• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelayanan Pencatatan Perkawinan

Dalam dokumen NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN (Halaman 98-102)

Peristiwa perkawinan termasuk peristiwa kependudukan penting yang menurut undang-undang kependudukan termasuk peristiwa yang harus dicatatkan. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan itu sendiri dapat sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan peristiwa perkawinan khusus untuk warga negara beragama Islam dilakukan oleh petugas pencatat perkawinan dari Kantor Urusan Agama (KUA), adapun umat beragama selain Islam dan termasuk penganut Aliran Kepercayaan pencatatan perkawinan dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Atas pencatatan peristiwa perkawinan itu, lembaga-lembaga yang berwenang tersebut mengeluarkan akta perkawinan sebagai bukti bahwa perkawinan yang

dilakukan telah sah secara agama dan mendapatkan pengakuan legal dari negara.

Pelayanan pencatatan perkawinan dengan penerbitan akta perkawinan terhadap peristiwa perkawinan yang dilakukan oleh umat dari enam agama (Islam, Kristen, Katolik Hindu, Budha, dan Khonghucu) tidak ada persoalan. Hal ini karena agama-agama tersebut memang sudah sejak awal dilayani pencatatan perkawinannya, kecuali agama Khonghucu yang pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama, sehingga pelayanannya baru bisa terlayani setelah era reformasi. Termasuk juga pelayanan perkawinan bagi penghayat kepercayaan, pada saat sekarang ini perkawinan penganut aliran kepercayaan dengan tata cara aliran kepercayaannya telah dapat dicatatkan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Namun perkawinan pada umat beragama selain enam agama tersebut belum bisa dilayani untuk pencatatan perkawinannya. Akibatnya, keluarga umat Baha’i yang telah melaksanakan prosesi perkawinan menurut agama Baha’i tidak bisa mendapatkan akta perkawinan dari Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati dan Malang. Agama Baha’i bukanlah termasuk aliran dalam agama Islam. Oleh karena itu tidak dapat dilayani pencatatan perkawinannya oleh KUA yang hanya khusus melayani pencatatan perkawinan umat Islam. Namun untuk mendapatkan pelayanan pencatatan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, perkawinan umat Baha’i ini tertolak karena bagi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Agama Baha’i ini belum jelas kedudukannya apakah sebagai agama atau bukan.

Penganut Agama Baha’i dan Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan YME boleh mengosongkan kolom agama (tidak memilih enam agama) namun dalam database di Dispendukcapil setempat terekam identitas agama/ kepercayaan mereka. Hal ini karena dalam form isian awal pendaftaran penduduk atau pencatatan perkawinan harus memilih kepercayaan/agama lainnya dan mencantumkan nama kelompok kepercayaannya itu dengan melampirkan bukti dokumen identitas dari pimpinan kelompok/ lembaganya. Pandangan birokrat (Dispendukcapil), pada kartu identitas seseorang jika kolom agamanya tidak terisi maka individu tersebut adalah penganut kepercayaan atau agama lainnya.

2. Pelayanan Pencatatan Perkawinan

Peristiwa perkawinan termasuk peristiwa kependudukan penting yang menurut undang-undang kependudukan termasuk peristiwa yang harus dicatatkan. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan itu sendiri dapat sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan peristiwa perkawinan khusus untuk warga negara beragama Islam dilakukan oleh petugas pencatat perkawinan dari Kantor Urusan Agama (KUA), adapun umat beragama selain Islam dan termasuk penganut Aliran Kepercayaan pencatatan perkawinan dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Atas pencatatan peristiwa perkawinan itu, lembaga-lembaga yang berwenang tersebut mengeluarkan akta perkawinan sebagai bukti bahwa perkawinan yang

Polemik ini sebenarnya telah terjawab dengan adanya surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri yang menjelaskan tentang keberadaan Agama Baha’i. Pertanyaan tersebut terkait keperluan Kemendagri memiliki dasar dalam memberi pelayanan administrasi kependudukan. Menteri Agama memberi jawaban bahwa Agama Baha’i adalah termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dan umat Baha'i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dan lain-lain dari Pemerintah (Dokumen Surat Menteri Agama No. MA/276/2014 tentang Penjelasan Mengenai Keberadaan Baha’i di Indonesia).

Pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil belum bisa melayani pencatatan perkawinan umat agama Baha’I saat ini. Hal ini karena belum adanya pedoman tehnis untuk melayani warga negara di luar enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu). Ketiadaan aturan untuk melayani pencatatan perkawinan di luar enam agama tersebut menyebabkan pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati dan Malang tidak berani memberikan pelayanan terhadap umat Baha’i. Akibatnya umat Baha’i tidak memiliki akte perkawinan yang diterbitkan oleh Dinas kependudukan dan Catatan Sipil.

Kasus serupa juga dialami oleh warga komunitas Sedulur Sikep yang menganut Agama Adam di Desa Baturejo Sukolilo dan Penganut Agama Marapu di Sumba Barat NTT. Perkawinan mereka umumnya tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Ada dua faktor penyebab tidak tercatatkannya perkawinan Sedulur Sikep. Pertama,

karena mereka sendiri memang tidak berniat untuk mencatatkan perkawinan tersebut karena memandang hal itu tidak penting bagi kehidupan mereka. Kedua, pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak dapat melayani pencatatan perkawinan tersebut karena tidak dilakukan menurut aturan dari salah satu dari enam agama. Demikian juga Kantor Urusan Agama (KUA) setempat tidak bisa melayani pencatatan perkawinan tersebut karena bukan termasuk umat Islam.

Adapula kejadian penganut Marapu untuk mendapatkan bukti pencatatan perkawinan mereka masuk ke agama Islam. Proses pencatatan perkawinan biasanya lebih rumit. Selain syarat-syarat yang telah ditentukan, pengantin juga harus memperoleh pernyataan dari kedua orang tua diketahui kepala desa sebagai tindakan prefentif apabila ada permasalahan di kemudian hari. Prosesi syahadat dilimpahkan kepada takmir masjid dengan surat pernyataan masuk Islam dari yang bersangkutan. Setelah seagama Islam baru proses KUA dilaksanakan dan di dahului adat belis sebelumnya. Mahar yang biasa di KUA yaitu seperangkat alat sholat dan jarang terjadi mahar berupa uang. Pernah pula mahar berupa uang 10 ribu.

Nasib Umat Baha’i, Sedulur Sikep dan Penganut Marapu yang tidak bisa dilayani untuk pencatatan perkawinannya oleh negara tersebut berbeda dengan nasib kelompok aliran kepercayaan. Perkawinan yang dilakukan oleh penghayat atau penganut aliran kepercayaan sejak tahun 2007 telah dapat dicatatkan dan dikeluarkan akta perkawinannya oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Hal ini karena pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Polemik ini sebenarnya telah terjawab dengan adanya

surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri yang menjelaskan tentang keberadaan Agama Baha’i. Pertanyaan tersebut terkait keperluan Kemendagri memiliki dasar dalam memberi pelayanan administrasi kependudukan. Menteri Agama memberi jawaban bahwa Agama Baha’i adalah termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dan umat Baha'i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dan lain-lain dari Pemerintah (Dokumen Surat Menteri Agama No. MA/276/2014 tentang Penjelasan Mengenai Keberadaan Baha’i di Indonesia).

Pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil belum bisa melayani pencatatan perkawinan umat agama Baha’I saat ini. Hal ini karena belum adanya pedoman tehnis untuk melayani warga negara di luar enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu). Ketiadaan aturan untuk melayani pencatatan perkawinan di luar enam agama tersebut menyebabkan pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati dan Malang tidak berani memberikan pelayanan terhadap umat Baha’i. Akibatnya umat Baha’i tidak memiliki akte perkawinan yang diterbitkan oleh Dinas kependudukan dan Catatan Sipil.

Kasus serupa juga dialami oleh warga komunitas Sedulur Sikep yang menganut Agama Adam di Desa Baturejo Sukolilo dan Penganut Agama Marapu di Sumba Barat NTT. Perkawinan mereka umumnya tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Ada dua faktor penyebab tidak tercatatkannya perkawinan Sedulur Sikep. Pertama,

Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Pada Bab X PP No. 37 Tahun 2007 tersebut diatur dengan rinci persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan. Berdasarkan peraturan ini, maka Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat melayani pencatatan perkawinan yang dilakukan berdasarkan ajaran aliran kepercayaan.

Tiadanya pelayanan pencatatan perkawinan terhadap Umat Baha’i, Sedulur Sikep yang menganut agama Adam, dan penganut agama Marapu berakibat pada tidak adanya pengakuan negara secara legal formal terhadap perkawinan mereka. Ketiadaan pengakuan ini berdampak pada keluarga terutama masalah status anak dalam pencatatan kelahiran atau akta kelahiran.

Dalam dokumen NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN (Halaman 98-102)