• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORDA - Jurnal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FORDA - Jurnal"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

111 1)

Widyaiswara pada Pusat Diklat Kehutanan Bogor, Jawa Barat, kandidat Doctor pada Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur

Peran masyarakat dalam penyusunan kebijakan pola kemitraan... (Kusdamayanti)

PERAN MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN KEBIJAKAN

POLA KEMITRAAN PENGELOLAAN HUTAN

DI KABUPATEN MALANG

(Participation of local people in creating policy on collaborative

forest management in malang district)

Oleh/ : Kusdamayanti

by 1)

ABSTRACT

Sejumlah kebijakan telah diimplementasikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memperbaiki kualitas sumberdaya hutan. Akan tetapi kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan masyarakat desa hutan masih banyak ditemukan di pedesaan khususnya desa sekitar hutan. Sebenarnya sudah sangat jelas bahwa subyek dan penerima manfaat dari kebijakan-kebijakan tersebut adalah masyarakat, tetapi pada kenyataannya masyarakat sangat sedikit keterlibatannya dalam proses kebijakan. Pada tahun 2004 di Kabupaten Malang telah ditandatangani nota kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Malang dan Perhutani KPH Malang untuk melaksanakan Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan sebagai kebijakan yang lebih demokratis dan berkeadilan. Dalam proses formulasi kebijakan ini para pihak terkait telah coba untuk dilibatkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab beberapa pertanyaan yaitu: (1) Bagaimana peran masyarakat dalam proses formulasi kebijakan dan (2) Apakah masih terdapat dominasi pemerintah dalam proses Several policies had been implemented which addressed to improving forest village community welfare and restoring the quality of forest resources. But poverty and less welfare of forest dwellers still exist in village area. It is clear that the subject and the beneficiaries of these all policies is community, but in fact the policy process hardly involving community. In 2004 Malang Local Government and Perhutani made a memorandum of understanding to conduct Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (Collaborative Forest Management) as more democratic and fair policy. The research aimed to answer questions about: (1) The role of community in policy formulation process; (2) The kinds of domination happened in the policy formulation process.This is a qualitative research using the grounded theory approach and Strauss and Corbin's data analysis method. The data were gathered by some method: interviews, observations and document review. The research were done for 3 month in Malang District, East Java Province. The result showed that since the role of participants in policy process was not equal., community participation was still very low, especially in decision making process. Some kinds of government dominance (represented by State Forest Company and Local Government) was found, so the more democratic and fair policy has not been reached.

Key words: policy formulation, community, government domination

ABSTRAK

(2)

kualitatif dengan metode dan analisis data menurut metode yang digunakan Strauss dan Corbin. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara, observasi dan studi dokumen. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan di Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur. Hasil penelitian memperlihatkan peran stakeholder yang tidak seimbang dalam prosesa formulasi kebijakan. Partisipasi masyarakat masih rendah khususnya dalam pengambilan keputusan. Beberapa bentuk dominasi pemerintah yang direpresentasikan oleh Perhutani dan Pemerintah Daerah masih terjadi sehingga keinginan untuk membuat kebijakan yang lebih demokratis dan berkeadilan belum dapat tercapai.

Kata kunci: formulasi kebijakan, masyarakat, dominasi pemerintah

Tuntutan agar masyarakat semakin berperan dalam berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah sudah sangat jelas dan menjadi sebuah keharusan untuk dilaksanakan. Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia juga telah diarahkan untuk dilaksanakan dengan

paradigma atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Dengan paradigma ini masyarakat didorong untuk mempunyai peran lebih besar dan berarti dalam pengelolaan hutan.

Selama ini peran masyarakat seringkali hanya ditempatkan dalam proses implementasi kebijakan, sedangkan dalam proses penyusunan dan evaluasi kebijakan peran masyarakat masih sangat terbatas, bila tidak hendak dikatakan tidak ada. Dalam kebijakan yang telah

berparadigma masyarakat merupakan pemeran utama dari

kebijakan. Sebagai subyek dari kebijakan seharusnya masyarakat mempunyai peran yang besar sejak penyusunan kebijakan hingga evaluasi kebijakan. Namun hal ini tentu saja tidak mudah untuk dilaksanakan. Selain harus dilakukan reposisi peran negara yang mengharuskan adanya kerelaan negara untuk berbagi peran, masyarakat harus pula ditingkatkan kemampunannya agar dapat melaksanakan perannya sebagaimana yang diharapkan.

Di Pulau Jawa sebagian besar kawasan hutan dikelola oleh Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara. Mulai tahun 1972 Perhutani telah melaksanakan kegiatan yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan, akan tetapi sampai saat ini berbagai pola yang telah dilaksanakan tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pada Tahun 2001 Perum Perhutani mengeluarkan kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dilaksanakan di seluruh wilayah kerjanya. Di Kabupaten Malang kebijakan ini mendapat keberatan dari Pemerintah Kabupaten Malang karena kurang melibatkan pemerintah daerah dan dinilai kurang demokratis dan berkeadilan bagi masyarakat. Pada tahun 2004 setelah melalui perdebatan panjang diperoleh kesepakatan untuk melaksanakan Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (PKPH) di Kabupaten Malang dengan harapan masyarakat dapat lebih berperan dalam kebijakan tersebut.

