TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi
Ilmu Al-Quran dan Tafsir
Oleh
Moh. Assafiqi
Nim. F 120 515 245
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
NILAI KEBALAGHAHAN AL-QUR’AN
(Kajian Metafora dalam Kitab Tafsi>r al-Muni<r fi< al-Aqi<dah wa al-Shari<’ah wa al-Manhaj karya Wahbah al-Zuhaili)
Balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan pada kehalusan jiwa dan ketajaman menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar
di antara macam-macam uslu>b (gaya bahasa). Ilmu balaghah selain mengkaji
bagaimana cara mengungkapkan makna atau arti dengan menggunakan susunan kalimat yang indah dan pilihan kata yang tepat dengan berbagai gaya bahasa yang berbeda-beda, juga mengkaji bagaimana seni menggambarkan suatu ungkapan bahasa dengan berbagai bentuk gambaran imajinatif dalam mengekpresikan suatu makna.
Salah satu seni pengungkapan makna dalam bentuk gambaran imajinatif
yang dikemukakan pada sebagian ayat-ayat al-Qur’an adalah menggunakan gaya
babasa isti'a>rah (metafora). Para mufassir banyak yang memberi perhatian
tentang pembahasan gaya bahasa isti’a>rah, termasuk Wahbah bin Mus}tafa
al-Zuhaili.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang pemahaman wahbah al-Zuh{aili dalam kitab Tafsi>r al-Muni>r fi<
al-Aqi<dah wa al-Syari<’ah wa al-Manhaj, mengenai jenis gaya bahasa metafora
yang terdapat dalam surat Ali Imra>n, aplikasi dalam penafsirannya, serta implikasi yang ditimbulkan bagi pembaca.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang mengarah kepada penjelasan model deskriptif analisis, yaknin mengklasifikasikan
ayat-ayat yang mengandung maja>z isti’a>rah, menguraikan, kemudian
menganalisis implikasinya. Pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah pendekatan ilmu baya>n dan kebahasaan, dengan teknik pengumpulan data melalui riset kepustakaan (library research).
Penelitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa, pertama, ragam pengungkapan gaya bahasa metafora dalam surah Ali Imra>n mencakup isti’a>rah tas}ri>h}iyyah, isti’a>rah makniyah, isti’a>rah as}liyah, isti’arah taba’iyah, dan isti’a>rah murassah}ah. Kedua, Impliaksi yang ditimbulkan adalah iz}ha>r khafiy, yakni menampakkan perkara yang masih samar, i>d}a>hu z}a>hir laisa bi al-jaliy, yakni menjelaskan perkara yang telah nampak namun belum terlalu jelas,
muba>laghah, yakni memberi kesan sangat atau hiberpolik, dan ja’lu ma> laisa bi
DAFTAR ISI
Pernyataan Keaslian ... i
Persetujuan Pembimbing ... ii
Lembar Pengesahan ... iii
Pedoman Transliterasi ... iv
Motto ... v
Abstrak ... vi
Kata pengantar ... vii
Daftar Isi ... ix
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Rumusan masalah ... 9
D. Tujuan Penelitian ... 9
E. Kegunaan penelitian ... 10
F. Penelitian terdahulu ... 11
G. Kerangka Teoretik ... 13
H. Metode penelitian ... 16
I. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II: BALAGHAH DAN ISTI’A>RAH A. Pengertian Balaghah ... 20
B. Pembagian Balaghah ... 24
C. Pengertian Isti’a>rah ... 25
E. Pembagian Isti’a>rah ... 30
BAB III: WAHBAH AL-ZUH}AILI DAN TAFSIR AL-MUNI>R A. Biografi Wahbah al-Zuh}aili ... 37
B. Kehidupan dan Pendidikan al-Zuh}aili ... 37
C. Karir ilmiah al-Zuh}aili ... 39
D. Karya-karya al-Zuh}aili ... 41
E. Kitab Tafsi>r al-Muni>r ... 43
F. Karakteristik Tafsir ... 44
G. Metode Tafsir ... 45
H. Corak Tafsir ... 49
BAB IV: METAFORA DALAM AL-QUR’AN PRESPEKTIF AL-ZUHAILI A. Jenis dan Aplikasi Penafsiran Ayat Metafora ... 51
B. Implikasi Ayat Metafora ... 95
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 109
B. Saran ... 110
Daftar Pustaka ... 111
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sistem lambang. Sistem lambang bahasa berdasar pada
hubungan antara pembicara atau penulis sebagai pemberi pengaruh dan
pendengar atau pembaca sebagai penerima. Bahasa merupakan sarana interaksi
dan pengalihan pikiran antara pemberi pengaruh dan penerima. Lahirnya lambang
bunyi bahasa ini adalah untuk memenuhi makna yang spesifik, yang dimaksud
oleh pembicara dan dipahami oleh penerima (pendengar). Sebagaimana yang
dikemukakan Richard bahwa lambang bahasa memiliki unsur bentuk dan makna.
Unsur bentuk dari lambang bahasa itu berupa ucapan dalam bahasa lisan dan
tulisan dalam bahasa tulis, sedangkan makna adalah sesuatu yang ada dalam
bentuk itu.1
Bahasa Arab memiliki keistimewaan dibanding bahasa-bahasa lainnya,
bukan saja Bahasa Arab memiliki nilai sastra bermutu tinggi bagi mereka yang
mengetahui dan mendalami, akan tetapi karena Bahasa Arab ditakdirkan sebagai
bahasa al-Qur'an, mengkomunikasikan kalam Allah yang mengandung uslu>b
bahasa mengagumkan dan tidak seorangpun manusia mampu menandinginya.
Bahasa Arab ditakdirkan sebagai Bahasa agama, sehingga tidak heran
al-Syafi’iy, salah seorang imam madzhab (w. 820) menetapkan hukum wajib bagi
1 Hasan Alwi dan Dendi Sugono, Telaah Bahasa dan Sastra, (Jakarta: Pusan Pembinaan dan
setiap orang Islam untuk mempelajari bahasa Arab, sehingga dengannya dapat
dilafalkan dua kalimat syahadat, bacaan-bacaan shalat yang wajib dan membaca
al-Qur’an.2
Pada saat bahasa dan sastra Arab berada dalam puncak kegemilangannya
pada empat belas abad yang lalu, al-Qur'an diturunkan. Pada masa itu banyak ahli
bahasa dan sastra seperti Walid bin Mughirah, yang meragukan kebenaran
al-Qur’an sehingga mereka merasa mampu untuk menandinginya. Kemudian dalam
beberapa tempat di dalam al-Qur’an seperti surat al-Baqarah ayat 23, Hu>d ayat
13, dan al-Isra>’ ayat 88, Allah menantang mereka untuk membuat semisal
al-Quran dengan berbagai upaya dan usaha yang mereka miliki, dan inilah salah
satu unsur kemukjizatan al-Qur’an.3
Kemukjizatan al-Qur’an telah terbukti sejak awal turunnya dengan tidak
ada seorangpun dari orang Arab maupun non Arab yang mampu menandinginya,
padahal mereka memiliki tingkat fasha>hah dan balaghah yang sangat tinggi. Hal
ini diakui oleh salah seorang satrawan yang terkenal hebat dan masyhur pada
masa itu, yaitu Abu al-Walid bin al-Mughirah, setelah ia mendengar firman Allah
surat al-Muddasir ayat 24 yang dibacakan oleh Rasulullah dihadapannya, ia
berkata: "Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah ini, ini
(al-Qur’an) bukanlah sya'ir, bukan sihir, dan bukan pula kata-kata ahli tenung. Sesungguhnya al-Qur'an ini ibarat pohon yang daunnya rindang, akarya terhujam
2 Wahbah bin Mus}tafa Al-Zuh{aili, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-'Aqi>dah wa al-Shari>'ah wa al-Manhaj,
Vol. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Ma'as}ir, 1418 H.), 36.
ke dalam tanah, susunan kata-katanya manis, indah dan enak didengar. Ini
bukanlah kata-kata manusia, tidak ada yang dapat menandinginya.4
Para ulama berbeda pandangan mengenai aspek kemukjizatan al-Qur’an.
Ada yang berpendapat kemukjizatan al-Qur’an terdapat pada susunan katanya,
tentang pemberitaan masalah yang ghaib (hal-hal yang bersifat masa mendatang
atau kejadian masa lalu) serta isinya banyak mengandung pengetahuan yang luas.
