• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resistensi dan Dualitas Struktur Radio

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Resistensi dan Dualitas Struktur Radio "

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e

Resistensi dan Dualitas Struktur Radio Komunitas

1

Gilang Desti Parahita, SIP

November 2012

MAKALAH ini berupaya mengikuti jejak Howley (2005) yang mengisi kurangnya perhatian

para pemikir ekonomi politik terhadap media partisipatoris yang berorientasi kepada

kepentingan level mikro seperti komunitas. Menurut Howley (2005:38), analisis terhadap

situs lokal seperti media komunitas dapat menerangkan proses pertukaran pesan dan

pengaruh (yang tidak setara) antara media komunitas dan media arus utama serta

korporasi media transnasional. Eksistensi media komunitas menjadi lensa untuk melihat

proses dialektika antara struktur-struktur media nasional dan global serta pengalaman

keseharian komunitas lokal.

Pendekatan Howley (2005) tersebut memberi inspirasi baru pada cara pandang atas

media komunitas. Alih-alih memandang media komunitas seperti radio komunitas

semata-mata sebagai teknologi komunikasi yang berdampak pada kehidupan masyarakat, media

komunitas merupakan struktur yang membentuk dan dikontruksi oleh komunitas. Artinya,

kehidupan keseharian komunitas yang dimaksud merupakan titik masuk untuk melihat

dialektika struktur media komunitasdan kehidupan komunitas. Bagaimana suatu

masyarakat akhirnya memilih suatu jenis media untuk sarana komunikasi

komunitasnyamerupakan bukti awal bahwa komunitas melakukan konstruksi atas

teknologi. Terbitan cetak, radio, televisi dan portal komunitas tidak serta merta muncul di

tengah komunitas melainkan didahului dengan proses dialektika yang membentuk suatu

keputusan mengapa suatu bentuk media dipilih.

Di Indonesia, radio komunitas menjadi salah satu media yang dimanfaatkan banyak

komunitas. Banyak penelitian mengenai radio komunitas di Indonesia membahas

bagaimana program siaran radio ituberimplikasi pada pembentukan identitasdan ekspresi

budaya (Suryadi, 2005; Sujoko, 2011), perubahan di masyarakat (Nugroho, 2011; Maryani,

2011), penguatan transparansi pemerintahan desa (Hollander, 2008) dan demokratisasi

1

(2)

2 | P a g e

akar rumput (Birowo, 2006). Penelitian-penelitian tersebut telah menangkap kuatnya

upaya komunitas lokal untuk menghadirkan informasi yang relevan bagi dan representasi

yang adil atas komunitas lokal di luar arus utama informasi.

Tanpa mengurangi nilai pentingnya, penelitian-penelitian tersebut kurang memberi

bobot pada proses dialektika yang terjadi antara komunitas (maksud, tujuan, kebutuhan,

kuasa) dengan struktur radio komunitas (yang mewujud dalam bentuk sistem seperti

teknologi, sistem pengelolaan, sistem regulasi dan sistem media arus utama secara umum).

Padahal dengan melihat proses dialektika tersebut, ekonom politik dapat melihat

hambatan-hambatan maupun peluang-peluang yang secara nyata dihadapi komunitas

dalam meningkatkan kualitas hidup komunitas tersebut maupun dalam memperbaiki

struktur radio komunitas. Selain itu, subjek penelitian umumnya adalah

komunitas-komunitas yang identitas dan kepentingannya terbentuk secara geografis padahal banyak

radio komunitas yang terbentuk karena faktor-faktor kesamaan kepentingan, praktek dan

kultural (Carpentier, et.al., 2008:10) sehingga proses dialektika yang terjadi terbatas antara

radio komunitas dan masyarakat yang terikat geografis tertentu.

Makalah ini bermaksud untuk menawarkan cara lain dalam memandang media

komunitas dengan menyusun basis untuk melihat bagaimana anggota komunitas

mengkomunikasikan kepentingannya melalui radio komunitas dan mengkonstruksi radio

komunitas; serta bagaimana radio komunitas membentuk aksi dan interaksi komunitas

tersebut. Pendekatan ekonomi politik dengan titik masuk strukturasi akan dijabarkan

untuk membangun basis tersebut. Sekali lagi, alih-alih membahas strukturasi media pada

arus utama, pendekatan ekonomi politik akan diarahkan untuk menempatkan radio

komunitas pada strukturasi yang terjadi di komunitasberupa resistensi.

