BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lateks
Lateks adalah suatu istilah yang dipakai untuk menyebut getah yang
dikeluarkan oleh pohon karet. Lateks terdapat pada bagian kulit, daun dan
integument biji karet. Lateks diperoleh dari tanaman Hevea brasiliensis,
diolah dan diperdagangkan sebagai bahan industri dalam bentuk karet sheet,
crepe, lateks pekat dan karet remah (Crumb rubber).
Gambar 2.1 lateks kebun
Lateks merupakan suatu larutan koloid dengan partikel karet dan bukan
karet yang tersupensi di dalam suatu media yang banyak menganding
bermacam-macam zat. Bagian-bagian yang terkandung tersebut tidak larut
sempurna, melainkan terpencar secara atau merata di dalam air.
Partikel-partikel koloidal ini sedemikian kecil dan halusnya sehingga dapat menembus
saringan. Susunan bahan lateks dapat dibagi menjadi dua komponen.
Komponen yang pertama adalah bagian yang mendispersikan atau
memancarkan bahan-bahan yang terkandung secara merata, biasa disebut
serum. Bahan-bahan bukan karet yang larut dalam air, seperti protein,
garam-garam mineral, enzim dan lainnya termasuk ke dalam serum. Komponen
Gambar 2.2 Struktur molekul karet alam
Lateks yang dikeluarkan oleh pohon karet, warnanya putih susu sampai
kuning. Lateks mengandung 25-40 % bahan karet mentah (crude rubber) dan
60-77 % serum (air dan zat yang larut). Karet mentah mengandung 90-95%
karet murni, 2-3 % protein, 1-2 % asam lemak, 0,2 % gula, 0,5 % garam dari
Na, K, Mg, P, Ca, Cu, Mn, dan Fe. Karet alam adalah hidrokarbon yang
merupakan mikromolekul poliisoprene (C5H8)n dengan rumus kimia
1,4-cis-poliisoprene. Partikel karet tersuspensi atau tersebar secara merata dalam
serum lateks dengan ukuran 0.04-3.00 mikron dengan bentuk partikel bulat
sampai lonjong (Triwijoso, 1995).
Lateks pekat adalah lateks dari karet alam yang sekurang-kurangnya
mengandung 60% kadar karet kering. Penggolongan lateks pekat didasarkan
dengan cara pemekatan dan jenis pengawetannya. Untuk membuat barang
jadi lateks, maka terlebih dahulu lateks harus dipekatkan. Pemekatan lateks
bertujuan untuk:
• Memperoleh kadar karet kering sebanyak 60% • Mengurangi biaya produksi
• Mengetahui jumlah air yang ditambahkan pada pengenceran lateks sampai
kadar yang dikehendaki
Beberapa cara pemekatan lateks yang sering dijumpai dalam perdagangan
salah satunya dengan yaitu cara pemusingan (centrifuging). Proses
pemusingan (centrifuging) adalah proses pemekatan lateks dengan
menggunakan centrifuge atau sejenisnya, lateks diberi amoniak dan
Sifat-sifat mekanik yang baik dari karet alam menyebabkannya dapat
digunakan untuk berbagai keperluan umum seperti sarung tangan. Pada suhu
kamar, karet tidak berbentuk kristal padat dan juga tidak berbentuk cairan.
Perbedaan karet dengan benda-benda lain, tampak nyata pada sifat karet yang
lembut, fleksibel dan elastis. Sifat-sifat ini memberi kesan bahwa karet alam
adalah suatu bahan semi cairan alamiah atau suatu cairan dengan kekentalan
yang sangat tinggi. Namun begitu diperlukan pemahaman tentang teknologi
karet. Teknologi karet meliputi perancangan formula (resep) karet, mastikasi
dan penggilingan, pengujian karakterik vulkanisasi, dan pengujian sifat fisik
dan sifat kimia vulkanisat karet.
Salah satu dari bagian teknologi karet yang cukup penting adalah
mastikasi. Proses mastikasi ini mengurangi keliatan atau viskositas karet alam
sehingga akan memudahkan proses selanjutnya saat bahan-bahan lain
ditambahkan. Banyak sifat-sifat karet alam ini yang dapat memberikan
keuntungan atau kemudahan dalam proses pengerjaan dan pemakainnya, baik
dalam bentuk karet atau kompon maupun dalam bentuk vulkanis (Hasan,
2013).
