• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLIGAMI DALAM PERUNDANG UNDANGAN NEGERI NEGERI MUSLIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLIGAMI DALAM PERUNDANG UNDANGAN NEGERI NEGERI MUSLIM"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

POLIG

AMI

DALAM PERUNDANG-UNDANGAN NEGERI-NEGERI

MUSLIM

Ali Trigiyatno, S.Ag.

Madu tentu saja terasa manis dan lezat serta banyak manfaatnya bagi kesehatan badan, dari itu banyak orang yang suka meminumnya, Namun dimadu bagi sebagian besar perempuan adalah terasa pahit dan menakutkan. Karena itu poligami yang dalam ajaran Islam diharapkan menjadi remedy sosial dalam batas tertentu seolah menjadi momok yang menakutkan bagi isteri-isteri. Berbicara poligami orang gampang menuduh seolah-olah hanya agama Islam saja yang

“merestui” praktek yang sudah berjalan lama dalam pentas kehidupan umat manusia ini. Padahal spirit ajaran Islam tidaklah menganjurkan apalagi mewajibkan seorang pria untuk melakukan poligami. Bahkan Muhammad Syahrur seorang cendekiawan Muslim dari Suriah dalam bukunya yang mendatangkan kontroversial di Timur Tengah pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya dalam kitabnya al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah Mu’ashirah menyatakan bahwa kebolehan poligami terkait dengan pemeliharaan anak yatim yang menjadi tanggungannya, sehingga menurut pemahamannya poligami dibolehkan dalam rangka memelihara anak yatim berikut ibunya (janda) dan bukan gadis dan tentu saja harus mampu bersikap adil.

Tulisan singkat ini tidak bermaksud membicarakan pro kontrak seputar poligami tapi akan mencoba memberikan sedikit gambaran bagaimana negara-negara Islam atau yang sebagian besar penduduknya beragama Islam mengatur masalah poligami ini. Dari sini akan terlihat seberapa jauh ketentuan tentang poligami ini “berontak” dari ketentuan fiqih selama ini. Juga bagaimana respon negara-negara muslim dalam menyikapi masalah yang selalu hangat diperbincangkan ini. Poligami dalam Perundang-undangan

Dalam mengatur poligami terdapat beragam aturan di kalangan negara-negara Islam dewasa ini yang pada dasarnya ada kesamaan semangat di antara mereka yakni bertujuan mengatur, membatasi dan berusaha lebih melindungi dan menjamin hak-hak kaum perempuan yang sering berada dalam posisi yang lebih lemah. Bahkan di antara negara-negara itu ada yang melarang sama sekali poligami dan menganggapnya sebagai tindak pidana yang dapat dipidana kurungan atau denda.

A. Negara yang melarang sama sekali Poligami

Menarik sekali apa yang ditetapkan di negara Tunisia dan Turki. Di dua negara ini seorang pria tidak dapat melakukan poligami kecuali kalau ia ingin dipenjara atau didenda. Di Turki dan Tunisia menjadi barang terlarang bagi pria. Ketentuan yang melarang poligami di Tunisia diatur dalam Undang-Undang Status Perorangan (The Code of Personal Status) tahun 1956 pasal 18. Dalam pasal ini dinyatakan dengan tegas bahwa poligami dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun dinyatakan sebagai hal yang terlarang dan siapa yang melanggarnya maka ia dapat dipenjara selama 1 tahun atau denda 24.000 Francs. (Muhammad Abu Zahrah: Tandzim al-Usrah wa Tandzim an-nasl: 50).

Sedang di Turki ketentuan yang melarang poligami terdapat dalam Code Civil 1926 pasal 93, 112 dan 114 yang mana ketentuannya melarang poligami dan pelanggarnya dapat dijatuhi hukuman. (Mahmood Tahir: Personal Law in Islamic Countries: 273).

Alasan yang dipakai kedua negara ini dalam melarang poligami adalah tidak mungkinnya dipenuhi syarat adil sebagaimana disyaratkan al-Qur’an dalam poligami dan Allah sendiri menyatakan dalam ayat yang berbunyi “walan tastati’u an ta’dilu bainan nisa’ walau harastum bihi” yang berarti kamu sekali-kali tidak akan sanggup berlaku adil diantara isteri-isterimu walau kamu sangat menginginkannya. Kalau syarat yang membolehkan tidak dipenuhi dengan

(2)

B. Negara-negara yang memperketat Poligami

Pada umumnya negara-negara muslim dewasa ini bersikap cukup ketat dalam masalah poligami dengan melakukan serangkaian batasan-batasan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi termasuk didalamnya izin dari pengadilan. Di negara Yordania, Libanon dan Maroko, UU mereka memberikan hak kepada isteri untuk mengajukan syarat sewaktu akad nikah agar suaminya tidak melakukan poligami. Jika suami melanggar syarat ini maka ia dapat mengajukan cerai ke pengadilan. Di Yordania hal ini diatur dalam The Code of Personal Status pasal 19, sedang di Libanon diatur dalam The Code of Personal Status 1957-1958 pasal 31.

Sedang di Indonesia, Irak, Malaysia, Somalia dan Suriah seorang suami yang hendak melakukan poligami diharuskan mendapatkan izin terlebih dahulu dari pengadilan ( prior permission of the court), sementara di Bangladesh dan Pakistan izin itu juga diharuskan dari semacam dewan arbitrase (a Quasi Judicial Body). Izin dapat diberikan di Irak dan Suriah jika terdapat alasan yang kuat dan sah (lawful reason). Di Pakistan, Bangladesh dan Malaysia izin poligami diberikan jika suami dipandang oleh pengadilan mampu berlaku adil, bahkan Malaysia menambahkan bahwa dengan poligami itu isteri-isteri tidak mendapatkan madharat atau bahaya yang diakibatkan adanya poligami itu.

