• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN KEHUTANAN BERBASIS KOMUNITAS SEBAGAI PENCEGAHAN TERJADINYA DEFORESTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGELOLAAN KEHUTANAN BERBASIS KOMUNITAS SEBAGAI PENCEGAHAN TERJADINYA DEFORESTASI "

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN KEHUTANAN BERBASIS KOMUNITAS SEBAGAI PENCEGAHAN TERJADINYA DEFORESTASI

By Aditya Fathurrahman

Mengutip dari Dauvergne, pemerintah negara-negara tropis seringkali mengklaim bahwa masyarakat lokal di sekitar hutan yang mempunyai teknik pertanian tradisional mereka sebagai penyebab deforestasi dan kemiskinan mereka dianggap sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan (Dauvergne, 1993). Pertumbuhan populasi masyarakat sekitar hutan yang tidak seimbang dengan sumberdaya alam yang jumlah terbatas menyebabkan adanya deforestasi.

Ditambah faktor sebagian besar masyarakat disekitar hutan mengalami kemiskinan menyebabkan mereka mengeksploitasi segala sumber daya yang ada di hutan untuk kebutuhan sehari-hari dan nantinya mengakibatkan kelangkaan. Oleh karena itu, salah satu cara mencegah laju deforestasi yang berlebihan adalah melalui program pengelolaan hutan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan di Indonesia harus ada perubahan paradigma dari State Based Forest Management (SBFM) menjadi Community Based Forest Management (CBFM). CBFM adalah pengelolaan hutan oleh masyarakat hutan di hutan milik negara. Menurut Charnley dan Poe, terdapat beberapa kondisi yang harus dipenuhi agar konsep CBFM dapat diterapkan (Charnley & Poe, 2007). Pertama, komunitas memiliki ciri-ciri tersendiri yang harus dipahami dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Kedua, desentralisasi hak, tanggung jawab, dan kewenangan dari negara untuk masyarakat hutan sampai batas tertentu. Ketiga, pemanfaatan hutan dapat terjadi dengan cara yang berkelanjutan secara ekologis dan kompatibel dengan konservasi hutan. Keempat, kontrol lokal yang lebih besar untuk kesehatan hutan dan pemanfaatan hutan yang lebih berkelanjutan secara ekologis, Terakhir, kontrol lokal yang lebih besar untuk meningkatkan manfaat masyarakat setempat terkait dengan hutan dan pengelolaan hutan.

(2)

unit spasial kecil, komunitas sebagai struktur sosial yang homogen, dan komunitas sebagai norma-normas bersama. Konsep komunitas sebagai unit spasial kecil dapat mengabaikan pengguna hutan yang paling penting, seperti masyarakat adat yang masih hidup dengan cara nomaden ataupun masyarakat transmigran. Kedua masyarakat tersebut harus diperhatikan dalam mendefinisikan komunitas yang akan mendapatkan alokasi pemanfaatan dan hak pengelolaan. Oleh sebab itu, perumus kebijakan kehutanan harus melihat sebuah komunitas disekitar hutan sebagai orang-orang yang bergantung dengan hasil hutan.

Konsep komunitas sebagai struktur sosial yang homogen harus dipahami tidak selalu berarti bahwa sumber daya akan dikelola dengan cara yang egaliter. Ditengah struktur sosial yang

homogen, terdapat hierarki yang ada dalam masyarakat pedesaan untuk dapat berfungsi meminggirkan seseorang dalam pengelolaan sumber daya (Agrawal & Gibson, 1999). Individu di setiap komunitas dapat mengalami berbagai tingkat inklusi dan eksklusi dalam pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat. Hal tersebut dapat menyebabkan setiap proses pengambilan keputusan bisa menghasilkan sebuah kesenjangan sosial.

Konsep komunitas sebagai norma-norma bersama dan kepentingan umum menunjukkan bahwa semua anggota kelompok memiliki nilai dan preferensi yang sama. Meskipun norma-norma bersama dapat memfasilitasi konservasi sumber daya, norma-norma dapat tidak mendukung tujuan konservasi. Sebuah komunitas juga belum tentu memiliki kepentingan bersama dalam sumber daya (Nygren, 2005). Sebagai contoh perempuan mungkin menggunakan sumber daya tertentu dari pohon dalam memasak dan mendapatkan obat-obatan, sedangkan laki-laki ingin menebang pohon yang sama untuk menjual kayu. Perbedaan norma dan kepentingan tersebut harus diatasi dengan cara mempertimbangkan banyak nilai.

Selanjutnya, dalam CBFM, pemerintah harus menerapkan desentralisasi dan devolusi hak, tanggung jawab, dan kewenangan pengelolaan hutan untuk komunitas di sekitar hutan. Desentralisasi didefinisikan sebagai sebagai keadaan ketika pemerintah pusat mentransfer

(3)

pengguna hutan lokal (Charnley & Poe, 2007).Desentralisasi dan devolusi dapat terjadi secara bersamaan, tetapi kedua hal tersebut adalah proses yang berbeda yang menyiratkan hasil yang berbeda.