Secara khusus, makalah ini akan mengangkat komunitas buruh perempuan yang

diikat oleh kesamaan kepentingan alih-alih geografis sebagai subjek, yaitu kepentingan

melawan struktur pengupahan dan relasi gender, dalam menggunakan radio komunitas

Marsinah FM yang terletak di Cakung, Jakarta Utara. Dengan demikian, makalah ini

berupaya untuk menyusun basis-basis pemahaman dalam mencermati bagaimana dualitas

struktur radio komunitas dan buruh perempuan, dengan kata lain, bagaimana radio

komunitas membentuk dan dibentuk agensi dan kuasa kaum buruh perempuan. Sehingga,

(3)

3 | P a g e

komunitas dan buruh perempuan, melainkan hanya meramalkannya melalui pendalaman

pustaka dan wawancara terhadap aktivis Radio Komunitas (Rakom) Marsinah FM.

Pendekatan Ekonomi Politik dan Strukturasi

Sistem media merupakan cerminan struktur ekonomi dan politik suatu

masyarakat. Bertolak dari asumsi tersebut, pendekatan ekonomi politik terhadap media

dan komunikasi dibutuhkan untuk: menghubungkan bagaimana sistem dan konten media

dan komunikasi dibentuk oleh kepemilikan, struktur pasar, dukungan komersial, teknologi,

praktek-praktek perburuhan, kebijakan pemerintah, relasi-relasi dalam masyarakat dan

seterusnya. Dalam hal ini, Mosco (2009:4) menegaskan:

...the political economist asks: How are power and wealth related and how are these

in turn connected to cultural and social life? The political economist of

communication wants to know how all of these(kuasa dan kapital, -pen) influence

and are influenced by our systems of mass media, information, and entertainment.

Bermula dari asumsi tersebut, Mosco (2009) menawarkan strukturasi (selain

komodifikasi dan spasialisasi) sebagai salah satu pintu masuk untuk memaham ekonomi

politik media.

Strukturasi adalah proses di mana struktur dibentuk oleh agensi atau keagenan

(agency) manusia, bahkan ketika struktur merupakan medium dari pembentukan itu

(Mosco, 2009:186). Sistem dalam masyarakat dan individu saling membentuk satu sama

lain. Mosco menggunakan sebagian pemikiran strukturasi dari Giddens (1984) untuk

menjelaskan strukturasi. Mosco bersepakat pada Giddens dalam hal:

a. Struktur sebagai dualitas;

Strutur dan agen bukanlah dualisme, dua entitas yang hadir bersamaan namun

independen, melainkan dualitas, yaitu dua entitas yang membentuk satu sama lain

(recursive). Giddens (1984:25) menyebut dualitas struktur sebagai

properti-properti struktural dari suatu sistem sosial yang menjadi medium dan sekaligus

hasil dari praktek-praktek (agensi). Struktur tidak selalu mengekang melainkan juga

memberi peluangberlangsungnya keagenan. Dengan kata lain, membaca

(4)

4 | P a g e

hubungan dialektis. Mosco (2004:186) melihat rules and resources dalam struktur

Giddens dengan: rules sebagai penghambat dan resources sebagai pelicin keagenan.

Agensi dimaknai Mosco (ibid) sebagai individu-individu atau aktor-aktor sosial yang

mana tingkah lakunya dibentuk oleh nexus relasi-relasi dan posisi-posisi sosial

seperti kelas, ras, dan gender.

b. Perubahan sosial;

Gagasan Giddens (1984:xxvii) membuka peluang bagi berlangsungnya perubahan

sosial di dalam dualitas struktur karena menurutnya ilmu-ilmu sosial tidak bisa

memberlakukan hukum universal atas tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia

memiliki sejarah yang berbeda satu sama lain dan sejarah itu sendiri merupakan

hasil maupun pengaruh dari aksi manusia. Perubahan sosial, oleh Giddens (ibid)

kemudian dimaknai sebagai proses skala besar di mana reorganisasi institusional

terjadi. Mosco (2004:186) menyetujui gagasan itu dengan menyatakan kita perlu

memeriksa hubungan antara kecenderungan agen memelihara struktur

(terpeliharanya struktur) dan perubahan sosial yang tak terelakkan (transmutasi

struktur).

c. Refleksivitas agen ataua ktor.

Menurut Giddens (1984:5), aktor memilki kemampuan untuk mengawasi aktivitas

mereka sendiri dan yang lainnya, juga secara rutin memonitor aspek-aspek sosial

dan fisik dari konteks di mana mereka bergerak. Melalui rasionalisasi aksi,

aktor-aktor dapat menjaga‘pemahaman-pemahaman teoritis’ atas aktivitas-aktivitas

mereka (ibid). Rasionalisasi aksi tidak sama dengan kemampuan memberikan

alasan bagi setiaptindakan, tetapi aktor dapat menjelaskan apa yang mereka

lakukan, hanya jika ditanya (Giddens, 1984:6). Pemikiran Giddens tersebut

dipahami Mosco (2004:186) bahwa dengan adanya kemampuan manusia untuk

merefleksikan tindakannya, struktur tidaklah selalu dapat mengatur dan

(5)

