BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan penduduk sekaligus indikator keberhasilan program pembangunan.Kesehatan berimplikasi pada produktifitas perorangan dan kelompok, sehingga pembangunan dan berbagai upaya di bidang kesehatan diharapkan dapat menjangkau semua lapisan masyarakat serta tidak diskriminatif dalam pelaksanaannya (Dinkes Sumut, 2008)
Sehat selain sebagai salah satu hak dasar manusia, juga merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) bersama faktor pendidikan dan ekonomi menjadi ukuran untuk menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada dasarnya pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara mudah, merata dan murah, sehingga dengan memaksimalkan pelayanan kesehatan, pemerintah berupaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Dinkes Sumut, 2008)
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan lebih dini lagi adalah untuk menurunkan angka kematian bayi/balita. Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang baik selain dengan penyediaan berbagai fasilitas kesehatan, juga melalui penyuluhan kesehatan agar masyarakat dapat berperilaku hidup sehat. Adapun upaya untuk menilai keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan salah satunya adalah berdasarkan situasi derajat kesehatan. Oleh karena itu derajat kesehatan merupakan keharusan guna menilai hasil pelaksanaan program kesehatan yang dijalankan. Guna menilai keberhasilan pembangunan kesehatan maupun sebagai dasar dalam menyusun rencana untuk masa yang akan datang mutlak diperlukan analisa situasi derajat kesehatan tersebut (Depkes RI, 2012)
kenyataan SDKI memprediksikan pada tahun 2015 penurunan AKI hanya bisa mencapai 161/100.000 KH yang berarti di khawatirkan target MDGs tidak akan tercapai. Hal ini berarti menggunakan perhitungan apapun AKI tetap tinggi (Depkes RI, 2012)
Sumatera Utara pada tahun 2007 jumlah AKI mencapai 231/100.000 KH dan terus meningkat menjadi 249/100.000 KH pada tahun 2010. Tingkat kematian bayi juga tidak mengalami penurunan yakni 14/1000 KH pada tahun 2007 dan 22/1000 pada tahun 2010. Untuk Kabupaten Langkat sendiri jumlah kematian ibu semakin meningkat di tahun 2011 yakni 60,64/100.000 KH pada tahun 2008, 83,02/100.000 KH pada tahun 2010 dan 112,49/100.000 KH pada tahun 2011. Jumlah kematian bayi yakni 6,20/1000 KH pada tahun 2010 dan menurun sedikit 6,02/1000 KH pada tahun 2011 (Dinkes Langkat, 2011). Total kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 berkisar 11.534 kematian. Sumatera Utara berada pada peringkat keenam (6) sebagai penyumbang angka kematian di Indonesia yakni sekitar 3,6 % setelah Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Banten dan Jawa Timur (SDKI, 2010).
pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mencapai 82,2%. MDGs menargetkan pada tahun 2015 pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan mencapai 90%. Sementara dukun terlatih dapat dijadikan relasi bidan dalam menolong persalinan atau sebagai pendamping bidan saja (Riskesda, 2010).
Menurut hasi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SDKI) tahun 2010, penyebab kematian ibu hampir 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan. Lima puluh persen (50%) kematian ibu disebabkan oleh perdarahan (27%) dan eklampsi (23%), sedangkan yang lain disebabkan oleh infeksi, abortus dan komplikasi persalinan lainnya. Resiko tingginya kematian ibu juga akibat adanya faktor keterlambatan yang menjadi penyebab tidak langsung kematian. Ada tiga resiko keterlambatan yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk, terlambat sampai ke fasilitas kesehatan dan terlambat memperoleh pelayanan memadai oleh tenaga kesehatan. Selain itu rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil, pemberdayaan perempuan yang kurang baik (gender) dan latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik serta kebijakan juga merupakan faktor penentu angka kematian (Riskesda, 2010).
1579 buah dan Perawatan dan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) berjumlah 378 di rumah sakit. Namun kelihatannya tidak juga mencapai hasil yang maksimal untuk menurunkan AKI dan AKB (Riskesda, 2010).