Kebijakan PKPH di Kabupaten Malang telah disepakati untuk menggunakan paradigma pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan kebijakannya diarahkan untuk lebih demokratis dan berkeadilan. Akan tetapi apakah Kebijakan PKPH telah memberikan ruang yang cukup bagi peran masyarakat?

grounded theory

community based forest management

community based forest management

I. PENDAHULUAN

(3)

113 B. Tujuan Penelitian

II. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

C. Pengumpulan dan Analisis Data

Berdasarkan permasalahan yang ada maka penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan: Bagaimana peran masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan PKPH. Dan apakah masih terdapat dominasi pemerintah dalam proses penyusunan kebijakan PKPH.

Penelitian tentang Kebijakan Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan ini dilaksanakan melalui pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution, 1995). Menurut Strauss dan Corbin (1990), salah satu kelebihan penelitian kualitatif adalah karena ia bisa digunakan untuk menjelaskan detail yang rumit dari suatu fenomena yang sulit dijelaskan jika menggunakan pendekatan kuantitatif. Selain itu jenis penelitian ini dapat digunakan untuk mempelajari organisasi, kelompok maupun individu.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Malang. Proses kebijakan yang terjadi di Kabupaten Malang dipelajari melalui stakeholder di tingkat Kabupaten Malang dan stakeholder di tingkat desa. Desa Gading Kembar, Kecamatan Jabung di wilayah Malang Utara dan Desa Mentaraman, Kecamatan Donomulyo di wilayah Malang Selatan dipilih untuk mempelajari peran masyarakat dalam kebijakan. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu, bulan Juni sampai dengan Agustus 2007.

Dalam penelitian ini dikumpulkan data primer dan sekunder yang terkait dengan proses kebijakan PKPH.

Data dan informasi primer diperoleh melalui wawancara kepada stakeholder yaitu: petani pengelola lahan (petani hutan/pesanggem), pengurus LKDPH, Pemerintah Desa, petugas lapangan, Perum Perhutani (KRPH, BKPH, KPH dan Unit II), LSM Paramitra, Pengurus Forum Komunikasi PKPH Tingkat Kabupaten, Kecamatan dan Desa, Dinas Kehutanan Kabupaten Malang, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur dan Komisi B DPRD Kabupaten Malang. Dari masing-masing stakeholder wawancara dilakukan terhadap ketua lembaga dan beberapa orang pengurus/staf/angggota yang mengerti permasalahan yang ditanyakan.

Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam ( ). Dalam penelitian kualitatif tidak digunakan kuesioner. Namun untuk mempermudah pelaksanaannya dalam interview digunakan pedoman wawancara yang berisi hal-hal pokok yang harus ditanyakan kepada informan, dan dapat berkembang sesuai dengan kondisi di lapangan. Dalam setiap pengumpulan data peneliti membuat catatan lapangan.

depth interview

(4)

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi dokumen. Hal ini bertujuan untuk menggali data non-insani, misalnya: surat keputusan, buku pedoman/petunjuk, laporan kegiatan dan sebagainya.

Teknik Analisis data dalam penelitian ini mengikuti langkah-langkah analisis data Strauss dan Corbin (1990) dalam Langkah-langkah proses analisis tersebut adalah: Open coding, Selanjutnya hasil analisis secara sistematis digambarkan sebagai gambaran realitas yang bersifat konseptual, komprehensif dan bersifat

.

Adanya berbagai perubahan dan perkembangan dihampir semua aspek dalam kehidupan masyarakat dan negara diera reformasi juga telah mempengaruhi kebijakan pengelolaan hutan di Kabupaten Malang. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang telah ditetapkan oleh Perum Perhutani pada tahun 2001 dan dilaksanakan di seluruh kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani tidak dapat langsung dilaksanakan di Kabupaten Malang. Pemerintah Daerah menginginkan adanya berbagai perubahan dan penyesuaian atas kebijakan tersebut. Pada akhirnya pengelolaan hutan negara yang dikuasai oleh Perhutani di Kabupaten Malang saat ini disepakati untuk dilakukan dalam pola kemitraan bersama masyarakat dalam bentuk

).

