• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

NEGARA MELAYANI AGAMA

DAN KEPERCAYAAN

[Konstruksi “Agama” dan Pelayanan

Negara Terhadap Umat Beragama dan

Berkepercayaan di Indonesia]

Penulis: Joko Tri Haryanto Tim Peneliti :

Joko Tri Haryanto, Zakiyah, Marmiati Mawardi, Setyo Boedi Oetomo, Romzan Fauzi, Dahlan AR, Lilam Kadarin Nuryanto, Rosidin, Sulaiman,

Arnis Rachmadhani

Penerbit Litbangdiklat Press Badan Litbang dan Diklat

(2)

NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

(Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia)

Hak cipta dilindungi Undang-Undang All RIghts Reserved

Penulis: Joko Tri Haryanto

Editor: Mustofa asrori

Peneliti:

1. Joko Tri Haryanto (Kab. Pati Jawa Tengah) 2. Zakiyah (Kab. Pati Jawa Tengah) 3. Marmiati Mawardi (Kab. Pati Jawa Tengah) 4. Setyo Boedi Oetomo (Kab. Malang Jawa Timur)

5. Romzan Fauzi (Kab. Malang Jawa Timur) 6. Dahlan AR (Kab. Malang Jawa Timur) 7. Lilam Kadarin Nuryanto (Kab. Malang Jawa Timur)

8. Rosidin (Kab. Sumba Barat Nusa Tenggara Timur) 9. Sulaiman (Kab. Sumba Barat Nusa Tenggara Timur) 10. Arnis Rachmadhani (Kab. Sumba Barat Nusa Tenggara Timur)

Desain Cover & Layout: Sugeng

Diterbitkan oleh: LITBANGDIKLAT PRESS

Jl. M.H. Thamrin No. 6 Lantai 17 Jakarta Pusat Telepon: 021-3920688

Fax: 021-3920688

Website: balitbangdiklat.kemenag.go.id Anggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017

Cetakan: Pertama, November 2018 ISBN : 978-979-797-378-0

(3)

PRAKATA PENULIS

Segala puji syukur kehadirat Allah swt. Akhirnya kami bisa menyajikan hasil penelitian tentang kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara dalam bentuk buku ilmiah, tidak sekedar laporan teknis penelitian. Tugas mewujudkan buku ini merupakan suatu beban berat bagi kami bahkan sejak awal dirancangnya penelitian ini. Tema penelitian ini berasal dari Prof.(R) Dr. H. Koeswinarno, M.Hum. di tahun-tahun awal beliau menjadi Kepala Balai Litbang Agama Semarang. Saat itu beliau memberi tantangan kepada kami, peneliti di bidang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, saat itu masih disebut bidang Kehidupan Keagamaan untuk melakukan penelitian dengan tema yang cukup “sensitif” yaitu bagaimana dapat dirumuskan kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara.

Padahal dalam bidang sosiologi, kata “agama” bersama dengan kata “budaya” merupakan istilah yang paling sulit didefinisikan. Apalagi hal “agama” di Indonesia ini merupakan masalah yang sensitif bagi masyarakat. Penyusunan kriteria ini tentu akan bertabrakan dengan berbagai perspektif masyarakat tentang agama yang dianutnya, lengkap dengan kepentingan masing-masing baik yang laten maupun yang manifes. Indonesia merupakan bangsa yang memiliki pluralitas agama. Tidak hanya enam agama yang dianut oleh penduduk Indonesia, tetapi juga ada agama-agama lainnya baik yang bersifat universal (dianut oleh masyarakat di berbagai negara lain di dunia) maupun kepercayaan yang berasal dan dianut oleh masyarakat secara terbatas di lokal-lokal wilayah tertentu di Tanah Air ini.

(4)

Persoalan pelayanan yang dilakukan oleh negara terhadap agama, atau tepatnya pemeluk agama di masyarakat masih seringkali mengemuka. Negara seringkali dipandang diskriminatif dalam melakukan pelayanan terhadap umat beragama, terutama agama-agama di luar enam agama yang selama ini telah mendapatkan pelayanan. Munculnya anggapan negara mengakui agama tertentu dan tidak mengakui agama lainnya, sementara ada beberapa agama yang dianggap sebagai agama resmi dan di luar itu dianggap tidak resmi sehingga tidak layak mendapatkan pelayanan. Pandangan-pandangan semacam ini tidak saja membangun citra negatif bagi pemerintah, tetapi juga menunjukkan bahwa pelayanan negara terhadap penganut agama dan kepercayaan harus diperbaiki. Salah satu akar persoalan dalam hal ini adalah adakah kriteria yang jelas tentang kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara. Hal ini karena muncul pula kekhawatiran, bahwa semua orang atau sekelompok orang bisa saja mengaku-aku sebagai kelompok agama dan menuntut mendapatkan pelayanan.

Sungguh ini pekerjaan yang sulit dan berat. Oleh karena itu, sebelum penelitian kami difasilitasi melakukan workshop untuk menajamkan arah dan metode penelitian. Petunjuk dan dukungan dari para narasumber terutama Prof. Akh. Muzakki,M.Ag, Grad Dip SEA, M.Phil, Ph.D. dari UIN Sunan Ampel, dan Prof. Dr. Jusuf Irianto, M.Com., Guru Besar Ilmu Manajemen SDM FISIP Universitas Airlangga sangat membantu di awal-awal penyusunan rencana penelitian ini. Terlebih dengan berdiskusi di kantor bersama Dr. Fatimah Husain dari UIN Sunan Kalijaga, Antropolog dari UGM Prof, Dr. Heddy Shri Ahimsa–Putra, dan Dr. M.Muhsin Jamil, MA., sosiolog UIN Walisongo Semarang semakin menyemangati

(5)

Tema ini ternyata memang terbukti “seksi”, karena dalam tahun 2015-2017 persoalan pelayanan agama oleh negara ini sering mengemuka. Terakhir sekali, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian sebagian pasal-pasal dan UU Sistem Kependudukan yang berimplikasi pada keharusan negara untuk mengakomodir pencantuman kepercayaan dalam kartu tanda penduduk (KTP). Persoalan kolom agama ini sudah menjadi polemik di masyarakat sejak beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, dalam penyusunan buku ini kami merasa perlu mengakomodasi informasi-informasi terbaru.

Dengan tersusunnya buku ini, kami berharap dapat menjadi pemantik diskusi yang lebih hangat dan mendalam tentang pelayanan negara terhadap umat beragama dan berkepercayaan. Buku yang kami susun ini mungkin hanya sesuatu yang kecil, tetapi semoga ini menjadi sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi negara dan masyarakat. Kontribusi dari tim peneliti yang telah mengumpulkan data-data dari lapangan semoga menjadi amal saleh.

Rasa terima kasih juga kami sampaikan kepada Kepala Balai Litbang Agama Semarang yang telah memfasilitasi penelitian hingga terwujud buku ini; kepada para narasumber akademisi, narasumber lapangan baik dari masyarakat, komunitas-komunitas penghayat, komunitas agama-agama lokal Sedulur Sikep dan tokoh-tokoh agama Marapu, serta para pejabat di lingkungan Kemenag, Dinas Pendidikan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, di ketiga wilayah Kabupaten Pati, Kota/Kabupaten Malang, dan Nusa Tenggara Timur, serta pihak-pihak lain atas segala dukungan dan informasinya.

Persoalan pelayanan yang dilakukan oleh negara terhadap agama, atau tepatnya pemeluk agama di masyarakat masih seringkali mengemuka. Negara seringkali dipandang diskriminatif dalam melakukan pelayanan terhadap umat beragama, terutama agama-agama di luar enam agama yang selama ini telah mendapatkan pelayanan. Munculnya anggapan negara mengakui agama tertentu dan tidak mengakui agama lainnya, sementara ada beberapa agama yang dianggap sebagai agama resmi dan di luar itu dianggap tidak resmi sehingga tidak layak mendapatkan pelayanan. Pandangan-pandangan semacam ini tidak saja membangun citra negatif bagi pemerintah, tetapi juga menunjukkan bahwa pelayanan negara terhadap penganut agama dan kepercayaan harus diperbaiki. Salah satu akar persoalan dalam hal ini adalah adakah kriteria yang jelas tentang kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara. Hal ini karena muncul pula kekhawatiran, bahwa semua orang atau sekelompok orang bisa saja mengaku-aku sebagai kelompok agama dan menuntut mendapatkan pelayanan.

Sungguh ini pekerjaan yang sulit dan berat. Oleh karena itu, sebelum penelitian kami difasilitasi melakukan workshop untuk menajamkan arah dan metode penelitian. Petunjuk dan dukungan dari para narasumber terutama Prof. Akh. Muzakki,M.Ag, Grad Dip SEA, M.Phil, Ph.D. dari UIN Sunan Ampel, dan Prof. Dr. Jusuf Irianto, M.Com., Guru Besar Ilmu Manajemen SDM FISIP Universitas Airlangga sangat membantu di awal-awal penyusunan rencana penelitian ini. Terlebih dengan berdiskusi di kantor bersama Dr. Fatimah Husain dari UIN Sunan Kalijaga, Antropolog dari UGM Prof, Dr. Heddy Shri Ahimsa–Putra, dan Dr. M.Muhsin Jamil, MA., sosiolog UIN Walisongo Semarang semakin menyemangati para peneliti.

