• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tauhid sufistik : konsep tauhid Junayd al-Baghdadi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tauhid sufistik : konsep tauhid Junayd al-Baghdadi."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

TAUHID SUFISTIK

( KONSEP TAUHID JUNAYD AL-BAGHDADI )

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh :

MUHAMMAD ACHSIN NIM: E01213051

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Muhammad Achsin, E01213051, 2015, Tauhid Sufistik (Konsep Tauhid Junayd al-Baghdadi), Skripsi, Akidah dan Filsafat Islam. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Ada dua persoalan yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu (1) Bagaimana latar belakang lahirnya Tauhid Sufistik Junayd al-Baghdadi, (2) Bagaimana konsep tauhid Junayd al-Baghdadi. Untuk mengungkap persoalan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, dalam penelitian ini digunakan deskriptif yang berguna untuk menguraikan secara teratur keseluruhan konsep Tauhid Junayd, dan metode analisis yang digunakan untuk menganalisis konsep Tauhid dalam pandangan Junayd.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa: (1) Pemikiran tasawuf junayd banyak dipengaruhi oleh pamannya Sarri as-Saqatti dan Abu Ja’far al-Qassas yang menjadi guru pertama Junayd dalam belajar tasawuf. Yang lebih menekankan pada uzlah dan khalwat. Selanjutnya perjalanan tasawuf Junayd juga banyak diwarnai dari seorang ulama’ yang bernama Abu Abd Allah al-Ḥarits ibn Asad al-Muhasibi yang biasa di panggil al-Muhasibi yang ajarannya menganjurkan agar tidak menjauhi keduniawian tetapi tidak juga hidup dalam kemewahan. Namun justru dari penggabungan kedua doktrin inilah makanya kemudian Junayd dikenal sebagai seorang sufi yang luwes dan fleksibel, jauh dari kekakuan dan cara pikir yang sempit. (2) Bagi Junayd dalam bertauhid haruslah sampai pada kondisi fana’ dan baqo’ yang mana benar-benar hati dalam keadaan kosong dan tidak melihat kecuali hanya pada kebesaran dan keagungan-Nya sehingga semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan hanyalah ke kehadira Tuhan yang Maha Esa. Dan kemudia dia akan kembali pada keadaan shaw yaitu dimana kesadaran seorang sufi dikembalikan kepada keadaannya semula, agar dia dapat memperlihatkan bukti-bukti dari rahmat Tuhan kepadanya. Sehingga anugrah-Nya akan tampak gemerlap melalui pengembalian pada sifat-sifatnya sebagai manusia

(7)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAM PERSEMBAHAN ... vi

HALAMAN ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

[image:7.595.111.508.177.758.2]

DAFTAR ISI ... x

TABEL TRANSLITERASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dab Batasan Masalah... 7

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Kegunaan Penelitian... 8

F. Penegasan Judul ... 9

G. Kajian Pustaka ... 10

H. Metode Penelitian... 12

(8)

BAB II : TAUHID DALAM PANDANGAN SUFI

A. Pengertian Tauhid ... 18

B. Unsur-Unsur Tauhid... 24

1. Tauhid Rububiyah ... 24

2. Tauhid Uluhiyah... 26

3. Tauhid Asma wa Sifat ... 28

C. Sejarah Tauhid ... 30

1. Sejarah Perkembangan Tauhid ... 32

2. Sejarah Ketauhidan dari Nabi Adam AS sampai Nabi Isa AS... 35

3. Sejarah Perkembangan Tauhid Kontenporer ... 38

D. Prinsip-Prinsip Tauhid Dalam Pandangan Kaum Sufi ... 41

BAB III: RIWAYAT HIDUP JUNAYD AL-BAGHDADI A. Biografi Junayd al-Baghdadi... 50

B. Pendidikan Junayd al-Baghdadi ... 51

C. Kondisi Sosial Junayd al Baghdadi ... 56

D. Karya-karya Junayd al-Baghdadi ... 63

BAB IV: KONSEP TAUHID JUNAYD AL-BAGHDADI A. Konsep Sufisme Junayd al-Baghdadi ... 67

(9)

xii

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran-Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan atas isi kandungan

al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Akan tetapi merupakan

implementasi bagi kerangka agung Islam. Hanya saja tarekat demikian diabaikan secara substantsi oleh para fuqoha pasca generasi salaf yang

saleh. Mereka yang sempat bertemu dengan generasi salaf yang saleh pada

abad pertama pasti mereka akan mendapatkan pendidikan dan petunjuk,

serta pemahaman dan perilaku, umat Islam ketika itu tidak memisahkan

antara akademi para sufi dengan akademi para fuqaha dan teolog. Sebab

generasi abad pertama dari Ulama Salaf yang saleh benar-benar menyerap

Islam secara total, baik dari segi pemahaman, prilaku, pendidikan, dakwah

dan fiqihnya.1

Agama Islam merupakan agama yang dipeluk oleh mayoritas

penduduk Indonesia, agama Islam mempunyai pengaruh yang besar dalam

kehidupan penduduk sebagai acuan nilai dalam kehidupan sehari-hari.2

Proses penyebaran agama Islam secara konstan, dimulai sejak abad VII M

atau permulaan abad VIII M, yang dilakukan oleh pedagang muslim di

1

An-Naisabury, Abul Qosim al-Qusairy, Risalah Qusairiyah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2006), 7. 2

(11)

2

2

jazirah Arab, Persia dan India. Pada abad XIII M Islam sudah masuk di

daerah Sumatera Utara kemudian menyebar ke kepulauan lainnya.3

Secara teoritis agama Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya

diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad sebagai

Rasul. Agama Islam membawa ajaran mengenai berbagai segi kehidupan

manusia yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadith.4 Agama Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini

dikarenakan manusia adalah makhluk yang sangat memerlukan evaluasi

diri dan penilaian ulang dalam kehidupannya, baik yang bersifat individual

maupun yang bersifat sosial.

Pada saat ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki

dampak negatif terhadap sikap hidup dan perilaku manusia baik sebagai

manusia yang beragama, maupun sebagai makhluk individual dan sosial.

Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia

ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya

yang dapat membahagiakan hidup manusia adalah nilai materil, sehingga

manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai

spiritual yang ada.

Mengejar nilai-nilai materi saja tidak bisa dijadikan sarana untuk

mencapai kebahagiaan yang hakiki. Bahkan hanya menimbulkan bencana

yang hebat, karena orientasi hidup manusia semakin tidak mempedulikan

3

Uka Tjandrasasmita, The Arrival and Expansion of Islam in Indonesia (Makalah pada Seminar on Islam Southest Asia, 1982), 2.

4

(12)

3

kepentingan orang lain, asalkan materi yang dikejarnya dapat dikuasai

oleh manusia, akhirnya timbul persaingan hidup yang tidak sehat.

Sementara manusia tidak memerlukan lagi agama untuk mengendalikan

segala perbuatannya, karena dianggap tidak dapat digunakan untuk

memecahkan persoalan hidup manusia. Dalam hal ini manusia sangat

memerlukan adanya Tasawuf atau akhlaq untuk membimbing manusia ke

jalan yang benar.5 Dan juga Tauhid atau keimanan yang kuat untuk

membentengi manusia supaya terjaga kemurnian tauhidnya.

Namun tidak bisa kita pungkiri sepeninggal Rasulullah SAW

problematika tauhid muncul satu persatu dari rahim sejarah umat Islam

seiring dengan timbulnya berbagai pendapat mengenai iman dan amal.