Masuknya sebuah isu kebijakan atau masalah ke dalam proses penyusunan agenda ditentukan oleh banyak hal. Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut saling berkompetisi antara satu dengan lainnya. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Permasalahan pengelolaan hutan di Kabupaten Malang dapat masuk ke dalam proses penyusunan agenda karena adanya konflik kebijakan yang akan dilaksanakan oleh Perhutani KPH Malang dan Pemerintah Kabupaten Malang dalam hal ini Dinas Kehutanan. Pemda menolak diimplementasikannya Kebijakan PHBM yang akan dilaksanakan di seluruh wilayah kerja Perum Perhutani termasuk di Kabupaten Malang. Penolakan terhadap kebijakan PHBM ini disebabkan paling sedikit oleh 3 hal yaitu:

- adanya semangat otonomi daerah sehingga pemerintah daerah ingin lebih berperan - penilaian Pemerintah Kabupaten bahwa terdapat kekurangan dalam kebijakan PHBM

yaitu kurang demokratis dan adil

- keinginan pemerintah kabupaten untuk melaksanakan kebijakan Hutan Kemasyarakatan. Selain adanya alasan di atas, sikap Pemda melakukan penolakan dipengaruhi pula oleh beberapa hal antara lain keinginan untuk mendapat bagi hasil dalam kebijakan dan adanya ambisi Kabupaten Malang untuk mempunyai kebijakan pengelolaan hutan yang berbeda dengan daerah lain. Hal ini semakin diperkuat oleh karena Perhutani kurang dapat menjelaskan dan meyakinkan adanya peran Pemda dalam kebijakan PHBM.

Apa yang menyebabkan masalah pengelolaan hutan di Kabupaten Malang menjadi isu kebijakan sejalan dengan pendapat Abdul Wahab (1997) yang meyatakan bahwa pada intinya

grounded theory. Axial Coding, Selective Coding.

grounded

Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (PKPH

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Peran Masyarakat dalam Proses Formulasi Kebijakan

(5)

isu kebijakan biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat diantara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan mengenai karakter masalah itu sendiri. Walaupun permasalahan ini telah muncul sejak tahun 2001, tetapi tidak isu kebijakan ini tidak cukup mendapat perhatian. Baru pada tahun 2003 permasalahan ini dibahas secara lebih serius oleh berbagai pihak terkait di Kabupaten Malang. Hal ini dapat dijelaskan karena pada dasarnya proses penyusunan agenda merupakan persoalan politik dan karena itu kental dengan muatan politik. Beberapa persoalan tertentu, karena alasan tertentu, tidak pernah menjadi agenda publik, sementara yang lainnya dengan begitu mudah menyedot perhatian dan segera ditindak lanjuti (Abdul Wahab, 2008). Permasalahan pengelolaan hutan di Kabupaten Malang pada akhirnya dapat masuk dalam proses penyusunan agenda salah satunya karena kondisi hutan yang tidak bisa menunggu dan menjadi semakin rusak karena belum adanya kebijakan yang dapat dilaksanakan. Selain itu KPH Malang tentu saja mendapat tekanan dari Perhutani Unit II dan bahkan Direksi Perhutani bila belum dapat segera melaksanakan kebijakan PHBM, hal inilah yang kemudian juga memaksa Perhutani KPH Malang untuk segera mendesakkan isu kebijakan ini ke dalam proses penyusunan agenda.

Masalah yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif (DPRD), kalangan eksekutif (Pemerintah Kabupaten, Dinas-Dinas, Perhutani KPH Malang) atau pihak-pihak lain. Perbedaan dua konsep yang ditawarkan oleh pihak Perhutani (PHBM) dan Dinas Kehutanan (HKM) menyebabkan timbulnya kondisi di mana sulit dicapai kesepakatan antara Perhutani dan Dinas Kehutanan. Hal ini memperlihatkan konflik kepentingan yang tinggi dan rendahnya fleksibilitas kebijakan PHBM dalam menanggapi adanya perbedaan kondisi dan keinginan daerah. Dalam kondisi seperti ini maka diperlukan mediator dan fasilitator untuk menjadi penengah dan pendorong lahirnya kesepakatan.

Kesulitan mencapai kesepakatan dipengaruhi pula oleh karena Perhutani KPH Malang sulit merubah kebijakan PHBM, karena bersifat nasional ( ). Di sisi lain terdapat keteguhan pemerintah kabupaten untuk tetap menolak kebijakan PHBM. Beberapa dialog yang telah dilakukan sebelumnya juga tidak menghasilkan kesepakatan, bahkan terjadi jalan buntu ( ). Hal ini diperlambat lagi dengan seringnya pergantian Administratur di Perhutani KPH Malang, sehingga tidak dapat segera dihasilkan kebijakan yang dapat menyelesaikan masalah ini.

