• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Teknologi Sinkronisasi Estrus dan Inseminasi Buatan pada Kambing PE (Post-Partus ≤1 Bulan) dalam Rangka Pembentukan Kambing Boerawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Aplikasi Teknologi Sinkronisasi Estrus dan Inseminasi Buatan pada Kambing PE (Post-Partus ≤1 Bulan) dalam Rangka Pembentukan Kambing Boerawa"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Aplikasi Teknologi Sinkronisasi Estrus dan Inseminasi Buatan

pada Kambing PE (

Post-Partus

≤1 Bulan) dalam Rangka

Pembentukan Kambing Boerawa

(Application of Oestrus Synchronization and Artificial Insemination on PE

Goat ( ≤ 1 Month Post-Partus) for the Formation of Boerawa Goat)

Muhammad Syawal1, Nasution S1, Adnyana IDPA2

1Loka Penelitian Kambing Potong, Sungei Putih, PO Box 1, Galang, 2058, Sumatera Utara 2Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang Jawa Timur

msy.hasibuan@yahoo.co.id

ABSTRACT

This experiment was conducted at Goats Research Station, Sei Putih for four months from August to November 2013. Ten female PE goat which meet a criteria 3-6 years old, clinically healthy, goats condition ≤1 month post-partus and weight about 35-40 kg were used. Results showed that the response of estrus in group A (CIDR) was 40% (2 goat) and group B (PGF2α) was 40% (2 goat). The onset of oestrus was occurred 39.7 hours after progesterone treatment and 42.5 hours after administration of prostaglandin. Oestrus length in Group A and B were 40.9 and 37.6 hours respectively. Every oestrus goat was inseminated once. Response pregnancy in group A was the same as group B ie 50%. Synchronization of oestrus in ≤1 month post-partus had a very low response. It is suggest to conduct further research at >2 months post-partus and semen deposition in site close to site fertilization to improve pregnancy rate.

Key Words: Estrus Synchronization, Artificial Insemination, Post-Partus, Boerawa Goat ABSTRAK

Penelitian dilakukan di stasiun percobaan Loka penelitian Kambing Potong, Sei Putih selama empat bulan mulai bulan Agustus-November 2013. Hewan percobaan yang digunakan adalah Kambing PE betina sebanyak sepuluh ekor yang memenuhi kriteria berumur 3-6 tahun, sehat secara klinis, kondisi kambing post-partus ≤1 bulan dan berat badan sekitar 35-40 kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon estrus pada kelompok A (CIDR) 40% (2 ekor) dan kelompok B (PGF2α) sebanyak 40% (2 ekor). Onset berahi terjadi 39,7 jam setelah perlakuan progesteron dan 42,5 jam setelah pemberian protaglandin. Lama estrus pada Kelompok A dan B berturut-turut 37,6 jam dan 40,9 jam. Inseminasi dilakukan satu kali setiap ternak estrus. Respon kebuntingan pada kelompok A 50% sama dengan kelompok B yakni 50% (masing-masing satu ekor). Sinkronisasi estrus pada kambing post-partus ≤1 bulan memiliki respon estrus yang sangat rendah. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut pada ternak kambing yang memiliki masa post-partus

dua bulan atau lebih dan menggunakan teknik deposisi semen lebih mendekati tempat fertilisasi untuk memperbaiki angka kebuntingan.