Di Indonesia, Somalia dan Yaman Selatan, pengadilan dapat memberikan izin jika isteri mendarita mandul, cacat fisik atau penyakit yang tak dapat disembuhkan (incurable disease) atau isteri tidak dapat

menjalankan tugasnya dengan baik di Indonesia dan jika isteri dipenjara lebih dari dua tahun di Yaman Selatan. Dalam hal ini kemampuan finansial suami tetap diperhatikan dan jadi bahan pertimbangan dalam memberikan izin oleh pengadilan. (Mahmood Tahir: Personal Law in Islamic Countries: 274)

Di Irak seorang suami yang melakukan poligami tanpa mendapatkan izin dari pengadilan sebagaimana yang telah ditetapkan UU, walau perkawinannya sah, suami dapat dijatuhi hukuman setempat atau lokal sebagaimana diatur oleh UU lokal setempat. Ini diatur dalam Law of Personal Status 1959 pasal 3 ayat 6. Di Pakistan seorang suami yang melakukan poligami tanpa mengantongi izin dari pengadilan berdasarkan

Muslim Family Law Ordinance 1961 juga dapat dijatuhi hukuman. (Tahir Mahmood: Muslim Family Reform in The Muslim World: 278).

Dari paparan tersebut diatas dapat kita tarik beberapa poin sehubungan dengan pengaturan poligami yakni: 1. Adanya kesamaan semangat untuk mengatur poligami agar lebih tertib dan selektif dalam rangka

menghindari penyalahgunaan poligami oleh laki-laki yang tidak bertanggungjawab dan agar lebih melindungi hak-hak wanita.

2. Dibanding ketentuan dalam fiqih maka banyak “kemajuan” dalam pengaturan ini utamanya yang berkaitan dengan campur tangan dan wewenang pengadilan.

3. Ada dua negara muslim yang jelas-jelas melarang pologami secara mutlak yakni Tunisia dan Turki. Ini tentu bukan hanya sebuah “kemajuan” dari ketentuan Fiqih tapi merupakan sebuah “pemberontakan”. Dengan mencermati berbagai aturan di atas maka tampak bahwa ada variasi sikap dalam pengaturan poligami dari yang bersifat tradisional dalam arti tidak banyak beranjak dari ketentuan Fiqih selama ini seperti Saudi Arabia (dalam hal ini tidak disinggung karena Arab Saudi secara formal tidak memiliki konstitusi dan UU Hukum Keluarga yang khusus mengatur poligami), Yaman, Bahrain dan Kuwait. Namun ada yang selangkah lebih maju dengan memperketat dan mengawasi jalannya poligami, tidak melarang sama sekali namun membolehkan dengan syarat-syarat yang cukup letat. Ini yang kebanyakan ditempuh oleh negara-negara muslim dan yang paling berani adalah Turki dan Tunisia yang tegas-tegas menjadikan poligami sebagai barang haram bagi pria.

Di negara kita Indonesia UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang memuat aturan seputar poligami menurut hemat penulis dapat dikelompokkan sebagai negara yang bersikap “moderat” dalam mengatur poligami yakni membolehkan dengan sejumlah syarat yang cukup berat, lebih-lebih bagi PNS atau TNI/Polri atau bagi pejabat negara.

Dengan uraian yang singkat ini kiranya poligami diperlakukan dengan cukup beragam oleh umat Islam sebagaimana terlihat dalam perundang-undangan di atas, namun secara umum ada upaya untuk membatasi dan memperketat terjadinya agar poligami betul-betul mendatangkan maslahat bukan sebaliknya malah mendatangkan petaka dan kiamat bagi keluarga utamanya bagi kaum wanita.

Poligami mungkin menjadi madu atau racun amat bergantung dari kemampuan kita menerjemahkan secara tepat kehendak Tuhan dalam menurunkan syariat ini.

(3)

Sumber:

Suara Muhammadiyah Edisi 13 2002

Referensi

Dokumen terkait

Kata Indonesia berasal dari kata latin: Indus yang berarti India dan dari kata Yunani nesos yang berarti pulau, sedangkan bentuk jamaknya adalah nesioi artinya

Ketiga, Pondok Pesantren Al Falah Putera Banjarbaru merupakan salah satu pesantren yang telah menerapkan kurikulum ganda dalam pembelajarannya, yaitu pada pagi

Penulis berpendapat bahwa dengan penelitian yang jelas tentang bagaimana peran sosial politik pendeta menurut kode etik pendeta GMIM diatur, akan membawa pada satu titik

Dari hasil simulasi diperlihatkan bahwa rangkaian detektor detak jantung janin menghasilkan keluaran yang diharapkan yaitu dapat mendeteksi frekuensi 2 sampai 3

Jurusan Fisika Fakultas MIPA UB dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang bagus baik berupa gedung, ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, internet, dan

Kaitan makna teori kebijakan tersebut dengan ketahanan pangan dari proyeksi prioritas pemerintah yang dituang dalam sebuah kebijakan yang implementatif dan

(LIPI, 1998/1999) Dalam penelitian ini dibahas proses pembuatan karbon aktif dari hasil pirolisis ban bekas, pengaruh pemanasan terhadap luas permukaan karbon aktif

Versi pertama menggunakan algoritma IDEA (International Data Encryption Algorithm) yang dikembangkan di Zurich untuk men-generate kunci pendek dan meng-encrypt seluruh pesan