(6)

Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam tulisan ini. Oleh karena itu segala saran, masukan, dan kritikan akan kami terima dengan senang hati.

(7)

DAFTAR ISI

Prakata Penulis ... iii

Daftar Isi... ix

PROLOG : PROBLEMATIKA PELAYANAN NEGARA TERHADAP UMAT BERAGAMA DAN BERKEPERCAYAAN ... 1

MENDISKUSIKAN AGAMA DAN PELAYANAN NEGARA ... 13

Perspektif-Perspektif tentang Agama ... 13

Kebebasan Beragama ... 24

Pelayanan Negara ... 30

Pelayanan Negara terhadap Agama ... 37

REALITAS SOSIAL KEAGAMAAN DAN PROSES MENUJU REFORMULASI ... 43

Sosial Budaya dan Keagamaan Masyarakat Pati Jawa Tengah ... 45

Sosial Budaya dan Keagamaan Masyarakat Malang Jawa Timur ... 53

Sosial Budaya dan Keagamaan Masyarakat Sumba Barat NTT ... 60

Proses Menuju Reformulasi Kriteria Agama yang Dilayani ... 64

KRITERIA “AGAMA” DAN PROBLEM PELAYANAN OLEH NEGARA ... 75

Pandangan Masyarakat tentang Kriteria Agama ... 75

Persoalan dalam Pelayanan Negara terhadap Pemeluk Agama ... 85 Kami menyadari masih banyak kekurangan dan

kelemahan dalam tulisan ini. Oleh karena itu segala saran, masukan, dan kritikan akan kami terima dengan senang hati.

(8)

REFORMULASI KRITERIA “AGAMA” DAN

PELAYANAN NEGARA ... 103 Reformulasi Kriteria Agama dalam Konteks Pelayanan Negara ... 103 Rekonstruksi Pelayanan Negara terhadap Umat Beragama dan berkeyakinan ... 110 EPILOG : BERANI UNTUK MELAYANI ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 121 LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. POLICY BRIEF “REFORMULASI KRITERIA AGAMA DALAM KONTEKS PELAYANAN NEGARA” ... 127 2. KERANGKA ACUAN FOCUSED-GROUP

DISCUSSION (FGD) “KRITERIA AGAMA YANG

DAPAT DILAYANI OLEH NEGARA” ... 139 3. PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/

ATAU PENODAAN AGAMA ... 145 4. PENJELASAN ATAS PENETAPAN PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 ... 149

(9)

PROLOG :

PROBLEMATIKA PELAYANAN NEGARA TERHADAP UMAT BERAGAMA DAN

BERKEPERCAYAAN

Pemerintah Indonesia telah berupaya serius untuk memutus mata rantai kebijakan yang dinilai diskriminatif dalam pelayanan terhadap masyarakat untuk mendirikan tatanan kehidupan bersama yang lebih adil dan bermartabat. Upaya ini didasarkan pada pengakuan kesetaraan warga negara apapun latar belakang suku, bahasa, adat, kepercayaan, warna kulit, jenis kelamin, dan agama. Hal ini tercermin dalam Amandemen UUD 1945, dan ratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, antara lain: Undang Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi rasial dan etnis.

Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, bahkan menegaskan bahwa dirinya adalah menterinya semua agama. Hal ini dinyatakan oleh Menteri Agama pada saat menjadi

Keynote Speech pada VOA Indonesia Conference dengan tema

“The Role of Media In Diversity Reporting In a Diverse Society” di Bandung 10 Agustus 2015 (Kemenag: 2015). Pernyataan ini menjadi “garansi” terhadap kemerdekaan beragama yang tidak saja berlaku pada enam agama besar yang dipeluk hampir oleh seluruh penduduk Indonesia, tetapi juga pemeluk agama-agama lainnya yang ada di Indonesia. REFORMULASI KRITERIA “AGAMA” DAN

PELAYANAN NEGARA ... 103 Reformulasi Kriteria Agama dalam Konteks Pelayanan Negara ... 103 Rekonstruksi Pelayanan Negara terhadap Umat Beragama dan berkeyakinan ... 110 EPILOG : BERANI UNTUK MELAYANI ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 121 LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. POLICY BRIEF “REFORMULASI KRITERIA AGAMA DALAM KONTEKS PELAYANAN NEGARA” ... 127 2. KERANGKA ACUAN FOCUSED-GROUP

DISCUSSION (FGD) “KRITERIA AGAMA YANG

DAPAT DILAYANI OLEH NEGARA” ... 139 3. PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/

ATAU PENODAAN AGAMA ... 145 4. PENJELASAN ATAS PENETAPAN PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 ... 149

(10)

Berbagai peraturan perundangan tersebut ternyata tidak serta merta menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat secara adil, beberapa penganut/pemeluk agama khususnya selain enam agama besar masih mengeluhkan adanya sejumlah diskriminasi atau pembedaan perlakuan pelayanan negara terhadap mereka. Hasil Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat tentang Perkembangan dan Pelayanan Hak-Hak Sipil Agama Baha’i, Sikh, dan Tao di Indonesia tahun 2014, misalnya menyebutkan, bahwa di beberapa daerah hak-hak sipil para penganut agama-agama tersebut tidak terlayani dengan baik. Mereka belum dapat mencantumkan agamanya dalam KTP, secara umum mereka juga mendapatkan kesulitan dalam beberapa pelayanan hak sipil mereka seperti proses pencatatan perkawinan, akte kelahiran anak, dan pendidikan agama di sekolah sesuai agama/keyakinan (Nuh, 2014).

Salah satu contoh kasus yang sempat menjadi polemik adalah status Agama Baha’i. Berawal dari pertanyaan tentang status agama ini oleh Kementerian Dalam Negeri terkait dengan pelayanan kependudukan, Menteri Agama memberi jawaban bahwa Agama Baha’i adalah termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dan umat Baha'i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dan lain-lain dari pemerintah (Dokumen surat Menteri Agama No. MA/276/2014 tentang Penjelasan mengenai Keberadaan Baha’i di Indonesia).

(11)

Contoh persoalan dalam pelayanan negara terhadap agama-agama adalah dalam bidang Administasi kependudukan. Dokumen kependudukan berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) beberapa waktu lalu terjadi polemik tentang pencantuman agama dalam kolom di KTP. Sebagian masyarakat setuju dan mendukung agar kolom agama dalam KTP tetap diadakan, sementara sebagian masyarakat yang lain menolak dan menginginkan agar kolom agama tersebut dihapuskan. Demikian pula belum ada keseragaman dari lembaga yang berwenang terhadap keberadaan aliran kepercayaan. Ada daerah yang mencantumkannya sebagai aliran kepercayaan, ada yang mengosongkan, ada yang “dipaksa” mencantumkan salah agama dari 6 agama mayoritas (Rosyid, 2015: 136-138).

Perkembangan terbaru dari polemik kolom agama pada KTP ini adalah dikeluarkannya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pengujian Pasal 61 dan 64 pada UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Admisnitrasi Kependudukan berimplikasi pada perubahan pencantuman data agama yang harus mencakup pula Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain masalah pengertian agama dalam undang-undang tersebut, persoalan lainnya adalah pencantuman data agama bagi penganut kepercayaan ini sesuai prinsip pelayanan publik yang non-diskriminasi. Keputusan MK ini bersifat final dan mengikat bagi semua pihak termasuk pemerintah. Namun keputusan ini juga menimbulkan polemik dalam pengaturan pedataan administrasi kependudukan. Keputusan MK yang bersifat final dan mengikat ini mengabulkan permohonan dari pihak pemohon yang merupakan perwakilan penghayat kepercayaan untuk mencantumkan nama kepercayaan dalam data penduduk pada elemen data agama, yang dalam UU Berbagai peraturan perundangan tersebut ternyata

tidak serta merta menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat secara adil, beberapa penganut/pemeluk agama khususnya selain enam agama besar masih mengeluhkan adanya sejumlah diskriminasi atau pembedaan perlakuan pelayanan negara terhadap mereka. Hasil Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat tentang Perkembangan dan Pelayanan Hak-Hak Sipil Agama Baha’i, Sikh, dan Tao di Indonesia tahun 2014, misalnya menyebutkan, bahwa di beberapa daerah hak-hak sipil para penganut agama-agama tersebut tidak terlayani dengan baik. Mereka belum dapat mencantumkan agamanya dalam KTP, secara umum mereka juga mendapatkan kesulitan dalam beberapa pelayanan hak sipil mereka seperti proses pencatatan perkawinan, akte kelahiran anak, dan pendidikan agama di sekolah sesuai agama/keyakinan (Nuh, 2014).