2.2 Sarung Tangan Lateks
Kontak pada kulit tangan merupakan permasalahan yang sangat penting
apabila terpapar bahan kimia yang korosif dan beracun. Sarung tangan
menjadi solusi, tidak hanya melindungi tangan terhadap karakteristik bahaya
bahan kimia, sarung tangan juga dapat memberi perlindungan dari peralatan
gelas yang pecah atau rusak, permukaan benda yang kasar atau tajam, dan
material yang panas atau dingin. Jenis sarung tangan yang sering dipakai di
laboratorium, diantaranya, terbuat dari bahan karet, kulit dan pengisolasi
(asbestos) untuk temperatur tinggi. Pembuatan barang menjadi karet, seperti
sarung tangan lateks adalah salah satu upaya untuk meningkatkan nilai
tambah karet alam dan untuk mengembangkan industri berbasis karet alam
dalam negeri. Sarung tangan lateks merupakan produk barang jadi karet yang
serapan konsumsi karet alam yang cukup besar sehingga apabila dapat
mengembangkan industrinya seperti melalui mendesain kompon karet dengan
biaya yang lebih murah maka berdampak pada peningkatan konsumsi karet
dalam negeri. Jenis karet yang digunakan pada sarung tangan, diantaranya
adalah karet butil atau alam, neoprene, nitril, dan Polivinil klorida (PVC).
Sarung tangan lateks yang bermutu biasanya dibuat dari karet alam. Hal
ini disebabkan karet alam mempunyai beberapa keunggulan, yaitu memiliki
kepegasan pantul yang baik, kalor timbul yang rendah, tegangan putus tinggi,
ketahanan retak lentur baik, fleksibel baik, kuat dan tahan lama, bahkan dapat
digunakan pada suhu -60oF. Sifat-sifat inilah yang diperlukan dalam
pembuatan sarung tangan lateks.
Sarung tangan lateks adalah produk yang digunakan untuk melapisi tangan
dalam mengerjakan pekerjaan tertentu. Sarung tangan dari lateks karet alam
banyak beredar dipasaran dengan berbagai jenis kegunaan dan cara
pembuatan. Ada sarung tangan dokter dan sarung tangan bedah yang sekali
pakai langsung buang,ada sarung tangan industri untuk makanan, bahan kimia
dan tahan panas.
Penggunaan sarung tangan lateks di Indonesia sampai saat ini mencapai 2
juta pasang/tahun, 90% lebih masih diimpor, walaupun Indonesia merupakan
negara produsen karet alam nomor 2 (dua) di dunia, sementara itu kebutuhan
sarung tangan lateks di dunia sekitar 540 juta pasang (Utama, 2011).
Karakteristik sarung tangan karet harus sesuai dengan persyaratan mutu SNI
16 –2623 –1992, meliputi tegangan putus 270,1 N/mm2, perpanjangan putus
801%, modulus 1,2 N/mm2, dan ketahanan sobek 680 N/ mm2. Penambahan
kalsium bentonit pada lateks pekat pembuatan sarung tangan diharapkan
dapat menambah kualitas sarung tangan karet, dimana parameter uji nya
adalah menguji kuat tarik, uji ketahanan sobek dan uji FTIR dari sarung
2.3Montmorillonit
Montmorillonit (MMT) adalah salah satu diantara silikat terlapis yang sering
dimanfaatkan karena sifatnya yang ramah lingkungan dan juga tersedia
melimpah di alam sehingga harganya relatif murah. Kisi kristal MMT terdiri
dari lapisan-lapisan berbentuk lembaran oktahedral dengan ketebalan 1 nm
yang berada diantara dua lembaran silika tetrahedral dengan aspek rasio
sekitar 100. Susunan dari lapisan-lapisan tersebut mengarah pada
terbentuknya celah Van der Waals yang lebih dikenal dengan gallery. Lapisan
tersebut bermuatan negatif dan muatan ini disetimbangkan oleh kation alkali
seperti Na+, Li+, atau Ca2+ diantara lapisan-lapisan aluminosilikat. Clay
Na-MMT adalah hidrofilik dengan luas permukaan yang tinggi (Tjong, 2006;
Taghizadeh, dkk,2013).
Gambar 2.3 Bentonit Alam
Kation-kation antarlapis dari MMT dapat dengan mudah diubah secara
ionik oleh atom-atom bermuatan positif atau ion-ion organik seperti kuarter
ammonium atau garam-garam posponium. Penggunaan ion-ion organik ke
dalam ruang-ruang antarlapis tidak hanya menyebabkan meningkatnya sifat
hidrofilik dari pilosilikat tetapi juga dapat meningkatkan harga d-spacing dari
silikat tersebut, bergantung pada fungsionalitas, kerapatan, dan panjang
molekul organik yang digabungkan (Lagaly dan Beneke, 1991). Jadi
organoclay memperbaiki kompatibilitas dengan matriks polimer dan
interkalasi dari polimer. Rantai organik mungkin terletak sejajar dengan
dari permukaan, membentuk mono- atau bimolekular dengan d-spacing
antarlapis yang lebih tinggi.