Menurut SDKI 2010, cakupan K1, K4 dan persalinan normal di Indonesia belum mencapai hasil yang memuaskan sesuai dengan target. Propinsi Sumatera Utara cakupan K1 hanya mencapai 88%, K4 51,5% dan persalinan normal 87,4%, sementara target yang ingin di capai adalah 90%. Hal ini menandakan bahwa masyarakat atau ibu hamil khususnya belum maksimal menggunakan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang ada.
Upaya terobosan terkini yang digulirkan pada tahun 2011 adalah Jaminan Persalinan (Jampersal) yang diperuntukkan bagi seluruh ibu hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru lahir yang belum memiliki jaminan atau ansuransi kesehatan. Keberhasilan Jampersal tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pelayanan kesehatan namun juga kemudahan masyarakat menjangkau pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2012).
Berbeda dengan program Jamkesmas yang kepesertaannya ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan kriteria miskin, peserta program Jampersal cukup mendaftar ke puskesmas dan jaringannya, atau bidan praktik swasta yang sudah menjalin kerjasama untuk melayani peserta Jampersal. Syaratnya dengan menunjukkan identitas diri dan membuat pernyataan tidak mempunyai jaminan atau asuransi persalinan. Ibu hamil yang menjadi peserta Jampersal berhak memperoleh pelayanan jaminan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan atau ante natal care (ANC) disertai konseling KB dengan frekuensi empat kali, pertolongan persalinan, pelayanan bayi baru lahir, pelayanan nifas dengan frekuensi empat kali dan pelayanan KB pasca persalinan (Dinkes Jember, 2011).
Dari aspek ketepatan program dan sasaran, memperlihatkan bahwa program Jampersal terbukti berkontribusi dalam peningkatan cakupan kunjungan antenatal pertama (K1), kunjungan antenatal minimal 4 kali (K4), dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn). Melalui progam ini pada tahun 2012 pemerintah menjamin pembiayaan persalinan sekitar 2,5 juta ibu hamil agar mereka mendapat layanan persalinan oleh tenaga kesehatan dan bayi yang dilahirkan sampai dengan masa neonatal di fasilitas kesehatan (Depkes RI, 2011).
Pada kenyataannya, meskipun program ini cukup baik, masih ada juga ibu hamil yang enggan memeriksakan kehamilan dan bersalin ke fasilitas kesehatan. Hal ini terlihat dari masih rendahnya kunjungan K1 dan K4 ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan dan masih banyak masyarakat yang belum mengetahui adanya program jampersal dari pemerintah. Padahal program ini telah dipromosikan melalui media baik elektronik maupun media massa, bahkan sosialisasi telah dilakukan dengan bantuan ibu PKK dan para kader namun ternyata program ini belum juga sepenuhnya sampai kepada masyarakat. Sebenarnya tidak sulit untuk mengikuti program jampersal, hanya butuh Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku. Program ini tidak berbatas tempat tetapi pelayanan memang harus berjenjang, yaitu melalui pelayanan kesehatan tingkat dasar dulu sebelum ke tingkat lanjutan, kecuali dalam kasus gawat darurat. Untuk bidan yang bernaung di dalam instansi pemerintah (bidan desa) bahkan memiliki kelebihan pelayanan selain yang tersebut di atas, yaitu askes dan jamkesmas. Tentunya dengan beberapa ketentuan yang berlaku, dan ibu hamil bisa dipersilahkan untuk memilih (Dinkes Sumut, 2012).
menikmati program ini yakni yang dekat dengan rumah sakit saja sementara akses untuk mencapai tempat tersebut cukup jauh, selain itu meskipun dikatakan gratis tetap saja pasien harus membayar obat (Trisnantoro, 2012)
Tidak jauh berbeda dengan Purwitasari 2012 dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa sebagian besar bidan (67%) memiliki pengetahuan yang baik tentang program Jampersal namun (54%) memiliki sikap negatif terhadap program Jampersal. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata meskipun pengetahuan mereka baik namun sebenarnya mereka belum bisa menerima program ini (Purwitasari, 2012).
Bidan swasta yang praktik di wilayah Kota Malang, Jawa Timur, masih banyak yang enggan melayani persalinan yang menggunakan jaminan persalinan atau jampersal, karena nilai subsidinya jauh dari biaya normal yakni hanya Rp. 600.000,-. Di Manokwari didapati IBI sebagai organisasi bidan ternyata belum pernah mendengar tentang program Jampersal, hal ini menandakan bahwa sosialisasi program ini memang benar-benar belum berjalan dengan baik (Dinas Kesehatan Malang dan Manokwari, 2012).
Banyaknya terdengar kabar bahwa uang jasa tidak dibayar secara rutin dan jumlahnya sedikit juga menjadi alasan mengapa para bidan menolak mengikuti program ini. Hal tersebut menjadi wajar, sebab biasanya para bidan yang membuka praktek dan melayani persalinan, menerima bayaran secara cash (tunai) dari pasien, namun kini dapat menunggu sampai berbulan-bulan pelayanan mereka baru mendapatkan pembayaran, dikhawatirkan keterlambatan tersebut akan mengganggu pelayanan kepada masyarakat (Kemenkes, 2012).
Banyaknya permasalahan yang muncul di daerah oleh karena rendahnya jumlah klaim, maka pada tahun 2011 Kementrian Kesehatan mengeluarkan peraturan baru tentang petunjuk tekhnis jaminan persalinan untuk tahun 2012 berisi tentang penambahan jumlah pembayaran untuk persalinan yang awalnya Rp. 350.000,- menjadi Rp. 500.000,-, kemudian tarif ANC dan PNC yang awalnya hanya Rp. 10.000,- menjadi Rp. 20.000,- per sekali kunjungan dimana frekwensi kunjungan yang di tanggung adalah sebanyak 4 kali (Dinkes Sumut, 2012).
karena program ini belum tersosialisasi secara merata Dinas Kesehatan harus mengembalikan dana sebesar 3 Milyar pada pemerintah dari 9 Milyar yang diterima. Sesuai dengan target yang dinginkan, Pencapaian K1 mencapai 97,84 dan K4 91,50% dari 22.452 orang ibu hamil, serta pertolongan persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan mencapai 96.61% namun tetap disayangkan ternyata AKI meningkat pada tahun tersebut yakni mencapai 112, 49/100.000 KH padahal pada tahun 2010 hanya mencapai 83,02/100.000 KH (Dinkes Langkat, 2012).
Pada tahun 2012 Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat menerima dana sebesar 13 Milyar untuk program jampersal. Dana ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang terjadi pada tahun sebelumnya. Namun pada kenyataannya hanya sosialisasi ke seluruh puskesmas saja yang terpenuhi, sementara untuk BPS/Klinik Bersalin tidak mengalami penambahan sampai akhir Desember 2012 kemarin.
Tidak diketahui secara pasti mengapa BPS/Klinik Bersalin enggan mengikuti program ini, namun dari pihak pengelola program mengatakan bahwa alasan mereka tidak mengikuti program ini terjadi karena rendahnya dan lamanya pencairan klaim, banyaknya persyaratan dan proses yang harus dibuat atau dilakukan serta kemampuan yang terbatas dari pihak pimpinan BPS/Klinik Bersalin. Hal ini bisa diterima oleh pihak pengelola karena memang sebenarnya hal tersebut adalah merupakan kendala dari program Jampersal (Dinkes Langkat, 2012).
AKI juga mengalami peningkatan yang cukup besar yakni sekitar 35 orang. (Dinkes Langkat, 2012).