Salah satu contoh kasus yang sempat menjadi polemik adalah status Agama Baha’i. Berawal dari pertanyaan tentang status agama ini oleh Kementerian Dalam Negeri terkait dengan pelayanan kependudukan, Menteri Agama memberi jawaban bahwa Agama Baha’i adalah termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dan umat Baha'i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dan lain-lain dari pemerintah (Dokumen surat Menteri Agama No. MA/276/2014 tentang Penjelasan mengenai Keberadaan Baha’i di Indonesia).

(12)

Adminduk tersebut mengatur untuk penganut penghayat kepercayaan dalam kolom tersebut dikosongi atau diberi tanda strip (-).

Permasalahan kolom agama sebenarnya telah lama mengemuka terutama sewaktu Menteri Dalam Negeri melontarkan ide penghapusan kolom agama pada KTP. Ide ini kemudian ditentang oleh banyak kalangan terutama dari kelompok agamawan (Mustolehudin dan Muawanah, 2017: 231-242). Keputusan MK tersebut malah menguatkan agar pencantuman atau pemerincian data “agama” harus mencakup pula “kepercayaan”. Dengan demikian kolom agama dalam administrasi kependudukan tetap diadakan dan juga mencakup antara agama dan kepercayaan.

Tanggapan masyarakat terhadap keputusan MK ini beragam antara yang pro dan kontra. KH. Ma’ruf Amin, Ketua MUI menyatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi soal aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP akan menjadi polemik di masyarakat. Walaupun fatwa MK itu sifatnya final dan mengikat tetapi implikasinya besar sekali. MUI tegas menolak keputusan MK soal penghayat kepercayaan karena aliran kepercayaan tidak bisa disetarakan dengan agama dan bukan termasuk identitas (Kompas 13/11/2017, Republika 16/11/2017). Kalangan politisi, di antaranya Djan Faridz dari PPP juga mempersoalkan keputusan MK tersebut karena dikhawatirkan menimbulkan keresahan masyarakat dan menyulitkan pemerintah dalam implementasinya (Sindonews, 14/11/2017).

Pihak yang menyambut baik keputusan ini terutama adalah para penghayat kepercayaan termasuk penganut agama lokal. Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan

(13)

Indonesia Pusat, Naen Soeryono, mengapresiasi keputusan MK tersebut, karena dari masalah kolom agama tersebut banyak hak warga Penghayat Kepercayaan yang diabaikan dan cenderung mendapat perlakuan diskriminatif dalam layanan kependudukan, pendidikan, hingga penerimaan pegawai negeri sipil dan TNI-Polri (voaindonesia 8/11/2017). Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, menanggapi posistif keputusan MK itu dari sisi kebangsaan Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika yang memang harus mengakomodasi kepentingan penghayat kepercayaan (Metrotvnews, 13/11/2017).

Pihak pemerintah sendiri menerima Keputusan MK sebagai keputusan bersifat final dan mengikat. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa pemerintah akan melaksanakan Keputusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya implikasi status penghayat kepercayaan dapat dicantumkan pada kolom Agama di KTP elektronik (Kompas, 7/11/2017). Kepala Biro Humas Data, dan Informasi Kementerian Agama, Mastuki, Kemenag menghormati dan mendukung penuh keputusan MK dan ikut melindungi penghayat kepercayaan dari diskriminasi (CNN Indonesia, 8/11/2017).

Permasalahan lainnya adalah pendidikan agama di sekolah, di mana sesuai amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, lembaga pendidikan wajib memberikan agama sesuai agama siswa dan diajarkan oleh guru seagama. Namun dalam praktiknya, agama-agama minoritas dan penganut aliran kepercayaan tidak mendapatkan haknya untuk mempelajari agamanya. Berbagai persoalan tersebut terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah yang masyarakatnya terdapat pemeluk agama di luar enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Adminduk tersebut mengatur untuk penganut penghayat

kepercayaan dalam kolom tersebut dikosongi atau diberi tanda strip (-).

Permasalahan kolom agama sebenarnya telah lama mengemuka terutama sewaktu Menteri Dalam Negeri melontarkan ide penghapusan kolom agama pada KTP. Ide ini kemudian ditentang oleh banyak kalangan terutama dari kelompok agamawan (Mustolehudin dan Muawanah, 2017: 231-242). Keputusan MK tersebut malah menguatkan agar pencantuman atau pemerincian data “agama” harus mencakup pula “kepercayaan”. Dengan demikian kolom agama dalam administrasi kependudukan tetap diadakan dan juga mencakup antara agama dan kepercayaan.

Tanggapan masyarakat terhadap keputusan MK ini beragam antara yang pro dan kontra. KH. Ma’ruf Amin, Ketua MUI menyatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi soal aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP akan menjadi polemik di masyarakat. Walaupun fatwa MK itu sifatnya final dan mengikat tetapi implikasinya besar sekali. MUI tegas menolak keputusan MK soal penghayat kepercayaan karena aliran kepercayaan tidak bisa disetarakan dengan agama dan bukan termasuk identitas (Kompas 13/11/2017, Republika 16/11/2017). Kalangan politisi, di antaranya Djan Faridz dari PPP juga mempersoalkan keputusan MK tersebut karena dikhawatirkan menimbulkan keresahan masyarakat dan menyulitkan pemerintah dalam implementasinya (Sindonews, 14/11/2017).

Pihak yang menyambut baik keputusan ini terutama adalah para penghayat kepercayaan termasuk penganut agama lokal. Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan

(14)

Budha, dan Khonghucu). Di Jawa Tengah misalnya, terdapat penganut Agama Baha’i yang telah eksis sejak tahun 1959 di kabupaten Pati, komunitas Sedulur Sikep yang mengaku menganut Agama Adam, dan para penganut aliran kepercayaan. Di Jawa Timur juga demikian, terdapat penganut Agama Baha’i dan aliran kepercayaan. Sementara di wilayah luar Jawa, terutama di Nusa Tenggara Timur, ada banyak komunitas-komunitas agama lokal, seperti Marapu, Boti, Jingitiu, dan sebagainya. Para pemeluk agama di luar enam agama besar ini belum dapat dilayani secara maksimal oleh negara karena persoalan identitas agamanya.

Kasus di atas hanyalah sedikit dari ilustrasi tentang bagaimana masyarakat Indonesia secara umum dan khususnya aparatur pemerintah belum memiliki keseragaman atas pelayanan negara terhadap agama, kepercayaan, dan para pemeluknya. Munculnya polemik mengenai agama mana yang patut mendapatkan pelayanan dari negara mengemuka karena dalam implementasi pelayanan terhadap warga negara, terkait dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya masih belum ada keseragaman oleh lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga memunculkan adanya diskriminasi terhadap penganut agama atau kepercayaan tertentu. Padahal faktanya, Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural, di mana di dalamnya hidup secara berdampingan berbagai suku bangsa dan pemeluk agama. Keberagamaan di Indonesia dalam konteks sosiologis bangsa Indonesia, sebagaimana dicantumkan dalam Penetapan Presiden no. 1/Pn.Ps/1965 setidaknya menyebutkan agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia antara lain agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Agama-agama di luar yang disebutkan di atas juga diterima

(15)

beragama memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara, sehingga dalam berbangsa juga harus ada egalitarian atau kesetaraan yang saling hormat menghormati antarkelompok masyarakat, termasuk antarumat beragama.

Setiap warga negara dilindungi oleh undang-undang untuk melaksanakan agama dan kepercayaannya. Namun dalam praktiknya, terjadi pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama ini. Pelanggaran ini dapat dilakukan tidak hanya dilakukan oleh kelompok umat beragama kepada umat yang lain, atau kelompok faham agama terhadap kelompok yang lain, bahkan juga oleh negara. Terlebih, karena negara berdasarkan konstitusi berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia, tanpa terkecuali, di antaranya melindungi kebebasan beragama, maka dengan ketidakadanya perlindungan dan pelayanan, serta sikap deskriminatif terhadap kelompok agama tertentu, maka hal itu juga termasuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama (Fauzi dan Panggabean [eds.], 2009).

Salah satu fenomena yang dirasa penting pada tahun-tahun belakangan ini adalah isu pelayanan negara terhadap umat beragama. Catatan penting dalam konteks keagamaan di Indonesia, antara lain:

1. Negara memberikan jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi, yakni dalam Pasal 29 UUD 1945.

2. Negara atau pemerintah tidak berada dalam posisi mengakui atau tidak mengakui agama-agama yang dianut oleh bangsa Indonesia.