Sebagian ulama menyatakan i’ja>z al-Qur’an terdapat pada lafaz{-lafaz{, sistem dan
susunannya yang indah, kandungan maknanya yang jelas, redaksi dan gaya
bahasa al-Qur’an sangat tinggi, dan tidak ada yang sanggup menandinginya.5
Aspek lafaz{, gaya bahasa, dan sistem struktur tersebut berada dalam satu
cakupan, yaitu cakupan ilmu Balaghah yang menjadi aspek keistimewaan
al-Qur'an. Namun kemukjizatan al-Qur’an bukan hanya pada kejelasan dan
kesastraannya saja, tetapi juga masih banyak aspek lain yang dapat menimbulkan
kemukjizatan al-Qur'an. Manna’ al-Qat}t}an menyebutkan bahwa ada tiga aspek
penting kemukjizatan al-Qur'an, yaitu; 1) I'ja>z al-Qur'an dari aspek kebahasaan
(al-i'ja>z al-Lughawy); 2) I'ja>z al-Qur'an dari aspek keilmuan (al-i’ja>z al-'ilmy); dan 3) I'ja>z al-Qur'an dari aspek penerapan hukum (al-i'ja>z al-tashri>'iy).6
al-I'ja>z al-lughawy dalam al-Qur’an dapat diteliti dengan berbagai
pendekatan, dapat ditinjau dari aspek sintaksis (ilmu al-nah{wi), morfologis (ilmu
al-s{arf), ataupun dari segi kasusastraannya (bala>ghah). Fokus kajian dalam
penelitian ini adalah kesastraan al-Qur’an dari tinjauan gaya bahasa isti’a>rah.
4 Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burha>n Fi> Ulu>m al-Qur'a>n, Vol. 2 (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>th, tth), 110.
5 Ibid., 97
Balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan pada kehalusan
jiwa dan ketajaman menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar
di antara macam-macam uslu>b (gaya bahasa). Balaghah adalah ilmu yang
mengolah makna yang tinggi dan jelas, dengan ungkapan yang benar dan fashih
yang memberi kesan yang mendalam di dalam jiwa dan sesuai dengan situasi dan
kondisi orang-orang yang diajak bicara.7
Balaghah merupakan kemampuan dalam mengekspresikan apa yang ada di
dalam jiwa, dengan ungkapan yang benar, jelas serta memberi kesan yang
mendalam baik dari segi keindahan lafadz maupun maknanya sesuai dengan
situasi dan kondisi. Menurut al-Baqilla>niy, kebalaghahan al-Qur’an adalah
keindahan naz}am (susunan dan pemilihan diksi yang tepat), dan kekuatan
maknanya yang tidak dapat ditandingi oleh siapapun.8
Dalam perkembangannya, ilmu Balaghah dikategorikan ke dalam tiga
bagian, yaitu; ilmu al-ma’a>ni, ilmu al-baya>n, dan ilmu al-badi>’. Ilmu al-Ma'a>ni adalah ilmu yang membahas tentang kesesuaian ujaran atau ungkapan dengan
situasi dan kondisi lawan bicara (komunikan). Ilmu al-Baya>n merupakan seni
pengungkapan makna dengan berbagai gaya ekspresi yang indah. Ilmu al-badi>'
membahas tentang keindahan ungkapan bahasa setelah diekspresikan dengan
gaya bahasa yang indah dan disesuaikan dengan konteks wacana.9
Dari tiga bidang yang terdapat dalam ilmu Balaghah, pembahasan yang
mendapatkan perhatian lebih dari para ahli sastra dan keindahan bahasa adalah
7 Ali al-Ja>rimi Musthafa Amin, al-Bala>ghah al-Wad{i>h{ah, (London: Da>r al-Ma’arif, tth), 8. 8 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Bahasa dan Sastra Arab, (Yogyakarta: Karya Media, 2013), 41.
9 M. Sholehuddin Shofwan, Maba>di al-Bala>ghah Pengantar Memahami Jauharul Maknun, Vol. 1
Ilmu al-Baya>n. Ilmu Balaghah selain mengkaji bagaimana cara mengungkapkan
makna atau arti dengan menggunakan susunan kalimat yang indah dan pilihan
kata yang tepat dengan berbagai gaya bahasa yang berbeda-beda, sehingga
ungkapan tersebut mempunyai keindahan bahasa dan memberi pengaruh pada
lawan bicara atau pendengamya, juga mengkaji bagaimana seni menggambarkan
suatu ungkapan bahasa dengan berbagai bentuk gambaran imajinatif dalam
mengekpresikan suatu makna.
Gambaran imajinatif dalam Balaghah dapat diproyeksikan ke dalam
bentuk tashbi>h (simile), maja>z mufrad (fiquratif), maja>z isti’a>rah (metafora) dan kina>yah (metonimia). Masing-masing gambaran imajinatif tersebut memiliki
uslu>b tersendiri, tidak terkecuali gaya bahasa isti’a>rah (metafora). Dalam
klasifikasinya, isti’a>rah termasuk dalam pembagian maja>z al-lughawi10, yang
memiliki ta’alluq (hubungan) berupa keserupaan (tashbi>h). Sedangkan Gorys
Keraf, menyebutnya dengan istilah metafora, yaitu semacam analogi yang
membandingkan dua hal secara langsung tetapi dengan bentuk yang singkat.11 Penelitian dalam tesis ini difokuskan pada kajian kitab Tafsi>r al-Muni<r fi<
al-Aqi<dah wa al-Shari<’ah wa al-Manhaj karya Wahbah al-Zuhaili. Wahbah
Must}afa al-Zuh{aili merupakan seorang ulama dan akademisi yang lahir di Syiria
10 Maja>z al-lugha>wi adalah kata yang digunakan bukan pada makna sesungguhnya karena ada hubungan disertai qari>nah yang mencegah peletakkan makna yang sesungguhnya. Qari>nah adalah kata yang mencegah peletakkan makna asli. Seperti kata z}uluma>t dan nu>r, yang semula memiliki makna asli kegelapan dan cahaya diartikan kesesatan dan petunjuk (نامأاو لاضلا). Lihat Ali
al-Ja>rimi Musthafa Amin, al-Bala>ghah al-Wadhi>h{ah, 76.
11 Gorys keraf, Diksi dan Gaya Bahasa Komposisi Lanjutan 1, (Jakarta: Gramedia Pustaka
dan dikenal sebagai sosok yang produktif dalam menghasilkan karya tulis.
Wahbah al-Zuh{aili menulis banyak artikel, makalah dan buku buku lintas disiplin
keilmuan semisal hukum Islam, Fiqh, Tafsi>r, dan Us}u>l.12
Sosok al-Zuh{aili dikenal secara luas dalam dunia Islam berkat gagasannya
yang tertuang dalam berbagai karya tulis yang ia susun. Pemikirannya dianggap
sebagai representasi intelektual Islam kontemporer. Ia dikenal sebagai ulama
yang menjembatani kelompok klasik dan modern. Artinya, secara konsisten
al-Zuh{aili masih menggunakan metode dan pendekatan tokoh-tokoh klasik dalam
memecahkan permasalahan kontemporer saat ini.
Kitab Tafsi>r al-Muni>r karya al-Zuh{aili merupakan kitab tafsir yang
bercorak fiqh atau hukum Islam, namun salah satu yang menarik dari kitab
karangan al-Zuh{aili ini adalah karakteristik penulisannya yang menyajikan
pembahasan khusus mengenai aspek Balaghah suatu ayat dalam sub judul
tersendiri. Kitab tafsir lain yang juga membahas tentang kebahasaan seperti
al-Kasha>f karya al-Zamakhsary hanya memasukan kajian balaghah ke dalam
sela-sela penafsirannya, tidak dikhususkan dalam sub judul tersendiri seperti halnya
dalamTafsi>r al Muni>r karya al-Zuh{aili.
Salah satu contoh penafsiran ayat yang mengandung aspek metafora
dalam Tafsi>r al-Muni>r adalah QS. Al-Baqarah ayat 16:
َي ِ َ ْ ُ ا ُااَ اَ َو ْ ُ َُ َ اَِ ْ َِ َ اَ َ َ ُْ ِ َ َل َاَضلا اُوَ ََ ْاا َي ِ َلا َ ِ َلوُ
.
13
12 Badi al-Sayyid al-Lahlam dalam Biografi Wahbah al-Zuh{aili yang ditulisnya dalam buku
berjudul, Wahbah al-Zuh{aili al-‘A>lim, al-Faqi>h, al-Mufassir, menyebutkan 199 karya tulis Wahbah al-Zuh{aili selain jurnal. Lihat Badi’ al-Sayyid al-Lahlam, Wahbah al-Zuh}aili al-‘A>lim,
al-Faqi>h, al-Mufassir, (Beirut: Dar al-Fiqr, 2004), 123.