2.3.1 Sifat Fisika dan Kimia Montmorillonit
Struktur bangun lembaran montmorillonit terdiri dari 2 lapisan tetrahedral
yang disusun unsur utama Silika (O, OH) yang mengapit satu lapisan
oktahedral yang disusun oleh unsur M (O,OH) (M = Al, Mg, Fe) yang disebut
juga mineral tipe 2:1. Struktur utama MMT selalu bermuatan negatif karena
terjadinya substitusi isomorfik ion-ion, yaitu pada lapisan tetrahedral terjadi
substitusi ion Si 4+ oleh Al 3+, sedangkan lapisan oktahedral terjadi substitusi
ion Al 3+ oleh Mg 2+ dan Fe 2+. Ruang dalam lapisan montmorillonit dapat
mengembang dan diisi oleh molekul-molekul air dan kation-kation lain
(Alexandre dan Dubois, 2000).
Montmorillonit atau bentonit merupakan mineral aluminosilikat
(Al-silikat) yang banyak digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan
berbagai produk di berbagai industri dan juga sebagai reinforcement.
Ketebalan setiap lapisan montmorilonit sekitar 0,96 nm, tiap dimensi
permukaan umumnya 300-600 nm, sedangkan d spacing 1,2 – 1,5 nm
(Utracki dan Kamal, 2002).
Gambar 2.4 Struktur Kristal Montmorillonit
Pada proses pembuatan nanokomposit antara material polimer dan
jarak antar layer pada organoclay akan semakin membesar dan akhirnya
terjadi delaminasi struktur pada bentonit atau lebih dikenal dengan istilah
exfoliasi, dimana lapisan-lapisan bentonit dalam ukuran nano ini akan
terdispersi dalam matriks polimer (Syuhada dkk, 2009).
Monmorilonit umumnya berukuran sangat halus, sedangkan
komponen-komponen dalam lapisan tidak terikat kuat. Jika mengadakan persentuhan
dengan air, maka ruang diantara lapisan mineral mengembang, menyebabkan
volume clay dapat berlipat ganda. Terdapat tanda bahwa jarak dasar (basal
spacing) monmorilonit meningkat secara seragam jika terjadi penyerapan air.
Beberapa peneliti mencatat bahwa meningkatnya jarak dasar dapat
berlangsung pelan-pelan, yaitu pertanda pembentukan kulit hidrasi di
sekeliling kation-kation yang terdapat di antara lapisan. Tingginya daya
mengembang atau mengerut ari monmorilonit menjadi alasan kuat mengapa
mineral ini dapat menyerap dan memfiksasi ion-ion logam dan persenyawaan
organik. Dari keanekaragaman jenis lempung, monmorilonit ditemukan
dalam bentuk tanah kebanyakan. Tingginya daya plastis, mengembang dan
mengkerut , mineral ini menyebabkan tanah menjadi plastis jika basah dan
keras jika kering. Retakan-retakan pada permukaan tanah akan terlihat jika
permukaan tanah mengering (Indawahyuni, 2013).
2.4Cetyl trimethylammonium bromide (CTAB)
Cetyl trimethylammonium bromide (CTAB) adalah surfaktan kationik dengan
rumus molekul C19H42BrN, dengan berat molekul 364,45 g/mol, berbentuk
serbuk putih dengan titik lebur 237-243oC.
Gambar 2.5 Hexadecyltrimethylammonium (cetrimonium) bromida
CTAB dalam larutan akan terionisasi menjadi CTA+ dan Br-. Karena akan
terbentuk ion CTA+ yang bersifat
Gambar 2.6 Rumus Molekul CTAB
Bentonit yang semula bersifat hidrofilik berubah menjadi organofilik.
Bentonit hasil modifikasi disebut organoclay. Perubahan sifat bentonit
merupakan hasil dari penggantian kation anorganik pada bentonit dengan
kation organik surfaktan CTAB. Dengan masuknya surfaktan ke dalam
bentonit, d-spacing pada bentonitpun bertambah besar (terinterkalasi).