3. Bangsa Indonesia secara faktual menganut berbagai agama dan kepercayaan, di mana agama yang dianut oleh Budha, dan Khonghucu). Di Jawa Tengah misalnya, terdapat

penganut Agama Baha’i yang telah eksis sejak tahun 1959 di kabupaten Pati, komunitas Sedulur Sikep yang mengaku menganut Agama Adam, dan para penganut aliran kepercayaan. Di Jawa Timur juga demikian, terdapat penganut Agama Baha’i dan aliran kepercayaan. Sementara di wilayah luar Jawa, terutama di Nusa Tenggara Timur, ada banyak komunitas-komunitas agama lokal, seperti Marapu, Boti, Jingitiu, dan sebagainya. Para pemeluk agama di luar enam agama besar ini belum dapat dilayani secara maksimal oleh negara karena persoalan identitas agamanya.

Kasus di atas hanyalah sedikit dari ilustrasi tentang bagaimana masyarakat Indonesia secara umum dan khususnya aparatur pemerintah belum memiliki keseragaman atas pelayanan negara terhadap agama, kepercayaan, dan para pemeluknya. Munculnya polemik mengenai agama mana yang patut mendapatkan pelayanan dari negara mengemuka karena dalam implementasi pelayanan terhadap warga negara, terkait dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya masih belum ada keseragaman oleh lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga memunculkan adanya diskriminasi terhadap penganut agama atau kepercayaan tertentu. Padahal faktanya, Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural, di mana di dalamnya hidup secara berdampingan berbagai suku bangsa dan pemeluk agama. Keberagamaan di Indonesia dalam konteks sosiologis bangsa Indonesia, sebagaimana dicantumkan dalam Penetapan Presiden no. 1/Pn.Ps/1965 setidaknya menyebutkan agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia antara lain agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Agama-agama di luar yang disebutkan di atas juga diterima dan dibiarkan keberadaannya di Indonesia. Semua umat

(16)

mayoritas bangsa Indonesia adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

4. Agama-agama selain yang disebutkan tersebut bukan berarti tidak diakui negara.

5. Beberapa bentuk keagamaan dan kepercayaan di beberapa wilayah di Indonesia yang secara terbatas dianut oleh masyarakat menuntut untuk diakui sebagai agama tersendiri dan menuntut pula pelayanan negara terhadapnya.

6. Negara wajib melakukan pelayanan terhadap agama dan umat beragama yang ada di Indonesia sebagai bentuk pelaksanaan amanat konstitusi dalam Pasal 29 UUD 1945 tersebut.

Persoalan krusial dalam konteks di atas adalah negara memiliki kesulitan-kesulitan untuk melakukan pelayanan terhadap kepentingan semua agama yang ada di Indonesia. Namun negara memiliki kewajiban konstitusi untuk menjamin kebebasan beragama melalui pelayanan terhadap agama dan umat beragama yang ada di Indonesia. Untuk itu, negara perlu memiliki kriteria yang jelas mengenai “agama” yang dapat dilayani oleh negara dan bagaimana bentuk pelayanan yang dapat diberikan negara terhadap umat beragama dan berkepercayaan.

Adapun agama dan kepercayaan di Indonesia, dalam realitasnya tidak hanya enam agama mayoritas yang disebutkan dalam PNPS Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Masyarakat di Indonesia ada pula yang memeluk aliran kepercayaan, agama lokal, dan agama minoritas lainnya, seperti Kepercayaan atau Agama Sunda

(17)

Wiwitan, Agama Kaharingan, Agama Baha’i, dan sebagainya. Demikian pula dalam agama-agama mayoritas pun terdapat aliran-aliran yang dianggap berbeda dari arus utama agama tersebut, misalnya Aliran Syiah dan Ahmadiyah dalam Islam atau Saksi Yehova, Gereja Mormon dan Gereja Ortodoks dalam agama Kristen. Berbagai agama dan kepercayaan tersebut juga dilindungi oleh konstitusi UUD 1945 sebagai bentuk kebebasan beragama dan berkeyakinan yang merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi.

Berangkat dari hal-hal di atas, buku ini mencoba memantik dan memberi bahan diskusi terkait dengan konsep kriteria “agama” yang dapat dilayani oleh negara. Beberapa hal penting yang hendak diajukan dalam buku ini adalah kriteria yang bersifat operasional tentang pengertian agama yang dapat dilayani oleh negara; dan konsep implementatif pelayanan negara terhadap agama, kepercayaan, dan pemeluknya. Ujung muara dari diskusi ini diharapkan sampai pada bentuk perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia.

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi pemerintah dan kerangka acuan dalam melaksanakan pelayanan terhadap umat beragama sebagai warga negara Indonesia melalui beberapa kementerian terkait. Kementerian Agama mengemban tanggung jawab dalam pembangunan bidang agama dapat memanfaatkan buku ini dalam tugasnya melayani segenap umat beragama di Indonesia. Selain Kementerian Agama, hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi pemerintah secara umum dalam pelayanan kepada masyarakat yang terkait dengan kehidupan keagamaan, misalnya bidang kependudukan, pendidikan, hukum, dan sebagainya. Dengan demikian tulisan ini juga penting bagi mayoritas bangsa Indonesia adalah agama Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

4. Agama-agama selain yang disebutkan tersebut bukan berarti tidak diakui negara.

5. Beberapa bentuk keagamaan dan kepercayaan di beberapa wilayah di Indonesia yang secara terbatas dianut oleh masyarakat menuntut untuk diakui sebagai agama tersendiri dan menuntut pula pelayanan negara terhadapnya.

6. Negara wajib melakukan pelayanan terhadap agama dan umat beragama yang ada di Indonesia sebagai bentuk pelaksanaan amanat konstitusi dalam Pasal 29 UUD 1945 tersebut.

Persoalan krusial dalam konteks di atas adalah negara memiliki kesulitan-kesulitan untuk melakukan pelayanan terhadap kepentingan semua agama yang ada di Indonesia. Namun negara memiliki kewajiban konstitusi untuk menjamin kebebasan beragama melalui pelayanan terhadap agama dan umat beragama yang ada di Indonesia. Untuk itu, negara perlu memiliki kriteria yang jelas mengenai “agama” yang dapat dilayani oleh negara dan bagaimana bentuk pelayanan yang dapat diberikan negara terhadap umat beragama dan berkepercayaan.

Adapun agama dan kepercayaan di Indonesia, dalam realitasnya tidak hanya enam agama mayoritas yang disebutkan dalam PNPS Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Masyarakat di Indonesia ada pula yang memeluk aliran kepercayaan, agama lokal, dan agama minoritas lainnya, seperti Kepercayaan atau Agama Sunda

(18)

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Menteri Dalam Negeri; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Menjelaskan Prosedur

Buku ini diolah dari hasil penelitian Balai Litbang Agama Semarang yang mengangkat topik kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara, di mana tema ini mengandung isu penting yakni kriteria agama dalam konteks administrasi negara; dan pelayanan negara terhadap agama, kepercayaan, dan umat pemeluknya. Kriteria agama membutuhkan pandangan-pandangan inklusif tentang agama dan hubungannya dengan negara. Adapun pelayanan negara terhadap agama dan umat beragama penting dikaji dalam konteks evaluasi terhadap kebijakan negara dalam melayani umat beragama. Pendekatan kualitatif akan digunakan dalam penelitian ini, di mana penelitian ini akan mendeskripsikan posisi agama-agama dalam sistem pelayanan negara, dan analisis evaluasi kebijakan negara dalam melayani agama dan umat beragama.

Data-data bersumber dari pengumpulan data di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan representasi dari kondisi masyarakat Jawa pada umumnya, di mana karakteristik yang diharapkan adalah dominasi budaya Jawa yang mayoritas Islam sehingga kelompok agama lain menjadi minoritas, termasuk kelompok-kelompok aliran kepercayaan cukup banyak. Di Jawa Tengah terdapat penganut agama lokal,

(19)

agama selain enam agama besar di Indonesia, dan aliran keagamaan, seperti komunitas Sedulur Sikep atau Samin yang menganut Agama Adam, umat Agama Baha’i, dan penganut aliran kepercayaan. Adapun Provinsi Nusa Tenggara Timur dipandang representasi dari kondisi masyarakat wilayah Indonesia bagian timur, di mana karakteristik masyarakatnya merupakan percampuran berbagai suku bangsa yang didominasi oleh Agama Katolik dan Kristen. Di NTT juga masih terdapat agama-agama lokal, seperti Agama Marapu yang dianut oleh kelompok-kelompok masyarakat.

Tabel 1. Kondisi Umat Beragama di Tiga Lokasi Pati - Jateng Malang -

Jatim

Sumba Barat - NTT

Agama besar 6 agama besar 6 agama

besar 6 agama besar Mayoritas Islam Islam Kristen

Agama

minoritas Baha’i Baha’i - Agama lokal Sedulur

Sikep/Samin - Marapu (terbesar) Aliran keagamaan lain Ahmadiyah, Syiah Ahmadiyah, Syiah, al-Umm Saksi Yehova Aliran

kepercayaan 16 aliran 30 aliran 200-an aliran Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan

Kebudayaan; Menteri Dalam Negeri; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Menjelaskan Prosedur

Buku ini diolah dari hasil penelitian Balai Litbang Agama Semarang yang mengangkat topik kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara, di mana tema ini mengandung isu penting yakni kriteria agama dalam konteks administrasi negara; dan pelayanan negara terhadap agama, kepercayaan, dan umat pemeluknya. Kriteria agama membutuhkan pandangan-pandangan inklusif tentang agama dan hubungannya dengan negara. Adapun pelayanan negara terhadap agama dan umat beragama penting dikaji dalam konteks evaluasi terhadap kebijakan negara dalam melayani umat beragama. Pendekatan kualitatif akan digunakan dalam penelitian ini, di mana penelitian ini akan mendeskripsikan posisi agama-agama dalam sistem pelayanan negara, dan analisis evaluasi kebijakan negara dalam melayani agama dan umat beragama.

Data-data bersumber dari pengumpulan data di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan representasi dari kondisi masyarakat Jawa pada umumnya, di mana karakteristik yang diharapkan adalah dominasi budaya Jawa yang mayoritas Islam sehingga kelompok agama lain menjadi minoritas, termasuk kelompok-kelompok aliran kepercayaan cukup banyak. Di Jawa Tengah terdapat penganut agama lokal,

(20)

Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik wawancara, FGD, observasi, dan telaah dokumen/literatur. Informan dan narasumber meliputi penerima pelayanan yang terdiri dari kelompok 6 agama besar (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu), kelompok agama yang “belum diakui”, komunitas agama-agama lokal, dan komunitas Aliran Kepercayaan; dan pelaku pelayanan bidang agama (Kemenag, Dinas Pendidikan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil). Tehnik Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mendapatkan pandangan-pandangan, berbagi pengalaman dan pengetahuan antar peserta FGD terkait dengan tema ini.

Adapun telaah dokumen dilakukan terhadap regulasi dan kebijakan pemerintah (pusat maupun daerah) terkait dengan pelayanan terhadap agama dan umat beragama. Telaah lainnya dilakukan terhadap pustaka hasil kajian atau penelitian terkait dengan kasus-kasus pelayanan negara terhadap umat beragama, termasuk kasus-kasus terkait pelayanan negara terhadap kelompok-kelompok agama yang ada di masyarakat.

Strategi analisis dalam buku ini menggunakan pendekatan kebijakan karena terkait dengan tindakan-tindakan negara. Analisis yang dilakukan menggunakan model integratif, yakni analisis dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang timbul, baik sebelum’ maupun ‘sesudah’ suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis kebijakan ini untuk mendapatkan solusi untuk pengembangan ke depan, dan evaluasi atas kebijakan yang telah dilakukan secara terintegrasi (Suharto, 2008).

(21)

MENDISKUSIKAN “AGAMA”

DAN PELAYANAN NEGARA

Perspektif-perspektif tentang Agama

Agama dalam masyarakat, dapat dipandang dari perspektif teologis sekaligus sosiologis. Namun demikian perspektif teologis dan sosiologis ini akan bertemu dan bermuara pada satu hal yang sama yaitu masyarakat itu sendiri. Bahkan agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal oleh karena semua masyarakat memiliki suatu cara berfikir dan pola perilaku yang layak disebut sebagai agama atau dipandang sebagai sikap religius yang diwujudkan dalam simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik guna menunjukkan atau memahami eksistensi keberadaan dirinya dalam kehidupan ini. (Sonderson, 1993 : 517)

Definisi agama menurut Sonderson (1993 : 520), yaitu: a. Agama selalu meliputi seperangkat ritual atau praktik

maupun seperangkat kepercayaan, di mana kepercayaan ritual itu terorganisir secara sosial dan diberlakukan oleh anggota-anggota masyarakat atau beberapa segmen masyarakat.

b. Kepercayaan-kepercayaan yang bersangkutan dipandang benar hanya berdasarkan keyakinan, sehingga pada umumnya tidak ada keinginan memvalidasi secara empirik karena tidak ada sangkut pautnya dengan pembuktian dan kesahihan ilmiah.

Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik wawancara, FGD, observasi, dan telaah dokumen/literatur. Informan dan narasumber meliputi penerima pelayanan yang terdiri dari kelompok 6 agama besar (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu), kelompok agama yang “belum diakui”, komunitas agama-agama lokal, dan komunitas Aliran Kepercayaan; dan pelaku pelayanan bidang agama (Kemenag, Dinas Pendidikan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil). Tehnik Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mendapatkan pandangan-pandangan, berbagi pengalaman dan pengetahuan antar peserta FGD terkait dengan tema ini.

Adapun telaah dokumen dilakukan terhadap regulasi dan kebijakan pemerintah (pusat maupun daerah) terkait dengan pelayanan terhadap agama dan umat beragama. Telaah lainnya dilakukan terhadap pustaka hasil kajian atau penelitian terkait dengan kasus-kasus pelayanan negara terhadap umat beragama, termasuk kasus-kasus terkait pelayanan negara terhadap kelompok-kelompok agama yang ada di masyarakat.

Strategi analisis dalam buku ini menggunakan pendekatan kebijakan karena terkait dengan tindakan-tindakan negara. Analisis yang dilakukan menggunakan model integratif, yakni analisis dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang timbul, baik sebelum’ maupun ‘sesudah’ suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis kebijakan ini untuk mendapatkan solusi untuk pengembangan ke depan, dan evaluasi atas kebijakan yang telah dilakukan secara terintegrasi (Suharto, 2008).

(22)

c. Agama mencakup konsep dunia eksistensi supernatural yang ada di atas dan di balik dunia sehari-hari yang disaksikan dan alamiah.

Keterkaitan erat antara kehidupan manusia dan keberlanjutan agama dalam suatu masyarakat menunjukkan saling ketergantungan keduanya dalam membangun realitas obyektif dan subyektif manusiawi dalam sejarah suatu masyarakat, (Berger, 1991: 59) yakni yang duniawi dan yang ilahi dalam kepercayaan dan perilaku personal-personal manusia anggota masyarakat tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Luckmann, (Berger, 1991: 205) bahwa agama merupakan kapasitas organisme manusia untuk memuliakan hakikat biologisnya melalui pembangunan semesta-semesta makna yang obyektif, mengikat secara moral, dan meliputi budaya. Karena itu agama bukan saja fenomena sosial (seperti pedapat Durkheim) tetapi bahkan adalah fenomena antropologi par-excellence. Teristimewa agama itu disamakan dengan transendensi diri simbolik, sehingga segala sesuatu yang benar-benar manusiawi dengan demikian adalah religius.

Agama merupakan bagian dari kehidupan bangsa Indonesia dan turut serta dalam membentuk jiwa dan pandangan hidup manusia Indonesia. Ajaran agama yang dilakukan oleh pengikutnya merupakan hasil interpretasi terhadap sumber-sumber ajaran (teks-teks suci) yang kemudian dijadikan sebagai model pengetahuan bagi mereka. Model-model pengetahuan tersebut menjadi keyakinan dan pedoman untuk mewujudkan tindakan-tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Durkheim (dalam Perucci, 1977 : 298) memberikan definisi agama sebagai satu kesatuan dan sistem kepercayaan dan praktiknya yang dihubungkan

(23)

dengan sesuatu yang bersifat suci (sakral) dan disatukan dalam sebuah komunitas sosial dengan kepatuhan / ketaatan atau individu yang ada di dalamnya terhadap segala perintah dan larangan.

Agama dalam kehidupan manusia dapat dipahami dan diamalkan menurut atau sesuai dengan pemahaman dan pengalaman pemeluk agama tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wach (1983: 108) bahwa pengalaman keagamaan dapat terwujud dalam tiga dimensi. Ketiga dimensi pengalaman keagamaan tersebut mencakup: dimensi pemikiran keagamaan, dimensi peribadatan atau ritual keagamaan, dan dimensi kemasyarakatan atau sosial kemasyarakatan.

Penjelasan terhadap elaborasi Wach adalah pertama, dimensi pemikiran diterapkan untuk mengungkap tentang materi pembinaan dalam pemikiran atau keyakinan keagamaan. Pada dimensi ini akan mencakup konsepsi ketuhanan, sifat-sifat Tuhan, dewa, makhluk halus, hakekat hidup sesudah mati. Sistem keyakinan erat hubungannya dengan sistem upacara serta menentukan tata urut dari unsur dan rangkaian acara serta peralatan yang dipakai dalam upacara (Koentjaraningrat, 1990:147).

Kedua, dimensi peribadatan merupakan pengamalan keagamaan yang nyata yaitu suatu tanggapan total mendalam atau integritas atas Tuhan. Pada dimensi ini akan digunakan untuk pengungkapan materi pembinaan dalam aspek ritual atau peribadatan. Sedang upacara/ritual ini sebuah sistem upacara yang terdiri atas aneka macam upacara seperti berdoa, bersujud, berkurban, bersesaji, berpuasa dan lainnya. Beberapa jenis upacara keagamaan tersebut ada yang dilaksanakan secara siklus atau berkala, dan ada pula upacara c. Agama mencakup konsep dunia eksistensi supernatural

yang ada di atas dan di balik dunia sehari-hari yang disaksikan dan alamiah.