5 | P a g e

Meski pada poin-poin disebut di atas Mosco sepakat dengan Giddens, Mosco

mengkritik konsepsi strukturasi Giddens yang tidak konsisten dan dari kacamata ekonomi

politik, strukturasi Giddens terputus dari pemahaman atas kuasa dan pendekatan kritis

atas masyarakat (2009:187). Dengan kata lain, dualitas struktur Giddens hanya mampu

melihat bagaimana struktur bekerja melalui agensi dan tindakan sehari-hari (how) namun

tidak mempertanyakan mengapa tercipta struktur dan agensi yang demikian (why), atau

lebih spesifiknya kuasa tidak dilihat sebagai faktor yang berperan dalam pembentukan

sirkuit reproduksi sosial. Selain itu, karena penekanan Giddens adalah pada agensi

individual, banyak yang tak mengerti pandangan Giddens mengenai struktur selain

seperangkat operating rules dan store of resources yang digunakan agen untuk meraih

kebutuhannya (ibid).

Terlepas dari kekurangan pendekatan strukturasi, pendekatan strukturasi

dipadukan dengan ekonomi politik untuk menganalisis fenomena media dan komunikasi.

Ekonomi politik, menurut Mosco (ibid) memberikan perhatian lebih pada relasi kuasa

sehingga jika pemahaman (makro) tersebut diinkorporasi dengan strukturasi, sehingga

strukturasi dalam ekonomi politik akan mampu melihat bagaimana kuasa (makro)

beroperasi pada tataran pembentukan (constitutive) dan interaksi (interactive) atau mikro.

Pendalaman ketidaksetaraan relasi pada fenomena komunikasi dan media perlu

dilakukan dari titik yang berbeda. Alih-alih melihat strukturasi pada media-media arus

utama, dalam makalah ini penulis mengambil jalan memutar (perspektif subordinat) untuk

memotret dualitas struktur media dan struktur sosial melalui pencermatan atas agensi dan

kuasa buruh perempuan dalam radio komunitas.

‘Resistensi’ dan Dialektika Kontrol

Pada bagian ini, penulis memaparkan konsep resistensi dan dialektika kontrol.

Pemaparan ini dimaksudkan untuk menelusuri di manakah konsep tersebut berada pada

Teori Strukturasi.

Bagi Mosco (2009), resistensi dan oposisi merupakan bagian penting dari agensi

aktor pada dualitas struktur kelas, ras, gender, dan hegemoni. Menurutnya, resistensi

merupakan kemungkinan yang tak terelakkan dalam strukturasi selain aksi sosial karena

struktur seperti kelas tidak hanya bersifat kategorikal, melainkan formasional dan

(6)

6 | P a g e

itu? Salah satunya adalah resistensi. Struktur-struktur seperti kelas, ras, dan gender

berpotongan satu sama lain dalam proses strukturasi, riilnya pada suatu gerakan sosial

yang mengorganisasi energi mereka untuk melakukan resistensi terhadap struktur kelas

termasuk hegemoni). Misalnya, gender dan kelas menjadi basis oposisi dan resistensi pada

kaukus perempuan operator telepon yang berupaya untuk mendapatkan upah dan

lingkungan kerja lebih baik (Mosco, 2009:198).

Istilah “resistensi” itu memiliki beragam makna namun secara umum istilah itu menggambarkan suatu bentuk kuasa dari individu atau sekelompok orang yang dilakukan

secara diskursif, memiliki moda, skala, level koordinasi, target, dan tujuan tertentu, serta

berbasis politik ataupun identitas untuk menjadi oposisi (Hollander dan Einwohner, 2004)

namun makna dari istilah resistensi itu tidak sepenuhnya secara utuh disepakati. Hollander

dan Einwohner (2004) melakukan studi pustaka atas penggunaan istilah resistensi pada

berbagai disiplin untuk melihat konsistensi dan inkonsistensi pembentuk elemen

resistensi. Menurut mereka, aksi dan oposisi merupakan elemen inti dari resistensi.

Resistensi tidak hanya dipahami secara kualitatif melainkan dengan pembuktian yaitu

adanya aksi yang beroposisi dengan sesuatu hal (ibid) .Elemen lain resistensi adalah

rekognisi dan intensi yang mana banyak pemikir memiliki beragam pandangan atas kedua

hal itu (ibid).Dalam hal rekognisi dan intensi, Hollander dan Einwhoner (2004:539-544)

mencatat perdebatan utama para akademisi dalam mendefinisikan resistensi yaitu

haruskah sesuatu hal untuk disebut resistensi, hal itu disadari aktor dan direkognisi oleh

target atau observer?