Melihat perkembangan pengelolaan hutan di berbagai belahan dunia, desentralisasi dan devolusi pada pengelolaan hutan kenyatannya banyak yang tidak terealisasi. Terbukti dengan sulitnya menemukan sebuah kasus dimana pemerintah pusat telah mengalihkan segala kontrol atas penggunaan dan pengelolaan hutan kepada komunitas (Ribot et al, 2006). Pengalihan kepemilikan hutan dari negara kepada komunitas bahkan lebih langka. Tantangan lain terjadi ketika pengelolaan hutan didesentralisasi kepada pemerintah daerah tanpa sumber daya yang

memadai untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Pada akhirnya, pengelolaan hutan dalam kebanyakan kasus tetap di tangan negara.

Kegagalan dalam melakukan desentralisasi dan devolusi pengelolaan hutan dapat menghasilkan ketegangan apabila janji pemerintah pusat berada dibawah harapan komunitas. Beberapa wilayah menerapkan kebijakan desentralisasi dan devolusi merupakan perubahan dalam cara pemerintah pusat mengontrol pengelolaan hutan dan komunitas disekitarnya. Wilayah lain menganjurkan untuk adanya peran pemerintah pusat dalam pengelolaan hutan berbasis komunitas sebagai fungsi pendukung (Larson, 2005). Contoh fungsi tersebut termasuk mediasi konflik, penegakan hukum, pemberian bantuan hukum, teknis, dan keuangan, dukungan pembangunan kapasitas masyarakat setempat, dan membela masyarakat terhadap kepentingan eksternal yang kuat. Selain itu, proyek kehutanan masyarakat bisa menjadi salah satu contoh yang berhasil untuk meningkatkan tata kelola hutan dengan cara lain (Larson, 2005). Peningkatan tersebut termasuk peningkatan hak akses dan pengelolaan hutan dan peningkatan partisipasi dalam manajemen pengambilan keputusan hutan oleh orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki suara.

Hal yang paling fundamental dari CBFM adalah pemanfaatan hutan dapat terjadi dengan cara

(4)

untuk masalah tersebut, penting untuk mengkaji potensi pemungutan dari hasil hutan berupa kayu dan non kayu yang akan dilakukan secara berkelanjutan.

Dampak dari penebangan kayu di hutan tergantung pada intensitas pemungutan yang terjadi dan sifat dari proses ekstraksi. Tebang pilih adalah jenis yang paling umum dari penebangan komersial di hutan hujan tropis. Sebagian besar dampak destruktif yang terkait dengan itu adalah hasil dari pembangunan jalan dan kerusakan pohon bukan target yang disebabkan oleh proses ekstraksi. Dengan tebang pilih pun memiliki efek negatif pada keanekaragaman hayati yang bakal terganggu ekosistemnya. Namun, hutan hujan tropis dengan pengaturan suksesi ekologi dalam penebangan kayu dapat menghasilkan regenerasi hutan yang akhirnya biasa disebut

sebagai proses penebangan kayu berkelanjutan.

Salah satu cara menerapkan penebangan kayu berkelanjutan adalah dengan membuat community-based forest enterprises (CFE). CFE adalah industri hutan yang dikelola oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya untuk mata pencaharian yang berfokus pada produksi, pengolahan, dan perdagangan kayu serta dapat berpartisipasi dalam jasa lingkungan (Molnar et al, 2008). Kebanyakan, tetapi tidak semua CFE, sesuai dengan definisi dari Usaha Kecil Menengah (UKM), baik karena jumlah karyawan atau investasi modal. Jadi, dalam sistem CFE ini, lahan pohon yang ditebang untuk produksi kayu harus ditanam kembali sejumlah pohon yang ditebang. Untuk melakukan penanaman kembali tersebut, CFE menawarkan jasa lingkungan kepada donator ataupun negara maju berupa restorasi hutan.

Sementara itu, pemungutan dari hasil hutan non kayu dianggap lebih berkelanjutan secara ekologis dan kompatibel dengan konservasi keanekaragaman hayati. Namun, pemungutan dari hasil hutan kayu akan berbahaya jika dilakukan tanpa regulasi. Sumber daya yang tersedia nantinya akan semakin menipis dan bisa terjadi sebuah kelangkaan. Efek langsung dari kelangkaan tersebut adalah perubahan yang terjadi dalam tingkat kelangsungan hidup komunitas yang tergantung oleh hasil hutan non kayu tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah aturan

(5)

CBFM juga memerlukan kontrol lokal yang lebih besar atas pengelolaan hutan yang akan menghasilkan lebih kehutanan berkelanjutan secara ekologis. Argumen ini didasarkan pada pengamatan bahwa pemerintah dan perusahaan pada umumnya melakukan perkejaan yang buruk dalam mengelola hutan. Pemerintah juga tidak mempunyai kemauan politik untuk mengalokasikan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan rencana yang sudah ada dan menegakkan peraturan.

Komunitas yang tinggal paling dekat dan yang paling bergantung pada hutan lebih mungkin untuk mengelola hutan secara lestari daripada pemerintah pusat atau perusahaan karena mereka memiliki kepentingan terbesar pada hutan. Selain itu, komunitas tersebut lebih cenderung untuk

mengambil tanggung jawab untuk kesehatan sumber daya hutan jika mereka memiliki rasa kepemilikan dan kontrol atas mereka. Komunitas lokal, yang secara geografis dekat dengan hutan, juga mungkin dapat melaksanakan perlindungan dan memerintah fungsi penegakan hukum pengelolaan sumber daya hutan melalui lembaga adat ataupun lembaga desa. Komunitas lokal juga didukung oleh pengetahuan ekologi tradisional dan lokal tentang hutan.

Terakhir, CBFM memerlukan kontrol lokal yang lebih basar atas pemanfaatan dan pengelolaan hutan untuk bisa menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi yang lebih bagi komunitas di sekitar hutan. Argumen ini didasarkan pada beberapa hal (Larson, 2003), yaitu :

a. Pemerintah pusat cenderung memprioritaskan kepentingan industri nasional dan swasta di atas kepentingan lokal dalam pengelolaan hutan

b. Institusi lokal dapat merespon kebutuhan lokal lebih efisien dan efektif daripada pemerintah pusat karena memiliki informasi lebih lanjut tentang kebutuhan komunitasnya, memahami mereka lebih baik, dan bertanggung jawab kepada masyarakat setempat

c. Kontrol lokal menciptakan lebih banyak kesempatan bagi kelompok terpinggirkan untuk mempengaruhi kebijakan

(6)

masalah kesalahan pengelolaan hutan, penguran penyalahgunaan hutan oleh individu, hingga membangun kapasitas komunitas itu sendiri. Dengan komunitas di sekitar hutan mendapatkan segala manfaat dari hutan, dapat dipastikan bahwa komunitas akan sangat merawat dan menjaga hutan tersebut agar dapat bermanfaat bagi keturunan-keturunan mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Larson, A.M. “Democratic Decentralization in the Forestry Sector : Lesson Learned from Africa, Asia, and Latin America” dalam C.J.P. Colfer dan D. Caspistrano (eds.), (2005). The Politics of Decentralization : Forests, Power, and People. London : Earthscan

Sumber Jurnal

Agrawal, A. dan CC. Gibson. (1999). “Enchanment and Disenchantment : The Role of Community in Natural Resource Conservation”. World Development (Vol.27/No.4). Hlm. 629 -649

Charnley, Susan dan Melissa R. Poe. (2007). “Community Forestry in Theory and Practice : Where Are We Now?”, Annual Review of Anthropology (Vol.36). Hlm. 301-336

Dauvergne, Peter. (1993). “The Politics of Deforestation in Indonesia”, Pacific Affairs (Vol.66/No.4). Hlm. 497-518

(7)

Ribot J.C., Agrawal A., dan Larson A.M. (2006). “Recentralizing While Decentralizing : How National Governments Reappropriate Forest Resources”, World Development (Vol.34/No.11). Hlm. 1864-1886

Larson, A.M. “Decentralisation and Forest Management in Latin America : Towards a Working Model”, Public Administrative Development (Vol.23). Hlm. 211-226

Sumber Laporan

Mornal, Augusta, dkk. (2008). Community-based Forest Enterprises in Tropical Forest Countries

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari program BSM- SMA NEGERI adalah membantu siswa dari kelurga tidak mampu agar dapat memperoleh layanan pendidikan yang layak atau untuk membantu siswa

ayam broiler memberikan hasil yang nyata lebih tinggi (P<0,05) dari pada ayam yang mendapat perlakuan ransum tanpa ampas tahu (perlakuan A), tetapi tidak

Berdasarkan informasi, fenomena, dan permasalahan yang terjadi penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, ” Pengaruh Iklan dan Atribut Produk

Dalam UU Wakaf, pasal 62 yang menjelaskan tentang penyelesaian sengketa mengenai wakaf, disebutkan apabila penyelesian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang

3.1 Mengenal teks deskriptif tentang anggota tubuh dan pancaindra, wujud dan sifat benda, serta peristiwa siang dan malam dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia

Kata Kunci : Nilai Ekonomi, Sumberdaya Alam, Total Hutan Mangrove Pasca Rehabilitasi di Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti mempunyai gagasan untuk mengadakan penelitian tentang adakah korelasi kecerdasan spiritual dengan motivasi belajar siswa pada