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung pemiagaan mereka dan tidak1ah mereka mendapat petunjuk.14
Dalam ayat di atas ada kata ‚ishtarawu‛ yang berarti membeli dan
lazimnya berlaku dalam aktivitas jual beli. Dalam ayat ini kata tersebut
merupakan isti'a>rah dari kata menukarkan petunjuk dengan kesesatan. Perbuatan
tersebut telah dianggap biasa oleh mereka, sebagaimana mereka me1akukan
aktivitas jual beli setiap harinya.15
Ditinjau dari perspektif t}arf al-tashbi>h, isti’a>rah dalam ayat di atas
menurut al-Zuh}aili termasuk isti’a>rah tas{ri>h{iyyah, karena yang disebutkan hanya
mushabbah bih dan tidak menyebutkan mushabbah. Lafaz} tersebut jika ditinjau
dari musta'ar-nya, maka termasuk isti’a>rah taba'iyyah, karena lafaz} yang
digunakan berupa kata kerja (fi’l) yaitu kata ishtarau.16
Secara umum bahwa urgensi dari penyerupaan (tashbi>h) baik yang berupa
isti’a>rah (metafora) ataupun h}aqi>qah adalah untuk mendekatkan pemahaman
manusia atas apa yang ingin Allah sampaikan melalui fenomena-fenomena alam
yang sering terjadi di sekitarnya, juga sebagai indza>r (peringatan) dan hujjah
sekaligus sebagai tarbiyah ilahiyah bagi manusia melalui sisi kejiwaan
(psikologis) manusia yang diwarnai oleh pigura-pigura kejahatan dan kebaikan,
dan diilustrasikan dengan berbagai tampilan kehidupan yang mempunyai
kemiripan baik dengan tampilan tanaman, air, api, hujan, hewan dan lain-lain.
14
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Arab Saudi: Fahd bin ‘Abd Azi>z
al-Sa’u>d, tth), 6.
15
al-Zuh{aili, al-Tafsi>r al-Muni>r, Vol. 1, 86.
16
Dari pemaparan satu contoh di atas, sangat layak jika al-Qur'an selalu
menarik untuk dikaji dan diteliti, terutama dari aspek keindahan kata dari uslu>b
isti’ara>h, sehingga kajian tersebut akan menghasilkan sekian banyak interpretasi
yang menegaskan kemukjizatan al-Qur'an.
Penelitian kepustakaan ini dibatasi hanya pada surah Ali Imra>n, sebab
surah Ali Imra>n merupakan surah terpanjang kedua setelah surah al-Baqarah
namun mengandung isti’ara>h sebanyak 21 ayat, lebih banyak dari surah
al-Baqarah yang hanya memuat 19 isti’a>rah.17
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang
dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat berbagai macam pendapat ulama mengenai jenis gaya
bahasa metafora yang digunakan dalam al-Quran surat Ali Imra>n
2. Wahbah al-Zuh{aili dalam Kitab Tafsir Muni<r fi< Aqi<dah wa
al-Syari<’ah wa al-Manhaj memiliki pandangan tersendiri terhadap jenis
gaya bahasa metafora yang terdapat dalam surat Ali 'Imra>n.
3. Wahbah al-Zuh{aili dalam kitab Tafsi>r Muni>r fi< Aqi<dah wa
al-Syari<’ah wa al-Manhaj memiliki penafsiran khusus terhadap ayat yang
mengandung gaya bahasa metafora dalam surat Ali’Imra>n.
4. Terdapat implikasi yang ditimbulkan oleh gaya bahasa metafora yang
terdapat pada surat Ali ‘Imra>n dalam Kitab Tafsir Muni<r fi<
al-Aqi<dah wa al-Syari<’ah wa al-Manhaj karya Wahbah al-Zuh{aili.
Dari empat masalah yang telah teridentifikasi, penulis hanya akan
membahas tiga masalah metafora yang berkaitan langsung dengan kitab Tafsi>r
al-Muni>r karya Wahbah al-Zuh}aili (poin 2, 3 dan 4), yang tertuang dalam sub
rumusan masalah, dan dibatasi pada surah Ali Imra>n.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, maka masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Apa saja jenis gaya bahasa metafora yang terdapat dalam surat Ali 'Imra>n
menurut Wahbah Zuh{aili dalam kitab Tafsi>r Muni>r fi< Aqi<dah wa
al-Syari<’ah wa al-Manhaj?
2. Bagaimana aplikasi gaya bahasa metafora dalam penafsiran surat Ali ‘Imra>n
menurut Wahbah Zuh{aili dalam kitab Tafsi>r Muni>r fi< Aqi<dah wa
al-Syari<’ah wa al-Manhaj?
3. Bagaimana implikasi yang ditimbulkan oleh gaya bahasa metafora yang
terdapat pada surat Ali ‘Imra>n dalam kitab Tafsi>r al-Muni>r fi< al-Aqi<dah wa al-Syari<’ah wa al-Manhaj?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang jenis gaya
bahasa metafora yang terdapat dalam surat Ali 'Imra>n menurut
wahbah al-Zuh{aili dalam kitab Tafsi>r Muni>r fi< Aqi<dah wa
2. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai aplikasi
gaya bahasa metafora dalam penafsiran surat Ali ‘Imra>n menurut
Wahbah al-Zuh{aili dalam kitab Tafsi>r Muni>r fi< Aqi<dah wa
al-Syari<’ah wa al-Manhaj?
3. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang implikasi
yang ditimbulkan oleh gaya bahasa metafora yang terdapat pada surat
Ali ‘Imra>n dalam kitab Tafsi>r al-Muni>r fi< al-Aqi<dah wa al-Syari<’ah wa al-Manhaj?
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pengkaji
‘Ulu>m al-Qur’a>n, ilmu tafsir dan bagi seluruh umat muslim pada umumnya.
Secara terperinci manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Segi teoritis penelitian ini mempunyai kontribusi terhadap sumbangan
pemikiran pada masyarakat, khususnya masyarakat akademik, yang
memiliki minat memperdalam tentang gaya bahasa al-Qur'an dari
keindahan uslu>b, khususnya kebalaghahan uslu>b isti’a>rah.
2. Segi praksis
a. Ikut berpartisipasi dalam mengatasi kekurangan leteratur yang
membahas keindahan al-Qur’an dari aspek uslu>b isti’a>rah,
mempertimbangkan segala pesan makna al-Qur’an adalah sebagai
b. Sebagai data pelengkap dan pembanding bagi penelitian bahasa
al-Qur’an yang ada dalam lintasan sejarah tentang i’ja>z al-Qur'an,
khususnya yang membicarakan tentang kebalaghahan uslu>b isti’a>rah.
F. Penelitian Terdahulu
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini dipusatkan
pada balaghah al-Qur’an dari aspek (metafora) uslu>b isti’a>rah dalam kitab Tafsir
al-Muni>r karya Wahbah al-Zuh{aili, serta implikasi yang ditimbulkan dari uslu>b
tersebut. Sekalipun telah ada yang menulis tentang uslu>b isti’a>rah, yang
membahas secara utuh dalam surat A>li Imran dan dikaitkan dengan penafsiran
dari Wahbah al-Zuh{aili belum penulis temukan.
Berdasarkan pencarian yang telah penulis lakukan, ditemukan beberapa
literatur yang membahas tentang ayat-ayat al-Qur'an dengan pendekatan uslu>b
isti’a>rah. Akan tetapi literatur tersebut hanya menguraikan permasalahan dalam
bab atau pasal-pasal tertentu saja, tidak menguraikan secara utuh berdasarkan
urutan ayat dalam surat, serta tidak dikaitkan dengan penafsiran seorang
mufassir tertentu. Literatur yang penulis temukan juga tidak menjelaskan
implikasi dari penggunaan gaya bahasa isti’a>rah yang ada pada setiap ayat yang
dikaji.
Kitab Tafsir yang memuat pembahasan tentang isti’a>rah adalah
al-Kashsha>f ‘an H{aqa>iqi Ghawa>mi al-Tanzi>l karya al-Zamakhsary (1143).18 al-Kashsha>f merupakan kitab tafsir yang bercorak bahasa. Pembahasan balaghah
18 Abu> al-Qa>sim Mahmu>d bin Umar al-Zamakhshari, al-Kasysya>f ‘an H{aqa>iqi Ghawa>mi
dalam kitab ini kurang sistematis, karena tidak dikelompokkan dalam sub-sub
tersendiri. Berbeda dengan pokok kajian penulis yakni kitab Tafsi>r al-muni>r
yang lebih sistematis penulisannya.
Literatur lain yang membahas tentang isti’a>rah adalah al-Isti’a>rah
al-Tamthiliyyah fi al-Qur’a>n al-Kari>m karya S}afa Husni Abdul Muhsin (2011).19
Kitab karya S{afa Husni ini berisikan jenis-jenis isti’a>rah, penjelasannya serta
contoh isti’a>rah dalam al-Qur’an, akan tetapi tidak dikaitkan dengan satu jenis
kitab tafsir tertentu. Penelitian lain yang juga hanya membahas uslu>b isti’a>rah
dalam al-Qur’an akan tetapi tidak dikaitkan dengan salah satu kitab Tafsir adalah
I’ja>z al-Qur’an ditinjau dari uslu>b isti’a>rah (kajian Balaghah pada surat
al-Baqarah, Ali Imra>n, an-Nisa dan surat al-Maidah karya Deden Hidayat).20
Literatur di atas hanya membahas tentang uslu>b isti’a>rah secara singkat,
itupun hanya membahas isti’a>rah secara teoretis, walaupun mengutip beberapa
contoh isti’a>rah dari ayat-ayat al-Qur'an, tetapi ayat-ayat tersebut tidak
dikaitkan dengan salah satu kitab Tafsir yang membahas tentang uslu>b isti’a>rah.