Meskipun pada awalnya lebih condong dipersepsikan sebagai masalah

politik namun gerakannya namun gerakannya meluas hingga masuk dalam

ranah teologi (kalam). Tidak tanggung-tanggung perbedaan pendapat ini

pun mamasuki pembahasan yang sensitif dan spesifik, diantaranya, cara

menempati kembali dalil naqli yang bersesuaian dengan akal. Para

tekstualis mengikat aqidah mereka pada dalil-dalil naqli tanpa memberi

ruang untuk takwil sedangkan orang-orang yang berseberangan dengan

mereka secara leluasa menggandengkan dialektika rasional dalam

penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis nabi s.a.w pada tingkat

5

(13)

4

4

yang paling Ekstrim, perbedaan inipun menghasilkan takfir diantara

sesama muslim.6

Selain mutakallimun, masih ada dua wajah lain yang menghiasi

sejarah dan khazanah intelektual Islam, yakni, filosof dan sufi. Meskipun

masalah yang dibicarakan sama, kedua kelompok ini memiliki cara yang

berbeda dan menyakini prinsip-prinsip ketuhanan dengan segala

atribut-Nya para filsuf muslim paripatetik cenderung membangun konsep

ketuhanan mereka diatas premis-premis rasional yang terkesan kering dan

kaku. Kejumudan ini ditangkap oleh kecerdasan al-Ghazali dan

dituangkan dalam karyanya Tahafut al-Falasifah-nya yang terkenal. Sebaliknya, para sufi yang beranjak dari ketulusan hati terhadap

tuhan dalam semua rentak penabdiannya, sering kali melahirkan

ungkapan-ungkapan dan konsep-konsep sentimentil tentag hubungan yang

mereka jalin dengan Allah S.W.T. ini adalah pilihan yang sangat beresiko

karena mereka menghayati tauhid dengan jiwa yang sentimentil yang

berpotensi membuka gerbang pengembaraan perasaan dengan sikap

bertauhid yang tidak terkontrol. sebagaimana filsafat, para sufi pun

menjadi sasaran kritik dari waktu-kewaktu

Dalam konteks ini, kritikan-kritikan tersebut melah berbalik arah

menyerang pengkritiknya dimana merekalah yang justru dipersepsikan

sebagai orangyang menggagahi konsep kebertuhanan, bukan para sufi.

Faktor berikutnya adalah fakta bahwa cukup banyak para sufi yang

(14)

5

mampu menjaga kebenaran dan kebersihannya dalam doktrin ketauhidan

yang dikembangkannya, seperti yang tampak dalam konsep tauhid yang

dikemukakan oleh Sultan al-‘Arifin, Imam Junayd al-Baghdadi (w. 298 H/910M), tokoh termuka tasawuf aliran Baghdad.

Junayd memang berbeda. Jarak yang dijaganya dari poros tasawuf

falsafi membuatnya terhindar dari nasib tragis seperti yang dialami Abu

mansyur al-Hallaj (w. 309/922). Tidak hanya itu kelenturan bahasa dan

kejelesan tutur katanya behkan lebih dicintai dari gaya ketasawufan Abu

Yazid al-Bustami (w. 261/857). Tidak heran kalau kemudian Ibnu

Taimiyah dapat menerima pemikiran Junayd. Itu dibuktikan dengan

apresiasinya terhadap perinsip tasawuf Junayd yang tersimpul dalam

statemennya “Ilmu ini mengacu pada al-Qur’an dan Sunnah. Barang siapa

yang tidak membaca al-Qur’an dan menulis Hadis maka tidak pantas untuk berkata-kata tentang keilmuan kami.7

Perspektif Junayd tentang tauhid ini ternyata juga diakomodir oleh

para penulis manual klasik tasawuf yang terkenal diantaranya, Nashr

al-Sarraj al-Tusi (w. 378/988) dalam al-Luma’ ,8 dan Abu Qasim al-Qusyairi (w. 465/1074) dalam al-Risalah al-Qusyairiyah.9 Kehadiran perspektif Junayd tentang tauhid dalam kitab manual tersebut ditampilkan

secara bervariasi.

7 M. Subkhan Ansori, Filsafat Islam Antara Ilmu dan Kepentingan (Jawa Timur: Pustaka Azhar, 2011), 291.

8

(15)

6

6

“Tauhid yang secara khusus dianut para sufi adalah pemisahan

antara yang Qadim dengan yang Hadith. Dengan pemikiran seperti ini,

Junayd di pandang sebagai orang yang mendasarkan tasawuf pada

al-Qur’an dan al-Sunnah.”

Namun ada yang menarik dari pemikiran tauhid Junayd yaitu

konsep fana’ dalam bertauhid, Fana’ menurut para kaum sufi dapat berarti

lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan, akhlak yang tercela, dan kejahilan dari

diri seorang sufi kemudian kekalnya (baqa) sifat-sifat ketuhanan, Akhlak

yang mulia, dan pengetahuan dalam dirinya. Fana juga dapat berarti

al-fana’ al-nafs, yakni leburnya perasaan dan kesadaran tentang adanya

tubuh kasar seorang sufi dan wujud jasmani sudah di rasakan tidak ada

lagi. Pada kondisi ini yang tinggal hanyalah wujud rohani dan di dalam

dirinya.

Fana’ dalam pengertian yang umum dapat dilihat dari penjelasan

al-Junaid berikut ini. Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang

bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang

demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan

berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari

dan dirasakan oleh indera.

Dari pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur atau fana itu adalah

kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi,

(16)

7

hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai

manusia sebagaimana di jelaskan oleh Al-Qusyairi:

Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu.

Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri

dan dengan alam sekitarnya.

Maka melihat dari pada kedudukan dan reputasi Junayd dalam

dunia tasawuf, serta poin-poin ruhaniyah yang melekat pada

pandangan-pandangan spiritualnya tentang tauhid, maka penulis mengfokuskan

pembahasan skripsi ini pada pemikiran Tauhid Junayd al-Baghdadi yang

berorientasi pada konsep Tauhid Sufistik.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Maksud dari identifikasi masalah ini untuk mengantarkan pada

batasan masalah dalam penelitian ini. Sehingga perbedaannya dengan

kajian yang pernah dilakukan sebelumnya akan tampak. Sebagai sebuah

studi pemikiran. Adapun penelitian ini akan fokus pada pemikiran Junayd

Baghdadi, obyek pada penelitian ini adalah pemikiran tauhid Junayd

al-Baghdadi.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang lahirnya Tauhid Sufistik Junayd

al-Baghdadi ?

(17)

8

8 D. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskrisikan latar belakang tauhid sufistik Junayd

al-Baghdadi.

2. Upaya menganalisis pemikiran Junayd al-Baghdadi tentang tauhid

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat bagi penulis

dan masyarakat umum, manfaat yang dimaksud adalah :

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan diharapkan dapat memberikan

sumbangsih pemikiran dibidang pengetahuan tertama di bidang pemikiran

Islam, dalam rangka memberikan pemahaman tentang tasawuf dan tauhid

seorang sufi khususnya dalam pemikiran Junayd al-Baghdadi.

2. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan bias meberikan masukan dan

ide-ide pembanding bagi pihak-pihak yang tergabung dalam organisasi

keagamaan dan lembaga lainnya di tengah umat Islam yang sedang dan

terus melakukan perubahan terutama dalam memahami agama.

3. Secara Akademik

Dapat menjadi masukan dan pembendaharaan kepustakaan untuk

kepentingan ilmiah, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf dan tauhid

(18)

9

F. Penegasan Judul

Untuk menghindari perbedaan pengertian atau kekurang jelasan

terhadap pokok bahasan skripsi yang berjudul “Tauhid Sufistik Junayd al-Baghdadi”. Maka perlu dijelaskan tentang kata kunci yang ada dalam judul tersebut, yaitu sebagai berikut:

Tauhid : mengesakan, menunggalkan, yang Maha Dahulu (Qidam)

dari yang datang kemudian (hudus)10, tidak ada yang lain

selain Allah yang Maha Esa. Tidak ada Muhammad, tidak

ada sufi, tidak ada benda, tidak ada karya, dan tidak ada

diri sendiri yang ada hanya Allah semata.