Kata Kunci: Sinkronisasi Estrus, Inseminasi Buatan, Post-Partus, Kambing Boerawa PENDAHULUAN

Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut ketersediaan akan daging yang terus meningkat pula. Sehubungan dengan hal tersebut, hewan ternak khususnya ternak kambing merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging. Kambing adalah ternak ruminansia kecil

dengan kehidupan masyarakat indonesia baik segi ekonomi maupun secara sosial. Kambing Boer adalah kambing unggul sebagai penghasil daging terbaik (Erasmus 2000) selain itu, Kambing PE mempunyai potensi untuk beranak kembar (Setiadi & Sitorus 1984; 1986) namun beberapa laporan menunjukkan bahwa jumlah anak sekelahiran pada kambing muda umumnya adalahrendah (Restall 1991; Sutama

(2)

Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dari tahun ke tahun bertambah maju dan berkembang sangat pesat yang ditandai dengan berbagai penemuan. Kemajuan IPTEK tersebut, juga berpengaruh terhadap kemajuan teknologi di subsektor peternakan terutama dalam meningkatkan produktivitas ternak. Di negara maju, telah lama dikembangkan teknologi seperti super ovulasi, inseminasi buatan (AI, artificial insemination), transfer embrio (TE, transfer embryo), yang kemudian terus berkembang ke teknologi processing

semen (pemisahan spermatozoa X dan Y), Fertilisasi in vitro (IVF, in vitro fertilization), teknologi preservasi dan kriopreservasi gamet (spermatozoa dan ova) dan embrio. Penemuan-penemuan teknologi di bidang reproduksi hewan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah-masalah dan tantangan yang dihadapi subsektor peternakan terutama dalam meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas ternak baik secara kualitas maupun kuantitas. Upaya perbaikan mutu genetik kambing lokal dapat dilakukan melalui perkawinan silang dengan kambing bermutu genetik unggul dengan bantuan teknologi IB. Teknologi ini sangat berperan dalam sistem

breeding kambing, khususnya pada sistem pemeliharaan intensif untuk meningkatkan produksi daging, susu dan jumlah anak sekelahiran (Leboeuf et al. 2000).

Penelitian ini tentang sinkronisasi estrus dan IB yaitu proses pemasukan semen (mani) ke dalam saluran reproduksi (kelamin) betina dengan menggunakan alat buatan manusia. Penerapan teknologi IB adalah untuk mengintroduksi/penyebaran pejantan unggul di suatu daerah yang tidak memungkinkan untuk kawin alam serta pelestarian plasma nutfah ternak jantan yang diinginkan. Tujuan utama dari teknik sinkronisasi adalah untuk menyeragamkan estrus pada ternak betina, sedangkan IB bertujuan untuk memaksimalkan potensi pejantan berkualitas unggul, sperma dari satu pejantan berkualitas unggul dapat

digunakan untuk beberapa ratus bahkan ribuan betina. Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan kambing Boerawa dan menganalisis keberhasilan teknik sinkronisasi estrus dan IB dengan perbedaan perlakuan hormon pada kambing Peranakan Etawah (PE). Penelitian ini diharapkan menghasilkan anak kambing Boerawa dan informasi keberhasilan teknik sinkronisasi dan inseminasi buatan pada ternak kambing PE.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih pada bulan Agustus-Novemberr 2013. Hewan percobaan yang digunakan adalah kambing PE betina sebanyak sepuluh ekor dengan kriteria berumur 3-6 tahun, sehat secara klinis, kondisi kambing

post-partus ≤1 bulan dan bobot badan sekitar 35-40 kg. Selama penelitian ternak diberi pakan berupa konsentrat dengan kandungan protein kasar 16% sebanyak 300 g/hari, rumput dan air minum disediakan secara ad libitum. Kambing percobaan dibagi menjadi dua kelompok, setiap kelompok berjumlah lima ekor kambing.

Pembagian kelompok dibedakan

berdasarkan perlakuan hormon yang digunakan, yakni kelompok (Gambar 1). A = Pemasangan CIDR (selama 12 hari) +

hCG + Inseminasi Intravaginal

B = Injeksi PGF2α (2 kali selang 11 hari) + hCG+Inseminasi Intravaginal

Deteksi estrus

Gejala estrus dideteksi setiap 4 jam sekali dengan cara memasukkan pejantan pengusik (teaser) ke dalam kandang betina. Kambing dianggap positif estrus (onset estrus) jika diam dinaiki oleh pejantan

↓CIDR ↑ CIDR (cabut) ↓ Onset estrus ↓ IB A 12 hari hCG 24 jam ↓ PGF2α ↓ PGF2α ↓ Onset estrus ↓ IB

B 11 hari hCG 24 jam

(3)

dan menunjukkan tanda-tanda vulva berwarna merah, bengkak dan berlendir. Kambing yang sudah estrus diberi tanda berwarna merah di pangkal lehernya.