Oleh sebab itu, penelitian dari aspek nilai kebalaghahan al-Qur'an yang ditinjau
dari uslu>b isti’a>rah (metafora) dalam kitab Tafsir Muni<r fi< Aqi<dah wa al-Syari<’ah wa al-Manhaj karya Wahbah al-Zuh{aili masih terbuka untuk dilakukan.
19 S{afa Husni Abdul Muhsin al-Turki, ‚al-Isti’a>rah al-Tamthi>liyah fi> al-Qur’a>n al-Kari>m‛ (Tesis-
-Jami’ah al-Naja>h al-Wat}aniyah, Palestina, 2011)
20 Deden Hidayat, ‚I’ja>z al-Qur’an Ditinjau dari Uslub Isti’a>rah: Kajian Balaghah pada Surat
G. Kerangka Teoretik
1. Balaghah
Balaghah secara etimologi berasal dari kata dasar
َ َ ََ
, yang memilikiarti sama dengan kata
َ َ َو
yaitu ‚sampai atau ujung‛. Secara terminologibalaghah berarti sampainya maksud hati atau pikiran yang ingin
diungkapkan pembicara kepada lawan dialog, dengan menggunakan bahasa
yang benar, jelas, berpengaruh terhadap rasa atau pikiran audiens lewat
diksinya yang tepat, dan juga cocok dengan situasi dan kondisi audiens.21
Dalam ungkapan lain balaghah adalah kesesuaian ungkapan atau
tulisan dengan situasi dan realitas dialog (muqtad}a al-h}a>l).22 llmu ini
dibangun dengan logika dan alur pemikiran ilmiah dan berperan dalam ragam
karya sastra termasuk dalam struktur uslu>b23 bahasa al-Qur'an. Unsur yang
paling dominan adalah retorika, yaitu bagaimana agar ucapan dapat sesuai
dengan nalar lawar bicara.24
21
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2009), cet. 2, 136.
22 Muhammad bin Abdul Rahma>n al-Qazwiniy, al-I>dha>h fi> Ulu>m al-Bala>ghah, Vol. 1 (Bairut: Da>r
al-Jail, 1949), 20.
23Uslu>b secara etimologi berarti jalan, jalan di antara pepohonan dan atau cara mutakallim dalam
berbicara (menggunakan kalimat). Sedangkan uslu>b menurut terminolog ilmu Balaghah adalah cara berbicara yang diambil mutakallim dalam menyusun kalimatnya dan memilih lafaz}-lafaz -}nya. Uslu>b dalam bahasa Indonesia disebut gaya bahasa, yaitu pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, baik kaitannya dengan tulisan sastra maupun tulisan kebahasaan (linguistik). Demikian pula dapat didefinisikan sebagai cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan. Lihat, Muhammad ‘Abdul-‘Az}im
al-Zarqany, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Mesir: Dar al-Ihya’, t.th.), 198. Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (http://kbbi.web.id/).
24 Ahmad bin Ibra>hi>m bin Must}afa al-Hasyimiy, Jawa>hir al-Bala>ghah fi> al-Ma’a>ni wa al-Baya>n
Balaghah terbagi tiga kajian, yaitu; ilmu al-ma'a>ni, ilmu al-baya>n, dan
ilmu al-badi>’. Ilmu al-ma'a>ni adalah ilmu yang membahas tentang kesesuaian
ujaran atau ungkapan dengan situasi dan kondisi lawan bicara (komunikan).
Tujuan ilmu al-ma’a>ni adalah menghindari kesalahan dalam pemaknaan yang
dikehendaki penutur ketika menyampaikan ujaran kepada lawan bicara
(mukha>tab).25
Menurut al-Sakka>ki, yang dikehendaki oleh pembaca model ma’a>ni
bukan pada struktur kalimatnya, akan tetapi terdapat pada makna yang
terkandung dalam sebuah ujaran. Hal terpenting dalam ma’a>ni adalah
pemahaman pendengar terhadap ujaran penutur dengan pemahaman yang
benar, bukan pada ujarannya. Objek kajian ilmu al-ma’a>ni meliputi kala>m
khabar, kala>m insha>’, qas}r, was}al, fas}al, ija>z, it}na>b dan musa>wah.26
Ilmu al-baya>n adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan seni
menyampaikan makna dengan bermacam-macam metode (gaya bahasa) dan
bertujuan menjelaskan rasionalitas semantis dari makna tersebut. Objek
kajian ilmu al-baya>n berkisar pada berbagai corak gaya bahasa yang
merupakan metode penyampaian makna, yang meliputi tashbi>h, maja>z dan
kina>yah.27
Ilmu al-badi>’ adalah ilmu yang membahas tentang keindahan ungkapan
bahasa setelah diekspresikan dengan gaya bahasa yang tepat dan disesuaikan
dengan konteks wacana. Secara garis besar ilmu al-badi>’ memiliki dua obyek
25 Ibid.
26 Ibid.
27
kajian, yaitu keindahan teks (muh}assan al-lafz}iyyah) yang meliputi
pembahasan jina>s, iqtiba>s dan saja’, serta keindahan makna (muh}assin
al-ma’nawiyyah) yang meliputi pembahasan tauriyah, tiba>q, muqa>balah, husn
al-ta’li>l, dan ta’ki>d al-madh} bima> yushbih al-dzamm. 28
2. Kajian Metafora
Kajian yang dikehendaki dalam penelitian ini adalah tindakan
eksploratif dan analitis terhadap salah satu disiplin ilmu Balaghah, yakni
isti’a>rah. Kajian yang dilakukan mengarah dan terfokus pada salah satu kitab
Tafsir karangan wahbah al-Zuh{aili, yakni kitab Tafsir al-Muni<r fi< al-Aqi<dah
wa al-Syari<’ah wa al-Manhaj.
Kajian yang dimaksud sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah memeriksa, menyelidiki, memikirkan dan sebagainya.29 Penguraian
suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta
hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan
pemahaman arti keseluruhan, penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya30
Metafora (isti’a>rah) adalah gaya perbandingan yang bersifat tidak
langsung dan implisit.31 Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama
dengan yang kedua hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata petunjuk
perbandingan eksplisit. Menurut Abu Bakar al-Jurja>niy isti'a>rah adalah
tashbi>h (simile) yang dibuang salah satu bagiannya (t}arf), yaitu mushabbah
atau mushabbah bih-nya. Isti'a>rah diartikan sebagai perbandingan tidak
28 M. Sholehuddin Shofwan, Maba>di al-Bala>ghah, 47.
29 Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (http://kbbi.web.id/).
30 Ibid.
langsung, dalam arti tidak mempergunakan adat al-tashbi>h, seperti kata;
bagaikan, seperti, bak, bagai, dan sebagainya. Kata pertama dalam isti’a>rah
langsung dihubungkan dengan kata kedua, dengan menganggap masuknya
mushabbah ke dalam jenis mushabbah bih, yang bertujuan untuk
menyampaikan makna muba>laghah didalamnya.32 Dalam kajian ini penulis
mengambil istilah metafora sebagai ganti dari istilah isti’a>rah dalam Bahasa
Arab.
H. Metode Penelitian
Dalam upaya mewujudkan penelitian yang baik, adanya seperangkat
metode ilmiah sebagai ‚pisau‛ analisis guna memahami, mendalami, serta
mengkritisi objek atau sasaran penilitian merupakan sebuah keniscayaan. Tujuan
dari metode penelitian ini adalah mengemukakan secara teknis tentang
metode-metode yang akan digunakan dalam penelitian. Dengan demikian, diharapkan
hasil dari penelitian ini dapat tersusun secara sistematis, terstruktur dan akurat.33
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah bersifat kualitatif.
Sebagai suatu istilah penelitian, kualitatif digunakan oleh banyak peneliti
dengan menggunakan suatu pendekatan tertentu yang bertujuan memproduk
pengetahuan. Telah ada pengertian konvensional bahwa data kualitatif tidak
berupa angka-angka melainkan berupa data-data.34
32 Abu Bakar Abdul Qa>hir al-Jurja>niy, Asra>r al-Bala>ghah, (Mesir: Darul Madani, tth), 241.
Penelitian kualitatif dalam tesis ini lebih mengarah kepada kualitatif
deskriptif analisis. Penelitian yang lebih menekankan pada kekuatan analisis
sumber sumber dan data-data yang ada dengan mengandalkan teori-teori dan
konsep-konsep yang ada untuk diinterpretasikan dengan berdasarkan
tulisan-tulisan yang mengarah kepada pembahasan. Penelitian kualitatif deskriptif
secara khusus bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang
dihadapi dan mengumpulkan data atau informasi untuk disusun, dijelaskan
dan dianalisis.35
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu
kebahasaan. Sebagaimana yang telah penulis kemukakan dalam sub-bab
sebelumnya, bahwa balaghah merupakan salah satu ilmu yang membahas
tentang keindahan kata dan bahasa, maka penulis menggunakan pendekatan
ilmu kebahasaan guna menganalisa lebih dalam mengenai aplikasi dan
implikasi penggunaan maja>z isti’a>rah dalam al-Qur’an.