Sufistik : istilah sufistik berasal dari kata shafa yang berarti bersih, sehingga kata shufi memiliki makna orang yang hatinya tulus dan bersih dihadapan Tuhannya. Ada pendapat lain

yang mengatakan berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh

para sahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin,

dan mereka itu disebut dengan ahlu as-suffah. Selain itu juga ada pendapat yang mengatakan berasal dari kata suf

yang berarti kain yang dibuat dari bulu (wool) dan kaum

sufi lebih memilih wool yang kasar sebagai simbol

(19)

10

10

kesederhanaan. Ada juga pendapat yang mengatakan

bahwa kata shufi11

Junayd : Nama lengkapnya adalah Abu al-Qosim al-Junayd bin

Muhammad al-Kazzaz al-Qawariri al-Sujaj al-Nahawandi.

Junayd adalah sufi terkemuka aliran Baghdad yang mata

rantai keilmuannya dimulai dari Ma’ruf al-Karakhi (wafat tahun 200 H), Sari Saqati (wafat tahun 251 H),

al-Hasibi dan Junayd al-Baghdadi (wafat tahun 298 H).

Junayd juga dipandang sebagai imam besar para sufi

dalam jajaran guru awal, bahkan Ja’far al-Kuldi, al-Subki,

Abd ar-Rahman jami’ serta banyak perawi tasawuf

sepakat menyatakan junayd adalah “syaikh atau penghulu kaum sufi”.

Dari beberapa penjelasan kata kunci diatas, penulis mengulas tentang

pandangan Junayd tentang sebagai upaya menjadi manusia yang

berkualitas, menjernihkan hati dan memurnikan ibadah hanya kepada

Allah SWT.

G. Kajian Pustaka

1. Aditya Pratama, Tauhid Perspektif Junayd Al-Baghdadi Dalam Kitab-Kitab Manual Tasawuf, Skripsi ini membahas tentang Tauhid

(20)

11

Perspektif Junayd al-Baghdadi yang dikaji dalam kitab-kitab klasik

seperti ar-Rasail, al-Luma’, ar-Risalah, Kasful Mahjub,

2. Abu Nashr Abdullahbin Ali as-Sarraj ath-Thusi, yang diberi gelar

T{awas al-Fuqara’ (si Burung Merak orang-orang fakir sufi) Wafat

pada tahun 378 H. beliau adalah penulis kitab tasawuf al-Luma’

mungkin ia juga memiliki tulisan-tulisan lain yang tak sampai pada

kita sebagaimana yang didengar oleh Ja’far al-Khuldi, Abu Bakar Muhammad bin Dawud ad-Duqqi dan Ahmad bin Muhammad

as-Sayij. Karyanya yang berjudul al-Luma’ adalah suatu buku ensiklopedia tasawuf yang ada dalam sejarah umat Islam, beliau juga

seorang sejarawan sufi terbesar dalam sejarah klasik dan modern.

3. Abdul Karim bin Hawazin Abu al-Qasim al-Qusyairi (w 465 H),

beliau adalah penulis buku induk tasawuf ar-Risalah al-Qusyairiyah12. Imam Qusyairi juga banyak memberikan sumbangsih pemikiran

terutama dalam bidang tasawuf dan tauhid, karya-karya beliau juga

banyak membahas pengertian yang berkaitan dengan istilah-istilah

dalam tasawuf. Tak lupa beliau juga banyak membahas tentang tauhid

dalam pandangan para sufi yang menjadi wacana bagi penulis untuk

penulisan skripsi ini.

4. Buku Risalah Tauhid karangan Syekh Muhamad Abduh, penerbit: Bulan Bintang, Desember 1989.

12

(21)

12

12

Buku ini membahas tentang pemikiran Pemikiran Muhammad

Abduh tentang Tauhid, tetapi bukan hanya masalah Tauhid saja. Buku ini

juga membahas mengenai manusia, perbuatan-perbuatan Allah, kerasulan,

dan wahyu.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif

deskriptif yang berfokus pada kajian (library research) artinya peneliti mengungkap dan mengelola data yang berasal dari referensi

kepustakaan (bukan lapangan).13 Penelitian kualitatif sendiri adalah

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis

atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Penelitian ini juga merupakan jenis penelitian

deskriptif-analisis,14 karena menggunakan penelitian dan pengkajian struktur

ide-ide dasar serta pemikiran-pemikiran yang fundamental yang

dirumuskan oleh seorang pemikir, kemudian dideskripsikan sehingga

dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas.15 Dalam

hal ini berupa pembicaraan yang membicarakan tentang tauhid

menurut pandagan seorang sufi Junayd al-Baghdadi serta menganalisa

13

Hamid Nasuki,Dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Desertasi, (Jakarta: Ceqda, 2007), 34.

14

Sunardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Cv. Rajawali, 1993), 6. 15

(22)

13

pemikiran junayd dengan mengali riwayat hidupnya guna mengetahui

latar belakang pemikirannya. Selain menggambil data-data

kepustakaan mengenai Tauhid sufistik, baik yang terdapat dalam

karya asli Junayd maupun buku-buku yang ada kaitannya dengan

Tauhid sufistik. Penelitian ini juga menggunakan data yang

menyangkut dan membahas tentang riwayat hidup, latar belakang

pemikiran tauhid menurut pandangan Junayd.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini tidak

jauh dari judul yang ada. Secara umum, sumber data yang diambil

berasal dari literatur, baik berupa buku, jurnal, makalah, maupun

data-data yang diambil dari website. Tentunya data-data yang masih

berhubungan dengan penelitian ini, seperti halnya tentang Tasawuf,

tauhid, sufi, khususnya Tauhid dalam pemikiran Junayd al-Baghdadi.

Kajian ini bersifat kepustakaan (library research), sehingga data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

a. Data primer

Data primer dalam penelitian ini bersumber dari buku-buku

yang secara langsung berkaitan dengan obyek material penelitian atau

karya asli dari tokoh tersebut.16 Karena obyek penelitian ini adalah

konsep tauhid menurut Junayd al-Baghdadi, maka sumber primernya

(23)

14

14

adalah karya-karya asli Junayd al-Baghdadi seperti Risalatul Junaid (Ar- Rasail)

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari sumber tidak langsung yang

biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi.17 Pendapat

lain mengatakan bahwah sekunder adalah data yang biasanya telah

tersusun dalam bentuk-bentuk dokumen-dokumen, misalnya data

mengenai keadaan demografis suatu daerah, data mengenai

produktivitas suatu perguruan tinggi, dan mengenai persediaan

pangan disuatu daerah dan sebagainya.18 Adapun data sekunder yang

diperoleh peneliti adalah data pendukung dari kitab-kitab tasawuf

seperti : Al-Luma’, Risalah Qusairiyah, Ihya’ ulumuddin, dan Islam sufistik.

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data pada penelitian ini, penulis akan

menghimpun data yang meliputi, Tauhid dalam pandangan Junayd

al-Baghdadi, dan didukung dengan data-data atau pemikiran dari

tokoh-tokoh lain.

Selanjutnya data-data tersebut diseleksi dengan cara

menambah atau mengurangi data dan diklasifikasikan agar sesuai

17

Saifuddin Azwar, metode penelitian, (Jakarta: CV. Rajawali, 1998),93.

18

(24)

15

dengan tema yang akan dibahas oleh penulis untuk menyusun

sistematika pembahasan dan terdeskripsikan dengan rapi. Untuk

penggalian data penulis menggunakan library research, yang dimaksud disini adalah pengumpulan atau pencarian data yang

terdapat pada buku-buku yang berkaitan dengan wacana Tauhid

para sufi.

b. Teknik Analisa Data

Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode

deskriptif-analisis-korelasional, dengan proses pencarian fakta

yang menggunakan ketepatan interpretasi. Metode deskriptif

menjelaskan suatu fakta sebagaimana adanya.19 Atau metode

yang menguraikan secara teratur keseluruhan konsep seorang

tokoh.20 Dalam hal ini berupa pemikiran Junayd al-Baghdadi

mengenai tauhid.