Inseminasi buatan

Digunakan sepuluh ekor kambing betina PE, kambing yang telah estrus dikawinkan dengan cara IB memakai semen pejantan Boer. Inseminasi buatan pada sepuluh ekor kambing PE menggunakan insemination gun dan bantuan spekulum secara intravaginal. Semen beku yang digunakan untuk inseminasi adalah semen beku kambing Boer dengan dosis 200 juta/straw. Kambing betina yang akan diinseminasi terlebih dahulu ditempatkan pada

cradle dengan bagian belakangnya mengarah ke atas untuk memudahkan inseminasi. Bagian labia vulva pada kambing betina yang akan diinseminasi terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan akuabides dan dilap bersih. Semen beku di-thawing menggunakan air pada suhu 37ºC selama 30 detik. Proses inseminasi dilakukan 24 jam setelah pemberian hCG secara intravaginal dan insemination gun

dimasukkan sejauh mungkin secara perlahan-lahan dan selanjutnya semen ditumpahkan. Kambing betina dibiarkan tetap miring dengan bagian belakang ke atas selama 3-5 menit setelah penarikan insemination gun.

Parameter yang diamati adalah respon estrus, onset estrus, lama estrus, S/C dan angka kebuntingan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Respon estrus (%), banyaknya ternak yang estrus dibagi dengan jumlah ternak yang diberi perlakuan dikali 100%. Onset estrus (jam), kecepatan timbulnya estrus sesudah penghentian perlakuan. Lama estrus (jam), diukur pada saat munculnya gejala estrus pertama kali sampai hilangnya tanda-tanda estrus. S/C (kali), jumlah

inseminasi per kebuntingan. Angka kebuntingan (%), banyaknya ternak bunting sesudah inseminasi pertama dibagi dengan total ternak yang diinseminasi dikali 100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh penanaman CIDR dan

penyuntikan PGF2α terhadap keserentakan estrus pada induk kambing tertera pada Tabel 1. Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa penanaman Progesteron (CIDR) selama 12 hari dan penyuntikan prostaglandin sistem dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama pada kambing belum memberikan respon estrus yang cukup bagus. Hal ini ditandai dengan rendahnya respon estrus yaitu persentase estrus pada kelompok progesteron 40% dan kelompok prostaglandin 40%. Hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Tambing & Sariubang (2008) yang menyatakan 84,21% kambing estrus setelah diberi perlakuan injeksi hormon PGF2α dan hasil penelitian lain juga mendapatkan 100% kambing estrus setelah pencabutan CIDR yang ditanam selama 10 hari (Diah et al. 2010). Rendahnya respon estrus ini kemungkinan disebabkan karena kambing masih pada kondisi post-partus di bawah satu bulan sehingga hormon yang dimasukkan belum bisa berfungsi secara optimal dikarenakan kondisi fisiologis reproduksi induk kambing belum berfungsi optimal seperti semula.

Kambing yang estrus pada penelitian ini cukup lama untuk mencapai onset estrus yakni kelompok A (CIDR) 39,7 jam dan kelompok B (PGF2α) 42,5 jam. Berbeda dengan hasil penelitian Tambing & Sariubang (2008) yakni 30,5 jam sementara penelitian lain juga lebih cepat yakni hanya mencapai 26,59 jam (Diah et al. 2010).