2. Data dan Sumber Data
Data yang diperlukan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dengan menelaah kitab Tafsir Muni<r fi< Aqi<dah wa
al-Syari<’ah wa al-Manhaj karya Wahbah al-Zuh{aili. Sedangkan literatur lain
yang berkaitan dengan ilmu balaghah dan kitab tafsir yang lain yang
pembahasannya mengarah kepada kajian bahasa dijadikan sebagai data
sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data, sedangkan sumber sekunder adalah sumber
data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.36
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data tesis ini dilakukan melalui riset kepustakaan
(library research). Untuk mengetahui term isti’a>rah dengan derivasinya
dalam al-Qur’an beserta penafsirannya, penulis mempelajari bahan
kepustakaan dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang ada kaitannya
dengan tema penelitian dalam data primer maupun sekunder.37
4. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan adalah content analysis (analisis isi). Content
Analisis adalah metodologi yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk
menarik kesimpulan yang shoheh dari sebuah dokumen. Menurut Hostli
bahwa Content Analysis adalah teknik apapun yang digunakan untuk
menarik kesimpulan melalui usaha untuk menemukan karekteristik pesan
dan dilakukan secara objektif dan sistematis.38 Sebagaimana Syarat content
analysis yang dikemukakan oleh Noeng Muhajir antara lain: obyektivitas,
pendekatan yang sistematik dan generalisasi.39
36 Ibid., 49. Lihat juga, Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2009),
62.
37 Ibid.
38 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002)
Cet. Ke-16, 6. 39
I. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam mengkaji, maka karya ilmiah ini ditulis dalam
lima bab yang masing-masing bab terdiri dari pasal-pasal yang terkait antara satu
dengan yang lainnya, dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, permasalahan, kajian pustaka dan penelitian terdahulu yang relevan,
tujuan penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, definisi operasional,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua membahas kerangka teoretis mengenai definisi balaghah,
isti'a>rah, rukun isti'a>rah, dan jenis-jenis isti'a>rah.
Bab ketiga membahas tentang biografi Wahbah al-Zuh{aili, meliputi
biografi singkat dan potret kehidupan awal, karya-karya, guru dan
murid-muridnya.
Bab keempat penafsiran ayat isti'a>rah yang terdapat dalam surah ali Imra>n
menurut Wahbah al-Zuh{aili dalam Tafsir al-Muni>r, analisis jenis uslu>b isti’a>rah,
serta implikasi yang ditimbulkan oleh gaya bahasa metafora dalam Tafsir
al-Muni>r.
Bab kelima adalah penutup, berisi kesimpulan yang ditarik dari
pembahasan dari sub-sub sebelumnya, dalam rangka menjawab masalah pokok
yang telah dirumuskan di bagian pendahuluan dan juga memuat saran-saran
BAB II
BALAGHAH DAN ISTI’A<RAH
A. Balaghah
1. Pengertian Balaghah
Menurut Ali al-Ja>rimi Musthafa Amin, balaghah adalah mengung-
kapkan makna yang mengandung estetika dengan mempergunakan ungkapan
yang benar, berpengaruh dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimat
dengan tempat diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan
kecocokannya dengan lawan bicara.1
Senada dengan yang diungkapkan oleh al-Ja>rimi, Abdullah Syahhatah
dalam kitab ulu>m al-tafsi>r meyatakan bahwa definisi yang benar untuk term
balaghah adalah keberhasilan si pembicara dalam menyampaikan perkara
yang dikehendakinya ke dalam jiwa pendengar (penerima), dengan tepat dan
mengena ke sasaran yang ditandai dengan kepuasan akal dan perasaannya.2
Balaghah secara etimologi berasal dari kata dasar
ْ ْ َْ
, yang memilikiarti sama dengan kata
ْ ْ ْ
yaitu ‚sampai atau ujung‛. Secara terminologibalaghah berarti sampainya kehendak atau pikiran yang ingin diungkapkan
1 Ali al-Ja>rimi Musthafa Amin, al-Bala>ghah al-Wad{i>h{ah, 8.
pembicara kepada lawan bicara, dengan menggunakan bahasa yang benar,
jelas, berpengaruh terhadap rasa atau pikiran audiens lewat diksinya yang
tepat, dan juga cocok dengan situasi dan kondisi audiens.3
Dalam pengertian lain balaghah adalah kesesuaian ungkapan atau
tulisan dengan situasi dan realitas dialog (muqtad}a al-h}a>l).4 llmu ini
dibangun dengan logika dan alur pemikiran ilmiah dan berperan dalam ragam
karya sastra termasuk dalam struktur uslu>b bahasa al-Qur'an. Unsur yang
paling dominan adalah retorika, yaitu bagaimana agar ucapan dapat sesuai
dengan nalar lawar bicara.5
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa
inti dari balaghah adalah penyampaian gagasan dengan menggunakan
ungkapan yang benar (fasi>h}), relevan antara lafal dengan kandungan
maksudnya (t}iba>q), tetap memperhatikan situasi dan kondisi
pengungkapannya, menjaga kepentingan pihak penerima pesan, serta
memiliki pengaruh yang signifikan dalam diri penerima pesan.
Unsur yang paling dominan dalam balaghah adalah retorika, yaitu
bagaimana agar ucapan dapat sesuai dengan nalar lawan bicara. Balaghah
sebagai salah suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis,
3 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, (Depok: Raja Grafindo Persada,
2009), cet. 2, 136.
4 Muhammad bin Abdul Rahma>n al-Qazwiniy, al-I>dha>h fi> Ulu>m al-Bala>ghah, Vol. 1 (Bairut: Da>r
al-Jail, 1949), 20.
5 Ahmad bin Ibra>hi>m bin Must}afa al-Hasyimiy, Jawa>hir al-Bala>ghah fi> al-Ma’a>ni wa al-Baya>n wa
diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana penutur
menyiasati bahasa sebagai media untuk mengungkapkan gagasannya.6
Ungkapan sebuah bahasa dapat mencerminkan sikap dan perasaan
penutur, sekaligus juga dapat mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca
yang tercermin dalam nada. Dengan demikian, pengungkapan bahasa harus
efektif, yakni ungkapan yang mampu mendukung gagasan secara tepat
sekaligus mengandung estetis sebagai sebuah karya seni.
Dalam kajian sastra arab, balaghah erat kaitannya dengan istilah
fas}a>h}ah}. Fas}a>h}ah termasuk syarat utama sebuah ujaran dikategorikan
memiliki nilai balaghah. Fas}a>h}ah secara etimologi berarti jelas dan lugas,
sedangkan menurut terminologi ulama balaghah, fas}a>h}ah adalah ungkapan
dari kata atau kalimat yang tidak mengandung unsur tana>fur, ghara>bah, dan
mukha>lafah li al-qiya>s al-lughawi.7
Tana>fur adalah sifat pada kata yang menyebabkan berat atau sulitnya
pengucapan, dapat disebabkan oleh terlalu dekatnya makhraj atau
sebaliknya. Seperti kata
ُ ُ ُا
, makhraj huruf ha’, ‘ain, dan kha>’ salingberdekatan, sama-sama pada tenggorokan hanya berbeda letak antara bagian
atas dan bawah tenggorokan.8
6 Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogjakarta: University Press, 2002), 295.
7 al-Qazwini, al-I>dha>h} fi Ulu>m al-Bala>ghah, 21.
Ghara>bah didefinisikan sebagai kata yang tidak layak digunakan, bisa
karena jarang atau tidak digunakan, bisa juga karena kata tersebut tidak
memiliki arti. Seperti ucapan Isa bin Amr (150 H) seorang ahli nahwu ari
daerah Thaqif, ketika ia terjatuh dari keledai yang ia tunggangi kemudian
banyak orang mengerumuninya,
ِّ ْع ُ ِ ْ َ ِ ٍ ّلِ ِ ْ ْع مُ ِ ُ أْكْت
ْ
ّيْ ْع ُُ أْ أْكْت مُكْا ْم
(mengapa kalian mengerumuniku seperti kalian mengerumuni orang gila,
menyingkir dariku!). Kata taka’ka’tum (
ُُ أْ أْكْت
) jarang digunakan oleh orangarab, mereka lebih sering menggunakan kata
مُ ْ ْ
untuk mengungkapkanmakna berkumpul.9
Mukha>lafah li al-qiya>s al-lughawi adalah tidak sesuainya suatu kata
dengan aturan tata bahasa arab yang masyhur dan disepakati penggunaanya.
Dengan demikian, salah satu syarat lafaz} dikatakan fas}i>h} adalah sesuai
dengan gramatika bahasa arab, seperti ungkapan Abu al-Najm al-Rajiz, salah
seorang penyair arab,
ِ ْ ْا ّيِ ْ ا ُ ْا
.
Kata al-ajlali pada potongan bait initidak sesuai dengan kaidah yang semestinya, menurut ilmu lughah penulisan
yang benar adalah al-ajalli
َ
ِّ ْ ْا
ُ
dengan mengidzghamkan kedua lam-nya.