Sedangkan metode analisis, digunakan untuk mendapatkan

ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian

terhadap obyek yang diteliti, atau cara penanganan terhadap suatu

obyek ilmiah tertentu dengan memilah-milah antara pengertian

yang satu dengan pengertian yang lain untuk memperoleh suatu

kejelasan arti yang terkandung dalam obyek yang akan diteliti.21

19 Anton Bakker dan A. Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet I (Jogyakarta: Kanisius, 1992), 88.

20

(25)

16

16

Sedangkan metode penelitian korelasi adalah suatu

penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan data guna

menentukan, apakah ada hubungan dan tingkat hubungan antara

dua variabel atau lebih. Adanya hubungan dan tingkat variabel

yang penting, karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang

ada, peneliti akan dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan

penelitian. Yang dalam hal ini konsep tauhid junayd akan

dikorelasikan dengan fenomena ketauhidan para sufi pada

umumnya.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam sistematika pembahasan ini, penulis membagi kerangka

penelitian dalam lima bab yaitu :

BAB I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

penegasan judul, kajian pustaka, metode penelitian serta

sistematika pembahasan.

BAB II : Membahas tentang tauhid : Pengertian Tauhid,

Unsur-unsur tauhid, Sejarah Tauhid, dan Tauhid dalam

pandangan para sufi.

BAB III : Bab ini membahasa tentang biografi Junayd al-Baghdadi :

(26)

17

Baghdadi, Lingkup Sosial Junayd al-Baghdadi, dan

Karya-karya Junayd al-Baghdadi.

BAB IV : Membahas tentang Tauhid Junayd al-Baghdadi Meliputi :

Konsep Tauhid Junayd al-Baghdadi dan Fana’ Fii at-Tauhidala Junayd al-Baghdadi.

(27)

18

BAB II

TAUHID DALAM PANDANGAN SUFI

A. Pengertian Tauhid

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tauhid merupakan kata benda yang berarti keesaan Allah, kuat kepercayaan bahwa Allah hanya

satu. Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata wahhada

(دحو) yuwahhidu (دحوي). Secara etimologis, tauhid berarti keesaan. Maksudnya, keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa-Tunggal. Pengertian

ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam bahasa

Indonesia, yaitu “keesaan Allah”. mentauhidkan berarti “mengakui akan keesaan Allah, mengeesakan Allah”. Fuad Iframi Al-Bustani Menyatakan Bahwa Menurutnya tauhid adalah Keyakinan bahwa Allah itu bersifat

“Esa”. Jadi tauhid berasal dari kata “wahhada” (دحو) “yuwahhidu” (دحوي)

“tauhidan” (اديحوت), yang berarti mengesakan Allah SWT.1

Dari segi bahasa “mengtauhidkan” sesuatu berarti menjadikan

seseatu itu Esa. Secara Syar’i tauhid adalah “mengesakan Allah didalam perkara-perkara yang Allah sendiri melalui nabi-nabiNya yaitu dari segi

rububiyah, Uluhiyyah dan Asma Was Sifat.2

Allah berfirman dalam surat adz-Dzariyat ayat 56

1

Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Rineka Cipta: Jakarta, 1992),1.

2

Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, (malang, UIN MALIKI PRESS,

(28)

19            ( 6 )

Artinya : “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku”3

Maksud dari kita menyembah di ayat ini adalah mentauhidkan

Allah dalam segala macam bentuk ibadah sebagaimana telah dijelaskan

oleh Ibnu Abbas rodhiyallohu anhu, seorang sahabat dan ahli tafsir. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia di

dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah saja. Tidaklah mereka

diciptakan untuk menghabiskan waktu kalian bermain-main dan

bersenang-senang belaka.

Sebagaimana firman Allah swt surat Al-Anbiya ayat 16-17

          ( 6 )                  ( 61 )

Artinya : “Dan tidaklah kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya kami hendak

membuat sesuatu permainan tentulah membuatnya dari sisi kami. Jika

kami menghendaki berbuat demikian”.4

3

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, The Holy Qur’an Al-Fatih, (Jakarta : PT. Insan Media Pustaka, 2009), 523

4

(29)

20

Selain itu tauhid adalah tujuan diutusnya beberapa rasul ke muka

bumi, dalam hal ini Allah berfirman dalam surat an-Nahl ayat 36

                                              ( 6 )

Artinya : “Dan sungguh kami telah mengutus rasul”.5

Makna dari ayat ini adalah bahwa para Rasul mulai dari Nabi Nuh

sampai Nabi terakhir nabi kita Muhammad shollallohu alaihi wa salam

diutus oleh Allah untuk mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada

Allah semata dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun.

Maka pertanyaan bagi kita sekarang adalah Sudahlah kita memenuhi

seruan Rasul kita Muhammad shollallohu alaihi wa sallam untuk beribadah hanya kepada Allah semata ? ataukah kita bersikap acuh tak

acuh terhadap seruan rasulullah ini ?

Selain itu tauhid merupakan perintah Allah yang paling utama dan

pertama, Allah berfirman dalam surat an- Nisa ayat 36

(30)

21

Artinya : “ Sembahlah Allah dan janganlah kamu

mempersekutukan-Nya deangan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah

kapada kedua orang tua, kerabat karib, anak-anak yatim, orang-orang

miskin, tetanggayang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat,

ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai

orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.6

Tauhid merupakan materi dakwah pertama para Rasul. Tauhid

merupakan terminal pertama dan langkah awal bagi mereka-mereka yang

ingin menempuh jalan kepada Allah. Apabila Tauhid sudah tertanam

dalam diri seseorang dengan sempurna, maka dengan tauhid tersebut akan

dapat mencegah seseorang itu masuk kedalam dosa besar atau

kemusyrikan.

Kedudukan tauhid dalam Islam sangatlah fundamental, Karena

tauhid adalah pemahaman seorang muslim tentang keimanan. Konsep

tauhid dalam Islam merupakan salah satu pokok ajaran yang tidak dapat

diganggu gugat dan sangat berpengaruh terhadap keIslaman seseorang.

Apabila pemahaman tentang tauhid seorang tidak kuat maka alkan goyah

pula pilar-pilar keIslaman secara menyeluruh.

Tauhid juga merupakan konsep dalam aqidah Islam yang

menyatakan keesaan Allah sebuah sumpah akan kesetiaan dan

kepercayaan yang mutlak tentang Allah yang maha Esa. Dengan meyakini

akan keesaan Allah, maka seorang muslim tidak lagi meyakini adanya

6

(31)

22

Tuhan selain Allah sihingga seluruh hidupnya akan senantiasa

dipersebahkan hanya untuk mengabdi kepada Allah. Dengan tauhid yang

kuat maka seorang muslim akan mampu melaksanakan seluruh perintah

Allah dan menjauhi seluruh larangan-larangannya.

Nilai keesaan Allah merupakan awal dari kewajiban-kewajiban

manusia terhadap Tuhan-Nya tersebut. Manusia diciptakan di muka bumi

ini hanya mempunyai satu tugas yaitu menyembah Allah dengan segala

bentuk ibadahnya.

Allah berfirman dalam KitabNya.7

Artinya : “Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang

Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci

Allah dari apa yang mereka sekutukan”.

Dengan memperdalam pemahaman terhadap keilmuan tauhid,

maka sangat diharapkan seorang muslin memiliki landasan yang kuat

dalam mengimplementasikan kewajiban-kewajiban menyembah Allah.

Dengan keyakinan yang kuat tentang tentang keesaan Allah. Maka akan

terasa sangat ringan seorang muslin untuk mengerjakan ibadah yang

diwajibkan kepadanya. Baik ibadah maghdo maupun ibadah ghoiru

maghdo. Tidak ada lagi rasa malas, dan menganggap bahwa bertemu

dengan penciptanya merupakan kebutuhan baginya.

Tauhid adalah konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan

keesaan Allah. Tauhid diambil kata : Wahhada Yuwahhidu Tauhidan yang

7

(32)

23

artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang artinya satu

atau ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid itu berarti

keyakinan akan keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah La illaha ilallah

yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah. Tauhid merupakan inti dan

dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga oleh karenanya

Islam dikenal sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan

Tuhan.8

Bahkan gerakan-gerakan Pemurnian Islam terkenal dengan nama

gerakan muwahhidin (yang memperjuangkan tauhid). Dalam

perkembangan sejarah kaum muslimin, tauhid itu telah berkembang

menjadi nama salah satu cabang ilmu Islam, yaitu Ilmu Tauhid yakni ilmu

yang mempelajari dan membahas masalah-masalah yang berhubungan

dengan keimanan terutama yang menyangkut masalah ke-Maha Esaan

Allah.