Pentingnya intensi dan rekognisi dalam pertimbangan sejumlah akademisi atas

definisi resistensi mengindikasikan adanya derajat kesadaran atas tindakan (resistensi

atau tidak) yang dilakukan aktor, sementara rekognisi adalah derajat kesadaran target atau

pengamat bahwa tindakan aktor merupakan resistensi. Dengan demikian, adanya derajat

kesadaran aktor, target maupun pihak lain menunjukkan bahwa suatu tindakan aktor bisa

berarti resistensi terlepas aktor menyadarinya atau tidak selama tindakan itu

‘mengganggu’ sesuatu hal yang lebih diterima di arus utama. Elemen intensi dan rekognisi pada resistensi tersebut mengingatkan pada konsep ketidaksadaran, kesadaran diskursif

(7)

7 | P a g e

Gagasan kesadaran praktek merupakan titik sentral dalam memahami agensi.

Kesadaran praktis adalah pengetahuan praktek sosial sehari-hari yang ada di kepala aktor

(1984:xxii). Kesadaran praktek ini mencakup hal-hal sehari-hari yang diterima aktor apa

adanya (taken for granted) yang mengarahkannya untuk bertindak. Kesadaran yang

digunakan untuk ‘go on’ sehari-hari itu memiliki tatanan yang berbeda dari kesadaran diskursif sedangkan kesadaran diskursif adalah pengetahuan yang dapat diartikulasikan

oleh aktor (1984:45). Tatanan sosial, merupakan konsekuensi dari kesadaran praktek dari

aktor sebab tindakan sehari-hari yang repetitif dan rutin inilah yang membentuk institusi

sosial tanpa harus diintensi (intentional act) untuk menjadi institusi sosial. Sementara itu,

ketidaksadaran (unconscious motives) merupakan sumber dari dorongan-dorongan yang

harus dikendalikan. Kesadaran diskursif dan praktek memiliki batas yang tipis, bisa

ditembus, membentuk aliran informasi; sementara ketidaksadaran dengan kesadaran

praktek dibatasi dengan garis represif. Giddens menggambarkannya sebagai berikut:

discursive consciousness

practical consciousness

unconscious motives/cognition

Gambar 1. Hubungan kesadaran

Konsep-konsep Giddens tersebut tentu saja tidak lantas kompatibel, cocok hingga ke

tiap sudut, dengan multimakna resistensi yang dirangkum oleh Hollander dan Einwohner

(2004). Dalam konsep resistensi Hollander dan Einwohner (2004) tersebut, suatu tindakan

bisa disebut resistensi oleh target atau pengamat meski aktor tidak menyadarinya atau

tidak bermaksud melakukan intensi. Sedangkan Teori Strukturasi Giddens mengesankan

suatu tindakan “untuk menjadi berbeda”, atau “keluar dari alur rutinitas yang dikondisikan oleh struktur”, aktor perlu mengakses kesadaran prakteknya menjadi kesadaran diskursif. Minimal, aktor harus tahu tindakan yang ia lakukan itu “berbeda dari yang seharusnya”.

(8)

8 | P a g e

rutinitas sebelumnya lalu mentranformasi kesadaran prakteknya (dengan berupaya

mengubah aktivitas sehari-hari dan dirutinkan) serta mengartikulasikannya. Di sinilahagen

membentuk struktur melalui agensi yang pada derajat tertentu dipandang sebagai

resistensi. Derajat di sini termasuk besaran konflik yang terjadi antara agen individual atau

kolektif yang menginginkan –meminjam istilah Orlikowski (2000)—“transformasi” dengan

agen lain yang menginginkan “penguatan” (reinforcement) strukur atau sistem, atau

sebaliknya, mempertahankan struktur dan melawan upaya arus utama perubahan yang

sedang terjadi.

Dualitas Marsinah FM dan Buruh Perempuan

Pada bagian ini, penulis akan menunjukkan penerapan Teori Strukturasi Giddens

pada fenomena komunikasi buruh perempuan melalui radio komunitas untuk

menunjukkan bagaimana agensi buruh perempuan mampu mengkonstruksi sekaligus

dibentuk Marsinah FM.