10
9 Ibid. Lihat juga, Ahmad al-Damanhuri, Hilyah al-Lubb al-Mus}awwan ‘Ala al-Jauhar al-Maknun
(Maroko: tp, 1994), 21.
2. Pembagian Balaghah
Balaghah terbagi tiga kajian, yaitu; ilmu al-ma'a>ni, ilmu al-baya>n, dan
ilmu al-badi>’. Ilmu al-ma'a>ni adalah ilmu yang membahas tentang kesesuaian
ujaran atau ungkapan dengan situasi dan kondisi lawan bicara (komunikan).
Tujuan ilmu al-ma’a>ni adalah menghindari kesalahan dalam pemaknaan yang
dikehendaki penutur ketika menyampaikan ujaran kepada lawan bicara
(mukha>tab).11
Menurut al-Sakka>ki, yang dikehendaki oleh pembaca model ma’a>ni
bukan pada struktur kalimatnya, akan tetapi terdapat pada makna yang
terkandung dalam sebuah ujaran. Hal terpenting dalam ma’a>ni adalah
pemahaman pendengar terhadap ujaran penutur dengan pemahaman yang
benar, bukan pada ujarannya. Objek kajian ilmu al-ma’a>ni meliputi kala>m
khabar, kala>m insha>’, qas}r, was}al, fas}al, ija>z, it}na>b dan musa>wah.12
Ilmu al-baya>n adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan seni
menyampaikan makna dengan bermacam-macam metode (gaya bahasa) dan
bertujuan menjelaskan rasionalitas semantis dari makna tersebut. Objek
kajian ilmu al-baya>n berkisar pada berbagai corak gaya bahasa yang
merupakan metode penyampaian makna, yang meliputi tashbi>h, maja>z dan
kina>yah.13
Ilmu al-badi>’ adalah ilmu yang membahas tentang keindahan ungkapan
bahasa setelah diekspresikan dengan gaya bahasa yang tepat dan disesuaikan
11 al-Hasyimiy, Jawa>hir al-Bala>ghah, 41.
12 Ibid.
dengan konteks wacana. Secara garis besar ilmu al-badi>’ memiliki dua obyek
kajian, yaitu keindahan teks (muh}assan al-lafz}iyyah) yang meliputi
pembahasan jina>s, iqtiba>s dan saja’, serta keindahan makna (muh}assin
al-ma’nawiyyah) yang meliputi pembahasan tauriyah, tiba>q, muqa>balah, husn
al-ta’li>l, dan ta’ki>d al-madh} bima> yushbih al-dzamm. 14
B. Metafora (Isti’a>rah)
1. Pengertian isti’a>rah
Isti’a>rah dalam ilmu balaghah merupakan bagian dari kala>m maja>z,
perkataan atau lafaz} yang digunakan tidak pada arti yang semestinya dengan
disertai adanya qari>nah yang mencegah penggunaan makna aslinya.15 Seperti
kata asad yang memiliki makna asal singa, digunakan untuk makna laki-laki
pemberani, atau kata al-s}ala>h menurut penggunaan ahli bahasa (lughat)
memiliki makna asal do’a namun digunakan sebagai makna ibadah yang
dimulai dengan takbir diakhiri dengan salam sesuai syarat-syarat yang telah
ditentukan.
Ulama balaghah membagi maja>z menjadi dua bagian, maja>z aqliy dan
maja>z lughawi. Maja>z aqliy adalah penyandaran (isna>d) kata kerja atau
semisalnya kepada ma’mu>l yang tidak semestinya, seperti penyandaran kata
kerja aktif (fi’il al-mabni al-ma’lu>m) tidak pada subjeknya, atau kata kerja
14 M. Sholehuddin Shofwan, Maba>di al-Bala>ghah, 47.
15 al-Hasyimiy, Jawa>hir al-Bala>ghah, 252. Lihat juga. Abdul Muta’a>li al-S}a’i>di, Bughyah al-I>dha>h}
pasif (fi’il al-mabni al-majhu>l) tidak pada objeknya.16 Seperti ungkapan arab,
ٌمْ ُم ٌ ْ
‚air banjir meluap‛ bentuk semestinya adalah kataا ِا ْ ٌ ْ ْمْ َ ْ
. Samahalnya dengan ungkapan yang telah populer di Indonesia ketika melihat bak
mandi penuh airnya, ‚airnya penuh‛, yang dikehendaki adalah air memenuhi
bak mandi.
Maja>z lughawi adalah lafaz} yang digunakan dalam makna yang bukan
seharusnya karena ada hubungan tertentu, serta disertai qari>nah yang
menghalangi pemberian makna denotatif (haqi>qi>). Hubungan yang dimaksud
di sini adalah hubungan antara makna asli atau semestinya dengan makna
yang tidak semestinya. Hubungan (ala>qah) adakalanya berupa penyerupaan
dan bukan penyerupaan. Maja>z yang memiliki hubungan penyerupaan
dikenal dengan istilah isti’a>rah dan maja>z yang hubungannya bukan berupa
penyerupaan dikenal dengan maja>z mursal.17
Metafora (isti’a>rah) adalah gaya perbandingan yang bersifat tidak
langsung dan implisit.18 Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama
dengan yang kedua hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata petunjuk
perbandingan eksplisit.
Kata isti’a>rah secara etimologi merupakan bentuk gerund dari kata
kerja ista’a>ra yang artinya meminjam. Kata ini terambil dari ucapan orang
16 al-Damanhuri, Hilyah al-Lubb, 28.
17 al-Hasyimiy, Jawa>hir al-Bala>ghah, 251.
Arab ‚ista’a>ra al-ma>la‛ yang artinya "idza> t}alabahu ‘a>riatan" (ketika
menjadikannya sebagai pinjaman).19
Menurut Abu Bakar al-Jurja>niy isti'a>rah adalah tashbi>h (simile) yang
dibuang salah satu bagiannya (t}arf), yaitu mushabbah atau mushabbah
bih-nya. Isti'a>rah diartikan sebagai perbandingan tidak langsung, dalam arti tidak
mempergunakan adat al-tashbi>h, seperti kata; bagaikan, seperti, bak, bagai,
dan sebagainya. Kata pertama dalam isti’a>rah langsung dihubungkan dengan
kata kedua, dengan menganggap masuknya mushabbah ke dalam jenis
mushabbah bih, yang bertujuan untuk menyampaikan makna muba>laghah
didalamnya.20
Al-Suyuti mencantumkan pendapat ulama yang mendefinisikan bahwa
isti’a>rah adalah peminjaman kata dari sesuatu yang dikenal maknanya
dialihkan kepada sesuatu yang belum dikenal maknanya dengan tujuan
tertentu, seperti menampakkan perkara yang samar (iz}ha>r al-khafi>),
menjelaskan perkara yang sudah nampak namun belum gamblang (i>d}a>hu
z}a>hir laisa bi jaliy), hiperbola (muba>laghah) dan mengkompromikan (li
al-majmu>’). 21
Pada dasarnya, isti’a>rah adalah tashbi>h yang dibuang salah satu
komponennya, baik mushabbah maupun mushabbah bih dengan
mempertimbangkan qari>nah yang ada. Seperti contoh:
ِ ْ ْا ْا ا ْ ْ ُيأ ا
(aku
19 al-Hasyimiy, Jawa>hir al-Bala>ghah, 258.
20 Abu Bakar Abdul Qa>hir al-Jurja>niy, Asra>r al-Bala>ghah, (Mesir: Darul Madani, tth), 241.
21 Abdul Rahman Abu bakar al-Suyu>ti, al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Masir: al-Hai’ah al
melihat singa di sekolah. Makna yang dikehendaki asalnya adalah
اا ا ُيأ ا
ِ ْ ْا ْا ِ ْ ْا ع ش
(aku melihat seorang laki-laki pemberani seperti singa disekolah), dalam prosesnya kata rajulan shuja>’an sebagai mushabbah dibuang,
begitu juga dengan ada>t al-tashbi>h dan wajh al-sabahnya. Dalam
pemakaiannya hanya menggunakan mushabbah bih kata asad dengan
didatangkan qari>nah kata
ا ا
yang menunjukkan bahwa yang dimaksuddengan singa adalah laki-laki pemberani.22
Al-tha’lab (291 H) memberikan definisi yang lebih umum mengenai isti’a>rah, dia mendefinisikan bahwa isti’a>rah adalah peminjaman makna atau
kosa kata untuk suatu lafaz} yang lain.23 Sesuai pendapat al-tha’lab maka
isti’a>rah menjadi lebih luas cakupannya, tidak sebatas kata yang memuat
hubungan penyerupaan (tashbi>h).
2. Rukun isti’a>rah
Struktur kalimat dapat dikatakan sebagai isti’a>rah apabila memiliki
beberapa unsur, yakni musta’a>r minhu, musta’a>r lah dan musta’a>r. Dua unsur
yang awal dalam strukturnya berbentuk makna, sedangkan yang terakhir
berupa lafaz}.
