kapal: KM. Salmon 3 (terbuat dari kayu GT 28)

• 1 (satu) unit KM. Salmon 3 terbuat dari kayu GT.28 • 1 (satu) buah kemudi dan giro kompas

• 1 (satu) buah radio merk super star • 1 (satu) buah teropong

• 1 (satu) buah echosounder • 1 (satu) buah TV

• 1 (satu) buah mono power amplifier merk Nakachi • 1 (satu) buah speaker aktif

• 1 (satu) buah radio keen wood • 1 (satu) buah JPC merk Suzuki • 2 (dua) unit jaring

• 1 (satu) buah bendera merah putih • 1 (satu) bundel dokumen KM. Salmon 3

• Uang tunai hasil penjualan ikan Rp. 3.732.600,- (tiga juta tujuh ratus tiga puluh dua ribu enam ratus rupiah)

b. Dokumen

(55)

d. Alat tangkap 5. Pembuktian

Jaksa penuntut umum dalam pembuktian unsur-unsur tindak pidana menyebutkan sebagai berikut:

- Setiap orang

Unsur setiap orang dalam hal ini adalah subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dapat berupa orang perorangan, masyarakat, kelompok, orang atau badan hukum.

Bahwa yang menjadi subjek hukum dalam perkara tindak pidana yang diajukan dalam persidangan ini karena melakukan tindak pidana dan terdakwa dalam persidangan yang didampingi oleh juru bahasa dapat menjawab segala pertanyaan dan tidak ada ditemukan unsur-unsur pemaaf atau pembenar

Berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi, barang bukti, petunjuk maupun keterangan terdakwa dapat disimpulkan bahwa terdakwa Cho Buntiam harus mempertanggungjawabkan perbuatannya

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dengan demikian unsur setiap orang dalam hal ini telah secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

(56)

Berdasarkan keterangan dari para saksi dapat disimpulkan bahwa KM Salmon 3 tidak dilengkapi dengan surat Izin Penangkapan ikan (SIPI) yang sah

Berdasarkan keterangan saksi ahli dari dinas perikanan dari kondisi fisik KM Salmon 3, kapal tersebut sebenarnya adalah KIA (Kapal Ikan Asing) Thailand yang mempunyai GT lebih dari 30 GT dan seharusnya izin yang digunakan harus dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.17/MEN/2006 Pasal 17 huruf (a).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dengan demikian unsur memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing dalam hal ini telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

- Melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki SIPI

Bahwa dokumen KM Salmon 3 terutama (SIPI) yang dikeluarkan oleh dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi NAD adalah tidak sah karena menurut Peraturan Menteri No. Per.17/MEN/2006 Pasal 17 huruf (a), SPI tersebut harus dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi NAD dan tidak diperbolehkan menggunakan modal dan/atau tenaga kerja asing

(57)

2006 perihal izin operasional kapal perikanan Thailad dan Philipines di wilayah pengelolaan perikanan RI berkaitan dengan kebijakan menteri kelautan dan perikanan meliputi:

- berakhirnya masa berlaku perjanjian bilateral antara Indonesia dan Thailand dalam pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI pada tanggal 16 September 2005

- akhir masa berlaku izin operasional kapal perikanan berbendera Thailand di wilayah pengelolaan perikanan RI dengan slim lisensi yang merupakan implementasi bilateral arrangement: kapal berbendera Thailand tanggal 15 September 2006

6. Tuntutan

Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menuntut terdakwa dengan tuntutan sebagai berikut:

1) Menyatakan terdakwa Cho Buntiam bersalah melakukan tindak pidana perikanan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 93 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

2) Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa dengan pidana sebesar Rp. 200.000.000,- subsidair enam bulan kurungan

3) Menyatakan barang bukti berupa:

a) 1 (satu) unit KM. Salmon 3 terbuat dari kayu GT.28 b) 1 (satu) buah kemudi dan giro kompas

(58)

e) 1 (satu) buah echosounder f) 1 (satu) buah TV

g) 1 (satu) buah mono power amplifier merk Nakachi h) 1 (satu) buah speaker aktif

i) 1 (satu) buah radio keen wood j) 1 (satu) buah JPC merk Suzuki k) 2 (dua) unit jaring

l) 1 (satu) buah bendera merah putih m) 1 (satu) bundel dokumen KM. Salmon 3

n) Uang tunai hasil penjualan ikan Rp. 3.732.600,- (tiga juta tujuh ratus tiga puluh dua ribu enam ratus rupiah)

Dirampas untuk negara

4) Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah)

7. Putusan

Majelis hakim dalam putusannya 584/Pid.B/2007/PN.Mdn memutuskan sebagai berikut:

1. menyatakan terdakwa Cho Buntiam tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing tanpa surat izin penangkapan ikan (SIPI) di wilayah ZEEI.