Sebagai upaya untuk mewujudkan kesepakatan bersama dan memperoleh konsep kebijakan pengelolaan hutan terbaik yang dapat dilaksanakan di Kabupaten Malang, pada tahun 2003 Lembaga Paramitra Jawa Timur melakukan serangkaian kegiatan yang di sebut sebagai serial dialog multi pihak, antara lain:

1. Kajian-kajian tentang kebijakan kehutanan dan kebijakan OTDA yang dilanjutkan dengan (Akademisi, mahasiswa, LSM).

2. Diskusi serial pihak-pihak terkait di tingkat Kabupaten Malang (Perhutani, Dinas Kehutanan, DPRD, Sekretariat Pemkab, Balitbang)

3. Seminar dan diskusi serial untuk menumbuhkan kesadaran dalam mendukung gerakan penyelamatan sumberdaya hutan (ORNOP, Pencinta Alam, Aktifis Lingkungan) 4. dan sarasehan tentang model-model praktek pengelolaan

sumberdaya hutan di masyarakat desa hutan (Masyarakat desa hutan, BPD, Pemerintah Desa, Karang Taruna, Tokoh masyarakat, dll)

2. Pemilihan alternatif kebijakan

top down

dead lock

focus group discussion

Assesment, focus group discussion

(6)

Hasil dari masing-masing kegiatan tersebut kemudian dipertemukan dalam sebuah Semiloka Kehutanan Multi Pihak yang dilaksanakan pada tanggal 23 dan 24 Oktober 2003 di Hotel Montana 2, Malang. Kegiatan Semiloka ini dilakukan dalam rangka mengkomunikasikan hasil dari masing-masing diskusi serial dan upaya membangun komitmen pemangku hutan, pemerintah dan pihak-pihak lain dalam melaksanakan pembangunan kehutanan di Kabupaten Malang. Dari semiloka ini disepakati bersama: 1) perlu adanya kontrak sosial baru dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Kabupaten Malang dengan paradigma Community forestry atau kehutanan masyarakat, 2) perlu adanya sinergi dari para pihak yang ada di Kab. Malang dalam mewujudkan pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari dan berkeadilan

Setelah bersepakat tentang masalah pengelolaan hutan yang dihadapi di Kabupaten Malang, maka masing-masing partisipan menawarkan alternatif kebijakan yang dapat mengatasi masalah tersebut. Selain kebijakan PHBM yang ditawarkan oleh Perum Perhutani dan Kebijakan HKM yang diinginkan oleh pemerintah Kabupaten Malang, dalam perjalanannya setelah terjadi banyak perbincangan dengan partisipan-partisipan lain, maka muncul pula berbagai tawaran alternatif bentuk lain yang dapat dipilih untuk melaksanakan kebijakan pengelolaan hutan di Kabupaten Malang. Dalam proses ini seluruh pihak yang terkait telah dilibatkan.

(7)

Stakeholder Kepentingan Peran dan Kelebihan Kelemahan dan

- Pemegang hak pengelolaan hutan

dan penentu kegiatan

- Mempunyai struktur organisasi yang

kuat

- Mempunyai anggaran

- Budaya organisasi yang

belum berubah

- Sentralistis

- Sangat besar dan

dimanfaatkan

Dinas Kehutanan

- Peningkatan peran - Pemasukan dari bagi hasil

- Pemerintah daerah sebagai penguasa

wilayah

- Fasilitastor

- Keterbatasan anggaran - Keterbatasan akses petugas

lapangan

- Sangat besar dan

dimanfaatkan

DPRD - Menyalurkan aspirasi

masyarakat

- Media komunikasi politik

dengan masyarakat

- Lembaga legislatif

- Seringkali diposisikan lebih tinggi

dari eksekutif

- Fasilitator dan mediator

- Keterbatasan pemahaman

atas kebijakan

- Besar tetapi kurang

dimanfaatkan

LSM

Paramitra

-Mendorong demokratisasi pengelolaan hutan

- Perubahan internal dan

keterbukaan Perhutani

- Fasilitator dan mediator - Menguasai konsep pengelolaan

hutan berbasis masyarakat

- Keterbatasan akses ke

dalam proses kebijakan

- Fasilitator dan pembina - Penguasa wilayah desa

- Keterbatasan akses ke

dalam proses kebijakan

- Pelaksana kebijakan di lapangan - Kemampuan negosiasi

lemah

- Rendah

Perguruan Tinggi/Pakar

- Kebijakan yang sesuai dengan

pengetahuan kehutanan, demokratis dan berkeadilan

- Nara sumber - Pengetahuan yang luas

- Keterbatasan akses ke

dalam proses kebijakan

- Kelompok penekan - Keterbatasan akses ke

dalam proses kebijakan

- Sedang Tabel 1 ( ). Kepentingan, Peran, Kelemahan dan Kekuatan Para Pihak dalam Penyusunan Kebijakan PKPH (

)

Interest, Role, Weaknesses and Power of the Stakeholders in PKPH Policy Formulation

(8)

3. Penetapan kebijakan

Pengambilan keputusan tentang alternatif kebijakan mana yang akan dipilih, untuk ditetapkan sebagai kebijakan, merupakan tahap yang sangat penting dalam formulasi kebijakan. Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan akan diambil sebagai cara untuk mengatasi masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam formulasi kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut. Penetapan kebijakan dilakukan sehingga kebijakan yang dipilih mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Penetapan kebijakan di tingkat kabupaten dapat berupa Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan lain sebagainya. Mengingat besarnya konflik yang terjadi antara Perum Perhutani dan Pemerintah Kabupaten Malang tentang pengelolaan hutan, maka langkah awal dari penetapan kebijakan ini adalah membuat nota kesepahaman tentang kebijakan pengelolaan hutan.