Tabel.1. Sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan

Parameter Nilai rata-rata

Kelompok A Kelompok B Respon estrus (%) 40 (2 ekor) 40 (2 ekor)

Onset estrus (jam) 39,7 42,5

Lama estrus (jam) 37,6 40,9

S/C (kali) 1 1

(4)

Lambatnya proses tercapainya onset estrus ternak pada penelitian ini mungkin disebabkan karena kondisi induk yang baru post-partus

sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulainya kembali untuk bersiklus. Hasil penelitian pada kambing PE dan Bligon di dua wilayah pantai dan pegunungan memiliki post-partus mating

(PPM) masing-masing 4,2 bulan dan 4,6 bulan (Utomo 2013). Sementara itu, lama estrus kambing yang mengalami estrus pada penelitian ini, baik pada kelompok A (37,6 jam) maupun pada kelompok B (40,9 jam) memiliki waktu yang tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil penelitian Diah et al. (2010) yaitu 35,6 jam tetapi berbeda jauh dengan hasil penelitian Tambing & Sariubang (2008) yang melaporkan 50,1 jam.

Walaupun persentase jumlah ternak yang bunting dari hasil penelitian ini pada kelompok A dan B sebesar 50% namun masing-masing kelompok hanya satu ekor kambing. Hasil penelitian ini lebih rendah daripada hasil penelitian Diah et al. (2010) yang mencapai 73,33% dengan menggunakan teknik inseminasi intravagina sedangkan Tambing et al. (2001) melaporkan dengan teknik inseminasi intravagina diperoleh angka kebuntingan pada kambing PE sebesar 50%. Walaupun hasil penelitian ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Tambing & Sariubang (2008) yang hanya mencapai 25% (4-5 ekor), akan tetapi jumlah ternak yang bunting masih lebih rendah daripada hasil penelitian ini karena perbedaan jumlah materi yang digunakan. Ada dua faktor yang memungkinkan mempengaruhi rendahnya angka kebuntingan hasil IB pada induk kambing dan saling berkaitan, yaitu tempat deposisi semen dan waktu inseminasi buatan. Jika deposisi semen jauh dari tempat fertilisasi yaitu pada mulut vagina, maka kesempatan sperma membuahi sel telur menjadi rendah karena terjadi penghambatan pada serviks, berkaitan dengan tingginya produksi cairan mukus dan kenyal pada serviks sebagai efek samping dari pemberian hormon dalam program sinkronisasi. Selain itu sistem anatomi alat reproduksi kambing betina kecil dan berkelok ke arah bawah, menyebabkan sangat sulit menempatkan semen ke dalam serviks. Salah satu syarat inseminasi pada ternak adalah penempatan insemination gun pada serviks.

Waktu inseminasi pada penelitian ini mungkin masih kurang tepat sehingga menghasilkan jumlah kebuntingan yang belum memuaskan. Waktu inseminasi sangat penting untuk meningkatkan angka kebuntingan hasil IB pada kambing. Apabila inseminasi pada kambing dilakukan tidak tepat, yaitu tidak pada puncak kesuburannya (hormon reproduksi yang masih rendah) maka angka kebuntingan yang diperoleh menjadi rendah.

KESIMPULAN

Pemberian hormon pada induk kambing

post-partus ≤1 bulan memiliki respon estrus yang sangat rendah. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang memiliki masa post-partus dua bulan atau lebih. Perlakuan IB secara intravaginal memberikan angka kebuntingan yang rendah disarankan teknik deposisi semen lebih mendekati tempat fertilisasi untuk memperbaiki angka kebuntingan pada kambing.

DAFTAR PUSTAKA

Diah TW, Aris J, Kresno S, Amelia O, Wahyuningsih. 2010. Reproduction performance of Etawah cross bred goats in estrus synchronization by controlled internal drug release implant and PGF2α continued by artificial insemination. World Academy of Science, Engineering and Technology 65. Erasmus JA. 2000. Adaptation to various

environments and resistance to disease of improved Boer goat. Small Rum Res. 36:179-187.