Keterkaitan erat antara kehidupan manusia dan keberlanjutan agama dalam suatu masyarakat menunjukkan saling ketergantungan keduanya dalam membangun realitas obyektif dan subyektif manusiawi dalam sejarah suatu masyarakat, (Berger, 1991: 59) yakni yang duniawi dan yang ilahi dalam kepercayaan dan perilaku personal-personal manusia anggota masyarakat tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Luckmann, (Berger, 1991: 205) bahwa agama merupakan kapasitas organisme manusia untuk memuliakan hakikat biologisnya melalui pembangunan semesta-semesta makna yang obyektif, mengikat secara moral, dan meliputi budaya. Karena itu agama bukan saja fenomena sosial (seperti pedapat Durkheim) tetapi bahkan adalah fenomena antropologi par-excellence. Teristimewa agama itu disamakan dengan transendensi diri simbolik, sehingga segala sesuatu yang benar-benar manusiawi dengan demikian adalah religius.

Agama merupakan bagian dari kehidupan bangsa Indonesia dan turut serta dalam membentuk jiwa dan pandangan hidup manusia Indonesia. Ajaran agama yang dilakukan oleh pengikutnya merupakan hasil interpretasi terhadap sumber-sumber ajaran (teks-teks suci) yang kemudian dijadikan sebagai model pengetahuan bagi mereka. Model-model pengetahuan tersebut menjadi keyakinan dan pedoman untuk mewujudkan tindakan-tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Durkheim (dalam Perucci, 1977 : 298) memberikan definisi agama sebagai satu kesatuan dan sistem kepercayaan dan praktiknya yang dihubungkan

(24)

yang dilakukan hanya sekali waktu atau tidak berkala (Koentjaraningrat, 1990:147).

Ketiga, dimensi persekutuan atau organisasi. Pada dimensi ini sebenarnya terbentuk karena adanya dimensi pemikiran dan dimensi peribadatan. Persekutuan atau kelompok ini bisa berbentuk kekerabatan, komunitas, dan organisasi religius. Salah satu organisasi religius ini bisa berbentuk suatu organisasi penyiaran agama (Koentjaraningrat, 1990:148).

Kehidupan keagamaan erat hubungannya dengan masalah kepercayaan. Menurut Koentjaraningrat kepercayaan adalah suatu keyakinan terhadap konsepsi tentang Tuhan, Dewa, sifat-sifat Tuhan, dunia roh dan akherat serta segala nilai, norma maupun ajaran dari religi yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1990:377). Sistem kepercayaan erat berhubungan dengan ritus dan upacara serta menentukan tata urut dari unsur-unsur rangkaian upacara serta peralatan upacara (Koentjaraningrat, 1990:157). Sistem upacara merupakan manifestasi dari religi. Sistem upacara meliputi berbagai upacara seperti berdo’a, bersujud, bersaji, berkorban, berpuasa, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1990:147).

Istilah religi juga sering digunakan untuk menggantikan kata agama. Religi (Koentjaraningrat, 1985: 230), yakni suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu (1) emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religius; (2) sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supranatural), serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan; (3) sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau

(25)

makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib; (4) umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut (dalam komponen 2), dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut (dalam komponen 3).

Dengan menggunakan istilah religi, Koentjaraningrat (1974, 1984) membedakan tiga pengertian, yaitu (1) agama dipakai untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi dalam negara kita: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha, (2) religi untuk sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi, seperti Konghucu, Seventh Day Advent, Gereja Pinkster, dan gerakan-gerakan kebatinan, dan sebagainya, (3) kepercayaan yang mempunyai arti yang khas, yaitu, komponen kedua dalam tiap agama maupun religi (sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, supernatural, serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan).

Puspito (1989: 35) menjelaskan bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, mempunyai suatu sistem kaidah yang mengikat penganutnya atau peribadatan, dan mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial atau kemasyarakatan. Dalam hal ini, agama bukan hanya dipandang sebagai seperangkat aturan mutlak yang datangnya dari Tuhan, akan tetapi dipandang sebagai perangkat aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Senantiasa ada dimensi kemasyarakatan yang berhimpitan antaragama satu dan agama lain.

Sosiologi agama – secara konsepsional – menggunakan dua istilah untuk menjelaskan fenomena kegamaan manusia. Istilah yang pertama adalah “religi” yaitu hal-hal atau fenomena-fenomena umum yang berhubungan dengan yang yang dilakukan hanya sekali waktu atau tidak berkala

(Koentjaraningrat, 1990:147).

Ketiga, dimensi persekutuan atau organisasi. Pada dimensi ini sebenarnya terbentuk karena adanya dimensi pemikiran dan dimensi peribadatan. Persekutuan atau kelompok ini bisa berbentuk kekerabatan, komunitas, dan organisasi religius. Salah satu organisasi religius ini bisa berbentuk suatu organisasi penyiaran agama (Koentjaraningrat, 1990:148).

Kehidupan keagamaan erat hubungannya dengan masalah kepercayaan. Menurut Koentjaraningrat kepercayaan adalah suatu keyakinan terhadap konsepsi tentang Tuhan, Dewa, sifat-sifat Tuhan, dunia roh dan akherat serta segala nilai, norma maupun ajaran dari religi yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1990:377). Sistem kepercayaan erat berhubungan dengan ritus dan upacara serta menentukan tata urut dari unsur-unsur rangkaian upacara serta peralatan upacara (Koentjaraningrat, 1990:157). Sistem upacara merupakan manifestasi dari religi. Sistem upacara meliputi berbagai upacara seperti berdo’a, bersujud, bersaji, berkorban, berpuasa, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1990:147).

Istilah religi juga sering digunakan untuk menggantikan kata agama. Religi (Koentjaraningrat, 1985: 230), yakni suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu (1) emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religius; (2) sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supranatural), serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan; (3) sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau

(26)

sakral (sacred). Istilah yang kedua adalah “agama” yang menunjuk pada institusi-institusi yang berbeda-beda dan khusus yang berhubungan dengan Yang Mahasuci (Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Bryan S. Turner, 2010: 470-471). Emile Durkheim menyatukan kedua konsep itu ke dalam satu definisi dengan menegaskan bahwa agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik-praktik yang berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang; kepercayaan dan praktik-praktik yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan yang meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja (Emile Durkheim, 1915: 62).

Kerangka konseptual tersebut di atas dapat juga dilihat dari dua segi agama, yaitu segi substantif dan segi fungsional. Secara substantif agama mencakup karakteristik esensial kepercayaan manusia akan fenonema luar biasa yang tidak dapat dipahami dan tidak dapat dijelaskan oleh intelektualitasnya. Sedangkan secara fungsional agama menggambarkan utilitas atau manfaatnya bagi kehidupan individu dan/atau masyarakat, misalnya dalam hal memberi makna bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, segi substantif menyatakan apa itu agama sementara segi fungsional menyatakan apa yang dilakukan oleh agama (Inger Furseth, 2006:18). Dari segi fungsional atau empiris agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibentuk oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya (Hendropuspito, 1983: 34).

(27)

Baron van Hugel (dalam Dorothee Soelle, 2001: 49) mengatakan bahwa setiap agama yang hidup memiliki tiga elemen agama, yaitu elemen institusional, elemen intelektual, dan elemen mystikal. Elemen pertama mencakup obligasi-obligasi organisasi sosial dan aspek-aspek historis agama. Elemen kedua mencakup pokok-pokok kepercayaan (credo), ajaran, dan pengakuan iman. Sedangkan elemen

mystikal meliputi aspek-aspek ritual dan pengalaman batiniah

dengan Tuhan.

Dukheim (1965:62) dalam karyanya “The Elementary

Forms of The Religious Life”, bahwa agama adalah suatu suatu

sistem kesatuan dari keyakinan dan praktik-praktik yang bersifat relatif terhadap hal-hal yang secred, yakni segala sesuatu yang dihindari atau dilarang dan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang mengajarkan moral yang tinggi ke dalam suatu komunitas, yang disebut gereja di mana semua orang mengidentifikasikan diri padanya. Selain itu, teori agama sebagaimana yang dikemukakan oleh Geertz (1973: 90), dalam bukunya “Abangan, Santri dan Priyayi, dalam Masyarakat Jawa” mengatakan bahwa “Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara menformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.”

sakral (sacred). Istilah yang kedua adalah “agama” yang menunjuk pada institusi-institusi yang berbeda-beda dan khusus yang berhubungan dengan Yang Mahasuci (Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Bryan S. Turner, 2010: 470-471). Emile Durkheim menyatukan kedua konsep itu ke dalam satu definisi dengan menegaskan bahwa agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik-praktik yang berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang; kepercayaan dan praktik-praktik yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan yang meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja (Emile Durkheim, 1915: 62).