Disepakatinya kontrak sosial baru ini juga telah memberi dukungan bagi lahirnya pola kemitraan/PKPH. Pada akhirnya pada tanggal 4 Pebruari 2004 diperoleh kesepakatan antara Pemkab Malang dan Perhutani KPH Malang. Hal ini ditandai dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Perusahaan Umum Perhutani KPH Malang dengan Pemerintah Kabupaten

pada tanggal 4 Februari 2004. Nomor 180/248/PKS/42.012/2004

Proses penyusunan Nota Kesepahaman hanya melibatkan lembaga legislatif yaitu DPRD Kabupaten Malang, beberapa lembaga eksekutif di Kabupaten Malang terutama Dinas Kehutanan dan Perum Perhutani KPH Malang. Penyusunan dan penandatanganan Nota Kesepahaman dilakukan tanpa melalui proses-proses yang menjaring aspirasi masyarakat secara langsung. Upaya yang telah dilakukan oleh Paramitra, dengan melibatkan banyak partisipan masyarakat, dalam mendorong lahirnya kontrak sosial baru kemudian tidak lagi dilanjutkan dalam tahapan formulasi kebijakan berikutnya. Harapan dan peran Paramitra untuk mendorong lahirnya kebijakan yang lebih demokratis dan adil di Kabupaten Malang kemudian menjadi tidak dapat diwujudkan, bahkan LSM Paramitra Jawa Timur benar-benar ditinggalkan ketika pengambilan keputusan dilakukan.

Karena Nota Kesepahaman antara Bupati Malang dan KKPH Malang yang masih memiliki kekuatan mengatur rendah dan keterlibatan partisipan rendah, maka dilaksanakan tindak lanjut untuk menyusun kebijakan tentang pengelolaan hutan di Kabupaten Malang yang sesuai dengan kesepakatan. Para stakeholder telah menyusun Raperda tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Negara. Namun sampai sekarang Raperda tersebut masih belum disyahkan menjadi Perda. Hal ini memperlihatkan bahwa masalah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan belum dianggap sebagai masalah yang harus segera diatur dalam pengelolaan urusan-urusan daerah.

Dalam setiap tahapan proses kebijakan yang mengarah pada formulasi kebijakan PKPH terdapat stakeholder yang berbeda-beda. Apabila digambarkan secara ringkas, maka peran para stakeholder dalam proses formulasi kebijakan PKPH di Kabupaten Malang adalah sebagaimana dalam Gambar 1.

(9)

Kontrak Sosial Baru

Gambar 1(Figure1). Skema Peran Para Pihak Dalam Proses Formulasi Kebijakan PKPH di Kab.Malang (The Scheme of Stakeholders Role in PKPH Policy Formulation Process in Malang District)

HKM PHBM

Perdebatan

Paramitra

DPRD Masy

Desa Hutan Perhutani

Pemkab PT,

Pakar

Hearing/Raker Stakeholder

Garis Peran

Proses Kebijakan

Waktu

Ornop, PA, AL, dll

Serial Dialog Multi Pihak

2001 2003 2004 2006

Hearing/Raker Konsultasi Publik Wadah

dialog

Malang

HKM vs PHBM MoU PKPH Raperda

119

P

eranmasyarakatdalampenyusunank

ebijakanpolak

emitraan

K

usdama

yanti

...(

(10)

Proses kebijakan PKPH melewati beberapa tahapan. Bila disederhanakan dalam sebuah skema, maka proses tersebut adalah sebagai berikut:

Isu Kebijakan

Penyu-sunan Agenda

Kontrak Sosial Baru Serial dialog

multi pihak & Semiloka Pemilihan Alternatif Kebijakan

Penetapan Kebijakan

Kebijakan PKPH

Gambar 2 ( ). Skema Proses Kebijakan PKPH ( )

Partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan berada pada urutan yang sangat tinggi dalam agenda desentralisasi, seperti yang diamanatkan oleh UU No. 8/ 997 jo UU No. 34/2000, UU No. 4/999, UU No. 0/2004, dan UU No. 32/2004. Ini berarti bahwa undang-undang menjamin partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan. Menurut Sudirman (2006), dengan partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan diharapkan: 1. Kebijakan daerah didasarkan terutama pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat.

Berbagai kebijakan atau peraturan akan lebih sesuai dengan kenyataan dan lebih mungkin memenuhi harapan-harapan masyarakat lokal.

2. Mendorong masyarakat lokal untuk lebih mematuhi kebijakan atau peraturan dan bertanggung jawab secara sosial. Masyarakat akan cenderung lebih patuh terhadap peraturan yang pembuatannya melibatkan mereka secara aktif.

3. Memberdayakan pemerintah daerah untuk mendemokratisasikan proses pembuatan kebijakan dan lebih akuntabel kepada pemilih mereka. Konsultasi terbuka dengan para pemangku kepentingan, seperti universitas, LSM, dan masyarakat umum, memungkinkan “pengawasan dan keseimbangan” menjadi bagian dalam proses.

Partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan daerah dalam bentuk Peraturan Daerah dapat dilaksanakan melalui berbagai cara. Cara-cara ini dapat dipilih sesuai dengan permasalahan kebijakan yang akan disusun dan kondisi masyarakat setempat. Beberapa cara dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yaitu:

1. Rekomendasi-rekomendasi penelitian kebijakan dan naskah akademik.

2. Diskusi terbuka seperti seminar, lokakarya dan FGD (diskusi kelompok terfokus) 3. Memo kebijakan atau ringkasan kebijakan

4. Penerbitan kebijakan daerah dalam media cetak dan elektronika. 5. Dengar pendapat ( ) di DPRD.

6. Menyebarkan rancangan peraturan kepada berbagai pemangku kepentingan, untuk meminta masukan sebagai bahan perumusan kebijakan akhir.

The scheme of PKPH Policy Process

public hearing Figure2

(11)

Dalam penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Malang tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Negara telah dilaksanakan beberapa cara yaitu penyusunan naskah akademis dan konsultasi publik. Peraturan Daerah sebagai kebijakan yang akan menjadi payung bagi pelaksanaan kebijakan PKPH harus mendorong peran masyarakat yang yang lebih besar daripada peran yang telah dijalankan sebelumnya. Partisipasi masyarakat tidak boleh hanya dilaksanakan sebagai formalitas untuk mendapatkan kebijakan yang kemudian dinyatakan mendapatkan legitimasi dari seluruh stakeholder yang terkait

Keberhasilan Pemerintah Kabupaten Malang untuk membuat kebijakan pengelolaan hutan dalam Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (PKPH) dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap kebijakan PHBM. Kebijakan yang disusun telah diupayakan disesuaikan dengan kondisi lokal dan telah diupayakan melibatkan seluruh pihak yang terkait. Beberapa perubahan atau perbedaan antara kebijakan PHBM dan kebijakan PKPH adalah sebagai berikut:

Tabel 2 ( ). Perbedaan kebijakan PKPH dan PHBM ( )

Table 2 The Difference between PKPH and

PHBM Policy

No. PHBM PKPH

1. Top down Bottom up, mencoba untuk demokratis

2. Seragam untuk seluruh Jawa Spesifik Kabupaten Malang

3. Dasar kebijakan kuat, kebijakan penjelas

sudah lengkap

Dasar kebijakan kurang kuat, kebijakan penjelas belum lengkap

4. Bersama, antara masyarakat hutan dan

Perhutani

Kemitraan, antara Perhutani, masyarakat sekitar hutan dan Pemerintah Desa

5. Proporsi masyarakat 25% Proporsi masyarakat 20%

Walaupun telah berusaha untuk mendapatkan kebijakan yang lebih baik, dalam proses formulasi kebijakan PKPH ini para aktor lebih mementingkan untuk membicarakan terpenuhinya kepentingan masing-masing dibandingkan upaya untuk membuat proses formulasi kebijakan sebagai proses yang demokratis yang dapat diterima masyarakat melalui pelibatan seluruh partisipan. Oleh karenanya masih ditemukan peran pemerintah yang sangat besar sehingga tidak memberi ruang cukup untuk partisipasi masyarakat yang sesungguhnya.

Bila disimpulkan maka dominasi pemerintah dalam proses penyusunan kebijakan PKPH ini terwujud dalam dua hal yaitu:

1. Pengabaian masyarakat desa hutan dan LSM secara sengaja dalam penyusunan MoU yang menjadi dasar kebijakan PKPH di Kabupaten Malang

2. Diambilnya hak masyarakat dalam proporsi bagi hasil sebesar 5% oleh pemerintah daerah sehingga berkurang dari 25% menjadi 20%.

Dari analisis data dan pembahasan di atas maka dapat disusun proposisi (1) dan (2) sebagai berikut:

Jika penguasaan dan pemanfaatan hutan masih dipandang sebagai kewenangan negara, maka pemerintah akan memberi ruang yang terbatas bagi partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan. Pengabaian secara sengaja terhadap stakeholder yang lemah (masyarakat) oleh stakeholder yang kuat (negara), menyebabkan proses formulasi kebijakan tidak demokratis dan menghasilkan kebijakan yang tidak berkeadilan.

(12)

Proposisi di atas memperlihatkan bahwa ideologi tentang penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang diyakini oleh negara sangat berpengaruh terhadap keputusan-keputusan yang diambil dalam proses penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan. Sumber kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam di Indonesia adalah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Rumusan pasal tersebut menurut Santosa (2001) tidak memberikan penjelasan tentang batasan dan tugas-tugas negara dalam menguasai bumi, air dan kekayaan alam. Ketiadaan batas-batas yang jelas dari hak negara dalam menguasai bumi, air dan kekayaan alam melahirkan peraturan perundang-undangan (sebagai penjabaran Pasal 33 ayat (3)) yang memberikan peran negara yang sangat besar tanpa adanya kontrol dari rakyat.

Apa yang terjadi dalam proses formulasi kebijakan PKPH di Kabupaten Malang sangat jelas memperlihatkan bahwa keyakinan terhadap ideologi inilah yang mendorong para stakeholder yang mewakili negara (Perhutani KPH Malang dan Pemerintah Kabupaten Malang) secara sengaja mengabaikan stakeholder lain dalam pengambilan keputusan tentang bagaimana pengelolaan hutan di Kabupaten Malang. Proses pengambilan keputusan yang tidak demokratis ini kemudian menghasilkan sebuah kebijakan yang mengabaikan kepentingan masyarakat desa hutan, sehingga esensi dari “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang seharusnya menjadi tujuan dari penguasaan bumi, air dan kekayaan alam sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 ayat (3) menjadi hilang. Tujuan untuk kemakmuran rakyat yang harus dijabarkan dalam kebijakan yang lebih bersifat operasional tidak banyak dilakukan.

Di Indonesia hutan diusahakan dan dikelola atas dasar pemberian hak oleh pemerintah kepada lembaga pemerintah dan lembaga swasta mengingat negara telah menafsirkan kekuasaan atas pengelolaan sumberdaya alam harus oleh negara bukan oleh masyarakat. Menurut Awang (2003) dengan demikian semua interpretasi tentang manfaat dan pendayagunaan sumberdaya alam hutan berjalan secara klasik yaitu oleh pemerintah (Departemen Kehutanan), tidak melibatkan stakeholder lainnya. Cara pemerintah menetapkan wewenang dan pengelolaan peruntukan seperti ini disebut dengan model mono interpretasi. Monopoli pengambilan keputusan tentang pengelolaan hutan seperti yang terjadi di Kabupaten Malang merupakan salah satu konsekuensi logis dari sistem mono interpretasi pendayagunaan sumberdaya hutan tersebut. Lebih jauh lagi menurut Awang (2003) adanya monopoli pengambilan keputusan oleh pemerintah tentang masa depan sumberdaya hutan di Indonesia telah menghasilkan mitos bahwa yang paling berkuasa atas hutan adalah pemerintah, tetapi sekaligus tidak bertanggung jawab kepada masyarakat manakala hutan menjadi rusak sebagai akibat sistem pengusahaan yang dilakukan selama ini.

(13)

Keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat terletak di tangan masyarakat, yang salah satunya ditunjukkan dari seberapa besar keinginan masyarakat untuk berpartisipasi di dalamnya. Untuk kepentingan proses implementasi kebijakan publik yang selalu direspon oleh masyarakat secara positif, para perumus kebijakan harus senantiasa melakukan negosiasi langsung dengan masyarakat yang terkena dampak suatu kebijakan (Islamy, 2001). Kebijakan publik dalam prosesnya perlu memperhatikan konteks pelibatan masyarakat sebagaimana diungkapkan oleh Dunn (2000).

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Parsons (1997), dalam tataran konseptual perumusan kebijakan tidak hanya berisi hasil pikiran atau pendapat para pemimpin yang mewakili anggota, tetapi juga berisi opini publik ( ) dan suara publik ( ). Sejalan dengan hal tersebut, Abdul Wahab (1997) menyatakan bahwa dalam merumuskan dan mengevaluasi kemaslahatan kebijakan itu, pembuat kebijakan haruslah membiarkan rakyat untuk berbicara sendiri apa yang baik bagi diri mereka merupakan kemaslahatan umum dan janganlah pembuat kebijakan itu sendiri yang justru mendikte (sekalipun atas nama mereka).

Penyusunan kebijakan PKPH yang belum memberikan peran besar kepada masyarakat melahirkan kebijakan yang tidak demokratis dan berkeadilan menyebabkan munculnya ketidakpuasan dari masyarakat dan penolakan kebijakan di beberapa desa. Sosialisai kebijakan dalam tahapan implementasi memerlukan proses dan waktu yang relatif lebih lama sebelum akhirnya masyarakat mau melaksanakan kebijakan PKPH.

Sejalan dengan tujuan penelitian, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Masyarakat belum mendapatkan peran yang cukup dalam penyusunan Kebijakan Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Malang. Partisipasi masyarakat masih sangat terbatas pada tahapan proses dialog multi pihak yang menjadi tempat penyamaan persepsi dan mencari alternatif-alternatif bentuk kemitraan pengelolaan hutan. Masyarakat dan skateholder lainnya selain pemerintah tidak berperan dalam tahap pengambilan keputusan yang justru merupakan tahap penting dalam perumusan kebijakan, sehingga kebijakan menjadi tidak demokratis. Hal ini kemudian menghasilkan kebijakan yang tidak berkeadilan, terbukti dari berkurangnya proporsi bagi hasil yang seharusnya diterima masyarakat dari 25% menjadi 20%.