Greyling, JPC. 2000. Reproduction traits in the Boer goat does. Small Rumin Res. 36:171-177. Leboeuf B, Restall B, Salamon S. 2000. Production

and storage of goat semen for artificial insemination. Anim Reprod Sci. 62:113-141. Restall BJ. 1991. Goat reproduction in the Asian

humid tropics. Proc. Int. Seminar on Goat Prod. in the Asian Humid Tropics, Hat Yai, Thailand 28-31 May 1991, pp.74-84.

Setiadi B, Sitorus P. 1986. Synchronization of estrus using medroxyprogesterone acetate intravaginal sponges in goat. 1. Reproductive performance. Ilmu dan Peternakan 2:87-90.

(5)

Setiadi B, Sitorus P. 1984. Penampilan reproduksi dan produksi kambing Peranakan Etawah. Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil, Bogor 22-23 November 1993. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 118-121.

Utomo S. 2013. Pengaruh perbedaan ketinggian tempat terhadap capaian hasil inseminasi buatan pada kambing Peranakan Etawah. Sains Peternakan 11:34-42.

Sutama I-K, Budiarsana IGM, Setiyanto H, Priyanti A. 1995. Productive and reproductive performances of young Etawah-cross does. JITV.1:81-85.

Sutama I-K, Budiarsana IGM, Saefudin Y. 1994. Kinerja reproduksi sekitar pubertas dan

beranak pertama kambing Peranakan Etawah. Ilmu dan Peternakan. 8:9-12.

Tambing SN, Gazali M, Bambang P. 2001. Pemberdayaan teknologi inseminasi buatan pada ternak kambing. Wartazoa. 11:1-9 Tambing SN, Sariubang M. 2008. Kajian komponen

teknologi inseminasi buatan pada induk kambing. Dalam: Sani Y, Martindah E, Nurhayati, Puastuti W, Sartika T, Parede L, Anggraeni A, Natalia L, penyunting. Inovasi teknologi mendukung pengembangan agribisnis peternakan ramah lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-12 November 2008. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm.552-555.

DISKUSI Pertanyaan:

1. Mengapa CDIR diberikan pada 12 hari padahal sebaiknya siklus lebih dari satu bulan? Pada anova, ulangan hanya dua, padahal minimal lima sehingga hasil analisis statistik tidak pas. 2. Banyak metode untuk mendeteksi estrus yang lebih sederhana dan murah. Mengapa

menggunakan analisis kadar progesteron yang mahal.

Jawaban:

1. Perlakuan diberikan pada saat post-partus <1 bulan karena ingin melihat apakah respon kebuntingan dapat ditingkatkan? Materi sangat terbatas sehingga respon juga rendah, pada penelitian sebagai informasi dasar.

2. Metode mengamati darah lalat ini sudah baku, serta sudah teruji tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Kereta Api Indonesia (PT. KAI) berawal dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sebagai akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip

saja berlaku pada enam agama besar yang dipeluk hampir oleh seluruh penduduk Indonesia, tetapi juga pemeluk agama-agama dan kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Masyarakat

Pada peristiwa di atas, pada saat pelarutan, terjadi kenaikan suhu, hal tersebut berarti suhu sistem lebih tinggi dari suhu lingkungan dan akan terjadi proses perpindahan kalor

Hughes, Ginnett, dan Curphy (2012:4), mendefinisikan kepemimpinan adalah; (1) proses dimana seorang pemimpin mempengaruhi bawahan untuk berperilaku dengan cara yang diinginkan,

f12 3| Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu, sabda Tu-han... juj y t menyaksikan kemurahan Tuhan, dan menikmati

Setelah diperoleh pemikiran desain, selanjutnya akan dikembangkan suatu nuansa yang tercipta dari pengaplikasian tema ramah lingkungan pada elemen pembentuk ruang maupun

1,21 Namun asupan serat subyek penelitian masih kurang dari anjuran sehigga tidak dapat membantu ester stanol dalam menurunkan kadar kolesterol LDL secara bermakna.. 22