Pada diskursus akademik radio maupun media komunitas internasional, para

akademisi media dan aktivis media komunitas telah menyepakati pentingnya kehadiran

media komunitas pada suatu sistem komunikasi di suatu masyarakat. Secara umum peran

media komunitas bagi masyarakat adalah untuk (Howley, 2005; Fuller, 2007; Bailey,

et.al.:2008; AMARC Afrika 2008):

Membuka peluang bagi komunitas untuk mengkomunikasikan, mengekspresikan,

dan menginformasikan diri mereka, serta mendapat informasi, berdialog dengan

komunitas yang lain, dan membentuk jaringan komunitas;

Mendukung perjuangan masyarakat dalam mengurangi ketidaksetaraan dan

memperluas partisipasi komunitas dalam produksi dan diseminasi informasi baik

pada level lokal, nasional, dan transnasional;

Melakukan peran-peran tersebut di atas dengan membebaskan diri dari

kepentingan maupun intervensi politik dan komersial sehingga memperkecil

peluang terjadinya misrepresentasi, stigmatisasi, represi, keseragaman aspirasi dan

(9)

9 | P a g e

Fungsi media komunitas secara umumyaitu untuk membuka sebesar-besarnya

peluang pemerataan sumber daya termasuk komunikasi menunjukkan bahwa sumber daya

komunikasi selama ini banyak dikuasai oleh kepentingan-kepentingan kelompok

masyarakat arus utama, sebagaimana juga yang terjadi di Indonesia (Rianto, 2012). Ketika

sumber daya komunikasi dikuasai oleh kelompok dominan, upaya kaum tertindas untuk

mendobrak struktur-struktur sosial yang tidak adil akan sulit diwujudkan. Affirmative

action dengan menyediakan frekuensi-frekuensi khusus untuk komunitas merupakan salah

satu upaya untuk memperkecil ketimpangan akses komunikasi.

Di Indonesia, radio komunitas diakui dalam sistem penyiaran nasional. Melalui UU

Penyiaran RI No. 32 Tahun 2002, Indonesia mengenali empat jenis lembaga jasa penyiaran,

yaitu lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas,

dan lembaga penyiaran berlangganan. Undang-undang Penyiaran RI No.32 Tahun 2002

memang masih memaknai radio komunitas sebagai radio yang terikat secara geografis,

yaitu radio yang ditujukan untuk komunitas yang berada dalam jangkauan siaran 2,5 km.

Oleh karena itu, radio-radio komunitas yang berkembang di Indonesia masih berbasis

komunitas geografis. Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) dengan Marsinah FM semula

bermaksud mengadvokasi kesejahteraan buruh perempuan dan kesetaraan gender melalui

Rakom Marsinah FM, namun ketentuan tersebut membuat mereka hanya bisa bersiaran

pada lingkungan terbatas meski pegiat-pegiat Marsinah FM maupun target sasaran

pendengarnya banyak yang berdomisili di luar jangkauan.

Radio Marsinah FM merupakan radio komunitas berlokasi di Cakung, didirikan oleh

salah beberapa orang aktivis Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) yaitu Jumisih (ketua),

Dian Septi (sekretaris) dan Atin (bendahara)2. Populasi buruh perempuan yang bekerja

pada pabrik-pabrik garmen dan tekstil di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Cakung

adalah sebanyak 90 % sehingga berdirinya FBLP pada 2010 dengan pengurus perempuan

dan anggota kebanyakan perempuan dirasakan oleh Dian sebagai konsekuensi yang

alamiah.

2

(10)

10 | P a g e

Semenjak berdirinya FBLP, ketiga pengurus FBLP yang telah melek gender tersebut

berencana mendirikan radio komunitas. Dari titik ini saja kita dapat melihat bahwa radio

tersebut telah diniatkan sebagai arah radio aktivisme. Menurut Dian, media radio

dirasakan lebih efektif dalam menyebarluaskan pesan kesetaraan kepada komunitas buruh

perempuan di Cakung daripada media newsletter. Pernyataan Dian menunjukkan adanya

kesadaran aktivis FBLP untuk menggunakan media sebagai alat untuk mengajak lebih

banyak lagi warga untuk ikut aktif dalam perubahan sosial (Waltz, 2005) dan radio

komunitas tersebut mereka harapkan mampu menyuarakan resistensi mereka terhadap

ketidakadilan yang mereka alami (Bailey, et.al., 2007). Selain itu, Dian menegaskan selama

ini media-media arus utama tidak membuat peliputan yang berimbang terhadap aksi dan

gerakan buruh sehingga radio tersebut diharapkan bisa menjadi informasi alternatif atau

informasi tandingan, suatu kecenderungan khas media gerakan (Porta dan Diani, 2006).

Dalam proses perizinan pendirian rakom, alih-alih mengakui sebagai sebuah

organisasi, Dian dan tim menyampaikan bahwa mereka adalah komunitas buruh

perempuan di Cakung dalam proposalnya. Pendanaan inisial berasal dari hibah yayasan

Cipta Media Bersama yang segera tandas untuk mengongkosi pembelian perlengkapan dan

peralatan siaran dan mengontrak rumah sebagai stasiun radio. Pada tengah 2012, Marsinah

FM mulai mengudara. Saat ini radio tersebut digawangi oleh 23 orang penyiar yang

semuanya adalah buruh perempuan. Bagaimana buruh perempuan yang tak memiliki latar

belakang broadcasting mampu mengoperasikan peralatan penyiaran dan melakukan

siaran? Komunitas tersebut meniadakan segala bentuk formalitas pembelajaran. Menurut

Dian, teknologi tersebut diperkenalkan dan dimanfaatkan laiknya mainan baru oleh

rekan-rekannya. “Jika mereka beajar dengan gembira dan tanpa tekanan, teman-teman akan

cepat belajar,” tutur Dian. Hanya saja, ia membuat aturan bahwa jika peralatan itu rusak, mereka diharuskan memperbaiki atau mengganti. Perlahan tapi pasti, para buruh penyiar

itu mulai menguasai peralatan penyiaran. Lebih dari itu, para buruh perempuan tersebut

mulai mempelajari public speaking dan teknik jurnalistik secara lebih terstruktur melalui

pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh para penyiar Kantor Berita Radio 68 H.

Gambar 1 menerapkan strukturasi Giddens dengan mengadaptasi pemahaman

Orlikowski (2000) atas Giddens. Bagian-bagian dalam bagan tersebut seperti pada

(11)

11 | P a g e

mengadaptasi pemikiran Giddens tentang dualitas struktur tersebut dalam model

technology in practice” yang ia kreasi (tidak ditampakkan di sini). Teknologi hanyalah artefak, ia menjadi struktur yang mencakup rules and resources ketika agen

menggunakannya secara rutin dan repetitif sehari-hari (Orlikowski, 2000:4). Pada gambar

1, fasilitas, norma, dan skema interpretif ditempatkan sebagai tiga dimensi struktur yang

membentuk dan dibentuk agensi (ibid) yaitu fasilitas, norma dan skema intepretif. Ketiga

dimensi tersebut sesungguhnya berlangsung simultan. Akan tetapi, untuk memudahkan

narasi, berdasarkan wawancara dengan pegiat Marsinah FM, penulis menemukan pola tiga

dimensi struktur tersebut sebagai berikut:

Fasilitas adalah wujud material struktur, misalnya lokasi, tanah, bangunan,

teknologi. Dalam konteks ini, fasilitas mencakup bangunan stasiun siaran, studio

siaran, peralatan dan perlengkapan siaran, tower, dan pesawat radio. Fasilitas

tersebut memungkinkan timbulnya kuasa komunitas dalam bentuk partisipasi

komunitas. Corten dan d’Haenens (forthcoming) menunjukkan empat spektrum partisipasi radio komunitas, yaitu pajanan pesan, kehadiran dalam pesan, produksi

pesan, dan kepemilikan media. Fasilitas-fasilitas pada Marsinah FM dan yang

dimiliki oleh komunitas lebih luas mampu memenuhi semua bentuk partisipasi

tersebut. Salah satu saja fasilitas tersebut tidak ada atau tidak berfungsi, komunitas

buruh perempuan tak memiliki kuasa atas diri mereka sendiri. Bangunan kantor

mereka, misalnya, yang saat ini masih dalam status mengontrak tidak lagi bisa

dipakai sejak awal Januari 2013 sehingga sejak Januari 2013 ini mereka terpaksa

berhenti siaran terlebih dahulu untuk mencari kontrakan yang baru.

Teknologi siaran radio memiliki struktur yang berbeda dengan teknologi

media cetak atau moda komunikasi lain sehingga para pegiat radio itu mau tidak

mauharus mempelajari struktur tersebut agar dapat berfungsi.Teknologi memiliki

normanya sendiri. Ketika mereka telah menguasainya, mereka mampu

menunjukkan salah satu fungsi rakom tersebut yaitu memobilisasi massa buruh

perempuan pada aksi demontrasi buruh pada 3 Oktober 2012. Jauh sebelum hari-H,

(12)

12 | P a g e

demonstrasi tersebut. Jangkauan siaran memang terbatas, namun bagaimana

mereka mewacanakan visi dan misi mereka mampu melebihi batasan tersebut.

Fasilitas tidak terpisah dari dimensi norma. Adanya program dan

programming adalah norma struktur fasilitas tersebut. Para pegiat semula tidak

memiliki kemampuan menggunakan teknologi tersebut. Namun, keingintahuan, dan

tiadanya pilihan lain selain mereka sendiri yang belajar membentuk tindakan yang

mampu menaklukkan fasilitas tersebut. Suara yang menjadi basis inheren radio

membuka peluang bagi mereka untuk mengasah keterampilan wicara. Akan tetapi,

penguasaan para pegiat atas teknik penyiapan materi hanya sejauh mencari

informasi melalui google. Penulisan naskah dan teknik jurnalistik baru hanya

dikuasai oleh para pengurus utama (Dian, Jumisih, Atin) sehingga ada kemungkinan

para pegiat yang lain tak memahami bagaimana menyusun materi siaran dengan

teknik jurnalistik yang pada akhirnya bisa menjadi materi siaran alternatif dari

media arus utama.