Kerangka konseptual tersebut di atas dapat juga dilihat dari dua segi agama, yaitu segi substantif dan segi fungsional. Secara substantif agama mencakup karakteristik esensial kepercayaan manusia akan fenonema luar biasa yang tidak dapat dipahami dan tidak dapat dijelaskan oleh intelektualitasnya. Sedangkan secara fungsional agama menggambarkan utilitas atau manfaatnya bagi kehidupan individu dan/atau masyarakat, misalnya dalam hal memberi makna bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, segi substantif menyatakan apa itu agama sementara segi fungsional menyatakan apa yang dilakukan oleh agama (Inger Furseth, 2006:18). Dari segi fungsional atau empiris agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibentuk oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya (Hendropuspito, 1983: 34).

(28)

Pada dasarnya agama berhubungan dengan sistem kepercayaan terhadap dewa atau dewa-dewa yang bersemayam dalam kekuatan gaib suatu benda. Beberapa kepercayaan disertai dengan peraturan-peraturan, upacara dan ritual pemujaan (Isaacs, 1993). Agama berperan sebagai pengikat para pemeluknya dalam suatu ikatan kepercayaan terhadap Tuhan atau Dewa, serta sekaligus sebagai sarana penghubung di antara manusia. Agama masuk dalam ruang bawah sadar dan mengejawantah dalam kehidupan sehari hari para pengikutnya. Selain itu, agama diartikan sebagai kepercayaan terhadap Tuhan, dewa dan sebagainya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Poerwadarminto, 1976).

Dari sisi bentuknya agama terkadang didefinisikan sebagai kebudayaan batin manusia yang memiliki potensi psikologis yang mempengaruhi jalan hidup manusia. Sementara itu, apabila dilihat dari segi isinya agama adalah ajaran atau wahyu Tuhan yang tidak bisa dianggap sebagai kebudayaan (Arifin, 1987). Dua gagasan ini kemudian menghasilkan pembedaan antara agama wahyu dan agama yang dianggap sebagai kebudayaan. Kategori pertama biasanya merujuk pada tiga agama besar yang diyakini sumbernya berasal dari wahyu yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Sedangkan kategori kedua berasal dari hasil karya cipta manusia atau masyarakat sendiri, di antaranya adalah ajaran Kun Fu Tse, ajaran Taoisme, agama Hindu dan Budha. Selain kategorisasi tersebut, ahli antropologi dan sosiologi juga membagi agama menjadi dua kelompok besar yaitu spiritualisme dan materialisme. Spiritualisme merupakan agama penyembah dzat yang tidak berbentuk/gaib; yang kemudia dibagi lagi menjadi agama penyembah Roh dan

(29)

adanya Tuhan yang mewujud dalam bentuk benda/materi seperti patung, binatang dan berhala (Kahmad, 2000).

Dalam perspektif sosiologis, agama bukan sebagai sesuatu yang transenden, melainkan sebagai sesuatu yang

profan berdasarkan realitas sosial dalam memahaminya.

Robert N. Bellah, sebagaimana yang dikutip oleh Jamali (2008 : 140) agama sebagai struktur bermakna yang digunakan manusia untuk menghubungkan dirinya dengan kepedulian-kepedulian utamanya. Parsudi Suparlan, dalam Roland Robertson (1998 : v) mendefinisikan agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi ini, agama dilihat sebagai teks atau doktrin, sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukungnya tidak nampak tercakup di dalamnya. Karena itu, secara khusus, agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.

Definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan adalah definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes (2000). Definisi itu dapat disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed, code,

cult, dan community. (1) Creed merupakan kepercayaan

tentang sesuatu yang secara mutlak dianggap benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran itu dapat berbentuk dewa atau Tuhan atau AIlah, akan tetapi dapat juga berbentuk yang bukan itu, seperti misalnya gagasan, kesenangan, dan sebagainya; (2) Code merupakan pedoman tata tindak Pada dasarnya agama berhubungan dengan sistem

kepercayaan terhadap dewa atau dewa-dewa yang bersemayam dalam kekuatan gaib suatu benda. Beberapa kepercayaan disertai dengan peraturan-peraturan, upacara dan ritual pemujaan (Isaacs, 1993). Agama berperan sebagai pengikat para pemeluknya dalam suatu ikatan kepercayaan terhadap Tuhan atau Dewa, serta sekaligus sebagai sarana penghubung di antara manusia. Agama masuk dalam ruang bawah sadar dan mengejawantah dalam kehidupan sehari hari para pengikutnya. Selain itu, agama diartikan sebagai kepercayaan terhadap Tuhan, dewa dan sebagainya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Poerwadarminto, 1976).

Dari sisi bentuknya agama terkadang didefinisikan sebagai kebudayaan batin manusia yang memiliki potensi psikologis yang mempengaruhi jalan hidup manusia. Sementara itu, apabila dilihat dari segi isinya agama adalah ajaran atau wahyu Tuhan yang tidak bisa dianggap sebagai kebudayaan (Arifin, 1987). Dua gagasan ini kemudian menghasilkan pembedaan antara agama wahyu dan agama yang dianggap sebagai kebudayaan. Kategori pertama biasanya merujuk pada tiga agama besar yang diyakini sumbernya berasal dari wahyu yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Sedangkan kategori kedua berasal dari hasil karya cipta manusia atau masyarakat sendiri, di antaranya adalah ajaran Kun Fu Tse, ajaran Taoisme, agama Hindu dan Budha. Selain kategorisasi tersebut, ahli antropologi dan sosiologi juga membagi agama menjadi dua kelompok besar yaitu spiritualisme dan materialisme. Spiritualisme merupakan agama penyembah dzat yang tidak berbentuk/gaib; yang kemudia dibagi lagi menjadi agama penyembah Roh dan penyembah Tuhan. Materialisme memiliki kepercayaan akan

(30)

(perilaku) yang timbul akibat adanya kepercayaan di atas. Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori tindakan etis; (3) Cult merupakan upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayai tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak kepercayaan tadi; (4)

Community yakni adanya kenyataan suatu umat (komunitas)

yang terkait dalam kepercayaan itu.

Menurut Canon, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Arifin (2009 : 57), memberikan batasan yang lebih longgar mengenai agama, sebagai berikut:

“Agama mungkin secara generik didefinisikan sebagai sistem simbol (seperti kata dan isyarat, cerita dan praktik, objek dan tempat) yang secara religius berfungsi, yaitu rangkaian sistem simbol yang digunakan oleh partisipan untuk mendekat-kan diri kepada, hubungan yang benar dan sesuai dengan segala sesuatu yang dianggap realitas paling puncak”.

Meskipun terdapat berbagai ragam cara memahami dan mendefinisikan agama, satu hal yang penting ditekankan oleh Canon, dalam Syamsul Arifin (2009: 7) bahwa semua tradisi agama menekankan pada suatu praktik keagamaan yang menuntut keterlibatan para pelakunya secara mendalam sehingga dapat mengembangkan kedekatan dengan apa yang diyakini sebagai Realitas Mutlak (Ultimate Reality).

Budaya maupun adat istiadat yang melekat dalam kepercayaan sebuah komunitas atau masyarakat yang memiliki keempat ciri tersebut bisa dikatakan sebagai agama, meski oleh penganutnya sendiri tidak menyebutnya sebagai agama. Dengan demikian, para penganut penghayat

(31)

kepercayaan juga dapat dikatakan sebagai pemeluk agama. Dengan kata lain Sunda Wiwitan, Parmalim, Wetu Telu, dan juga

Tolotang bisa disebut sebagai agama yang memiliki hak untuk

tumbuh dan berkembang dan tidak layak untuk didiskriminasi.

Keberadaan agama dalam masyarakat juga memiliki beberapa fungsi antara lain; Berfungsi edukatif karena ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang; fungsi penyelamatan karena agama membawa petunjuk atau doktrin untuk mendapatkan keselamatan terutama bagi kehidupan setelah di dunia ini; fungsi perdamaian karena agama mengajarkan kebaikan budi, keselarasan, dan harmoni dalam kehidupan; fungsi social control karena agama memberi arah bagi kehidupan bersama dan bermasyarakat; fungsi solidaritas karena agama membangun ikatan sosial dan komitmen bersama para pemeluknya; dan fungsi transformatif di mana agama memberi mendorong terjadinya perubahan sosial menuju pada peradaban; fungsi kreatif karena agama dapat menjadi inspirasi munculnya kreativitas umat beragama dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan terutama budaya; dan fungsi sublimatif di mana fungsi agama tidak lepas dari spiritualitas, di mana penghayatan terhadap nilai-nilai menjadi point penting (Setiadi,et.al., 2009:149).

Berangkat dari kajian-kajian di atas, maka antara agama dan kepercayaan tidak bisa dipisahkan, sekaligus secara substansial tidak memiliki berbeda. Agama dan kepercayaan memiliki peran dan fungsi dalam konteks personal dan sosial sekaligus. Dalam konteks Indonesia, pengertian agama dan kepercayaan dipahami secara terpisah, di mana agama ditujukan untuk merujuk pada kelompok keagamaan besar (mayor), sedangkan kepercayaan digunakan (perilaku) yang timbul akibat adanya kepercayaan di atas.

Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori tindakan etis; (3) Cult merupakan upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayai tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak kepercayaan tadi; (4)

Community yakni adanya kenyataan suatu umat (komunitas)

yang terkait dalam kepercayaan itu.

Menurut Canon, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Arifin (2009 : 57), memberikan batasan yang lebih longgar mengenai agama, sebagai berikut:

“Agama mungkin secara generik didefinisikan sebagai sistem simbol (seperti kata dan isyarat, cerita dan praktik, objek dan tempat) yang secara religius berfungsi, yaitu rangkaian sistem simbol yang digunakan oleh partisipan untuk mendekat-kan diri kepada, hubungan yang benar dan sesuai dengan segala sesuatu yang dianggap realitas paling puncak”.

Meskipun terdapat berbagai ragam cara memahami dan mendefinisikan agama, satu hal yang penting ditekankan oleh Canon, dalam Syamsul Arifin (2009: 7) bahwa semua tradisi agama menekankan pada suatu praktik keagamaan yang menuntut keterlibatan para pelakunya secara mendalam sehingga dapat mengembangkan kedekatan dengan apa yang diyakini sebagai Realitas Mutlak (Ultimate Reality).

Budaya maupun adat istiadat yang melekat dalam kepercayaan sebuah komunitas atau masyarakat yang memiliki keempat ciri tersebut bisa dikatakan sebagai agama, meski oleh penganutnya sendiri tidak menyebutnya sebagai agama. Dengan demikian, para penganut penghayat

(32)

untuk merujuk kelompok keagamaan kecil (minor). Walaupun demikian, bangsa Indonesia telah bersepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara, di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Berketuhanan merupakan landasan setiap agama dan kepercayaan, sehingga setiap warga negara yang beraam dan berkepercayaan mendapatkan hak dan jaminan melaksanakan agama dan kepercayaannya yang dilindungi oleh konstitusi (Pasal 29 UUD 1945).

Kesepakatan tersebut merupakan paling mendasar dalam diskusi terkait agama dan kepercayaan di Indonesia. Rasanya sulit untuk mendapatkan kesepakatan/makna tunggal terhadap definisi agama. Oleh karena itu, kriteria gejala keagamaan yang hidup di masyarakatlah yang dapat disepakati bersama, mengingat Indonesia adalah “negara kesepakatan”. Kajian-kajian ini diharapkan dapat menuju pada kesepakatan tersebut tentunya dalam konteks pelayanan negara. Kesepakatan negara sudah barang tentu dalam bentuk regulasi dan peraturan yang tentunya mempertimbangkan berbagai aspek baik sosial, politik, maupun kesejarahan.

Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama merujuk pada kebebasan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang untuk membuat keputusan apa pun sehubungan dengan agama dan nilai-nilai yang diyakini. Koshy (1992, dalam Hafsin, 2010), kebebasan beragama (religious liberty atau religious freedom) memiliki empat aspek utama; kebebasan nurani (liberty of conscience), kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan, (liberty of

(33)

keagamaan (liberty of religious association) dan kebebasan untuk melembagakan ajaran keagamaan (liberty of reli-gious

institutionalization). Di antara keempat aspek tersebut, aspek

pertama, yakni aspek kebebasan nurani merupakan hak yang paling asli dan absolut dalam pengertian bahwa ketidakterpisahannya (inalienability) dari diri seseorang melampaui ketiga aspek lainnya.

Kebebasan beragama berdimensi internal dan sekaligus eksternal. Oleh karena itu kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan dan nilai-nilai agamanya, tidak boleh sampai mengakibatkan hilang atau terhambatnya kebebasan agama orang atau kelompok lain. Kebebasan nurani (liberty of conscience) masuk dalam dimensi internal sedangkan kebebasan mengekspresikan ajaran agama, kebebasan membentuk asosiasi keagamaan serta kebebasan melembagakan ajaran agama masuk dalam dimensi eksternal. Jika dimensi internal sifatnya absolut, maka dimensi eksternal bersifat relatif, dalam arti bahwa hak untuk mengekspresikan keyakinan keagamaan, hak melembagakan ajaran agama serta hak untuk membentuk asosiasi keagamaan terkait erat dengan institusi sosial lainnya seperti hukum dan politik. (Hafsin, 2010)

Dengan kebebasan beragama, berarti seseorang antara lain dapat: (1) beriman, beribadah dan memberi kesaksian keagamaannya seperti yang ia kehendaki (atau sebaliknya: membebaskan dirinya dari semua itu), tanpa gangguan apa pun; (2) mengganti keimanan atau agamanya kapan dan di mana saja; dan (3) membentuk serta menjalankan organisasi keagamaan untuk mengekspresikan keyakinan keagamaannya, dan untuk menjelaskannya kepada pihak lain. (Fauzi dan Panggabean (eds.). 2009)

untuk merujuk kelompok keagamaan kecil (minor). Walaupun demikian, bangsa Indonesia telah bersepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara, di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Berketuhanan merupakan landasan setiap agama dan kepercayaan, sehingga setiap warga negara yang beraam dan berkepercayaan mendapatkan hak dan jaminan melaksanakan agama dan kepercayaannya yang dilindungi oleh konstitusi (Pasal 29 UUD 1945).

Kesepakatan tersebut merupakan paling mendasar dalam diskusi terkait agama dan kepercayaan di Indonesia. Rasanya sulit untuk mendapatkan kesepakatan/makna tunggal terhadap definisi agama. Oleh karena itu, kriteria gejala keagamaan yang hidup di masyarakatlah yang dapat disepakati bersama, mengingat Indonesia adalah “negara kesepakatan”. Kajian-kajian ini diharapkan dapat menuju pada kesepakatan tersebut tentunya dalam konteks pelayanan negara. Kesepakatan negara sudah barang tentu dalam bentuk regulasi dan peraturan yang tentunya mempertimbangkan berbagai aspek baik sosial, politik, maupun kesejarahan.

Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama merujuk pada kebebasan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang untuk membuat keputusan apa pun sehubungan dengan agama dan nilai-nilai yang diyakini. Koshy (1992, dalam Hafsin, 2010), kebebasan beragama (religious liberty atau religious freedom) memiliki empat aspek utama; kebebasan nurani (liberty of conscience), kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan, (liberty of

(34)

Kebebasan beragama telah diakui sebagai hak asasi manusia (HAM) secara internasional, di antaranya dinyatakan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang disahkan PBB pada 16 Desember 1966 (Mudzhar, 2009).

Dalam pasal 18 konvenan tersebut dinyatakan:

(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.

(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. (3) Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya

seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.

(4) Para negara pihak (yang meratifikasi) kovenan ini bertekad untuk menghormati kebebasan orang tua atau wali untuk menjamin pendidikan agama dan budi pekerti anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka.

Menurut Ayat 3 Pasal 18 di atas, kebebasan untuk mewujudkan agama atau keyakinan seseorang hanya boleh dibatasi oleh hukum dan pembatasan-pembatasan yang

Gambar

Tabel 1. Kondisi Umat Beragama di Tiga Lokasi      Pati - Jateng  Malang  -
Tabel  3.  Data Organisasi Penghayat Kepercayaan di Kota  Malang
Tabel 4.  Data Organisasi Penghayat Kepercayaan Di  Kabupaten Malang
Tabel 4.  Data Organisasi Penghayat Kepercayaan Di  Kabupaten Malang
+4

Referensi

Dokumen terkait

Result of this hydrolysis matching with explained by Soebijanto that best pH for the hydrolysis is 2.3, glucose rate used in course of fermentation equal to 26.29 % what

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (2009) adalah:.. Sesuatu yang telah dan sedang kita alami akanikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita

Hasil! yang! dicapai! dalam! kegiatan! pengabdian! pada! masyarakat! dengan! model! sumur)

Proses penuaan dapat disebabkan oleh Pola hidup yang tidak sehat salah satunya merokok, asap rokok dan berbagai zat kimia radikal bebas yang terkandung dalam

Logam-logam seperti emas dan perak merupakan bahan penting dalam menentukan nilai setiap mata wang yang digunakan. Wang emas dan perak telah digunakan oleh kebanyakan negara sejak

Mahasiswa Tugas Akhir Program Studi Teknik Elektro harus mendapatkan pengalaman melakukan Engineering Process yang utuh, dan hal tersebut dapat diperoleh dengan melaksanakan

8) Ikrar Wakaf, Sumber ini adalah hasil photo copy yang diberi Fahmi, selaku pengurus Pondok Pesantren Sirojul Huda. Sumber ini adalah asli yang diketik dalam kertas HVS

Terkait dengan tawaran pengembangan kajian hadis, kesimpulan penting yang bisa diambil adalah bahwa kritik sanad perlu dikembangkan pada pemanfaatan data-data yang berasal