Sebagaimana penjelasan yang telah penulis kemukakan, bahwasanya
terdapat hubungan antara isti’a>rah dan tashbi>h, istilah yang digunakan juga
22 Ibid.
23 Ahmad bin Yahya bin Zaid al-Tha’lab, Qawa>id al-Shi’r, (Kairo: Maktabah al-Khaniji, 1995),
saling terkait. Istilah mushabbah dalam isti’a>rah dikenal dengan nama musta’a>r lah, mushabbah bih dinamakan dengan musta’a>r minhu, dan lafaz}
yang dipindah dinamakan musta’a>r.24
Seperti dalam contoh ucapan
ُمّ ْكْ َْأ ا ْ ْ ُي أ ْا
,
cara mengetahuimasing-masing unsur isti’a>rah yang ada adalah dengan mengibaratkan wajah yang
indah, bersinar dan menawan dengan bulan purnama. Kemudian
menghilangkan unsur tashbih dengan menganggap bahwa mushabbah
(seseorang yang indah wajahnya) adalah bagian dari jenis mushabbah bih
(bulan) dan masuk ke dalamnya. Kemudian dipinjam lafaz} qamar untuk
menunjukan makna seseorang yang indah wajahnya, dengan
memposisikannya sebagai salah satu jenis dari qamar.25
Analogi seperti contoh di atas berlaku untuk semua struktur isti’a>rah,
baik dari syair arab maupun al-Qur’an. Dengan demikian, terdapat beberapa
syarat agar ujaran dapat dikategorikan sebagai isti’a>rah, diantaranya adalah
dalam lafaz} tersebut tidak disebutkan wajh al-shabah dan ada>t al-tashbi>h,
karena strukturnya akan berubah menjadi tashbi>h bukan lagi isti’a>rah.
Dalam isti’a>rah tidak diperbolehkan pula tercetak dari alam shaks}
(nama personal) harus berupa ism al-jinsi, karena tidak dimungkinkan
masuknya makna mushabbah ke dalam mushabbah bih yang berupa nama
seseorang. Seperti contoh aku melihat Hatim di dalam kelas, tidak mungkin
24 al-Hasyimiy, Jawa>hir al-Bala>ghah, 258. Lihat juga. M. Sholehuddin Shofwan, Maba>di
al-Bala>ghah Pengantar Memahami Jauharul Maknun, Vol. 3 (Jombang: Darul Hikmah, 2007), 12.
kata Hatim dialihkan kepada makna selain dirinya sendiri, kecuali kata
Hatim digunakan dalam makna yang lebih luas seperti kedermawanan yang
dimiliki oleh Hatim al-Ta>’i, maka diperbolehkan menjadikannya isti’a>rah
untuk orang yang memiliki sifat dermawan selain Hatim al-T}a>’i.26
3. Pembagian Isti’a>rah
Isti’a>rah memiliki beberapa pembagian, tergantung aspek tinjauannya,
sehingga dimungkinkan satu ungkapan termasuk ke dalam beberapa jenis
isti’a>rah.
a.Prespektif Penyebutan T}arfain
Isti’a>rah ditinjau dari penggunaan mushabbah dan mushabbah bih
dibagi menjadi dua;
1) Isti’a>rah Tas}ri>hiyyah
Isti’a>rah Tas}ri>hiyyah adalah isti’a>rah yang hanya menyebutkan mushabbah bih.
Contoh:
ْ ْ مأ
ا ُا ُا
نم
ٍ ْ َْ
يْ ْ ْ
ا ا ا
يْ ْعْ
ع
ِا ْلِ ا
ِا َْلاِ
Maka ia (wanita cantik) mengucurkan mutiara (air mata yang bening) dari narjis (bola mata yang indah) dan menyirami bunga mawar (pipi yang kemerah-merahan). Dan ia pun menggigit buah anggur dari
jemari yang indah) dengan embun (gigi yang bersih).27
Pada syair di atas, dise butkan beberapa musyabbah bih,
، لا
، ا ا
،اا ا
،ا ل ا
ارا
,
kata lu’lu’ yang memiliki makna asal mutiara
26 M. Sholehuddin Shofwan, Maba>di al-Bala>ghah, Vol. 3, 13.
dipinjam untuk menyatakan makna air mata (mushabbah), narjas
untuk bola mata yng indah, wardi yang semula berarti mawar untuk
makna pipi yang indah kemerah-merahan.
Contoh lain dalam surat ya>si>n ayat 52:
ْن ُ ْ ُ ا ْقْ ْ ْ ُنْ ْ ا ْ ْعْ ْم ْذْ َِْ ْ ْم نِم ْلَْثْ َْ نْم ْلْ َأْ ْ ُا ْ
Mereka berkata: "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?." Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah rasul-rasul(Nya).28
Kata
ِ ْ ْم
memiliki makna leksikal tempat tidur, tempatpembaringan.29 Kemudian dipinjam untuk makna kuburan, karena
memiliki kemiripan dalam hal sama-sama tempat berbaring. Wahbah
al-Zuh}aili> juga menyatakan ayat ini merupakan isti’a>rah karena
memiliki keserupaan keadaan mati mereka dengan keadaan tidur.30
2) Isti’a>rah Makniyah/Kinayah
Isti’a>rah makniyah didefinisikan sebagai isti’a>rah yang tidak
menyebutkan mshabbah bih, namun diganti dengan perkara yang
berkaitan denganya (la>zim al-mushabbah bih).
Contoh:
ْْا ْ َ ْ ْهَُتْ ْح يْ ْ ْ
Ma’rifat billa>h (yang laksana matahari) itu memancarkan cahayanya.
28 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 702.
29 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), 521.
Proses penetapan isti’a>rah pada contoh syair di atas adalah kata had}rah/ma’rifat bi Alla>h diserupakan dengan matahari, karena
keduanya sama-sama dapat menyinari. Kemudian dipinjam kata
matahari (al-shamsu) yang posisinya sebagai mushabbah bih untuk
menunjukkan makna ma’rifat, namun dalam penyebutannya tidak
menggunakan kata al-shamsu melainkan dengan kata yang ada
kaitannya dengan al-shamsu yakni anwa>r (cahaya). Proses yang
demikian dinamakan dengan isti’a>rah makniyah.31
ِ ا ْ
ْ ُْا
ْا ْلْ
ِّ ذا
ْنِم
ِ ْ ْ ا
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan.32
Rendah diri diserupakan dengan burung (t}a>ir) karena memiliki
keserupaan dalam hal rendahnya anggota badan. Kemudian dalam
penggunaannya tidak menyebutkan kata t}a>ir, tetapi menggunakan
kata sayap (jana>h) karena sayap adalah sesuatu yang berkaitan erat
dengan burung. 33
b.Prespektif Lafaz} Musta’a>r
Isti’a>rah ditinjau dari bentuk lafaz} yang digunakan dibagi menjadi
dua:
31 M. Sholehuddin Shofwan, Maba>di al-Bala>ghah, Vol. 3, 34.
32 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 420.
33 Ahmad bin Mustafa al-Mara>ghi, Ulu>m al-Bala>ghah al-Baya>n, al-Ma’a>ni, al-Badi>’, (Maktabah
1. Isti’a>rah As}liyah
Isti’a>rah as}liyah adalah isti’a>rah yang menggunakan musta’a>r
berupa isim al-jinsi. Isim al-jinsi yang dikehendaki dalam bab ini
adalah kata yang menunjukkan dhat yang pantas untuk mencakup
anak kalimat dibawahnya tanpa memandang sifat, termasuk juga ism
al-ja>mid (kata benda).34
Contoh:
ِ ْ ْا ْا ااْ ْ ُيأْ ْا
Saya melihat lelaki yang tampan di sekolahanKalimat di atas masuk dalam pembagian isti’a>rah as}liyah karena kata
ااْ ْ
merupakan kata benda yang dapat mencakup makna nonleksikalyang luas.
Isti’a>rah as}liyah juga terdapat dalam surah Ibra>him ayat 1,
ِا لا ْ ِ ِ ْ ُ لا ْنِم ْا لا ْ ِ ُ ِا ْ ْاِ ُا ْل اْ َ ْ ٌا ْ ِ
(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terangbenderang35
Kesesatan (d}ala>lah) diseupakan dengan kegelapan (z}uluma>t) dalam
keserupaan sama-sama tidak memperoleh petunjuk. Kemudian
dipinjam lafaz} yang menunjukkan mushabbah bih sebagai ganti dari
musyabbah, dengan cara isti’a>rah tas}ri>h}iyyah as}liyah. 36
34 M. Sholehuddin Shofwan, Maba>di al-Bala>ghah, 22.
35 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 371.