(59)

3. menetapkan barang bukti sebagaimana disebutkan dalam tuntutan jaksa penuntut umum dirampas untuk negara

4. membebankan biaya dalam perkara ini kepada terdakwa sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

B. Analisa Kasus

Berdasarkan ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut tempat, kasus di atas merupakan sebuah cerminan penerapan yurisdiksi mengadili berdasarkan prinsip teritorial Asas teritorial mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara.

Terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 93 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yakni:

“Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). Jika dianalisa, maka unsur-unsur yang terdapat pada pasal 93 ayat (1) adalah sebagai berikut:

(60)

Unsur setiap orang dalam hal ini adalah subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dapat berupa orang perorangan, masyarakat, kelompok, orang atau badan hukum.

Berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi, barang bukti, petunjuk maupun keterangan terdakwa dapat disimpulkan bahwa terdakwa Cho Buntiam harus mempertanggungjawabkan perbuatannya

- Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing

Berdasarkan keterangan dari para saksi dapat disimpulkan bahwa KM Salmon 3 yang dioperasikan oleh Cho Buntiam tidak dilengkapi dengan surat Izin Penangkapan ikan (SIPI) yang sah

Hal ini diperkuat dengan keterangan saksi ahli dari dinas perikanan dari kondisi fisik KM Salmon 3, kapal tersebut sebenarnya adalah KIA (Kapal Ikan Asing) Thailand yang mempunyai GT lebih dari 30 GT dan seharusnya izin yang digunakan harus dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.17/MEN/2006 Pasal 17 huruf (a). Berdasarkan hal-hal tersebut, maka dengan demikian unsur memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing dalam hal ini telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. - Melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan

(61)

Bahwa dokumen KM Salmon 3 terutama (SIPI) yang dikeluarkan oleh dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi NAD adalah tidak sah karena menurut Peraturan Menteri No. Per.17/MEN/2006 Pasal 17 huruf (a), SPI tersebut harus dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi NAD dan tidak diperbolehkan menggunakan modal dan/atau tenaga kerja asing

Bahwa berdasarkan surat direktorat jenderal pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan tanggal 5 september 2006 perihal izin operasional kapal perikanan Thailad dan Philipines di wilayah pengelolaan perikanan RI berkaitan dengan kebijakan menteri kelautan dan perikanan meliputi:

- berakhirnya masa berlaku perjanjian bilateral antara Indonesia dan Thailand dalam pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI pada tanggal 16 September 2005

- akhir masa berlaku izin operasional kapal perikanan berbendera Thailand di wilayah pengelolaan perikanan RI dengan slim lisensi yang merupakan implementasi bilateral arrangement: kapal berbendera Thailand tanggal 15 September 2006

(62)

Pasal 93 ayat (1) Undang-undang tentang Perikanan mengisyaratkan adanya kumulatif ancaman hukuman pada pelaku tindak pidana, yakni adanya ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi pelaku tindak pidana. Namun dalam tuntutannya, jaksa penuntut umum hanya mencantumkan pidana denda saja. Kalau dicermati lebih lanjut, tidak ada sifat alternatif dalam ancaman hukuman yang ditawarkan Pasal tersebut, tetapi sifatnya adalah kumulatif, yakni pidana penjara dan pidana denda, namun mengapa jaksa penuntut umum hanya mencantumkan pidana denda.

Ditambah lagi dengan keputusan hakim yang sepertinya terlalu mengacu pada tuntutan jaksa penuntut umum, bahkan vonis hakim lebih rendah dari apa tuntutan jaksa penuntut umum, yakni pengurangan subsidair dari semula (6 bulan) menjadi 4 bulan.

Jika melihat kondisi saat ini, dimana begitu marak kasus-kasus pencurian kekayaan alam Indonesia di perairan Indonesia yang notabene dalam skala besar dilakukan oleh warga negara asing, seharusnya ada unsur pemberatan yang menjadi pertimbangan dari para instansi penegak hukum agar upaya pencegahan terhadap tindak pidana pencurian tersebut dapat dilaksanakan sehingga menjadi contoh bagi pihak lain yang berniat melakukan pencurian ikan di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah

MASALAH YANG DIHADAPI DALAM ALOKASI JOINT COST Masalah pokok yang dihadapi dalam mengalokasikan biaya produk bersama adalah karena sifatnya yang indivisible artinya biaya produk

bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun

Manajemen Risiko dan Asuransi membahas mengenai Ruang Lingkup Manajemen Risiko dan Asuransi, Pengertian Risiko, Manajemen Risiko, Fungsi Manajemen Risiko,

Pengaruh langsung terjadi pada impor bawang merah, di mana peningkatan harga yang cukup tajam pada pertengahan tahun 2014 akibat kelangkaan barang, ditindaklanjuti

Pihak Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberi izin penelitian kepada penulis untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut... Seluruh staf pengajar dan

meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan rasa ingin tahu mahasiswa, sehingga dapat dijadikan alternatif untuk mendukung proses pembelajaran khususnya pada mata kuliah

Tenaga Kerja Asing di Bidang Jasa Pariwisata di Indonesia Dalam Perspektif Masyarakat Ekonomi Asean (Mea)” penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai kelemahan dan