2. Dominasi pemerintah dalam penyusunan kebijakan PKPH terlihat dalam bentuk: - Pengabaian masyarakat desa hutan dan LSM secara sengaja dalam penyusunan MoU

yang menjadi dasar kebijakan PKPH di Kabupaten Malang

- Diambilnya hak masyarakat dalam proporsi bagi hasil sebesar 5% oleh pemerintah daerah.

1. Ideologi penguasaan sumberdaya alam termasuk hutan, yang selama ini selalu menjadi dasar bagi peran pemerintah yang sangat besar dalam pengelolaan hutan, harus mengalami perubahan.

public opinion public voice

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

(14)

2. Perlu reposisi peran pemerintah, dan redefinisi peran masyarakat yang lebih sejati dan nyata dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan harus dimulai dari inisiatif, prakarsa dan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses formulasi kebijakan terutama dalam pengambilan keputusan.

Anonim. 2004. Nota Kesepahaman antara Perusahaan Umum Perhutani KPH Malang dengan Pemerintah Kabupaten

Nomor 180/248/PKS/42.012/2004

Anonim. 2006. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Malang tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Negara

Abdul Wahab, Solichin. 1997.

, (Edisi Kedua). Bumi Aksara. Jakarta.

Awang, San Afri. 2003. . Center for Critical Social Studies (CCSS)-Kreasi Wacana Yogyakarta.

Dunn, William N. 1994. (Terjemahan), Edisi Kedua,

Gajah Mada University Press. Yogyakartra.

Islamy, Irfan M. 1997. , Bumi Aksara. Jakarta.

Lincoln, Yvonna and Egon G. Guba. 1985. SAGE Publication Nasution.

1996. , Tarsito. Bandung.

Nasution. 1996. , Tarsito. Bandung.

Parsons, Wayne. 1997.

Edward Elgar. Cheltenham, UK.

Rawls, J. 1971. , Harvard University Press. New York.

Santosa, Mas Achmad. 2001. . Indonesian center for

Environmental Law (ICEL). Jakarta.

Strauss, Anselm and Juliet Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research: Grounded Theory Procedure and Technique. SAGE Publication. Thousand Oaks. London. New Delhi.

Sudirman. 2006. Melegalkan partisipasi masyarakat dalam kebijakan Governance Brief Juni 2006 Nomor 32. Center for International Forestry Research.

DAFTAR PUSTAKA

Nomor 86/001.2/PMDH

Analisis Kebijaksanaan, Dari formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara

Politik Kehutanan Masyarakat

Pengantar Analisis Kebijakan Publik

Prinsip-prisip Perumusan Kebijakan Negara

Naturalistic Inquiry, Penelitian Naturalistik-Kualitatif

Penelitian Naturalistik-Kualitatif

Public Policy, An introduction to the theory and practices of policy analysis,

Theory of Justice

Gambar

Tabel 1(Table1). Kepentingan, Peran, Kelemahan dan Kekuatan Para Pihak dalam Penyusunan Kebijakan PKPH ()Interest, Role, Weaknessesand Power of theStakeholdersin PKPH PolicyFormulation
Tabel 2(Table2). Perbedaan kebijakan PKPH dan PHBM ()The Difference between PKPH andPHBMPolicy

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Selain daripada cita-cita untuk mewujudkan “port” untuk kami sendiri, kami sedar pendekatan ini akan memberikan nilai tambah kepada ekonomi setempat kerana ianya berupaya untuk

Kekuatan yang dimiliki oleh Rumah Cup∙Cakes & BBQ adalah produk yang bermutu, variasi akan makanan dan minuman yang ditawarkan dan SDM yang berkualitas yang

Kotak S1B78 -- S3B78 yang berada di bagian baratlaut situs populasi data fragmen tembikar dan keramiknya dijumpai berada pada level spit 1 hingga 3 dari DPS

Giriş bölümünde, “Tarih İçinde Yunanlılar” konusu işle­ necektir. Yunanca’nm gelişimi ve tarihi, çağdaş Yunanlılık’ın bir öğesini oluşturan Ortodoksluk ve

OD untuk system plts yang digunakan untuk lighting (lampu penerangan), biasanya ditetapkan 3 hari, tetapi pada system plts untuk  telekomunikasi paling tidak 7

Yang dimaksud dengan isi wimba adalah objek yang digambar, cara wimba adalah bagaimana objek tersebut digambarkan (tampak samping atau tampak depan, besar atau kecil dan

Untuk mangatasi masalah diatas, pihak museum merasa perlu untuk membuat media baru yang dapat menyampaikan informasi tentang sejarah tanpa mengharuskan pengunjung untuk