2. Isti’a>rah Tabaiyah
Isti’a>rah tabaiyah adalah isti’a>rah yang lafaz} musta’a>r-nya
berupa fi’il, huruf, atau isim mushtaq.37 Contoh,
اَُْ ِض اْا ِ مُ ْل ْ ْ
Dan kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan.38
Musta’a>r pada contoh di atas berupa fi’il (qat}t}a’a), memiliki makna
asal memotong-motong, kemudian dipinjam untuk menyatakan makna
membagi. Karena lafaz} yang digunakan adalah kata kerja (fi’il) maka
dinamakan dengan isti’a>rah taba’iyah
c.Prespektif Penyebutan Mula>im
Mula>im adalah kata yang memiliki kaitan makna dengan
mushabbah atau mushabbah bih, terkadang dijadikan qari>nah penetapan
isti’a>rah. Isti’a>rah ditinjau dari penyebutan mula>im dibagi menjadi tiga,
1. Isti’a>rah Mut}allaqah
Isti’a>rah Mut}allaqah adalah jenis isti’a>rah yang tidak
menyebutkan mula>im. Contoh,
ا ْ ْ ُي أْ ْا
(saya melihat laki-lakipemberani yang laksana singa).
Kata asad yang asal maknanya singa digunakan untuk makna lelaki
pemberani, qari>nah-nya berupa ha>liyah (suatu kondisi yang difaham
dari keadaan pembicara atau dengan melihat kenyataannya).39
37 al-Hasyimiy, Jawa>hir al-Bala>ghah, 264.
2. Isti’a>rah Mujarradah
Isti’a>rah Mujarradah adalah isti’a>rah yang disertai dengan
menyebutkan mula>im atau kata yang serasi dengan mushabbah.
Contoh,
يِم َْأ ا ْ ْ ُي أْ ْا
(saya melihat seorang laki-laki pemberanilaksana singa yang sedang melempar).40
Kata asad disertai dengan kata yarmi yang artinya melempar. Makna
melempar memiliki konotasi yang lebih mengarah kepada musyabbah
yakni rajul, karena yang memiliki kebiasaan melempar adalah manusia
bukan singa.
3. Isti’a>rah Murassah}ah
Isti’a>rah Murassah}ah adalah isti’a>rah yang disertai dengan
menyebutkan mula>im atau kata yang serasi dengan mushabbah bih.41
Contoh,
ْ ِ ْا ُ
ْنأِذا
ُ ْ َْ
ْ ْا ْا ا
ىْ ُ اِ
ْ ْ
يِْ ْا
مُهَُتْا ِْ
ْمْ
ُ ْ
ْنأِ ْ هُم
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.42
Fokus pembahasan pada ayat di atas adalah kata ishtarawu>. Kata
ishtarawu> (membeli) merupakan musta’a>r minhu, meminjam makna
kata menukar (istibda>l), kemudian disertai dengan kata yang memiliki
39 M. Sholehuddin Shofwan, Maba>di al-Bala>ghah, 27. Lihat Juga. al-Hasyimiy, Jawa>hir
al-Bala>ghah, 272.
40 Ibid.
41 Ibid.
keserasian dengan kata membeli yakni rabih}at (keuntungan/laba) dan
tija>rah (perdagangan).43
d.Prespektif Jumlah Tarafain
Jenis isti’a>rah yang telah penulis sebutkan di atas merupakan
isti’a>rah yang musta’a>r minh dan musta’a>r lah-nya tunggal, tidak
murakkab. Jenis isti’a>rah yang musta’a>r minh dan musta’a>r lah-nya
murakkab dikenal isti’a>rah tamthiliyyah. Isti’a>rah tamthiliyyah dalam
bahasa Indonesia dikenal dengan pribahasa. Contoh,
ىْ اُ ُ ِّاْ َُتْ اا ِا ُمِّ ْ َُت ْ ْاْ ِِّّ
Saya melihat kamu melangkahkan kaki, dan di waktu yang samamemundurkan kaki yang lain.44
Proses penetapan isti’a>rah-nya adalah bentuk keraguan seseorang
terhadap suatu perkara diserupakan dengan orang yang berjalan maju
mundur melangkahkan kakinya, wajh al-sabh yang ada adalah sama-sama
dalam keadangan bingung. Mushabbah dan mushabbah bih berupa
keadaan yang terbentuk dari kata yang murakkab, sehingga dinamakan
isti’a>rah tamthiliyyah.
43 al-Hasyimiy, Jawa>hir al-Bala>ghah, 272.
BAB III
WAHBAH AL-ZUH}AILI DAN KITAB TAFSI>R AL-MUNI>R
A. Biografi Wahbah al-Zuh}aili
1. Kehidupan dan Pendidikan al-Zuh}aili
Wahbah bin Must}afa al-Zuh}aili lahir pada tahun 1932 di kota Dair
‘Athiyah di Syria, sebelah utara Damaskus. Ayahnya adalah seorang hafiz}
al-Qur’an dan petani yang kaya. Sejak kecil, al-Zuh{aili memperlihatkan
kecenderungan belajar yang tinggi, dan hal ini ia tunjukkan dengan aktifitas
belajarnya yang padat.1
Al-Zuh}aili mendapat pendidikan dasar-dasar agama Islam dari ayahnya
sendiri, kemudian ia melanjutkan studi pada tingkat sekolah menengah di
salah satu sekolah di Damaskus selama 6 (enam) tahun, ia lulus pada tahun
1952 dengan predikat tertinggi. Pada saat yang sama, ia juga menempuh
pendidikan dalam bidang sastra pada sekolah yang sama.
Kemudian, ia melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar, Mesir, yang
prestisius dan juga berhasil lulus dengan predikat tertinggi pada tahun 1956.
Pada tahun yang sama, ia juga memperoleh ijazah Tadri>s Lughah
1 Ummul Aiman, Metode Penafsiran Wahbah al-Zuhaili: Kajian al-Tafsi>r al-Muni>r, Miqot (1
‘Arabiyyah (pengajaran bahasa Arab) dari Fakultas Bahasa Arab, Universitas
al-Azhar, Kairo.2
Ketika menuntut ilmu di al-Azhar, al-Zuh}aili juga belajar ilmu hukum di
Universitas ‘Ayn Syams di Kairo, Mesir, ia mendapat gelar BA
(bachelors/bakaloriat) dengan predikat magna cum laude (jayyid) pada tahun
1957. Pada tahun 1959, ia memperoleh gelar Master dalam ilmu hukum dari
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, Universitas Kairo.
Pada tahun 1963, al-Zuh}aili memperoleh gelar doktor dengan nilai
tertinggi dalam Ilmu Hukum dengan konsentrasi hukum Islam (Islamic Shari>‘ah)
dengan disertasi yang berjudul Atha>r al-Harb fi> al-Fiqh al-Isla>mi>: Dira>sah
Muqa>ranah bayn al-Madza>hib al-Thamaniyah wa al-Qanu>n al-Dauli al-‘A>m‛
(Pengaruh Perang Terhadap Fiqh Islam: Sebuah Studi Perbandingan yang
Mencakup Mazhab Delapan dari Hukum Islam dan Hukum International).
Guru-guru al-Zuh}aili diantaranya adalah Muhammad Hashim al-Khatib
al-Syafie, (w. 1958M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar darinya
fiqh al-Syafie; mempelajari ilmu Fiqh dari Abdul Razaq al-Hamasi (w. 1969M);
ilmu Hadits dari Mahmud Yassin (w.1948M); ilmu faraid dan wakaf dari Judat
al-Mardini (w. 1957M), Hassan al-Shati (w. 1962M), ilmu Tafsir dari Hassan
Habnakah al-Midani (w. 1978M); ilmu bahasa Arab dari Muhammad Shaleh
2 Ibid. lihat juga. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Farfur (w. 1986M); ilmu usul fiqh dan Mustalah Hadits dari Muhammad Lutfi
al-Fayumi (w. 1990M); ilmu akidah dan kalam dari Mahmud al-Rankusi.3
Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah,
(w. 1395H), Mahmud Shaltut (w. 1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun
(1376H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978M), Jad al-Rabb Ramadhan (w.1994M),
Abdul Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan Muhammad Hafiz Ghanim. Di
samping itu, beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul Rahman
Azam seperti al-Risalah al-Khalidah dan buku karangan Abu Hassan al-Nadwi
berjudul Ma>dza> Khasira al-Alam bi Inkhit}a>t al-Muslimi>n.
2. Karir ilmiah al-Zuh}aili
Setelah memperoleh gelar doktor, al-Zuh{aili memulai karir dalam
bidang pendidikan dan pengajaran. Pada tahun 1963 M, al-Zuh}aili diangkat
sebagai dosen di fakultas Syariah Universitas Damaskus dan secara
berturut-turut menjadi wakil dekan, kemudian dekan dan ketua jurusan Fiqh Islami wa
Madhahibih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun
dan dikenal sebagai pakar dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyyah.4
Karir pertama al-Zuh}aili dalam bidang intelektual dimulai di Universitas
Damaskus, ia diangkat menjadi guru besar sejak tahun 1975. Ia memberikan
kuliah di Fakultas Syari‘ah dan Ilmu Hukum dan memfokuskan diri pada
kajian Hukum Islam, Filsafat Hukum Islam dan Perbandingan Sistem Hukum.
Ia juga pernah mengajar di berbagai Universitas sebagai dosen tamu, yaitu