Norma-norma: aturan yang mengarahkan praktek-praktek agen sehari-hari, dan

yang dibentuk oleh agen melalui praktek sehari-hari. Pada Marsinah FM, norma

untuk ‘menjadi alternatif’ nampak pada tindakan-tindakan para pegiat yang mendobrak stereotip dan nilai-nilai yang sudah mapan. Misalnya, para penyiar

Marsinah FM ketika wawancara dilakukan (9 November) baru saja melakukan

gerakan ‘cukur rambut kepala’. Dian menyampaikan bahwa tindakan tersebut

adalah upaya mereka untuk menunjukkan bahwa perempuan tak harus berambut

panjang. Mereka ingin menguasai tubuh mereka, membuat segala keputusan atas

tubuh mereka sendiri. Selain itu, dalam berkomunikasi sehari-hari mereka tidak

menyebut pihak lain yang lebih tua usianya sekalipun dengan sebutan ‘mas’ atau ‘mbak’. Menurut Dian untuk menghormati orang lain tidak perlu dengan ‘menuakan’, dan untuk dihormati tidak perlu menempatkan diri sebagai ‘yang lebih

tua’. Ungkapan tersebut mencerminkan upaya mereka untuk tidak menerima sesuatu yang telah berlangsung di luar aktor sebagai hal yang tidak perlu dikritisi,

bahwa usia adalah struktur kuasa dalam masyarakat kita. Apabila struktur kuasa

(13)

13 | P a g e

membantah orang yang lebih tua, apalagi struktur lain yang jelas-jelas menunjukkan

ketidakadilan misalnya hubungan antara majikan dan buruh tentu bisa dibongkar.

Bagaimana mereka membentuk ulang norma dan dibentuk norma yang telah

mereka bentuk melalui praktek sehari-hari hingga akhirnya menjadi bagian dari

institusi Marsinah FMmerupakan agensi yang melibatkan skema interpretif.

Dalam hal siaran, norma yang berlaku adalah pembiayaan mandiri dari

komunitas. Sejauh ini, pembiayaan operasional sehari-hari berasal dari iuran

keanggotaan FBLP, induk organisasi yang dikaburkan ketika mereka mengajukan

izin siaran. Marsinah FM akan mengalami kesulitan pembiayaan jika tidak dinaungi

oleh FBLP sebab lingkungan di mana lokasi stasiun mereka adalah lingkungan

penduduk yang bukan menjadi target utama pendengar dan sejauh ini Marsinah FM

belum melihat kebutuhan untuk meminta dukungan pembiayaan dari masyarakat

sekitar.

Gambar 1. Adaptasi dari Orlikowski (2000) yang mengadaptasi Giddens (1984)

Skema interpretif adalah kemampuan refleksi dan rasionalisasi agen. Agen

menggunakan keterampilan, kuasa, pengetahuan, asumsi dan harapan mengenai

radio komunitas dan fungsinya, yang kesemua hal itu dihasilkan melalui pelatihan,

komunikasi, pengalaman sebelumnya (memory). Pada titik inilah agensi

(14)

14 | P a g e

mengkonstruksi radio komunitas sebagai sarana resistensi, dan ketika agen

menentang struktur radio komunitas pada sistem penyiaran dan struktur lain

(pengupahan dan relasi gender, dalam makalah ini yang menjadi

background),struktur Marsinah FM terbentuk.

Rakom Marsinah FM rupanya bukan hanyalah seperangkat teknologi penyiaran,

studio siaran, dan bangunan, melainkan sarana komunikasi yang membantu

membangunidentitas komunitas perlawanan, mengkomunikasikan resistensi terhadap

kelas majikan dan ketidaksetaraan relasi gender, memfasilitasi pertukaran informasi, dan

memberikan edukasi gerakan perlawanan. Fungsi-fungsi tersebut tidak hanya berlangsung

secara on air, melainkan juga secara off air. Mereka menginterpretasikan kehadiran rakom

tidak semata-mata dalam siarannya, namun juga dalam “tidak siarannya”. Rakom tersebut

berubah menjadi situs di mana buruh perempuan yang membutuhkan bantuan advokasi

bisa datang langsung membicarakan masalahnya dengan para pegiat radio tersebut. Dian

menyebut telah beberapa kali para pegiat membantu memediasi permasalahan hubungan

buruh perempuan dengan pasangannya (suami atau kekasih) karena buruh perempuan

tersebut menjadi pendengar rakom itu. Beberapa program seperti Cermin memang

mengarahkan pendengarnya untuk lebih asertif menyampaikan keberatan-keberatan atas

beban sosial yang ditimpakan hanya karena stereotip gender yang tidak setara.

Singkat kata, radio komunitas telah menjadi peluang bagi kelompok-kelompok

sosial untuk menyuarakan ketertindasannya. Radio tidak hanya menjadi penyampai suara

buruh perempuan, melainkan juga menjadi sarana merefleksikan tindakan sehari-hari

buruh perempuan yang menjadi pegiat maupun pendengar.

***

Daftar Pustaka

AMARC Africa and Panos Southern Africa, 1998. What is Community Radio?

Armando, A.(2011),Televisi Jakarta di Atas Indonesia, Yogyakarta: Bentang.

Bailey, O.G. et.al.(2007), Understanding Alternative Media, New York: Open University Press.

Birowo, M.A.(2006), “Community Radio Movement in Indonesia: a case study of Jaringan Radio

(15)

15 | P a g e

Corten, M. Dan d’Haenens, L. (forthcoming), “Towards an integrated framework measuring community engagement, the case of publicradio in Flanders”, Working Paper yang intisarinya dipresentasikan di IICC, Indonesia: 6-7 November 2012 dan naskah asli dikirim ke penulis.

Fuller, L.K. (2007), “Introduction” pada Fuller, L.K. (ed.), Community Media: International Perspectives, New York: Palgrave.

Howley, K. (2005), Community Media: People Places, and Communication Technologies, Cambridge: Cambridge University Press.

Hollander, E., et.al. (2008). “Community Radio in Indonesia: a Re-Invention of Democratic

Communication.” Javnost-the public Vol. 15, pp. 59-74.

Hollander, J.A . dan Einwohner, R.L. (2004), “Conceptualizing resistance”, Sociological Forum, Vol. 19(4), 533-554.

Maryani, E. (2011), Media dan Perubahan Sosial: Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas, Bandung: Rosdakarya.

Masduki, (2007), Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal, Yogyakarta: LkiS.

McChesney, R., (2004), “Making a Molehill out of a Mountain: the Sad State of Political Economy in

U.S. Media Studies”, dalam Calabrase,A. Dan Sparks, C, Toward Political Economy of Culture,

Oxford: Rowman & Littlefield Publishers,Inc.

Mosco, V.,(2009), The Political Economy of Communication:2nd Edition, London: Sage Pubs.

Nugroho, Y., et.al. (2012), “Mapping the Landscape of the Media Industry in Contemporary

Indonesia,” Jakarta: Creative Commons.

Orlikowski, W.J. (2000), “Using technology and constituting structures: a practice lens for studying

technology in organizations,” Organization Science, Vol. 11 (4), 404-428.

Porta, D.D. dan Diani, M.,(2006), “Introduction”, dalam Porta dan Diani (eds.), Social Movements: an Introduction, Second Edition, Victoria: Blackwell Publishing.

Rianto,P., et.al.,(2012), Dominasi TV Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan, Yogyakarta:PR2Media-Yayasan Tifa.

Sujoko, A.(2011). “Talking Culture: Indonesian community radio and the active audience,” Social Alternatives:, Vol.30, p. 16.

Suryadi, (2005), “Identity, Media, and the Margins: Radio in Pekanbaru, Riau”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol.36, No.1, pp.131-151.

Waltz, M., (2005), Alternative and Activist Media, Edinburgh: Edinburgh University Press. UU Penyiaran RI No. 32 Tahun 2002.

Gambar

Gambar 1. Adaptasi dari Orlikowski (2000) yang mengadaptasi Giddens (1984)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kajian ini PPBK bermaksud menjadikan penggunaan komputer melalui perisian yang dibangunkan sebagai alat bantuan bagi pelajar menerapkan kemahiran berfikir secara kritis

Antara khidmat yang beliau berikan kepada karya tasawuf ialah mentakhrijkan hadis-hadis kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din oleh Imam al- Ghazali.. Namun, al-Zirikli hanya menyebut

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 48 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4502) sebagaimana telah

Banyak materi pembelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk membangun karakter bangsa, dengan melalui penanaman dan transformasi nilai-nilai keimanan dan ketakwaan,

Dalam konten tersebut, para Youtubers (sebutan bagi kreator konten youtube) senantiasa berbagi informasi pengalaman dan kegiatan sehari-hari dengan pembawaan dan ciri

Pada umumnya, guru menyatakan bahwa idealnya sebuah pembelajaran IPA Terpadu adalah sebelum disampaikan, hendaknya memilih materi yang nantinya akan dikaitkan satu

Karakterisasi metode paper analytical device berbasis pencitraan digital untuk deteksi logam kadmium dengan menggunakan beberapa kondisi percobaan dan optimum.

Setelah melakukan percobaan dengan software ETAP 4.0, penulis dapat menyimpulkan bahwa motor membutuhkan arus yang besar saat starting, menyebabkan arus pada