Selain BPS/Klinik Bersalin, Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) adalah salah satu fasilitator program jampersal. Jumlah bidan PTT mencapai 540 orang, yang tersebar di 277 desa baik terpencil maupun biasa di seluruh Kabupaten Langkat. Desa-desa ini berada di bawah naungan 30 puskesmas (9 puskesmas Ponek dan 21 puskesmas Poned) di 23 kecamatan. Mereka merupakan ujung tombak dan diwajibkan oleh dinas kesehatan untuk melaksanakan jampersal di masyarakat. Mereka telah digaji oleh pemerintah pusat dan ditugaskan untuk menetap di desa karena telah dianggap memiliki keterampilan dan mampu untuk memberikan pelayanan kesehatan di masyarakat. Namun dalam pelaksanaan program jampersal tidak ada perbedaan prosedur dan pendanaan bagi para bidan PTT meskipun telah menerima gaji setiap bulannya. Meraka tetap berhak mendapatkan klaim sesuai dengan pendanaan yang telah ditentukan dalam petunjuk tekhnis jampersal. Jika terdapat perbedaan hanya pada perjanjian kesepakatan saja, bila BPS/Klinik bersalin langsung membuat surat kesepakatan atau Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Dinas kesehatan namun bila bidan PTT, PKS telah dilakukan melalui puskesmas dan segala bentuk kerja bidan adalah tanggung jawab puskesmas.
bahwa mereka sendiri juga tidak begitu tahu mengenai Jampersal, yang mereka lakukan hanya meminta KTP ibu hamil dan kemudian menyerahkannya kepada petugas puskesmas biasanya bidan koordinator. Padahal bila dikaji secara benar seharusnya bidan menyerahkan klaim beserta bukti (KTP, kunjungan ANC, INC, PNC, partograf dan surat keterangan lahir). Mereka mengatakan bahwa mereka tidak tahu menahu tentang hal tersebut yang penting bila sudah memberi KTP maka klaim akan dicairkan nantinya. Hal ini bisa saja terjadi oleh karena sosialisasi yang kurang baik oleh pihak terkait dan tidak diberikannya buku panduan atau petunjuk tekhnis mengenai jampersal untuk para bidan di lapangan.
persalinan harus ke puskesmas yang sesuai dengan KTP setempat, padahal sebenarnya tempat tinggal mereka lebih dekat kepada puskesmas lain yang bersebelahan dengan tempat tinggal, hal ini tentunya tidak sesuai dengan hak ibu hamil yang boleh memilih kemana tepat bersalin dan siapa penolong persalinannya. Hal ini juga yang terkadang membuat bidan bingung dengan apa yang harus mereka lakukan, menerima atau menolak pasien, padahal seharusnya mereka harus menerima pasien dari mana pun asalnya. Tidak diketahui secara pasti mengapa hal ini bisa terjadi namun disinyalir karena kepala puskesmas takut jumlah klaim sedikit dan menguntungkan puskesmas lain.
Meskipun jumlah klaim yang ditetapkan hanya untuk biaya jasa pertolongan persalinan saja, tetapi tetap saja bidan merasa enggan karena harus menggunakan Informed Consent berupa persetujuan dari pihak ibu dan keluarga untuk meminta dana tambahan, yang tentunya lebih merepotkan dan terkesan mengelabui pasien serta sering menjadi bahan sasaran hukum bagi orang-orang yang mengambil keuntungan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berada di lingkungan masyarakat, sementara secara dominan diketahui bahwa bidan adalah tenaga yang kurang mengerti dan malas berhubungan dengan hukum.
menggandakan jumlah pasien dengan meminta KTP ibu yang sebenarnya tidak hamil atau bersalin.
Berdasarkan masalah diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui secara lebih dalam bagaimana sebenarnya respons bidan PTT dalam pemberian pelayanan pada pelaksanaan program jampersal di Kabupaten Langkat tahun 2013.
1.2.Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu bagaimana respons bidan dalam pemberian pelayanan pada pelaksanaan program jampersal di Kabupaten Langkat tahun 2013.
1.3.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respons bidan dari bentuk perilaku tertutup dan perilaku terbuka dalam pelaksanaan program Jampersal di Kabupaten Langkat
1.4.Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian sebagai berikut :
2. Manfaat bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia dan sebagai alat monitoring dan evaluasi kegiatan program jampersal.
3. Manfaat bagi Bidan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan informasi bagi bidan untuk mengikuti program Jampersal.
4. Manfaat bagi Peneliti
Peneliti dapat menerapkan ilmu / teori pada waktu kuliah yang digunakan untuk penelitian ini dan menambah wawasan serta pengetahuan bagi peneliti tentang bagaimana sebenarnya persepsi bidan terhadap program Jampersal.
5. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat