Oleh Achmad Fathoni
Nim. C03212002
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyan bagaimana pertimbangan hakim terhadap tindak pidana percobaan pencurian dalam putusan No. 488/Pid.B/2015/PN.Sda dan bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi tindak pidana percobaan pencurian dalam putusan No.488/Pid.B/2015/PN.Sda.
Data penelitian dihimpun melalui dokumentasi, menelaah dan mempelajari sumber-sumber data di atas serta menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen baik dokumen-dokumen tertulis maupun wawancara dengan menggunakan teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertimbangan yang digunakan majelis hakim dalam memutuskan kasus tersebut lebih rendah dari tuntuan Jaksa Penuntut Umum yaitu 4 bulan, namun hakim memutus 2 bulan 15 hari dengan beberapa pertimbangan yaitu, terdakwa berlaku sopan di persidangan, terdakwa telah berdamai dengan korban, terdakwa juga mempunyai tanggungan anak kecil, dan juga terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis). dan dalam hukum pidana Islam hukuman bagi pelaku tindak pidana percobaan pencurian yaitu ta’zi>r, dalam hal ini hakim memutus lebih tepat dikarenakan melihat dari beberapa pertimbanagan kondisi pelaku, selain itu hukuman ta’zi>r juga dapat memberikan edukasi kepada terdakwa bahwa perbuatan yang telah dilakukannya itu salah dan juga ta’zi>r dapat memberikan efek jera kepada terdakwa agar terdakwa tidak mengulanginya lagi.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... ix
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D.Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12
G.Definisi Operasional... 13
H.Metode Penelitian ... 13
I. Sistematika Pembahasan ... 16
BAB II: TINDAK PIDANA PERCOBAAN PENCURIAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF ... 18
A. Tindak Pidana Percobaan Pencurian Menurut Hukum Pidana Islam ... 18
BAB III: PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO NO. 488/
PID.B/ 2015/PN.Sda TENTANG PERCOBAAN PENCURIAN ... 39
A. Deskripsi Pengadilan Negeri Sidoarjo ... 39
B. Deskripsi Kasus ... 40
C. Landasan Hukum Yang Dipakai Oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo ... 46
D. Pertimbangan Hukum Yang Dipakai Oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo ... 47
E. Isi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Tentang Percobaan Pencurian ... 49
BAB IV: ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO. 488/PID.B/ 2015/PN.Sda ... 52
A.Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Percobaan Pencurian Dalam Putusan No.488/Pid.B/ 2015/PN.Sda Ditinjau dari Hukum Pidana Islam ... 52
B. Sanksi Tindak Pidana Percobaan Pencurian Dalam Putusan No.488/Pid.b/2015/PN.Sda Ditinjau Dari Hukum Pidana Islam ... 56
BAB V: PENUTUP ... 70
A. Kesimpulan ... 70
B. Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 72
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum dibuat untuk ditaati, namun banyak masyarakat tidak
mengerti fungsi dari hukum tersebut, bahkan banyak masyarakat yang
melanggar bahkan berbuat kejahatan. Di Indonesia hukum yang mengatur
tentang hukuman bagi pelaku kejahatan diatur dalam KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) hukum pidana yaitu, peraturan hukum
yang mencakup keharusan dan larangan serta bagi pelanggarnya akan
dikenakan sanksi hukuman terhadapnya.1
Di Indonesia terdapat sumber hukum formil dan sumber hukum
materiil, mengenai sumber hukum formil dari hukum pidana yaitu
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan sumber
hukum materiilnya adalah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana), dalam KUHP membahas tentang ketentuan-ketentuan dan
hukuman bagi pelaku tindak pidana sedangkan dalam KUHAP membahas
tentang beracara dalam persidangan. Tindak pidana harus dibedakan
antara pelanggaran dan kejahatan dalam kedua kata tersebut berbeda
karena ditinjau dari niat dan perbuatan itu disengaja atau tidak disengaja.
Dalam hukum pidana terdapat suatu hukuman, yang dimaksud
hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan
oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar
undang,2 didalam hukum pidana terdapat dua jenis hukuman seperti yang
dicantumkan dalam pasal 10 KUHP, hukuman-hukuman tersebut yaitu:3
1. Hukuman-hukuman pokok
a. Hukuman mati
b. Hukuman penjara
c. Hukuman kurungan
d. Hukuman denda
2. Hukuman-hukuman tambahan
a. Pencabutan beberapa hak yang tertentu
b. Perampasan barang yang tertentu
c. Pengumuman keputusan hakim
Di agama Islam pun terdapat hukum yang mengatur tentang
kejahatan (Jarimah) yang disebut dengan hukum pidana Islam,
pembahasan hukum pidana Islam ada yang menyebutnya fiqh jinayah dan
ada pula yang menjadikan fiqh jinayah sebagai subbagian yang terdapat di
bagian akhir isi sebuah kitab fiqh atau kitab hadis yang corak
pemaparanya seperti kitab fiqh.4 Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau
tindak pidana, objek utama kajian fiqh jinayah dapat dibedakan menjadi
tiga bagian, yaitu al-rukn al-sya>r’i atau unsur formil, al-rukn al-ma>di> atau
unsur materiil, al-rukn al-adabi> atau unsur moril.5Dalam hukum pidana
2R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ( Bogor: Politea, 1991), 35. 3 Ibid., 34.
Islam terdapat tiga macam tindak pidana (jarimah) yaitu, jarimah hudud,
jarimah qishas atau diyat, dan jarimah ta’zir.6
Adapun yang dimaksud dengan jarimah hudud yaitu perbuatan
melanggar hukum yang jenis dan ancamannya ditentukan oleh nas, dan
yang dimaksud dengan jarimah qisas atau diyat yaitu perbuatan yang
diancam dengan qisas dan diyat, sedangkan jarimah ta’zir yaitu memberi
pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam dengan hukum ta’zir yaitu
hukuman selain had dan qisas diyat.7
Di Indonesia kejahatan telah marak di masyarakat,baik itu kejahatan
yang telah dilakukan atau hanya sekedar percobaan melakukan kejahatan,
terkadang seseorang yang akan melakukan tindak pidana dimulai dengan
adanya suatu percobaan, dengan adanya percobaan seseorang yang akan
melakukan tindak pidana tersebut bisa jadi akan melakukan suatu tindak
pidana akan tetapi jika percobaan tersebut berhasil maka hal tersebut
sudah menjadi suatu tindak pidana.
Tidak sedikit masyarakat yang melakukan tindak pidana percobaan
tersebut, walaupun itu hanya melakukan percobaan namun dalam hukum
pidana perbuatan tersebut bisa diancam dengan pasal 53 ayat (2) dan ayat
(3) KUHP yang berbunyi : Ayat (2) Maksimum hukuman pokok atas
kejahatan itu dalam hal percobaan dikurangi dengan sepertiga. Ayat (3)
Kalau kejahatan itu di ancam dengan hukuman mati atau penjara seumur
hidup, maka dijatuhkan hukuman penjara paling lama lima belas tahun.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) dan
(3) KUHP dikurangi sepertiga dari hukuman pokok maksimum dan paling
tinggi lima belas tahun.8
Dalam pasal 54 KUHP menyatakan bahwa pelaku percobaan hanya
dapat di jatuhi pidana jika perbuatan pidana yang dicoba dilakukan
dikategorikan sebagai kejahatan. Dengan kata lain, mencoba melakukan
pelanggaran tidak dipidana.
Berdasarkan substansi ketentuan pasal 53 dan pasal 54 KUHP diatas,
terdapat dua hal yang perlu dikemukakan.Pertama, pada prinsipnya
mencoba melakukan suatu tindak pidana adalah perbuatan terlarang dan
bagi pelakunya dapat dikenai sanksi pidana, walaupun pengenaan
pidananya tidak sampai batas maksimum sesuai dengan yang ditentukan
dalam pasal hukum yang dilanggar, tapi dikurangi sepertiga dari
maksimum ancaman sanksi pidana. Kedua, yang dapat dikenakan pidana
hanya percobaan melakukan kejahatan, sedangkan percobaan melakukan
pelanggaran tidak dipidana.9
Jadi, suatu percobaan yang hanya dapat dipidana hanyalah suatu
percobaan melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana, namun
percobaan melakukan suatu pelanggaran itu tidak akan dikenakan
hukuman pidana.
Dalam Pasal 45 KUHP Mesir menjelaskan bahwa percobaan adalah mulai
melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau
janhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada
sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku.10
Dari uraian pasal diatas menggambarkan bahwa suatu tindak pidana
percobaan yaitu pelaku tindak pidana memulai melaksanakan suatu
perbuatan dengan maksud melakukan suatu tindak pidana, tetapi
perbuatan tersebut tidak selesai melakukan perbuatan tersebut
dikarenakan ada suatu sebab yang menjadikan perbuatan tersbut tidak
selesai namun hal tersebut buka karena kehendak sendiri, dalam kata lain
seorang pelaku tersebut suatu akan melakukan tindak pidana atau
percobaan, pelaku ditemui oleh orang atau ada hal lain sehingga
perbuatan tersebut urung atau berhenti tanpa kehendak sendiri.
Dalam hukum pidana Islam suatu percobaan dapat dikatakan sebagai
jarimah yang tidak selesai (al-Syuru>’) , dan percobaan dalam hukum
pidana Islam termasuk unsur materiil, hukuman bagi pelaku tindak pidana
percobaan pencurian dalam hukum Islam tidak dikenakan hukuman had
atau qishas melainkan dengan hukuman ta’zir.
Dalam hukum pidana Islam juga ada fase-fase pelaksanaan jarimah
yaitu, fase pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, dan fase
pelaksanaan.
Pencurian dalam hukum positif mempunyai definisi, mengambil milik
orang lain tanpa izin atau dengan cara yang tidak sah dengan maksud
10Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: SinarGrafika,
untuk dimiliki secara melawan hukum.11 Pencurian dalam hukum pidana
di Indonesia diancam dengan Pasal 362 KUHP yang berbunyi “barang
siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian
termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu
dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian dengan hukuman
penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
900”,12 namun pasal tersebut menjelaskan mengenai pencurian pada
umumnya, lain dengan pencurian yang disertai dengan kekerasan atau
pencurian yang lainnya.
Dalam hukum pidana Islam, pencurian menurut Mahmud Syaltut
adalah mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi yang
dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga barang tersebut. Dan
adapun unsur-unsur dalam pencurian ada lima yaitu: Pertama,
pengambilan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kedua, yang
dicuri harus berupa harta.Ketiga, harta yang dicuri adalah sesuatu yang
berharga.Keempat, harta orang lain (bukan milik sendiri). Kelima, adanya
unsur kesengajaan.13
Pencurian ada dua macam yaitu : pencurian yang hukumannya had
dan pencurian yang hukumannya ta’zir, atau dengan kata lain pencurian
berat dan pencurian ringan.14 Dalam asas legalitas mengenai hukuman
11 M. Marwan dan Jimmy P, Kamus...,499. 12 R Soesilo, Kitab Undang-undang ..., 249.
13 Rahmat Hakim, Hukum Pidana islam,(Bandung: Pustaka Setia, 2000), 84.
bagi tindak pidana pencurian tertera dalam surat Al-Maidah ayat 38 yang
berbunyi:
ميكح زيزع ّّ ّّ نم ااكن ابسك امب ءازج ام يدْيأ اوعطْقاف ةقراّسلا قراّسلا
Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah.Dan Allah Maha perkasa, Maha bijaksana.15Percobaan pencurian merupakan suatu tindak pidana yang masih
belum sempurna dalam artian, pelaku tindak pidana belum sempurna
melakukan tindak pidananya atau pelaku tindak pidana masih mencoba
akan melakukan pencurian namun belum sampai mencuri dikarenakan
suatu hal yang bukan atas kehendaknya sendiri.
Pelaku percobaan pencurian tersebut dapat dihukum dengan hukuman
pasal 362 jo pasal 53 ayat 1 KUHP, namun dalam putusan No.
488/Pid.B/2015/PN.Sda hakim tidak menjatuhkan hukuman sebagaimana
tertera dalam dakwaan yaitu 5 bulan dalam putusan itu hakim
memutuskan 2 bulan 15 hari, atas pertimbangan apa hakim dapat
memutuskan hukuman dalam putusan tersebut akan dibahas dalam isi
skripsi yang akan ditulis oleh penulis.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat judul tersebut
dengan membahas pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman
dalam putusan No. 488/Pid.B/2015/PN.Sda, serta hukuman percobaan
pencurian ditinjau dalam hukum pidana Islam.
15Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Pustaka Agung Harapan,
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang diatas terdapat beberapa masalah dalam
penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
1. Analisis hukum pidana Islam terhadap tindak pidana percobaan
pencurian.
2. Sanksi tindak pidana percobaan pencurian.
3. Pertimbangan hakim terhadap tindak pidana percobaan pencurian.
Sedangkan batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Pertimbangan hakim terhadap tindak pidana percobaan pencurian.
2. Analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi tindak pidana
percobaan pencurian dalam putusan No. 488/Pid.B/2015/PN.Sda
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap tindak pidana percobaan
pencurian dalam putusan No. 488/Pid.B/2015/PN.Sda ?
2. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi tindak pidana
percobaan pencurian dalam putusan No.488/Pid.B/2015/PN.Sda ?
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan
diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak
merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang
telah ada.16
Penelitian tentang percobaan pencurian memang cukup banyak dan
beragam, namun keberagaman tema tersebut dapat memberikan refrensi
yang berbeda, baik dari objek maupun fokus penelitian. Hal ini dapat
dipahami dalam beberapa penelitian sebagai berikut:
“ Percobaan tindak pidana korupsi (Studi pasal 15 Undang-undang
nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
perspektif hukum pidana Islam)17 yang dibahas oleh Muhammad Arafah
membahas tentang percobaan tindak pidana korupsi, dalam hal ini bisa
dilihat perbedaan objek dengan judul penulis.
Penelitian selanjutnya yaitu “Analisis yuridis terhadap percobaan
tindak pidana pencurian dengan kekerasan18 (Studi Kasus Putusan No.
256/Pid.B/2013/PN.Mks)”, yang dibahas oleh Junaedi Azis membahas
tentang percobaan pencurian dengan kekerasan dan ditinjau dari analisis
yuridis. Memang terdapat sedikit persamaan antara judul penulis namun
16Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum, Petunjuk Teknis PenulisanSkripsi, (Surabaya: t.p,
t.t), 8.
17
Muhammad Arafah, “Percobaan tindak pidana korupsi (Studi pasal 15 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi perspektif hukum pidana Islam)”, (Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga,2010).
juga ada perbedaan yang terletak pada kekerasannya, judul penulis hanya
membahas percobaan pencurian tanpa kekerasan yang ditinjau dari hukum
pidana Islam.
Selanjutnya penelitian tentang “Studi Putusan Pengadilan Negeri
Kabupaten Madiun terhadap kasus pidana percobaan pembunuhan oleh
ayah kandung dalam perspektif hukum pidana positif dan hukum pidana
Islam”19 yang dibahas oleh Sandi Pahlevi Mohammad, skripsi ini
membahas tentang percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh ayah
kandung, terdapat suatu perbedaan dengan judul yang ditulis oleh penulis
dalam hal ini penulis membahas tentang percobaan pencurian bukan
percobaan pembunuhan memang sama-sama percobaan namun terdapat
perbedaan percobaan yaitu dalam hal pemunuhan dengan pencurian.
Dari beberapa uraian judul skripsi diatas, dapat dikatakan bahwa
penelitian skripsi ini berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut.
Dalam penelitian ini peneliti mengkaji bagaimana dasar pertimbangan
hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo No.
488/Pid.B/2015/PN.Sda, tentang percobaan pencurian dan bagaimana
pandangan hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri
Sidoarjo No. 488/Pid.B/2015/PN.Sda tentang tindak pidana percobaan
pencurian, objeknya putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo No.
19 Sandi Pahlevi Mohammad,“Studi Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun terhadap kasus pidana percobaan pembunuhan oleh ayah kandung dalam perspektif hukum pidana positif
488/Pid.B/2015/PN.Sda tentang tindak pidana percobaan pencurian
sedangkan subjeknya adalah hakim yang memutus perkara tersebut.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ditulis diatas, maka skripsi ini
bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui alasan hukum yang dijadikan pertimbangan
hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana percobaan
pencurian.
2. Untuk mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi
hukum dalam putusan hakim tentang tindak pidana percobaan
pencurian.
F. Kegunaan Penelitian
1. Aspek keilmuan (Teoritis)
Hasil studi ini menambah dan memperkaya pengetahuan,
khususnya tentang putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo terhadap
tindak pidana percobaan pencurian dan bagi peneliti berikutnya, dapat
digunakan sebagai acuan dalam melakukan penelitian yang berkaitan
dengan tindak pidana percobaan pencurian.
2. Aspek Terapan (Praktis)
Hasil studi ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi masyarakat
pencurian dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan,
penyuluhan khususnya bagi penegak hukum di Pengadilan Negeri
Sidoarjo serta bagi praktisi hukum pada umumnya.
G. Definisi Operasional
1. Hukum pidana Islam adalah segala perbuatan pidana yang diancam
dengan hukuman hudud , ta’zir dan qishas.20
2. Percobaan pencurian adalah usaha untuk mencoba melakukan suatu
tindak pidana pencurian .21
Agar pembaca lebih mudah memahami isi pokok dari judul yang
diangkat, maka penulis memberikan beberapa penjelasan diatas mengenai
judul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan No.
488/Pid.B/2015/PN.Sda Tentang Percobaan Pencurian”. Makna dari judul
tersebut adalah suatu usaha manusia mencapai suatu tujuan dengan
melakukan tindak pidana pencurian yang pada ahirnya tidak atau belum
tercapai urusan tersebut serta dianalisis dari sudut pandang hukum pidana
Islam.
H. Metode Penelitian
20 A. Djazuli, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo,1997), 1.
1. Data yang dikumpulkan
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, sehingga data yang
dikumpulkan yaitu berupa direktori putusan Pengadilan Negeri
Sidoarjo No. 488/Pid.B/2015/PN.Sda tentang percobaan pencurian.
2. Sumber Data
Berdasarkan data-data diatas, penulis menggunakan dua sumber data
yaitu:
a. Sumber data Primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data22, dalam hal ini penulis
mengumpulkan data primer berupa: Direktori Putusan No
488/Pid.B/2015/PN.Sda tentang percobaan pencurian dan hasil
wawancara kepada hakim yang bersangkutan.
b. Sumber data Skunder yaitu berkas-berkas yang berkaitan
langsung dengan kasus tersebut23, dalam hal ini kasus percobaan
pencurian yaitu:
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
2) Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam.
3) M. Nurul Irfan dan Masyarofah, Fiqh Jinayah.
4) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam.
5) A. Jazuli, Fiqh Jinayah.
6) Rahmat Hakim, Hukum Pidana islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini digunakan
analisis kualitatif, sebagaimana pendapat Soerjono Soekanto24
dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan
data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau
observasi dan wawancara atau interview. Dimana penulis
mengumpulkan data yang berasal dari Pengadilan Negeri Sidoarjo
berupa putusan. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara
kepada hakim yang memutus perkara tersebut.
a. Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap
penelitian hukum. Studi dokumen meliputi studi
bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer atau
bahan hukum skunder.25
b. Wawancara
Wawancara adalah suatu kegiatan komunikasi verbal
dengan tujuan mendapat informasi.26 Wawancara yang
dilakukan penulis dengan Hakum yang memutus perkara
tersebut. Sehingga akan mendapat gambaran yang
24 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI- Press, 1986), 90.
25 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), 68.
26 James a Black dan Dean J. Camphion, Methods and Issues In Social Research, (terjemahan), (
menyeluruh, juga akan mendapatkan informasi yang
penting.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan yaitu deskriptif analisis
verifikatif. Deskripttif analisis adalah metode yang digunakan
untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah dikumpulkan.27 dan dalam hal ini
penulis juga menverifikasi atas pertimbangan hakim dalam
memutus perkara tersebut. Dengan pola pikir deduktif yaitu
dengan cara mendeskripsikan teori tindak pidana percobaan
pencurian serta menganalisis hukuman tindak pidana percobaan
pencurian sesuai dengan Pasal 362 jo pasal 53 ayat 1 KUHP dalam
Putusan Pengadilan negeri Sidoarjo menurut hukum Pidana Islam.
5. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan masalah-masalah dalam
studi ini, dan dapat dipahami permasalahannya secara sistematis
dan lebih terarah, maka pembahasannya dibentuk dalam bab-bab
yang masing-masing terdiri dari sub-bab, sehingga tergambar
keterkaitannya secara sistematis. Sistematika pembahasannya
disusun sebagai berikut:
Bab pertama, memuat pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,
kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian,
definisi operasional, metode penelitian, sumberdata, teknik
pengumpulan data, teknik analisa data dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua, memuat tentang landasan teori yang berisi tentang
tindak pidana percobaan pencurian dalam hukum pidana Islam dan
juga hukum positif. Pada bab ini akan membahas tentang
pengertian tindak pidana percobaan pencurian, unsur-unsur
percobaan, dasar hukum percobaan pencurian serta sanksi
percobaan pencurian baik dari hukum pidana Islam juga hukum
positif.
Bab ketiga, memuat tentang deskripsi kasus percobaan
pencurian. Pada bab ini akan membahas pertimbangan hakim
terhadap sanksi pada pelaku percobaan pencurian (Putusan
Pengadilan Negeri Sidoarjo No. 488/Pid.B/2015/PN.Sda), pada
bab ini juga memuat pasal-pasal yang didakwakan kepada
terdakwa.
Bab keempat, memuat tentang analisis data yang berisi
tentang analisis putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana
percobaan pencurian ditinjau dari hukum pidana Islam. Dan pada
tentang sanksi pelaku tindak pidana percobaan pencurian yang
ditinjau dari hukum pidana Islam.
Bab kelima, bab ini merupakan penutup yang berisi tentang
BAB II
TINDAK PIDANA PERCOBAAN PENCURIAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Tindak Pidana Percobaan Pencurian Menurut Hukum Pidana Islam
1. Definisi percobaan pencurian
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan
maksud melakukan (jinayah atau janhah), tetapi perbuatan tersebut
tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kehendak pelaku.1
Para ulama tidak banyak membahas tentang percobaan
melakukan tindak pidana karena perbuatan ini termasuk jarimah
ta’zi>r yang banyak berubah sesuai ruang dan waktu, kebiasaan serta
karakter suatu masyarakat. Mereka lebih banyak mencurahkan
perhatiannya kepada masalah tindak pidana yang unsur dan syaratnya
tidak mudah berubah, seperti jarimah h}udud dan qishas/diyat.2
2. Dasar hukum percobaan
Dalam Al-Quran tidak dijelaskan tentang percobaan itu sendiri,
namun dalam Al-Quran hanya menjelaskan tentang dasar hukum akan
unsur-unsur yang ada dalam persiapan seperti halnya yang tercantum
dalam surah al-Maidah ayat 34 yang berbunyi:
ٌميح ٌ وفغ ّّ ّ او لْعاف ْم ْيلع ا ْقت ْ لْبق ْنم اوبات ني ّلا اإ
Kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum kamu dapat menguasai
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Jika keduanya taubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sungguh, Allah Maha penerima taubat, Maha penyayang.4
Dan juga tercantum dalam hadis Nabi yang berbunyi:
ح
sesungguhnya Nabi Saw bersabda: siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah hudud (yang lengkap) maka dia termasuk orang yang menyeleweng (HR. Ahmad).3. Unsusr-unsur atau fase-fase percobaan
Seseorang yang melakukan jarimah itu setidak-tidaknya melalui
tiga fase, yaitu fase pemikiran, fase persiapan dan fase pelaksanaan.
Seperti contoh, seseorang yang akan melakukan pencurian mula-mula
3 Departement Agama RI, Al-Qur’an..., 150. 4 Ibid., 104.
berpikir apakah jadi mencuri atau tidak, bila telah kuat niatnya untuk
mencuri, maka ia akan mempersiapkan alat-alatnya, seperti membeli
kunci atau pencongkel pintu. Selanjutnya, ia berangkat untuk
mencuri.
Untuk mengetahui sampai dimana suatu perbuatan percobaan
dapat dihukum maka kita harus membagi fase-fase pelaksanaan
jarimah. Pembagian fase-fase ini sangat penting, karena hanya pada
salah satu fase saja, pelaku dapat dituntut dan dikenakan hukuman,
sedangkan pada fase-fase yang lainnya tidak dapat dituntut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas macam-macam fase maka
penjelasannya sebagai berikut:6
a. Fase pemikiran dan perencanaan (Marh}alah al-Tafki>r)
Memikirkan dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap
sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut ketentuan
yang berlaku dalam syariat Islam, seseorang tidak dapat dituntut
atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat yang
terkandung dalam hatinya.
Ketentuan ini sudah terdapat dalam syariat Islam sejak mulai
diturunkannya tanpa mengenal pengecualian.Akan tetapi, hukum
positif baru mengenalnya pada abad ke-18 Masehi, yaitu sesudah
revolusi Perancis. Sebelum masa itu niat dan pemikiran terhadap
perbuatan jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan.7
b. Fase persiapan (Marh}alah al-Tahdhi>r)
Fase ini merupakan fase yang kedua dimana pelaku
menyiapkan alat-alat yang akan dipakai untuk melaksanakan
jarimah. Misalnya, membeli senjata untuk membunuh orang lain
atau membuat kunci palsu untuk mencuri.8
Fase persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang
dapat dihukum kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri
dipandang sebagai maksiat, seperti bercumbu dengan wanita lain
yang bukan istrinya ditempat yang sunyi, sebagai persiapan untuk
melakukan zina.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan ini sebagai
jarimah adalah bahwa perbuatan yang dapat dihukum itu harus
berupa maksiat dan baru terwujud apabila berisi pelanggaran
terhadap hak masyarakat atau hak individu. Sedangkan pada
penyiapan alat pada umumnya tidak berisi pelanggaran terhadap
hak-hak tersebut.
Akan tetapi menurut madzhab Hanbali dan Maliki, perbuatan
persiapan dianggap sebagai perantara kepada perbuatan yang
haram dan hukumnya adalah haram, sehingga dengan demikian
pelakunya dikenakan hukuman.9
c. Fase pelaksanaan (Marh}alah al-Tanfi>dz)
Fase ini merupakan fase ketiga setelah perencanaan dan
persiapan yang matang.Pada fase inilah perbuatan pelaku dapat
dianggap sebagai jarimah.
Untuk dapat dikenakan hukuman maka dalam hal ini cukup
apabila perbuatan ini sudah dianggap sebagai maksiat, yaitu
berupa pelanggaran terhadap hak masyarakat atau individu dan
perbuatan itu dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur
materiilnya masih terdapat beberapa langkah lagi.
Dalam jarimah pencurian misalnya, melubangi tembok atau
membongkar pintu sudah dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi
hukuman merupakan percobaan pencurian atau pencurian tidak
selesai.
Dengan demikian keriteria untuk menentukan permulaan
pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan yang bisa dihukum
adalah apabila perbuatan tersebut sudah termasuk maksiat.
Disamping itu, niat dan tujuan pelaku juga sangat penting untuk
menentukan apakah perbuatan itu maksiat apa bukan.
Hukum positif sama pendapatnya dengan hukum Islam
tentang tidak adanya hukuman pada fase pemikiran atau perencanaan
dan persiapan serta membatasi hukuman pada fase pelaksanaan. Akan
tetapi, sarjana-sarjana hukum pisitif berbeda pendapatnya tentang
penentuan saat permulaan pelaksanaan tindak pidana itu.10
Menurut aliran objektif, saat tersebut adalah ketika pelaku
melaksanakan perbuatan materiil yang membentuk jarimah. Kalau
jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan saja maka percobaan
jarimah itu adalah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah
itu terdiri dari beberapa perbuatan maka memulai salah satunya
dianggap melakukan perbuatan jarimah itu.
Sedangkan menurut aliran subjektif, untuk dikatakan melakukan
percobaan cukup apabila pelaku telah memulai suatu pekerjaan apa
saja yang menunjukkan kekuatan maksudnya untuk melakukan
kejahatan.11
4. Sebab Tidak Selesainya Perbuatan (Percobaan)
Seorang pembuat yang telah memulai perbuatan jarimahnya
adakalanya dapat menyelesaikan atau tidak dapat menyelesaikannya.
Kalau dapat menyelesaikannya maka sudah sepantasnya ia dijatuhi
hukuman yang diancam terhadap perbuatan itu. Kalau tidak dapat
menyelesaikannya, maka adakalanya karena terpaksa atau karena
kehendak dirinya sendiri. Dalam keadaan tidak selesai karena
kehendak sendiri, maka adakalanya disebabkan karena ia bertaubat
dan menyesal serta kembali kepada Tuhan, atau disebabkan karena
sesuatu di luar taubat dan penyesalan diri, misalnya karena
kekurangan alat-alat atau khawatir terlihat oleh orang lain, atau
hendak mengajak temannya terlebih dahulu.12
Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat
disebabkan karena salah satu dari dua hal sebagai berikut:13
a.Adakalanya karena terpaksa, misalnya karena tertangkap
b.Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak
sendiri ini ada dua macam:
1) bukan karena taubat
2) karena taubat.
Kalau tidak selesainya jarimah itu karena terpaksa maka pelaku
tetap harus dikenakan hukuman, selama perbuatannya itu sudah bisa
dikategorikan maksiat.Demikian pula halnya kalau pelaku tidak
menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri tetapi bukan
karena taubat.14
Akan tetapi, apabila tidak selesainya itu karena taubat dan
kesadarannya maka jarimahnya itu adakalanya jarimah hirabah dan
adakalanya bukan jarimah hirabah.
Apabila jarimah yang tidak diselesaikannya itu jarimah hirabah
maka pelaku dibebaskan dari hukuman. Hal ini didasarkan pada
firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 34 yang berbunyi:
12 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam…, 127. 13 Ibid., 64.
ٌميح ٌ وفغ ّّ ّ او لْعاف ْم ْيلع ا ْقت ْ لْبق ْنم اوبات ني ّلا اإ
Kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum kamu dapat menguasai mereka, maka ketahuilah, bahwa Allah Maha pengampun, Maha penyayang.15
Jadi, apabila orang yang melakukan jarimah hirabah itu sudah
menyatakan taubat maka hapuslah hukumannya, walaupun ia telah
menyelesaikan jarimah itu. Dengan demikian maka lebih-lebih lagi
kalau jarimah hirabahnya itu tidak diselesaikan.16
Apabila jarimah yang tidak selesai itu selain jarimah hirabah
maka pengaruh taubat disini masih diperselisihkan oleh para fuqaha.
Dalam hal ini ada tiga pendapat.
1) Menurut pendapat beberapa fuqaha dari madzhab Syafi’i dan
Hanbali, taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasannya adalah
sebagai berikut.
a) Al-Quran menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah
hirabah, sedangkan hirabah adalah jarimah yang paling
berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk
jarimah yang paling berbahaya maka lebih-lebih lagi untuk
jarimah-jarimah yang lain.
b) Dalam menyebutkan beberapa jarimah, Al-Quran selalu
mengiringinya dengan pernyataan bahwa taubat dapat
menghapuskan hukuman. Misalnya, dalam hukuman zina yang
pertama kali diadakan dalam surah an-Nisaa’ ayat 16 yang
berbunyi:
اك ّّ ّ إ ا ْ ع اوضرْعأف احلْص ابات ْ إف ا ه ف ْم ْ م ا نايتْأي ا ّللا ا يح ا با ّوت
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Jika keduanya taubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sungguh, Allah Maha penerima taubat, Maha penyayang.17
Dalam jarimah pencurian setelah disebutkan hukumannya
dalam surah al-Maidah ayat 38, kemudian diikuti dengan
pernyataan tentang pengaruh taubat dalam jarimah qadzaf
disebutkan dalam surah an-Nur ayat 5.
ٌميح ٌ وفغ ّّ ّ إف اوحلْص كل ْعب ْنم اوبات ني ّلا اإ
Kecuali mereka yang bertaubat setelah itu dan
memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah maha
pengampun, maha penyayang.18
Untuk hapusnya hukuman tersebut, para fuqaha
memberikan syarat sebagai berikut.
a) Jarimah yang dilakukan adalah jarimah yang menyinggung
hak Allah seperti zina, minum khamr, dan hirabah.
b) Taubatnya itu harus dibarengi dengan tingkah laku yang
baik. Hal ini menghendaki berlakunya suatu masa tertentu
yang cukup untuk mengetahui ketulusan taubatnya itu.19
2) Menurut pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan beberapa
fuqaha dari kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, taubat tidak
menghapuskan hukuman kecuali hanya untuk jarimah hirabah yang
sudah ada ketentuannya saja, karena kedudukan hukuman adalah
sebagai kifarat maksiat. Alasannya adalah bahwa Rasulullah saw.
menyuruh melaksanakan hukuman rajam atas Ma’iz dan wanita
Ghamidiyah, walaupun orang-orang itu sudah mengakui
perbuatannya dan minta dibersihkan diri, dosa dengan jalan
menjatuhkan hukuman atas diri mereka.
Disamping itu kalau dengan bertaubat semata-mata hukuman
dapat hapus maka akibatnya ancaman hukuman tidak akan berguna,
sebab setiap pelaku jarimah tidak sukar untuk megatakan telah
bertaubat.20
3) Menurut pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut
mazhab Hanbali, hukuman dapat membersihkan maksiat dan taubat
bisa menghapuskan hukuman untuk jarimah-jarimah yang
berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat), kecuali apabila
pelaku meminta untuk dihukum seperti halnya Ma’iz dan wanita dari
Ghamidiyah, ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim ini kelihatannya
merupakan jalan tengah yang mengompromikan pendapat pertama
dan kedua yang saling bertentangan. Walaupun demikian pengaruh
taubat terhadap hukuman menurut pendapat kedua Imam ini, hanya
berlaku dalam jarimah yang menyinggung hak masyarakat saja.
Sedangkan dalam jarimah yang menyinggung hak individu taubat
tetap tidak berpengaruh terhadap hukuman.
5. Hukuman percobaan pencurian
Menurut ketentuan pokok dalam syariat Islam yang berkaitan
dengan jarimah h}udud dan qishas, hukuman-hukuman yang telah
ditetapkan untuk jarimah telah selesai, tidak boleh diberlakukan
untuk jarimah yang belum selesai (percobaan).
Apabila tidak selesainya kejahatan itu disebabkan pelakunya
bertaubat, dalam kasus seperti ini, para ulama berbeda pendapat.
Sebagian ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa tobat itu tidak
menghapuskan hukuman. Sedangkan sebagian ulama yang lain, yakni
sebagian Syafi’iyah, menyatakan bahwa taubat dapat menghapuskan
hukuman.21
B. Tindak Pidana Percobaan Pencurian Menurut Hukum Positif
1. Definisi percobaan pencurian
Menurut arti kata sehari hari maksud dari percobaan yaitu menuju
kesesuatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau
hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai akan tetapi tidak selesai.22
Menurut pendapat Pompe bahwa mencoba adalah berusaha tanpa
hasil. Makna mencoba dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari.
Kalau syarat-syarat tersebut ada. Timbullah perbuatan pidana baru
meskipun dalam bentuk delik tidak selesai, tetapi yang dapat dipidana.
Jadi, dapat dimengerti pemberian nama untuk percobaan oleh Pompe,
yaitu bentuk perwujudan dari perbuatan pidana sebab deliknya timbul,
menampakkan diri, tetapi dalam bentuk yang belum selesai.23
2. Dasar hukum
Dalam pasal 53 KUHP ditetapkan bahwa mencoba melakukan
kejahatan pidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Dapat dipidananya percobaan berarti perluasan dapat dipidananya
delik sekalipun perbuatan baru sebagian dilaksanakan dan seakan-akan
masih ada unsur-unsur yang tersisa, pidana sudah dapat dijatuhkan
meskipun dengan pengurungan 1/3 dari pidana maksimum.24
Pasal 54 KUHP dengan tegas menetapkan bahwa percobaan
melakukan pelanggaran tidak dipidana.Agaknya pembuat
undang-undang yang dalam sistem perundang-undang-undang-undangan pidana sudah
menentukan pelanggaran sebagai delik yang lebih ringan, menganggap
percobaan melakukan pelanggaran terlampau ringan untuk dipidana.
Disamping itu, karena pasal 103 KUHP berlaku juga untuk pembuat
undang-undang yang lebih rendah, seperti pada tingkat provinsi, kota
dan sebagainya yang dalam peraturan daerah masing-masing tidak
diperbolehkan untuk melarang percobaan melakukan pelanggaran
secara umum. Hal ini karena ketentuan pidana demikian tidak
mempunyai kekuatan mengikat.25
Menetapkan dapat dipidananya percobaan bukanlah suatu hal
dengan sendirinya. Dapat dipikirkan adanya kodifikasi tanpa ini.
Namun, jika pembuat undang-undang hendak memidana percobaan,
penting untuk menetapkan dengan syarat-syarat apa untuk suatu
percobaan dapat dipidana. Alasannya karena tanpa ini, jumlah
perbuatan pidana (pasal 1 KUHP) akan diperluas tanpa batas.
Pasal 53 KUHP ini menyebutkan apa percobaan itu, tetapi hanya
menetapkan dalam keadaan apa percobaan dapat dipidana, yaitu kalau
memenuhi syarat-syarat:26
a. harus ada niat dari pelaku
b. harus ada permulaan pelaksanaan
c. pengunduran diri yang tidak sukarela
Percobaan yang dapat dipidana mengandung arti perluasan dapat
dipidananya delik tampak jelas dalam tuntutan jaksa yang
menyebutkan rumusan pasal tertentu yang dihubungkan dengan
(juncto) Pasal 53 KUHP.27
3. Unsur-unsur percobaan pencurian
Pasal 53 KUHP ini menyebutkan apa percobaan itu, tetapi
hanya menetapkan dalam keadaan apa percobaan dapat dipidana,
yaitu kalau memenuhi syarat-syarat:28
a. harus ada niat dari pelaku
b. harus ada permulaan pelaksanaan
c. pengunduran diri yang tidak sukarela
Adapun unsur-unsur dari percobaan pencurian yaitu sebagai
berikut:
26 Ibid., 69.
a. Niat
Dipersoalkan apakah niat untuk melakukan kejahatan
mempunyai kedudukan yang sama pada percobaan sebagaimana
kedudukan kesengajaan pada delik dolus yang selesai. Dalam
yurisprudensi niat sering disamakan dengan kesengajaan.
Apabila orang berniat akan berbuat kejahatan dan ia telah
memulai melakukan kejahatan itu, akan tetapi karena timbul rasa
menyesal dalam hati ia mewurungkan perbuatannya, sehingga
kejahatan tidak jadi sampai selesai, maka ia tidak dapat dihukum
atas percobaan pada kejahatan itu, oleh karena tidak jadinya
selesai kejahatan itu disebabkan karena misalnya kepergok oleh
polisi yang sedang meronda, maka ia dapat dihukum, karena hal
yang mewurungkan itu terletak diluar kemauannya.
b. Permulaan pelaksanaan
Selanjutnya ialah bahwa kejahatan itu sudah mulai dilakukan.
Artinya orang harus sudah mulai dengan melakukan perbuatan
pelaksanaan pada kejahatan itu, kalau belum dimulai atau orang
baru melakukan perbuatan persiapan saja untuk mulai berbuat,
kejahatan itu tidak dapat dihukum, misalnya seorang berniat
akan mencuri sebuah sepeda di depan kantor pos dan ia baru
mendekati sepeda itu lalu ia tertangkap polisi. Perbuatan
mendekati sepeda disini baru dianggap sebagai perbuatan
untuk memegang sepeda tersebut, maka disini perbuatan
pelaksanaan pada pencurian dipandang telah dimulai, dan bila
waktu itu ditankap oleh polisi dan mengaku terus terang, ia dapat
dihukum atas percobaan pencurian.
Batas antara perbuatan persiapan yang belum dapat dipidana
dan perbuatan pelaksanaan yang sudah dapat dipidana, baru
ditentukan secara abstrak dalam pasal 53 KUHP, tetapi doktrin
dan praktiklah yang harus menariknya secara konkrit.29
Dalam literatur terdapat dua aliran yang menggunakan ukuran
yang berbeda untuk memisahkan perbuatan persiapan dari
perbuatan pelaksanaan. Dalam praktik, hasilnya tentu saja
berbeda. Berhadapanlah ajaran percobaan yang subjektif dan
objektif.
Ajaran yang subjektif lebih menafsirkan istilah “permulaan
pelaksanaan” dalam pasal 53 KUHP sebagai permulaan
pelaksanaan dari niat sehingga bertolak dari sikap batin yang
berbahaya dari pembuat dan menamakan perbuatan pelaksanaan
sebagai setiap perbuatan yang menunjukkan bahwa pembuat
secara psikis sanggup melakukannya.
Ajaran objektif menafsirkan istilah “permulaan pelaksanaan”
dalam pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari
kejahatan sehingga bertolak dari berbahayanya perbuatan bagi
tertib hukum menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai setiap
perbuatan yang mebahayakan kepentingan hukum.30
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa perbuatan itu sudah
boleh dikatakan sebagai perbuatan pelaksanaan, apabila orang
telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa
pidana, jika orang belum memulai dengan melakukan suatu
anasir atau elemen ini, maka perbuatannya itu masih harus
diapndang sebagai perbuatan persiapan.
c. Pengunduran diri yang tidak sukarela
Pada tahun 1924 HR menetapkan bahwa syarat untuk
percobaan yang dapat dipidana, yaitu bahwa kejahatan tidak
selesai semata-mata disebabkan oleh keadaan yang tidak
bergantung pada kehendak pembuat sehingga pembuat tersebut
tidak dipidana jika pengunduran dirinya secara sukarela telah
membantu tidak selesainya kejahatan itu.31 Dalam hal yang
demikian tidak dapat dikatakan lagi bahwa kejahatan dihalangi
oleh keadaan objektif belaka. Satu tahun kemudian Hoge Raad
menetapkan syarat-syarat yang lebih ketat, tetapi yurisprudensi
selanjutnya bersikap sejiwa dengan putusan 1924.
Terlepas dari pernyataan apa yang harus diberikan pada
unsur ketiga dari percobaan yang dapat dipidana ini, timbul
persoalan yang mendesak mengenai pembuktiannya.
30 Ibid., 204.
unsur percobaan sama seperti unsur-unsur perbuatan pidana
lainnya, harus dituduhkan dan dibuktikan oleh jaksa.
Kalau hakim menganggap pengunduran diri yang tidak
sukarela tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan. Sulit untuk
membuktikan unsur ketiga itu karena redaksinya yang negatif
(negativa non sunt probanda). Pembuktian unsur ini dalam
praktik menjadi dugaan, yang meskipun dimasukkan sebagai
unsur oleh jaksa dalam tuntutannya, baru dianggap sebagai
tidak terbukti oleh hakim kalau ada bantahan yang cukup dari
terdakwa. Dengan perkataan lain, unsur itu praktis menjadi
alasan penghapus pidana.
Orang melakukan percobaan yang tidak selesai tentu ada
sebab-sebabnya. Adapun sebab-sebab ini biasanya dapat
disimpulkan atas empat macam yaitu:32
a. Alatnya yang dipakai melakukan tidak sempurna sama
sekali ( absoluut ondeugdelijk middel).
b. Alat yang dipakai melakukan kurang sempurna (relatief
ondeugdelijk middel).
c. Obyek yang dituju tidak sempurna sama sekali (absolut
ondeugdelijk object)
d. Obyek yang dituju kurang sempurna sama sekali (relatief
ondeugdelijk
Beberapa unsur diatas dapat dihukum bila telah memenhui
semua unsur yang tercantum dapal pasal 53 KUHP. Menurut
para ahli hukum yang menganut teori percobaan yang subjektif
semuanya dapat dihukum, oleh karena teori ini telah
memandang cukup untuk dihukum, jika dari perbuatan
percobaan orang yang berbuat kejahatan itu niatnya jahat, maka
tidak perlu dilihat apakah sudah ada bahaya yang ditimbulkan
terhadap objek yang dituju, akan tetapi menurut ahli hukum
yang menganut teori percobaan yang objektif hanya yang ada
pada point b dan d sajalah yang dapat dihukum, sedangkan
point a dan c tidak, oleh karena itu teori ini mengajarkan bahwa
niat jahat saja belum cukup untuk dihukum, alasannya supaya
dapat dihukum, menurut teori ini titik berat terletak pada sudah
adanya bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan percobaan itu.
Perlu di ingat baik teori subjektif maupun objektif, bahwa
perbuatan pelaksanaan harus sudah dimulai, jika perbuatan
persiapan saja yang dilakukan itu belum cukup. Adapun yang
dianut oleh para hakim di Indonesia adalah teori percobaan
yang objektif.
4. Sanksi Pidana percobaan pencurian
Sanksi terhadap percobaan diatur dalam pasal 53 ayat (2) dan
(3) yang berbunyi sebagai berikut:33
(2) Maksimum hukuman utama, yang diadakan bagi kejahatan
dikurangkan dengan sepertiganya, dalam hal percobaan.
(3) Jika kejahatan itu diancam dengan hukuman mati, atau
hukuman penjara seumur hidup, maka bagi percobaan
dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas
tahun.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam pasal 53
ayat (2) dan ayat (3) KUHP dikurangi sepertiga dari hukuman
pokok maksimum dan paling tinggi lima belas tahun penjara.34
BAB III
GAMBARAN UMUM DAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO No. 488/Pid.B/2015/PN.Sda TENTANG PERCOBAAN PENCURIAN
kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta
mendapat kepercayaan publik, professional dalam
memberi pelayanan hukum yang berkualitas,
keterbukaan, etis, terjangkau, dan biaya rendah bagi
masyarakat , serta mampu menjawab pelayanan publik.
Misi :
1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang-undang dan
peraturan serta keadilan masyarakat.
2. Mewujudkan keadilan yang mandiri dan independent dari campur
tangan pihak lain.
3. Memperbaiki proses input internal pada proses peradilan
4. Memperbaiki akses pelayanan di bidang peradilan kepada
masyarakat.
5. Mewujudkan institusi Peradilan yang efektif, effisien, bermartabat
dan dihormati.
6. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri tidak memihak
7. Kemandirian anggaran Mahkamah Agung sesuai pasal 8/A
Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Sidoarjo: Pengadilan Negeri
Sidoarjo memiliki wilayah hukum sebanyak 18 Kecamatan yang terdiri
dari 325 Desa.
B. Deskripsi Kasus
Dalam skripsi ini akan dijelaskan bagaimana terungkapnya terdakwa
melakukan percobaan pencurian dan dengan cara apa kejadian percobaan
pencurian tersebut, isi pokok dari deskripsi kasus percobaan pencurian ini
adalah:
Bahwa terdakwa Siti Kumiaseh pada hari jum’at tanggal 17 Juli
2015 sekitar pukul 06.30 wib atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu
pada bulan juli tahun 2015 bertempat di desa Modong RT.02/01
Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo atau setidak-tidaknya pada
suatu tempat tertentu yang masih dalam wilayah hukum Pengadilan
Negeri Sidoarjo, yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini,
telah mengambil suatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk
kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan
melawan hukum.
Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
nyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
Pada awalnya Siti Kumiaseh telah melihat seluruh penghuni rumah
Kisan keluar rumah untuk melakukan shalat Idul Fitri dan pada saat
korban beserta keluarganya keluar rumah, terdakwa yang sudah berniat
untuk melakukan pencurian, langsung membawa obeng yang sudah
dipersiapkan, kemudian menuju rumah Kisan (korban), lalu menuju
kearah jendela dan langsung mencongkel daun jendela, namun pada saat
mencongkel daun jendela Siti Maimunah memergoki terdakwa dan
sempat menegur terdakwa kemudian menyuruh terdakwah untuk pergi.
Fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan dipersidangan secara
berturut-turut berupa:
1. Keterangan saksi-saksi
a. Siti Maimunah, saksi adalah tetangga dari korban, pada
pokoknya memberi keterangan, bahwa kejadian pada hari
jum’at tanggal 17 juli 2015 sekitar pukul 06.30 wib di
Desa Modong Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo,
bahwa saksi melihat terdakwa mau masuk rumah melalui
jendela dengan cara merusaknya dengan obeng namun
terpergok oleh saksi, tetapi barang-barang belum ada yang
diambil, dan didalam kamar terdapat uang atau perhiasan,
namun terdakwa belum sempat mengambilnya sehingga
barang-barang tidak ada yang hilang, terdakwa mengelak
memperbaiki jendela atas permintaan Devi (pemilik
rumah).
b. Usman, saksi adalah suami Siti Maimunah, bahwa istri
saksi bercerita setelah pulang salat Idul Fitri telah melihat
terdakwa membuka jendela dengan cara mencongkel daun
jendela dengan menggunakan obeng dan saksi melihat
sendiri bahwa jendela telah rusak , yang didalam rumah
terdapat uang dan perhiasannamun terdakwa belum sampai
mengambil.
c. Kisan, saksi adalah pemilik rumah, pada hari jum’at
tanggal 17 juli 2015 sekitar jam 06.30 wib di Desa Modong
Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo, saksi pulang
dari salat idul fitri dan melihat rumahnya dikrumuni orang
kemudian saksi mendekat dan ternyata jendela saksi ada
yang mencongkel, dan sesuai informasi dari Siti Maimunah
yang melakukannya adalah Siti Kumaiseh dengan cara
mencongkel daun jendela menggunakan obeng.
d. Devi Rudi Setiawan, saksi adalah anak Kisan, pada hari
jum’at tanggal 17 juli 2015 sekitar jam 06.30 wib di Desa
Modong Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo, saksi
pulang dari salat idul fitri dan melihat rumahnya
dikrumuni orang kemudian saksi mendekat dan ternyata
dari Siti Maimunah yang melakukannya adalah Siti
Kumaiseh dengan cara mencongkel daun jendela
menggunakan obeng, saat itu terdakwa beralasan disuruh
Devi untuk memperbaiki jendela namun itu hanya alasan
terdakwa saat ketahuan hendak melakukan pencurian.
2. Keterangan terdakwa
Terdakwa Siti Kumiaseh di persidangan memberikan
keterangan pada pokoknya bahwa pada hari jum’at tanggal 17 juli
2015 sekitar jam 06.30 wib di Desa Modong Kecamatan Tulangan
Kabupaten Sidoarjo, bahwa terdakwa mau melakukan pencurian
uang di rumah pak Kisan yang sebelumnya terdakwah sudah
berencana untuk mencuri uang namun masih mencari waktu yang
tepat, pada saat yang tepat terdakwa melakukan perbuatannya
dengan cara mencongkel jendela rumah korban namun terdakwa
tidak sampai masuk ke dalam rumah sehingga belum mengambil
uang sama sekali, terdakwa melakukan hal tersebut baru pertama
kali dikarenakan suami terdakwa tidak mau bekerja.
Adapun barang bukti yang diajukan dipersidangan yaitu berupa:
a. Satu buah obeng besi pegangan warna biru
b. Satu penyanggah daun jendela dari besi
c. Tiga sekrup
1) Barang siapa; bahwa yang dimaksud dengan “barang
siapa” ialah siapa saja yang dapat menjadi subjek hukum,
yang kepadanya dapat dipertanggung jawabkan atas segala
perbuatan yang dilakukannya. Dalam hukum pidana yang
dimaksud subjek hukum adalah orang atau perseorangan,
dalam perkara ini yang diajukan sebagai terdakwa adalah
Siti Kumiaseh, sehingga telah ditemukan suatu bukti yang
menyatakan bahwa terdakwa Siti Kumiaseh, mampu dan
dapat bertanggung jawab atas perbuatan dan kesalahan
yang telah dilakukannya dan tidak ada suatu alasan pemaaf
atau pembenar yang ada pada diri terdakwa.
2) Unsur mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau
sebagaian kepunyaan orang lain dengan maksud akan
memiliki barang itu dengan melawan hak; bahwa
perbuatan mengambil artinya membawa sesuatu benda
dibawah kekuasaannya secara mutlak, dimana berdasarkan
keterangan saksi-saksi, bahwa awalnya terdakwa sebelum
melakukan pencurian dirumah Kisan (korban), telah
melihat seluruh penghuninya keluar rumah untuk
menjalankan salat Idul Fitri, dan pada saat korban dan
keluarganya keluar rumah, terdakwa yang sudah berniat
untuk melakukan pencurian, langsung membawa obeng
Kisan, kemudian kearah jendela dan langsung mencongkel
daun jendela, saksi Siti Maimunah memergoki terdakwa
dan sempat menegur terdakwa kemudian menyuruh
terdakwa untuk pergi.
3) Unsur mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat
untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesai pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Sesuai keterangan saksi-saksi dan terdakwa serta barang
bukti yang ada, bahwa awalnya terdakwa sebelum
melakukan pencurian di rumah Kisan, telah melihat
seluruh penghuninya keluar rumah untuk melakukan salat
Idul fitri, dan pada saat korban dan keluarganya keluar
rumah, terdakwa yang sudah berniat untuk melakukan
pencurian, langsung membawa obeng yang sudah
dipersiapkan, kemudian menuju rumah saksi Kisan,
kemudian menuju kearah jendela dan langsung mencongkel
daun jendela, saksi Siti Maimunah memergoki terdakwa
dan sempat menegur terdakwah kemudian menyuruh
terdakwah untuk pergi.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dihubungkan pula
dengan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang
telah memenuhi unsur-unsur tersebut dengan demikian terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 jo
pasal 53 ayat (1) KUHP sebagaimana yang didakwakan
kepadanya.
C. Landasan Hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Sidoarjo.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka landasan hukum yang
dipakai oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo dalam
menyelesaikan perkara tersebut adalah sebagai berikut:
Bahwa terdakwa Siti Kumiaseh telah melakukan tindak pidana
percobaan pencurian yang dirumuskan dalam pasal 362 jo pasal 53 ayat
(1) KUHP. Adapun unsur-unsur tindak pidana percobaan pencurian
tersebut sebagai berikut:
1) Barang siapa, yang dimaksud barang siapa adalah terdakwah Siti
Kumiaseh umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, alamat
Desa Modong RT. 02/01 Kecamatan Tulangan Kabupaten
Sidoarjo.
2) Dengan sengaja, bahwa terdakwa Siti Kumiaseh dalam keadaan
sadar dengan sengaja melakukan pencurian di rumah Kisan.
3) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
4) Barang yang digunakan terdakwa untuk melakukan tindak pidana
percobaan pencurian yaitu berupa obeng untuk mencongkel daun
jendela.
5) Dengan melawan hukum telah terpenuhi, yaitu perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa melakukan percobaan pencurian dirumah
Kisan telah melawan atas hak dan juga telah melawan hukum.
D. Pertimbangan Hukum yang Dipakai oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Sidoarjo
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Majelis Hakim sebelum
menjatuhkan putusan kepada terdakwa dalam setiap kasus adalah dengan
mempertimbangan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan.
Begitu juga dalam kasus tindak pidana percobaan pencurian yang
disidangkan di Pengadilan Negeri Sidoarjo, Majelis Hakim Anggota
terlebih dahulu mengadakan musyawarah, mempertimbangkan tuntutan
dari Jaksa Penuntut Umum.
Hal-hal yang memberatkan terdakwa dalam kasus ini adalah
perbuatan terdakwa merugikan korban. Sedangkan hal-hal yang
meringankan terdakwa adalah:
1. Terdakwa berlaku sopan dalam persidangan;
2. Antara terdakwa dan saksi korban sudah berdamai dalam
3. Terdakwa seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tanggungan
anak yang masih kecil.
Pertimbangan-pertimbangan inilah yang menjadikan berbedanya
putusan yang diambil Majelis Hakim pada setiap persidangan meskipun
dengan kasus yang sama.
Selain faktor pertimbangan diatas menurut Syafruddin, SH. Kondisi1
seorang terdakwa juga sangat menentukan berat dan ringannya sanksi
yang diberikan. Jika terdakwa baru pertama kali melakukan tindak
pidana, maka baginya hukuman atau putusan Majelis Hakim akan lebih
ringan bila dibandingkan dengan seorang terdakwa yang telah berulang
kali melakukan tindak pidana (residivis), baik dalam tindak pidana yang
berbeda ataupun yang serupa. Maka baginya sanksi yang diberikan akan
lebih berat. Hal ini bertujuan akan mereka jera melakukan perbuatan yang
serupa atau lebih dari yang sebelumnya.
Selanjutnya beliau menambahkan bahwa terdakwa belum sempat
mengambil suatu barang apapun dari rumah korban, dan sebelum Majelis
Hakim menjatuhkan vonis terhadap terdakwa, maka perlu diperhatikan
hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan disamping dari
tuntutan dari jaksa penuntut umum, sehingga dapat diperoleh sebuah
keputusan yang seadil-adilnya bagi kedua belah pihak baik terdakwa atau
korban.
E. Isi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Tentang Kasus Tindak Pidana
Percobaan Pencurian.
Adapun isi putusan Pengadilan negeri Sidoarjo tentang hukuman
tindak pidana yang terdapat pada putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo
adalah sebagai berikut:
Berdasarkan kutipan putusan No. 488/Pid.B/ 2015/ PN.Sda, Demi
Keadilan Berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” Pengadilan Negeri
Sidoarjo yang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada pengadilan
tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa yang
bernama Siti Kumiaseh, tempat lahir Sidoarjo, umur 39 tahun, jenis
kelamin perempuan, Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Desa Modong
RT 02/01 Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo, agama Islam,
pekerjaan swasta.
Setelah mendengar tuntutan jaksa penuntut umum yang menyatakan
bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melanggar pasal 362 jo pasal 53 ayat (1) KUHP, dan menuntut
pidana penjara selama 4 bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan
sementara. Dan setelah menimbang tentang hal yang memberatkan yaitu
perbuatan terdakwa merugikan saksi korban, sedangkan hal-hal yang
meringankan adalah terdakwa berlaku sopan dalam persidangan, antara
terdakwa seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tanggungan anak
yang masih kecil.
Dalam persidangan yang dipimpin Majelis Hakim Syafruddin, SH.
Mujahri, SH. Istining K., SH., M.Hum.memutuskan sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa Siti Kumiaseh terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Percobaan
Pencurian”;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut diatas dengan
pidana penjara selama 2 bulan dan 15 hari;
3. Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangi
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan;
5. Menetapkan barang bukti berupa: 1 buah obeng besi pegangan
warna biru, 1 penyanggah daun jendela dari besi, tiga sekrup;
dirampas untuk dimusnahkan;
6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2500.-
BAB IV
ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO.
488/PID.B/2015/PN.SDA TENTANG PERCOBAAN PENCURIAN
A. Pertimbangan Hakim terhadap Tindak Pidana Percobaan Pencurian dalam
Putusan No 488/Pid.B/2015/PN.Sda ditinjau dari Hukum Pidana Islam
Dalam memutus suatu perkara hakim selalu memperhatikan hal-hal yang
dapat meringankan maupun hal-hal yang dapat memberatkan hukuman
terdakwa. Dalam hal ini hal-hal yang meringankan hukuman terdakwa yaitu:
1. Terdakwa berlaku sopan dalam persidangan;
2. Antara terdakwa dan saksi korban sudah berdamai dalam
persidangan;
3. Terdakwa seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tanggungan
anak yang masih kecil.
Pada tuntutan awal yang diberikan oleh penuntut umum adalah 4 bulan
namun oleh Majelis Hakim diputus 2 bulan 15 hari, mengingat Hakim juga
mempunyai otoritas dalam memberikan berat atau ringannya hukuman yang
akan dijatuhkan kepada terdakwa.
Melihat dari beberapa hal yang dapat meringankan hukuman terdakwa,
yang pertama yaitu karena terdakwa berlaku sopan di pengadilan, berlaku
sopan dalam hal ini berbicara masalah menghormati, dalam hal apapun bila
ada seseorang yang menghormati orang lain maka orang lain tersebut akan
membalas juga dengan menghormati dirinya. Dan sopan merupakan bagian