2.5 Elastomer
Elastomer adalah polimer amorf yang berada di atas suhu transisi kaca,
sehingga gerak segmental yang cukup adalah mungkin. Pada suhu kamar,
karet relatif lunak (E~3MPa) dan mampu berdeformasi. Elastomer merupakan
polimer dengan viscoelasticity (elastisitas), umumnya memiliki modulus
Young yang rendah dan hasil regangan yang tinggi dibandingkan dengan
bahan lain. Istilah polimer elastis, sering digunakan bergantian dengan istilah
karet, meskipun yang terakhir lebih disukai ketika mengacu pada istilah
vulcanisates. Setiap monomer yang menghubungkan membentuk polimer
biasanya terbuat dari karbon, hidrogen, oksigen dan / atau silikon.
Penggunaan utama mereka adalah untuk segel, perekat dan bagian yang dapat
terbentuk dengan fleksibel.
Elastomer biasanya bersifat termoset (membutuhkan vulkanisasi) tetapi
mungkin juga bersifat termoplastik. Rantai polimer yang panjang lintas-garis
yang terjadi pada selama pemeraman, yang disebut dengan vulkanisir.
Struktur molekul dari elastomer dapat dibayangkan sebagai struktur 'spaghetti
dan bakso', dengan bakso yang menandakan crosslink. Elastisitas berasal dari
kemampuan rantai panjang untuk mengkonfigurasi ulang diri untuk
mendistribusikan tegangan. Ikatan kovalen silang memastikan bahwa
Sebagai hasil dari fleksibilitas ekstrim ini, elastomer reversibel dapat
diperpanjang hingga 5-700%, tergantung pada bahan tertentu. Tanpa adanya
lintas-hubungan, rantai merenggang ulang, tegangan akan menghasilkan
deformasi permanen.
Beberapa tahun belakangan ini nanokomposit berbasis karet telah diteliti
dan dibahas secara meluas oleh para ahli terutama yang berhubungan dengan
potensi pemanfaatan nanoelement seperti silikat berlapis, talek, silica,
nanobiofiller dan carbon nanotube. Namun yang paling sering digunakan
pada 10 tahun belakangan dalam mempersiapkan nanokomposit berbasis
karet adalah silikat berlapis dan carbon nanotube. Penggabungan clay atau
silikat berlapis ke dalam matriks polimer dapat memberikan 4 struktur yang
berbeda: (1). konvensional, (ii). sebagian terinterkalasi dan sebagaian
tereksfoliasi, (iii). terinterkalasi penuh dan dan terdispersi, (iv). Tereksfoloiasi
penuh dan terdispersi.Hal ini bergantung pada konsentrasi dari clay dan
derajat pendistribusian ke dalam kompositnya (Luo dan Daniel, 2003).
Dalam mikrokomposit atau komposit konvensional, partikel-partikel tidak
mudah dimasukkan ke dalam matriksnya karena mudahnya membentuk
gumpalan (agregat) sehingga tidak memberi dampak yang berarti bagi
perbaikan sifat mekanik komposit. Pada nanokomposit yang terinterkalasi
kelihatan nanofiller tersusun secara teratur menyerupai kristal dalam
rantai-rantai polimer matriksnya. Namun, pada struktur tereksfloasi lapisan-lapisan
dari filler tidak tersusun dengan baik. Biasanya untuk karet nanokomposit
secara morfologi berada diantara kedua struktur di atas karena umumnya
terjadi interkalasi dan eksfloasi sebagian (Galimberti, 2011).
Karena alasan kurang kompatibel antara komponen karet (organik)
terhadap silikat (anorganik), untuk mendapatkan nanokomposit yang
interkalatif, fase anorganik perlu dimodifikasi secara organik. Dengan
demikian interaksi antara karet yang hidrofobik dengan bahan pengisi yang
hidrofilik dapat diperbaiki untuk mendapatkan sifat yang fisika dan kimia
yang khas (Carli, dkk, 2011). Modifikasi organik ini telah memperbaiki
dispersi silikat berlapis ke dalam matriks karet yang bersifat hidrofobik
2.6 Pengujian Sarung Tangan Lateks
2.6.1 Pengujian Kuat Tarik (Tensile Strength)
Uji tarik adalah salah satu uji stress-strain mekanik yang bertujuan
mengetahui kekuatan bahan terhadap gaya tarik. Dengan melakukan uji tarik
kita mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan
dan mengetahui sejauh mana material bertambah panjang. Bila kita terus
menarik suatu bahan sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang
lengkap berupa kurva. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan
dengan perubahan panjang.
Gambar 2.7 Gaya Tarik terhadap Pertambahan Panjang
Hal yang menjadi perhatian dalam gambar tersebut adalah kemampuan
maksimum bahan dalam menahan beban. Kemampuan ini umumnya disebut
"Ultimate Tensile Strength" disingkat dengan UTS. Untuk semua bahan, pada
tahap sangat awal uji tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan
berbanding lurus dengan perubahan panjang bahan tersebut. Ini disebut
daerah linier atau linear zone. Di daerah ini, kurva pertambahan panjang vs
beban mengikuti aturan Hooke, yaitu : rasio tegangan (stress) dan regangan
(strain) adalah konstan Bentuk sampel uji secara umum digambarkan seperti
Gambar 2.8 Spesimen Uji Tarik ASTM D 638-II
Pengujian dilakukan sampai sampel uji patah, maka pada saat yang sama
diamati pertambahan panjang yang dialami sampel uji. Kekuatan tarik atau
tekan diukur dari besarnya beban maksimum (Fmaks) yang digunakan untuk
memutuskan/mematahkan spesimen bahan dengan luas awal A0. Umumnya
kekuatan tarik polimer lebih rendah dari baja 70 kg.f/mm2. Hasil pengujian
adalah grafik beban versus perpanjangan (elongasi).
Enginering Stess (𝜎𝜎) :
σ = 𝐹𝐹𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝐴𝐴𝑜𝑜 ………...………(1)
Fmaks =Beban yang diberikan arah tegak lurus terhadap penampang
spesimen (N)
Ao =Luas penampang awal spesimen sebelum diberikan pembebanan (m2) σ =Enginering Stress (Nm-2)
Enginering Strain (ε):
ε = 𝑙𝑙1−𝑙𝑙𝑜𝑜 𝑙𝑙0
= ∆𝑙𝑙
𝑙𝑙𝑜𝑜 ……...………. (2) ε = Enginering Strain
lo = Panjang mula-mula spesimen sebelum pembebanan Δl = Pertambahan panjang
Hubungan antara stress dan strain dirumuskan:
E = 𝜎𝜎
𝜀𝜀……...…………...…..….……. (3)
E = Modulus Elastisitas atau Modulus Young (Nm-2)
ε = Enginering Strain
Dari gambar kurva hubungan antara gaya tarikan dan pertambahan panjang
kita dapat membuat hubungan antara tegangan dan regangan (stress vs
strain). Selanjutnya kita dapat gambarkan kurva standar hasil eksperimen uji
tarik.
Deformasi Plastis
Gambar 2.9 Kurva Tegangan dan Regangan Hasil Uji Tarik
Daerah Linear ( elastic limit)
Bila sebuah bahan diberi beban sampai pada titik A, kemudian bebannya
dihilangkan, maka bahan tersebut akan kembali ke kondisi semula (tepatnya
hampir kembali ke kondisi semula) yaitu regangan “nol” pada titik O. Tetapi
bila beban ditarik sampai melewati titik A, hukum Hooke tidak lagi berlaku
dan terdapat perubahan permanen dari bahan tersebut. Terdapat konvensi
batas regangan permamen (permanent strain) sehingga disebut perubahan
Titik Luluh atau batas proporsional
Titik dimana suatu bahan apabila diberi suatu beban memasuki fase peralihan
deformasi elastis ke plastis. Yaitu titik sampai di mana penerapan hokum
Hook masih bisa ditolerir. Dalam praktek, biasanya batas proporsional sama
dengan batas elastis.
Deformasi plastis (plastic deformation)
Yaitu perubahan bentuk yang tidak kembali ke keadaan semula, yaitu bila
bahan ditarik sampai melewati batas proporsional.
Ultimate Tensile Strength (UTS)
Merupakan besar tegangan maksimum yang didapatkan dalam uji tarik.
Titik Putus
Merupakan besar tegangan di mana bahan yang diuji putus atau patah.
2.7 Spektrofotometer FT-IR
Spektrofotometer infra merah terutama ditujukan untuk senyawa organik
yaitu menentukan gugus fungsional yang dimiliki senyawa tersebut. Pola
pada daerah sidik jari sangat berbeda satu dengan yang lain, karenanya hal ini
dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa tersebut. Penetapan secara
kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi)
pada panjang gelombang tertentu yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat
yang standar. Dalam ilmu material, analisa ini digunakan untuk mengetahui
ada tidaknya reaksi atau interaksi antara bahan -bahan yang dicampurkan.
Selain itu, nilai intensitas gugus yang terdeteksi dapat menentukan jumlah