• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelayanan Pendidikan

Dalam dokumen NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN (Halaman 104-108)

Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara pada usia sekolah harus mendapatkan pendidikan. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, setiap peserta didik berhak untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama. Negara telah memenuhi kewajiban pendidikan ini dengan mengatur pendidikan agama dan keagamaan. Pada pendidikan agama, ditegaskan bahwa lembaga pendidikan harus memberikan pendidikan agama kepada anak didik dan

menyediakan guru agama, dan apabila tidak mampu dapat bekerjasama dengan masyarakat. Dengan demikian apabila sekolah tidak tersedia guru yang seagama dengan anak didik, maka anak didik tersebut dapat diajar oleh tokoh agama atau guru yang ditunjuk oleh majelis agama dari anak didik tersebut.

Pelayanan pendidikan terhadap anak didik yang menganut salah satu dari enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu) tidak ada masalah karena terlayani oleh Kementerian Agama. Namun untuk anak didik yang berasal dari agama di luar agama yang enam tersebut, belum dapat dilayani semua. Kasus di kabupaten Pati, dinas pendidikan belum bersedia untuk memberikan izin penyelenggaraan pendidikan agama di luar enam agama tersebut. Hal ini menjadi persoalan karena di Kabupaten Pati terdapat komunitas penganut agama Baha’i, di mana anak-anak Baha’i tidak dapat dilayani untuk mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan mereka.

Walaupun dari dinas pendidikan menyatakan tidak dapat melayani, karena berdasarkan peraturan pendidikan agama hanya melingkupi pendidikan dari enam agama saja, tetapi kebijakan tiap-tiap sekolah nampaknya berbeda-beda. Di Kecamatan Margoyoso Pati, ada sekolah yang bersedia memberikan kesempatan siswa Baha’i untuk mendapatkan pendidikan agama Baha’i. Pelayanan pendidikan agama bagi anak-anak penganut agama Baha’i di Kota Malang juga belum sesuai dengan keinginan mereka, mereka masih mengikuti pendidikan agama dari agama yang dipilih meski dalam keseharian mereka beribadah sesuai ajaran Baha’i.

Adapun pada komunitas Sedulur Sikep di Pati, pola pendidikan mereka masih tradisional, yakni pendidikan oleh seorang ibu tanpa menyebutkan nama ayah dalam akta

tersebut.

Walaupun demikian, dalam Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati untuk keluarga-keluarga penganut agama Baha’i di Desa Cebolek Kidul ini mencantumkan nama ayah dan nama ibu dari anak-anak mereka. Hanya saja, keterangan agama dalam kolom agama di KK tersebut tidak dituliskan nama agama Baha’i melainkan hanya berisi tanda strip (-). Hal tersebut sebagaimana kasus KTP, yakni identitas agama dalam kolom agama hanya diberi tanda strip (-). Tidak dicantumkannya nama agama Baha’i dalam KK maupun KTP tersebut karena Undang-undang No. 23 Tahun 2006 (Pasal 61) menyebutkan bahwa keterangan kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

4. Pelayanan Pendidikan

Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara pada usia sekolah harus mendapatkan pendidikan. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, setiap peserta didik berhak untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama. Negara telah memenuhi kewajiban pendidikan ini dengan mengatur pendidikan agama dan keagamaan. Pada pendidikan agama, ditegaskan bahwa lembaga pendidikan harus memberikan pendidikan agama kepada anak didik dan

keluarga. Bagi Sedulur Sikep, orang tua adalah guru yang sejati bagi anak-anak Sedulur Sikep. Hal ini menyebabkan anak-anak Sedulur Sikep sangat sedikit yang bersekolah. Adanya guru yang mengajarkan ajaran Sikep, oleh warga Sedulur Sikep sendiri dipandang tidak sesuai, dan tidak diakui oleh mereka.

Pendidikan anak Merapu di sekolah mengikuti pelajaran agama yang diadakan sesuai guru sekolahnya, baik Kristen atau Katholik. Tidak ada pilihan lain asal anak-anak bisa mendapat pendidikan agama meskipun tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan alasan kekurangan tenaga pengajar maka dalam kenyataannya banyak guru agama yang hanya lulusan SMA. Mereka yang baru selesai studi diminta untuk mengajar di sekolah. Kekurangan tenaga pengajar hampir terjadi di Pulau Sumba pada umumnya, sehingga ketika ada lulusan SMA yang baru selesai mereka diminta masyarakat atau lembaga untuk menjadi guru di suatu sekolah. Dengan demikian, jangankan penyediaan guru agama, sedangkan guru secara umum saja di wilayah ini mengalami kekurangan.

Pendidikan bagi anak-anak penganut aliran kepercayaan, umumnya mereka akan mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianut. Hal ini karena sebagian penganut aliran adalah penganut agama, atau yang masuk dalam kelompok jalan dan alternatif. Permasalahan pendidikan terhadap anak penganut Aliran kepercayaan adalah yang menganut aliran kepercayaan murni. Sementara ini di Pati tidak ada tuntutan untuk pengajaran aliran kepercayaan. Kasus yang pernah terjadi di kabupaten Kudus, di mana ada siswa yang tidak bersedia mengerjakan soal tes agama, karena ia penganut Sedulur Sikep. Persoalan ini

sempat dibawa sampai ke dinas pendidikan di tingkat provinsi dan bahkan sampai Jakarta. Akhirnya, diputuskan si anak ini dibuatkan soal tersendiri oleh tokoh Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) dan nilainya untuk pengganti agama.

Pandangan dari pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten Pati, apabila semua kelompok meminta pendidikan agama atau keyakinannya sendiri-sendiri, maka pemerintah yang akan repot sendiri. Kualitas pendidikan agama menjadi tidak bisa distandarkan, karena kelompok-kelompok kepercayaan, agama Baha’i, atau agama apapun, dituntut gurunya sesuai standar dan ketentuan formal. Selain itu, dinas pendidikan juga tidak bisa melakukan pelayanan pendidikan untuk kepercayaan karena aturan yang berlaku pendidikan agama di sekolah hanya untuk yang kategori agama.

Layanan pendidikan pada sekolah maupun perguruan tinggi yang belum bisa mengakomodir kepentingan umat agama di luar enam agama ‘resmi’ karena kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pada regulasi ini hanya disebut enam agama ‘resmi’ yang memiliki satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dalam Pasal 1. Meskipun pada Pasal 4 PP Nomor 55 Tahun 2007 mengamanatkan: “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur,

jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama”. Frase ‘agama yang dianutnya’ ini memberikan

konsekuensi kembali kepada enam agama ‘resmi’ meskipun tidak ada rumusan yang jelas terhadap agama apa saja yang keluarga. Bagi Sedulur Sikep, orang tua adalah guru yang

sejati bagi anak-anak Sedulur Sikep. Hal ini menyebabkan anak-anak Sedulur Sikep sangat sedikit yang bersekolah. Adanya guru yang mengajarkan ajaran Sikep, oleh warga Sedulur Sikep sendiri dipandang tidak sesuai, dan tidak diakui oleh mereka.

Pendidikan anak Merapu di sekolah mengikuti pelajaran agama yang diadakan sesuai guru sekolahnya, baik Kristen atau Katholik. Tidak ada pilihan lain asal anak-anak bisa mendapat pendidikan agama meskipun tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan alasan kekurangan tenaga pengajar maka dalam kenyataannya banyak guru agama yang hanya lulusan SMA. Mereka yang baru selesai studi diminta untuk mengajar di sekolah. Kekurangan tenaga pengajar hampir terjadi di Pulau Sumba pada umumnya, sehingga ketika ada lulusan SMA yang baru selesai mereka diminta masyarakat atau lembaga untuk menjadi guru di suatu sekolah. Dengan demikian, jangankan penyediaan guru agama, sedangkan guru secara umum saja di wilayah ini mengalami kekurangan.

Pendidikan bagi anak-anak penganut aliran kepercayaan, umumnya mereka akan mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianut. Hal ini karena sebagian penganut aliran adalah penganut agama, atau yang masuk dalam kelompok jalan dan alternatif. Permasalahan pendidikan terhadap anak penganut Aliran kepercayaan adalah yang menganut aliran kepercayaan murni. Sementara ini di Pati tidak ada tuntutan untuk pengajaran aliran kepercayaan. Kasus yang pernah terjadi di kabupaten Kudus, di mana ada siswa yang tidak bersedia mengerjakan soal tes agama, karena ia penganut Sedulur Sikep. Persoalan ini

boleh dianut oleh siswa. Pemahaman tentang ini juga harus kembali memperhatikan pada Pasal 3 regulasi tersebut yang menyebutkan: “Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh

Menteri Agama”. Dengan demikian maka yang dilayani

adalah pendidikan agama dari enam agama yang ada di Kemenag. Hal inilah yang membatasi ruang bagi pengembangan kurikulum dan memberikan pelajaran agama di luar enam agama yang ada di Kemenag. Akibatnya, sekolah dan perguruan tinggi pun hanya menerima peserta didik dan mahasiswa yang mau menerima pendidikan agama dari salah satu dari enam agama di Kemenag.

Dalam dokumen NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN (Halaman 104-108)