Tauhid dibagi menjadi tiga macam yakni tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat Mengamalkan tauhid dan menjauhi Syirik

merupakan konsekuensi dari kalimat Shahadat yang telah diikrarkan oleh seseorang karena yang membedakan seorang muslim dengan yang bukan

muslim adalah kepercayaannya mengenai keesaan Allah yang terwujud

dalam keyakinan dan amal-amal ibadahnya.9

Allah SWT menerangkan kita bahwa Dialah yang menciptakan jin

dan manusia, dan tujuan dari peciptaan mereka adalah agar mereka

8

Ibid., 4.

9

(33)

24

beribada hanya kepadanya saja, dan menjahui menyembah selain-Nya. dia

tidak menciptakan mereka untuk keuntungan-Nya, melainkan agar

menyembah kepada-Nya semata : Dia telah menjamin segala kebutuhan

mereka, sesungguhnya Dialah yang maha terpercaya dalam menepati janji

dan Dia mampu memenuhinya, karena Dialah yang Maha Kuasa.

B. Unsur-unsur Tauhid

Tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam Rububiyah, Ikhlas beribadah kepadaNya, serta menetapkan bagiNya nama-nama dan

sifat-sifat. Dengan demikian Tauhid ada tiga macam : Tauhid Rububiyah, tauhid uluhiyah, dan yang ketiga adalah tauhid asma wa sifat. Setiap dari

ketiga tauhid itu memiliki makna yang harus dijelaskan agar perbedaan

antara ketiganya menjadi terang.

1. Tauhid Rububiyah

Yaitu mengesakan Allah dalam segala perbuatanNya dengan

menyakini bahwa Dia sendiri yang meciptakan semua mahluk.10 Allah

berfirman dalam Surat ath-Thur ayat 35-36 :

                ( 66 )               ( 6 )

Artinya : “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah

mereka yang meciptakan (diri mereka sendiri)? sebenarnya mereka

tidak meyakini (apa yang mereka katakana)”.11

10

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid 1 (Jakarta : Darul Haq, 2013), 19.

11

(34)

25

Perhatikanlah alam semesta ini, baik yang diatas maupun yang

dibawah dengan segala bagian-bagiannya. Kita pasti mendapati semua

itu menunjukan pada pembuat, pencipta dan pemiliknya. Maka

mengingkari ilmu itu sendiri dan mencampakannya, keduanya tidak

berbeda.

Adapun pengingkaran adanya Tuhan oleh orang-orang komunis

saat ini hanyalah karena kesombongan dan penolakan terhadap hasil

renungan dan pemikiran akal sehat. Siapa yang sepertinya ini sifatnya

maka dia telah membuang akal sehat. Siapa yang seperti ini sifatnya

maka dia telah membuang akalnya dan mengajak orang lain untuk

menertawakan dirinya

Mengesakan Allah dalam Rububiyahny-Nya Maksudnya

adalah kita meyakini keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang

hanya dapat dilakukanoleh Allah, seperti mencipta dan mengatur

seluruh alam semesta beserta isinya, memberi riski, memberikan

manfaat, menolak mudhlarat dan lainnya yang merupakan kekhususan

bagi Allah. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada

seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang mengingkari

hal ini; seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan

keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di

dalam lubuk hati mereka, mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini

terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah

membohongi kata hati mereka sendiri.12

12

(35)

26

Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam karena sesungguhnya

orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi Rosulullah mengakui

dan meyakini jenis tauhid ini.

2. Tauhid Uluhiyah

Yaitu membahas tentang keEsaan Allah dalam dzat-Nya tidak

terdiri dari beberapa unsur atau oknum, tidak sebagaimana dalam

teologi Yahudi dan Masehi. Dia (Allah) sebagai dzat yang wajib

disembah dan dipuja dengan ikhlas, semua pengabdian hamba-Nya

semata-mata untuk-Nya seperti berdoa, nahr (kurban), raja’ (harap),

khauf (takut), tawakal (berserah diri), inabah (pendekatan diri) dan lain-lain.13

Firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 36 :

                                             ( 6 )

Artinya : “ dan sesungguhnya kami telah mengutus rosul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah semata dan

jauhilah berhala itu”.14

13

Mulyono dan Bashori, Study Ilmu Tauhid dan Kalam,16.

14

(36)

27

Setiap rasul selalu memulai dakwahnya dengan perintah

perintah tauhid uluhiyah. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi

Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan Lainnya.

Allah Berfirman dalam Surat al-Ankabut ayat 16 :

                          ( 6 )

Artinya : Dan ingatlah Ibrahim, Ketika ia berkata kepada

Kaumnya ‘sembahlah Allah dan bertawalah kepadanya”.15

Jadi jelaslah bahwa tauhid uluhiyah adalah maksud dari dakwah para rasul. Disebut demikian, karena uluhiyah adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh namaNya, “Allah”, yang artinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah).

Juga disebut “tauhid ibadah”, karena ubudiyah adalah sifat

“abd (hamba) yang wajib menyembah Allah secara ikhlas, karena

ketergantungan mereka kepadanya. Tauhid ini adalah inti dari dakwah

para rasul, karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya

seluruh amal. Tanpa merealisasikannya, semua amal ibadah tidak akan

diterima. Karena ia tidak terwujud, maka bercokollah lawannya, yaitu

syirik.16

15

Ibid., 398.

16

(37)

28

Mengesakan Allah Dalam uluhiyah-Nya. Maksudnya adalah kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan.

Seperti Shalat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap,

cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya. Dimana kita harus

memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Allah

semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rasul dan

merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy.

Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai

perkataan mereka itu “Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu sesembahan-sesembahanyang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” Dalam ayat ini kaum

musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadahnya hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah dan Rasuln-Nya walaupu mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya

pencipta alam semesta17

3. Tauhid Asma Wa Sifat

Tauhid Asma Wa Sifat adalah beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya, sebagaimana yang telah diterangkan dalam al-Qur’an dan Sunnah RasulNya menurut apa yang pantas bagi Allah, tanpa ta’wil dan ta’thil, tanpa takyif, dan tamtsil.18

17

Ibid., 95.

18

(38)

29

Allah menafikan jika ada sesuatu yang menyerupaiNya, dan

Dia menetapkan bahwa Dia adalah Pendengar dan Maha Melihat.

Maka Dia diberi nama dan disifati dengan nama dan sifat yang

disampaikan oleh RasulNya. Al-Qur’an dan as-Sunnah dalam hal ini tidak boleh dilanggar, karena tidak seorang pun lebih mengetahui

Allah daripada RasulNya dengan nama-nama dan sifat-sifat

makhlukNya, atau menakwilkan dari yang benar, maka dia telah

berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan

RasulNya19

Tulis al-Qur’annya

Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 15 :

                             ( 66 )

Artinya : ‘Siapakah yag lebih dhalim kepada orang-orang yang

mengada-adakan kebohongan terhadap Allah”.20

Mengesakan Allah Dalam Nama dan Sifat-Nya, Maksudnya

adalah kita beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yang

diterangkan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rosulullah. Dan kita juga meyakini bahwa Allah lah yang pantas untuk memiliki nama-nama

terindah yang disebutkan di Al-Qur‟an dan Hadits tersebut (yang dikenal dengan Asmaul Husna).

19

Ibid., 100.

20

(39)

30

Seseorang baru dapat dikatakan Seorang Muslim yang tulen

yang telah mengesakan Allah dan tidak berbuat syirik dalam ketiga hal

tersebut diatas. Barangsiapa yang menyekutukan Allah (berebuat

syirik) dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan

muslim tulen tetapi dia adalah seorang musyrik

Seseorang baru dapat dikatakan Seorang Muslim yang tulen

yang telah mengesakan Allah dan tidak berbuat syirik dalam ketiga hal

tersebut diatas. Barangsiapa yang menyekutukan Allah (berebuat

syirik) dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan

muslim tulen tetapi dia adalah seorang musyrik.21

C. Sejarah Tauhid

Sejarah Tauhid Tauhid diambil dari kata: Wahhada Yuwahhidu Tauhidan yang artinya Mengesakan satu suku kata dengan kata wahid yang berarti satu atau kata ahad berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid

ialah kalimat la illa illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah. Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam,

sehingga oleh karenanya Islam dikenal sebagai agama pemurnian Islam

terkenal dengan nama gerakan muwahhidin (yang memperjuangkan tauhid

ilmu Islam, yaitu ilmu tauhid yakni kaum muslimin, tauhid itu telah

berkembang menjadi nama salah satu cabang ilmu Islam, yaitu ilmu tauhid

yakni ilmu yang mempelajari dan membahas masalah-masalah yang

21

(40)

31

berhubungan dengan keimanan terutama yang menyangkut masalah

ke-Maha-Esa-an Allah.

Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang “wujud Allah”, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh

disifatkan kepada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib

dilenyapkan dari pada-Nya ; juga membahas tentang para Rasul Allah,

meyakinkan kerasulan mereka, meyakinkan apa yang wajib ada pada diri

mereka, apa yang boleh dihubungkan (nisbah) kepada diri mereka dan apa

yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka. Asal makna

“tauhid”, ialah meyakinkan, bahwa Allah adalah “satu”, tidak ada syarikat

bagi-Nya.

Sebabnya dinamakan “Ilmu Tauhid”, ialah karena bagiannya yang

terpenting menetapkan sifat “wahdah” (satu) bagi Allah dalam zat-Nya

dan dalam perbuatan-Nya menciptakan alam seluruhnya dan bahwa Ia

sendiri-Nya pula tempat kembali segala ala mini dan penghabisan segala

tujuan. Keyakinan (tauhid) inilah yang menjadi tujuan paling besar bagi

kebangkitan Nabi SAW, seperti ditegaskan oleh ayat-ayat Kitab Suci,

yang akan diterangkan kemudian.

Kadang-kadang dinamakan juga ia “Ilum Kalam” ialah karena ada kalanya masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulkan

perbedaan pendapat diantara ulama-ulama kurun pertama, yaitu : apakah

“Kalam Allah” (wahyu) yang dibacakan itu “baharu” atau “Qadim” ?

Dan adakalanya pula, karena ilmu tauhid itu dibina oleh dalil akal (rasio),

(41)

32

berbicara tentang ilmu itu. Namun begitu, amat sedikit sekali orang yang

mendasarkan pendapatnya kepada dalil naqal (Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul), kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu ; kemudian

orang berpindah dari sana kepada membicarakan masalah yang lebih

menyerupai cabang (furu‟), sekalipun cabang itu oleh orang yang datang

kemudian telah dianggap pula sebagai suatu masalah yang pokok.

Di samping itu ada pula suatu sebab lain yang menyebabkan “Ilmu Tauhid” itu dinamakan orang dengan “Ilmu Kalam”. Ialah, karena dalam

memberikan dalil tentang pokok (ushul) agama (mantiq), sebagaimana beluk hujjah tentang pendirinya. Kemudian diganti orang mantiq dengan Kalam,karena pada hakikatnya keduanya adalah berbeda.22

1. Sejarah perkembangan Tauhid

Tauhid sebagai ilmu sebetulnya belum ada di zaman Rasulullah

saw, walaupun seluruh ulama sependapat bahwa tauhid adalah dasar

yang paling pokok dalam ajaran Islam. Sebagai ilmu, tauhid tumbuh

lama sesudah Rasululllah wafat. Semasa hidupnya, Rasulullah saw.

Mendidikkan sikap dan watak bertauhid ini dengan memberikan

contoh teladan kepada para sahabat beliau di dalam kehidupan

sehari-hari. Pribadi Muhammad sebagai rasulullah „utusan Allah‟

memanglah pribadi yang sempurna (insan kamil), dengan kata lain beliau adalah manusia bertauhid secara istiqamah (konsisten) dan

paripurna. Karena itu, sikap, watak, ucapan, dan tindak-tanduk beliau

22

(42)

33

sebagai rasulullah, terutama di bidang ibadah merupakan rujukan bagi setiap mukmin. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT sendiri di

dalam kitab-Nya.

Sesudah Islam berkembang ke segala penjuru dan umat Islam

telah mampu menaklukkan para maharaja (super power) ketika itu, seperti Persia di Timur dan Romawi di Barat, maka umat Islam

mendapat kesempatan menuntut ilmu senbanyak-banyaknya. Memang

menuntut ilmu diwajibkan oleh Allah bagi setiap muslim. Oleh karena

itu, menuntut ilmu sangatlah digalakkan oleh Rasulullah saw. Bagi

setiap laki-laki maupun perempuan dari buaian hingga ke liang lahat,

bahkan kalau perlu dengan pergi merantau sejauh-jauhnya sampai ke

negeri Cina.

Namun, tidak semua ilmu-ilmu baru ini bersifat positif,

diantaranya ada pula yang menyesatkan. Akan tetapi, dengan semangat

kebebasan berpikir yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw, para

intelektual muslim ketika itu terus maju dan merusak

pemikiran-pemikiran baru yang orisional dan cemerlang. Tauhid yang merupakan

intisari ajaran Islam, kemudian menjadi pembahasan di kalangan

cendekiawan muslim sehingga berkembang menjadi suatu ilmu yang

menerangkan bagaimana seharusnya seorang muslim mengesakan

Tuhannya. Semangat mencari ilmu yang diwajibkan oleh Allah SWT

(43)

34

muslim yang sampai sekarang pun masih dikagumi orang akan mutu

intelektualitas mereka.

Sayang kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan ini tidak

selalu dibarengi oleh sarana penunjang yang paling pokok, yaitu

perkembangan politik yang sehat dan Islami. Perkembangan ilmu yang

tidak boleh tidak menghendaki adanya sarana utama berupa

kemerdekan berpikir dan bergerak yang sudah tidak dapat dinikmati

oleh umat sejak berbahaya sistem ketatanegaraan yang Islami di masa

pemerintahan khalifah-khalifah yang bijaksana (Khulafa ar-Rasyidin)

menjadi system dinasti yang feodalitas, yang memang sudah lama merupakan darah dagingnya masyarakat Arab jahilah.

Perubahan sistem ketatanegaraan yang berawal dari perbedaan

pendapat dan berkembang menjadi pertentangan yang berawal dari

perbedaan pendapat dan berkembang menjadi pertentangan paham

tentang konsep kepemimipinanini, merupakan pokok pangkal

perpecahan di kalangan para pemimpin yang akhirnya meledak

menjadi perang saudara. Pada mulanya, perang saudara ini hanya

melibatkan sejumlah daerah dan umat yang tersebut serta mudah

diredakan oleh tekanan pengaruh para sahabat Rasulullah yang masih

sangat tinggi derajat iman dan tauhid mereka. Namun, sesudah

generasi para sahabat seluruhnya wafat, perang saudara yang kembali

meledak telah memecah kesatuan umat dan merombak citra

(44)

35

ketatanegaraan yang feodalitas telah terbukti tidak mampu

menciptakan suatu mekanisme pengamanan yang ampuh untuk

mengawal perkemangan daya kritis oleh melebarnya teritorial dan

membengkaknya kuantitas umat yang seolah-olah meledak karena

cepatnya.23

2. Sejarah Ketauhidan dari Nabi Adam AS. sampai Nabi Isa AS.

Adam adalah nenek moyang manusia yang pertama. Sejarah

tentang Tauhid dimulai sejak diutusnya nabi Adam AS oleh Allah

untuk mengajarkan ketauhidan yang murni kepada anak dan cucunya.

Ajaran Adam tentang Tauhid yaitu tentang keEsaan Allah sebagai sang

Pencipta alam semesta ini. Umat manusia yang telah dibuka hatinya

oleh Allah menerima setelah hakikat hidup itu, menerima dan

mematuhi ajaran Nabi Adam. Akan tetapi setelah nabi Adam wafat,

umat pun kehilangan pembimbing. Mereka pun mulai menyimpang

dari ajaran semula dan meninggalkan sedikit demi sedikit ajarannya

sehingga tersesat dari jalan lurus dan kehidupan mereka pun menjadi

kacau.

Untuk itu Allah mengutus para Nabi dan Rasul untuk

memberikan petunjuk kepada umat manusia. Nabi Nuh AS seorang

bapak atau nenek moyang manusia yang ke dua, diutus sebagai

pemimpin dan pengatur manusia yang kacau porak poranda setelah

ditinggalkan oleh nabi Adam. Sebelum nabi Nuh AS pun telah diutus

23

(45)

36

Nabi-nabi yang ditugaskan untuk meneruskan ajaran nabi Adam AS.

Setelah Nabi Nuh wafat, manusia kembali kehilangan pemimpin dan

pengaturnya dan menjadi kacau balau sampai diutusnya Nabi Ibrahim

oleh Allah SWT. Nabi Ibrahim selain mengajarkan dan memimpin

ketauhidan terhadap Allah juga beliaulah yang mula-mula membawa

dan mengajarkan syari’at.

Diantara nabi-nabi yang dua puluh lima tersebut ada lima orang

nabi yang mendapat julukan Ulul Azmi yaitu : nabi Nuh, nabi Ibrahim,

nabi Musa, nabi Isa dan nabi Muhammad SAW. Semua nabi-nabi itu

mengajarkan alam semesta ini Esa yaitu Allah SWT.

Nabi Musa AS diutus oleh Allah untuk mengajarkan ketauhidan.

Allah menurunkan Kitab Taurat secara sekaligus kepada nabi Musa AS

Taurat itu mengandung syariat atau peraturan-peraturan Allah yang

diturunkan kepada nabi Musa untuk diamalkan dan berpegang teguh

padanya.

Syariat itu telah dijalankan oleh umat Nabi Musa sebagai

petunjuk dan pedoman hidup mereka sewaktu Nabi Musa masih

hidup. Akan tetapi setelah Nabi Musa wafat bani Israil atau Orang

Yahudi lama kelamaan menyimpang dari kitab Taurat sehingga

menyebab kerusakan. Pda masa bani Israil ditinggalkan Nabi Musa,

timbul perselisihan dan perubahan-perubahan atau

(46)

37

diutus oleh Allah sebagai pendamai dan mengembalikan pada ajaran

agama yang semula, yaitu tentang ke Esaan Allah.

Nabi Isa mengajarkan ketauhidan dengan berdasarkan pada kitab

yang telah diturunkan oleh Allah yaitu kitab Injil. Di dalam kitab Injil

terkandung : nasihat-nasihat, petunjuk-petunjuk terhadap orang yang

mengimaninya. Nabi Isa secara terus-menerus menyiarkan agama

tauhid serta mendamaikan umatnya walaupun mendapat

rintangan-rintangan dari bani Israil. Dengan kebencian orang-orang Yahudi,

mereka berniat untuk membunuh Nabi Isa. Akan tetapi Allah

melindungi Nabi Isa dengan menyamarkan orang Yahudi. Orang

Yahudi itu menangkap salah seorang dari mereka yang telah diubah

wajahnya mirip dengan nabi Isa pun diangkat oleh Allah.

Setelah ditinggalkan nabi Isa (menurut kepercayaan orang-orang

Nasrani), sedikit demi sedikit mulai berubah ketauhidannya sehingga

umat menyimpang dari ajaran semula dan terlepas dari dasar-dasar

ketauhidan yang murni. Adapun perubahan yang terjadi sebagai

berikut :

a. Segolongan orang Nasrani yang diketahui oleh Paulus sebagai

agama di Intokia (syiria) memegang sungguh-sungguh ketauhidan

yang murni. Merelka berpendapat bahwa Isa itu seorang hmaba

(47)

38

b. Golongan Arius, yaitu golongan Nasrani pengikut aliran “Arius” seorang pendeta di Iskandariah. Ia masih berpegang teguh pada

ketauhidan yang sebenarnya. Ia berpendapat bahwa Isa hamba

Allah. Akan tetapi ia menambahi keterangan bahwa Isa sebagai

“kalimah Allah” dari situlah mulai ada bayangan yang

mengarahkan bahwa Isa itu adalah Allah.

c. Golongan Parpani. Golongan yang ini berpendapat bahwa Isa dan

ibunya adalah Tuhan. Demikian inilah keadaan Nasrani yang

datang kemudian. Mereka menganggap bahwa Tuhan itu menjadi

tiga. Dan hampir semua orang Nasrani mempercayai bahwa Tuhan

terdiri dari 3 oknum. Ketiga oknum itu sebenarnya satu juga yaitu :

Bapa, anak dan Ruh kudus. 3 adalah 1 dan 1 adalah 3.24

3. Sejarah perkembangan tauhid kontenporer

Ilmu Tauhid sebagaimana diketahui adalah ilmu yang

membahas ajaran dasar dari suatu agama. Bagi setiap orang yang ingin

menyelami seluk-beluknya secara mendalam, maka perlu mempelajari

Ilmu Tauhid yang terdapat pada agama yang dianut.

Masa Nabi saw adalah masa hukum penetapan aqidah,

Beliau berusaha untuk mempersatukan bangsa Arab yang sebelum

Islam datang selalu timbul perpecahan bahkan sampai pertumpahan

darah di antara suku-suku bangsa, disamping itu masa Nabi saw.

Umatnya senantiasa berusaha menemui beliau untuk mengetahui

24

(48)

39

pokok-pokok hukum agama, sehingga apabila terdapat sedikit saja

persoalan mereka segera mendapatkan penyelesaiannya.25

a. Ketauhidan dari masa kemasa

Ilmu yang digunakan untuk menetapkan akidah-akidah

diniyah yang di dalamnya diterangkan segala yang di

sampaikan rosul dari Allah tumbuh bersama-sama dengan

tumbuhnya agama di dunia ini. Para ulama‟ disetiap umat

berusaha memelihara agama dan meneguhkannya dengan

aneka macam dalil yang dapat mereka kemukakan. Tegasnya,

ilmu tauhid ini dimilliki oleh semua umat hanya saja dalam

kenyataanyalah yang berbeda-beda. Ada yang lemah, ada yang

kuat, ada yang sempit, ada yang luas, menurut keadaan masa

dan hal-hal yang memengaruhi perkembanagan umat, seperti

tumbuhnya bermacam-macam rupa pembahasan.

b. Perkembangan ilmu tauhid di masa Rasullah S.A.W

Masa Rasulullah saw merupakan periode pembinaan aqidah

dan peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan

Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung

kepada Rasulullah saw sehingga beliau berhasil menghilangkan

perpecahan antara umatnya. Masing-masing pihak tentu

mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil,

25

(49)

40

sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam.

Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah

SWT dan Rasul-Nya serta menghindari dari perpecahan yang

menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang

sehingga menimbulkan kekacauan.

c. Perkembangan ilmu tauhid di masa Khulafaur Rasyidin

Setelah Rasulullah saw wafat, dalam masa khalifah pertama

dan kedua, umat Islam tidak sempat membahas dasar-dasar

akidah karena mereka sibuk menghadapi musuh dan berusaha

mempertahankan kesatuan dan kesatuan umat. Tidak pernah

terjadi perbedaan dalam bidang akidah. Mereka membaca dan

memahamkan al qur‟an tanpa mencari ta‟wil dari ayat yang

mereka baca. Mereka mengikuti perintah al-qur‟an dan mereka menjauhi larangannya. Mereka mensifatkan Allah swt dengan

apa yang Allah swt sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan

Allah swt dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan

Allah swt. Apabila mereka menghadapi ayat-ayat yang

mutasyabihah mereka yang mengimaninya dengan

menyerahkan penta‟wilannya kepada Allah swt sendiri

d. Perkembangan ilmu tauhid di masa daulah Umayyah

Dalam masa ini kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga

kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untuk mepertahankan

Islam sperti masa sebelumnya. Kesempatan ini digunakan

(50)

41

pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan

berduyun-duyun pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya

belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah

menyusupkan beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul

keinginan bebas berfikir dan berbicara yang selama ini

didiamkan oleh golongan Salaf.

Muncullah sekelompok umat Islam membicarakan masalah

Qadar (Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas

berbuat, tidak ditentukan Tuhan. Sekelompok lain berpendapat

sebaliknya, manusia ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat

(Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan

melebur dalam Madzab mu‟tazilah yang menganggap bahwa

manusia itu bebas berbuat (sehingga mereka menamakan

dirinya dengan “ahlu al-adli”), dan meniadakan semua sifat

pada Tuhan karena zat Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun

dari zat dan sifat, Dia Esa (mereka juga menamakan dirinya

ahlul At-Tauhid).26

D. Prinsip-prinsip Tauhid dalam pandangan kaum sufi

Ketahuilah, para syeikh golongan sufi telah membangun

kaidah-kaidah mereka diatas peinsip tauhid yang shahih. Mereka telah membuat

kaidah ini jauh dari bid’ah, relevan dengan ajaran tauhid yang telah diwariskan oleh generasi salaf dan ahli sunnah. Tak ada rekayasa atau

26

(51)

42

penyimpagan didalamnya. Mereka mengetahui yang menjadi hak Allah,

dan mereka yang membuktikan hal-hal yang menjadi predikat Wujud, dari

segala yang tiada.27

Para syeikh itu membangun aturan dasar tauhid dengan

argumentasi yang jelas dan bukti yang layak. Sebagaimana dikatakan

Ahmad bin Muhammad al-Jurairy R.A, “Siapapun yang berpijak pada ilmu tauhid yang tidak didasari oleh pembuktian dari bukti

argumentasinya, akan disirnakan oleh bujuk yang mendahului dalam

hasrat kebinasaan.” Maksud syeikh ini, barang siapa bertaklid dan tidak

merenungkan dalil-dalil/bukti tauhid, ia gugur dari tradisi yang

menyelamatkan. Ia akan terjerumus dalam jurang kehancuran. Sementara

orang yang mau merenungkan tulisan dan keunggulan kalimat-kalimat

mereka, ia akan menemukan kumpulan ucapan dan rinciannya yang

memberikan kekuatan kontenplatif : bahwasannya kalangan manapun

tidak bisa membatasi diri lewat angan-angan dalam pembuktian, dan tidak

memasuki tahapan pencarian secara menyimpang.28

Abu Bakr asy-Syibly berkata, “Allah adalah yang Esa, yang dikenal sebelum ada batas dan huruf. Mahasuci Allah, tidak ada batasan

bagi Dzat-Nya, dan tidak ada huruf lagi bagi Kalam-Nya.” disini abu bakar asy-Syibly mengungkapkan bahwa Ruwaym bin Ahmad ditanya

27

Abul Qosim al-Qusyairy, Ar-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi at-Tasyawwuf, diterjemahkan oleh Mohammad Luqman Hakiem, (Surabaya: Risalah Gusti 2014), 7.

28

(52)

43

mengenai fardhu pertama, yang difardhukan Allah SWT. Terhadap

makhluk-Nya. Ia berkata, “Makrifat karena Firman Allah :













( 6 )

Artinya : Aku tidak menciptakan jin dan Manusia kecuali untuk

menyembah kepada-Ku (Q.S. adz-Dzariyaat: 56).

Ibnu Abbas29 menafsiri Illaa liya’ buduun dimaksudkan adalah

Illaa liya’rifuun (Kecuali untuk makrifat kepadaku). Disini Ibnu Abbas

ingin menyampaikan bahwa makrifat kepada Allah merupakan kewajiban

bagi seluruh ciptaannya, dan mengtauhidkan Allah adalah adalah

satu-satunya jalan menuju makrifatullah.30

Abu Thayib al-Maraghy berkata, “Allah mempunyai bukti, hikmah

mempunyai isyarat, dan ma’rifat mempunyai syahadat. Akal

menunjukkan, hikmah mengisyaratkan, dan makrifat yang menyaksikan :

bahwa kejernian ibadah tidak akan tercapai kecuali melelui kejernian

tauhid.31

Abul Hasan al-Busyanjy r.a, berkata “Tauhid berarti anda tahu bahwa Allah SWT. Tidak serupa deangan makhluk dan tidak kontra

sifat-sifatnya.” disini Abul Hasan menegaskan bahwa Tauhid adalah meng

Esakan Allah dari segala sesuatu selain Dia, tidak ada yang haq kecuali

29

Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib al-Qurasyi al-Hasyimy (wafat 68 H./687 M.), sahabat yang agung. Lahir di Makkah, dan senentiasa menekuni Islam disisi Nabi SAW. Beliau meriwayatkan sekitar 1.600 hadis.

30

Ibid., 8.

31

(53)

44

Dia, tidak ada yang bisa menyerupai Dzat-Nya dan tidak ada yang dapat

menyamai sifat-sifat-Nya.

Al-Husain bin Mansyur al-Hallaj menegaskan, “Al-Qidam hanyalah bagi-Nya. segala yang fisikal adalah Penampilan-Nya, yang

tanpa bendawi menetapkan-Nya, yang piranti mengintegrasikan-Nya,

kekuatannya berada dalam genggaman-Nya. hal-hal yang tersusun waktu,

waktulah yang memisahkannya, dan yang ditegakkan oleh selain-Nya,

maka bencanalah yang menyentuhnya, hal-hal yang terbuat oleh khayalan,

maka proyeksi menaikan tahapan kepada-Nya, siapa yang berbicara soal

tempat maka akan berjumpa dengan kata dimana. Sungguh Mahasuci

Allah SWT., Dia tidak dilindungi oleh sesuatu diatas, dan tidak pula

dikecilkan oleh yang di bawah. Dia tidak menerima batas dan tidak

dicampuri oleh keseluruhan. Dia tidak ditemui oleh yang ada juga tidak

dihilangkan oleh yang tiada. Sifat-Nya tidak memiliki sifat, pekerjaan-Nya

tidak memiliki cacat, ada-Nya tidak terjangkau. Suci dari ikhwal

makhluk-Nya. Bahkan makhluk tidak mencampuri-Nyadari ikhwal makhluk-makhluk-Nya.

Bahkan makhluk tidak mencampuri-Nya dalam pekerjaan-Nyatak ada

yang memasukinya. Dia menjelaskan kepada makhluk melalui

Qidam-Nya, sebagaimana makhluk tersebut mengenal penjelasan-Nya melelui

Gambar

TABEL TRANSLITERASI ...............................................................................

Referensi

Dokumen terkait

orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apa pun), dan orang-orang yang memberikan

Dialah yang wajar dipercayai dan disembah, Dialah Tuhan Yang Tunggal yang menguasai kerajaan langit dan bumi, Dialah yang menyaksikan segala sesuatu, dan Dialah yang menyaksikan

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampunkan dosa orang Yang mempersekutukanNya Dengan sesuatu (Apa jua), dan akan mengampunkan Yang lain daripada kesalahan (syirik) itu bagi

yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal l segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan

Dengan kata lain, walaupun segala sesuatu dapat dipertuhan dan disembah manusia, namun Tuhan yang sebenarnya yang berhak disembah manusia ialah Tuhan pencipta dan penguasa alam

Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu, karena sesungguhnya aku bersaksi bahwa Engkau adalah Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah selain Dirimu Yang Maha Esa, Yang

Terjemahnya : “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” dan surat Al Furqaan (25) : 2 Terjemahnya : “yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan

Realiti ini bersandarkan kepada firman Allah yang bermaksud: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sesuatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka