• Tidak ada hasil yang ditemukan

15. Tak usahlah berkata dua kali (ia).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "15. Tak usahlah berkata dua kali (ia)."

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

1. Teruntai-untailah mentimun, berpaling-paling.

2. Berbalik-baliklah kau ceritera, engkau [yang] menggembirakan, ceritera orang dahulu kala. 3. Entah tersebut orang keramat, entah terbilang orang sakti,

4. (Sebab) kamulah tutur kami menyebut, minta maaflah [kami] kepada kamu sekalian. 5. (Kamu yang) disebut, orang kuat, orang berkuasa,

6. (Kepada) orang gagah orang berani, orang bukit orang pematang, minta maaflah lami; kalau terlampau, minta ampun.

7. Zaman dulu kita bertuankan batu, kita bersembah kepada petir. 8. Nama (negeri) dusun itu Dusun Tanjung Pasar Orang Ramai.

9. Adalah raja dua laki-bini; seorang bernama Tuan Sunan Meraja Tua, dan isterinya bernama Puteri Inang Kinantan Agung.

10. “Sudah lama hamba bertunda, sudah lama hamba seleret (bersama); apa lagi kita ini, adik?” Itu kata Tuan Sunan Meraja Tua.

11. Tuan Sunan Meraja Tuan berkata: “Habis hari berganti hari, habis bulan berganti bulan, habis tahun berganti tahun, kita berdua (yang) mempunyai sawah.”

12. Menjawablah Puteri Inang Kinantan Agung: “Apa kakak? Sudah berbancang begitu!” 13. “Apakah (tipu-)daya yang tertiba (terjadi), apakah sifat (buruk) yang datang?” Itulah kata

orang muda.

14. “Sudah lama kita bersitunda, (serempak) berkasih-kasihan; sudah hendak membimbing anak bujang sama seleret (berkawin), hendaklah membimbing anak gadis.”

15. Tak usahlah berkata dua kali (ia).

16. “Kalau emas, banyaklah pada kita; kalau padi rengkiang, tujuh berderet.”

17. “Harta benda kerbau kambing banyaklah pada kita; (tetapi) rendah bangsa (kita) (karena) tidak beranak.”

18. Begitulah katanya. Puteri Inang Kinantan Agung, terdengar kata itu, air mata(nya) (ber)titik dua (ber)titik tiga, seperti manik keputusan tali mendengar kata kakak tua(nya) berbancang begitu.

19. “O kakak, sudah itu kita berdua (sudah berselisih kita); apa kehendak (hati) kau kakak, kuturuti saja.”

20. Begitulah katanya. “Marilah kita berlain tempat, marilah kita berlain tidur bercerai belum boleh.”

21. “Kita mencari pikiran yang baik, kita memikir tujuan yang elok.”

22. Terdengarlah kata itu, “Daun tutup (bumi) daun jelatang, ketiga sembilan hari; yang dituntut sudah datang; itu (benar-benar) kehendak hati.” Begitulah kata Tuan Sunan Meraja Tua.

23. Maka puteri berangkat (tatkala itu), berangkat ke anjung Mahligai Tinggi.

24. Tuan Sunan meraja Tua masuk ke dalam kamar dalam. Orang (mereka keduanya) hendak berlain tempat, hendak berlain tidur.

(2)

25. Hari sudah lewat dengan ketikanya; habis hari berganti hari, habis bulan berganti bulan, orang mulai berlain tempat, orang mulai berlain tidur.

26. Hai kawan, tersebut pula bujang dan gadis, bujang hamba orang berdua! Silembek Bujang (dan) Sikembang Gadis katanya:

27. “Bagaimana? Apakah tuan kita hendak berlain tempat, berlain tidur? Apa pula mereka berdua itu? Ada (tipu-)daya yang tertiba? Apa dirusuhkan mereka keduanya?

28. “Kalau padi, banyaklah dia; kalau emas, berbagai-bagai; adalah rengkiangnya tujuh berderet; kalau hendak kerbau, berluluk di pematang, inggut di belukar.” Begitulah katanya.

29. Menjawablah Silembek Bujang: “Barangkali juga tuan kita itu, telah berselisih-paham dua orang itu, hai kawan.”

30. Silembek Bujang dan Sikambang Gadis pergi meninjau ke anjung. Di atas anjung Mahligai Tinggi, Silembek Bujang telah mengetuk pintu dalam tiga kali.

31. Tatkala itu, berkatalah Sikembang Gadis, ketua dayang gadis Puteri Nek Kinantan Agung: “Bukakan pintu anjung Mahligai Tinggi!”

32. Sudah diketok tiga kali, baru terbuka alang pintu anjung. Berkatalah orang itu keduanya: “Tak salah, tak apa-apa, aku bertanya kepada tuan gaids.” Apa yang ditanyai Sikembang Gadis?

33. Maka bertanyalah (ia) kepada tuan gadis – apa yang ditanya(kan) itu? “Eh tuan gadis Puteri Kecek Simabok Alam (!), apa yang tuan merajuk, mengapa tuan bengis? Kalau harta, banyaklah pada tuan; (kalau) padi, tujuh rengkiang tujuh berderet; kalau emas, berbagai-bagai, kalau kerbau, berluluk di pematang, inggut di belukar.”

34. Menjawablah Puteri Inang Kinantan Agung: “Ada sebab(nya), hai Kembang Gadis. Kalau harta, tak usah dibilang, kalau padi, tak usah dihitung, kata kakak tua.”

35. “(Kawan) bersama-sama sudah beriring anak gadis; kawan seumur sudah beriring anak bujang – (tetapi) kami itu, tak ada (anak) juga; itu (jadi) kelebihan (sia-sia) kami (di) dunia ini!” Begitulah katanya. Kembang Gadis, (waktu) terdengar kata itu, (awak) turunlah ke datar (ke bawah), ke halaman panjang, telah bertutup (tertutup) Pintu Anjung Mahligai Tinggi.

36. Tersebut pula orang itu (keduanya); sudah lama berasing (berpisah) tempat, sudah lama berasing tidur. Hari lewat dengan ketika(nya); habis hari berganti hari, habis bulan berganti bulan, awak berlain tempat. Tiba-tiba (turun) hujan lebat, kelam buta kelam kabut waktu itu; terlelap sekali awak tertidur, Puteri Inang Kinantan Agung, terlelap sekali ia tertidur, mengeruh; lebih (nyenyak) dari mayat turun ke halaman (?) (ia) tidur.

37. Awak sedang tidur nyenyak; tibalah seorang orang tua setutuanya, bertongkat(kan) semambu kuning, berdestar(kan) destar batik, berserual(kan) serual meriak kumbang padang, (ber)baju raja tiga (ber)warna; pagi-pagi berkilat hijau, siang hari berkilat biru, panas hari berkilat hijau, petang-petang berkilat kuning.

38. Berserual(kan) serual panjang (ber)beluderu halus; tiap pisak berisi(kan) hikmat; isi hikmat (meng)gila(kan) (sama)sekali, gilalah bujang dan gadis.

39. Disandang(nya) pedang jinawi halus, bersisip (dengan) keris kecil penikam batu, (jadi) penikam batu pelekat(?) batu ara.

(3)

40. Berkatalah orang tua tadi: “Engkau (ini) cucu, mengapakah engkau (kamu) berlain(an) tempat, berlain(an) tidur? Apa yang kaurusuh(kan), cucu?”

41. Begitulah kata orang tua tadi. Menjawablah Puteri Inang Kinantan Agung: “Ayohai Nénék, inilah sebabnya: pergi serempak (berkasih-kasihan) beriring anak bujang, kawan seleret (berkawin) membimbinglah anak gadis! Itulah sebabnya.” Berkata pula orang tua tadi: “Kalau engkau hendak menghidupkan ranting mati, mengembangkan bunga layu, hendaklah berkenduri engkau di kaki (pantai) puncak Gunung Cermin.” Begitulah katanya. 42. Awak sedang elok (senang) bermimpi, terkejut terbangun ia, melihat ke kiri, melihat ke

kanan; terpekiklah puteri , menangis.

43. “Apa sebabnya, apa pula yang terdatang (terjadi), ghaib apa yang tertiba?” Begitulah katanya.

44. Kira-kira hampir (ke) siang (hari), puteri turunlah dari anjung mahligai tinggi menuju ke pintu, menuju ke (tempat) tidur kakak tua, Tuan Sunan Meraja Tua.

45. Diketuk(nya) pintu (tatkala itu): “Eh kakak tua, Tuan Meraja Tua, (tolong) buka pintu. Ada sebabnya, hamba hendak berbicara dengan kakak.” Begitulah katanya. Tuan Sunan Meraja Tua, mendengarkan cakapnya, dibukanya pintu, keluarlah (ia).

46. “Apa ditanya adik sekarang juga, apa ceritera(mu) kepada aku?” Begitulah kata tuan raja tadi.

47. (Berjawablah) tuan puteri: “Hai kakak tua, tadi malam hamba terlelap tidur.” 48. “Apa (sebut) yang terjadi, apa (sebut) yang tertiba?”

49. “Sampailah seorang tua yang tua sekali, bertongkat semambu kuning, berdestar destar hitam. Yang berbaju baju meriak kumbang padang; pagipagi mengilat putih, siang hari mengilat biru, petangpetang mengilat kuning; berseluarlah ia selura panjang beluderu halus; tiap pésak berisi hikmat, hikmat yang menggilakan; dipalit sekali, menggilakan; dipalit sekali lagi, lbih menggilakan, - menggilakan bujang dan gadis. Itu perkakas orang tua yang mengusir-usirlah awak.”

50. Ia berkata kepada hamba: “Mengapa kamu berlain tempat berlain tidur?” Dan hamba menjawab segala itu:

51. “Hai tuan tua, ada sebabnya: kawan serempak sudah beriringan anak bujang (etc.)” Itulah kataku menjawab orang tua tadi.

52. Dan ia membalik (menjawab): “Kalau engkau hendak mengembangkan bunga layu, menghidupkan ranting mati, mengadakan untung (supaya) (ter)jadi ganti tubuhkau, (harus) (ber)kendurilah engkau ke gunung, di bawah (kaki) gunung Pantai Cermin.”

53. “Begitulah kata orang tua tadi.” Tuan Sunan Meraja Tua, (waktu) mendengar kata itu, (katanya) “Mengenai kata adik, kita (masih) seleret (berkawin); akan orang tua (itu), aku bermimpi sesuai dengan mimpikau.”

54. Maka Tuan Sunan Meraja Tua dan puteri Inang Kinantan Agung pergi ke air (untuk) mandi.

55. Kembali dari tepian, sesudah sampai mereka (keduanya) di rumah, dipanggil Hulubalang Panglima Api (dan) Panglima Tedung.

56. “Ampunkan Tuanku, ampunkan kami; apa sebabnya (kami dikerah?)” Begitulah kata (kedua) hulubalang tadi.

57. “Ada sebabnya,” kata Tuan Raja. “Ketoklah tabuh larangan (sakti)!” katanya, “aku hendak mengumpulkan rakyat seluruh dusun ini.” Begitulah kata Tuan Raja.

(4)

58. Maka (kedua) hulubalang itu pergi mengetok tabuh larangan, ditiup (!) tabuh tujuh kali tujuh kali (49 kali); bertiuplah (ditiup) dan berbunyi tabuh itu, terkejut (berkejar-kejaran) dan tergemam orang dusun itu.

59. Bertepuk tangan orang sampai, bersibuklah orang datang.

60. Orang pekak main bertepuk (tangan), orang bisu main bergubit, orang hamil mendukung kandungannya.

61. Orang hendak mengusir (pergi ke) rumah Tuan Raja, menghematkan (memanggil) Hulubalang Tanjung Beresah.

62. (Kalau orang) berteriak “hu!” (dari) dalam tikar (atau berteriak) “orang berperang!”, ia lari ke belakang perempuan.

63. (Kalau) bertepuk (tangan) orang, ia menelungkupi kawan tuanya.

64. Pantang berdetak, (agar tidak) ia melambung; (kalau) periuk menggelegak, ia akan menampung (melambaikan tangannya).

65. Hulubalang Tanjung Beresah pergi kepada raja: “Hai Tuan Raja, Tuan Sunan Meraja Tua, mengapa hamba ini dipanggil?”

66. “Parit mana yang terhampar (roboh), bendul mana yang runtuh?” Itu katanya. 67. “Gadis mana (yang) beroleh malu, bujang mana (yang) beroleh cela?

68. Menjawablah tuan raja: “Tidak apa-apa kami ini; kami mengumpul rakyat sebanyak ini, itulah sebabnya.” Begitulah kata tuan raja.

69. “Kami hendak berkenduri, hendak membunuh (menyembelih) kerbau tujuh ekor di kaki gunung Pantai Cermin, minta tolong dengan (kepada) pohon, minta tolong kepada daun.” 70. “Kamu rakyat dusun ini, tidak ada parit yang terhampar (roboh), tak ada gadis yang beroleh

malu, tak ada bujang (yang) beroleh cela.” Itu kata tuan raja. 71. Maka bersiaplah orang banyak dusun itu beramai-ramaian.

72. “Ini orang yang mengambil kayu, yang mengambil buluh, ada yang mengambil bunga, menjemput daun, menjemurkan padi pulut, menjemurkan padi bersilang, membenarkan (membuktikan) tuan raja hendak berkenduri.” Begitulah kata orang dusun itu.

73. “Tidak tertolong (tak usah ditolongi) tuan raja kita; baik perangai(nya), elok kelakuan(nya).” Itu kata orang dusun itu. “Belum pernah ia itu bengis.” Begitulah kata orang dusun itu.

74. Siaplah orang waktu itu. Habis hari berganti hari, hari akan (hampir) cukup genap tujuh hari, cukup genap segala alat (pesta) ada (selesai).

75. Pergilah orang menegakkan lemang (untuk memasak nasi); sudah (berdiri) tegak kerbau yang tujuh ekor pada padang kerbau yang banyak.

76. Sudah terdapat kerbau tujuh ekor. Haripun malaSMah, pula (hari) cukup gelap (lewat), segala ada (selesai). Puteri pun tidur juga malam itu.

77. Lewatlah hari dengan ketikanya, kembali pula mimpi puteri Inang Kinantan Agung; tiba (datang) juga (sekali lagi) orang tua itu. “Hai engkau ini cucu, hendaklah berpesta engkau!” 78. Cukup genap sudah ada segala(nya). “Tolong ambil (jemput) orang tua (aku ini) di tengah

lawang, melingkar di dalam bakul; junjunglah bakulnya,pergi (bawa) ke puncak gunung Pantai Cermin: baru senang hatiku; jadi (akan) beruntung mereka yang berjunjung.” Begitulah katanya.

(5)

79. Yang menyusun alat sirih, alat genap segala(nya) sudah ada. Maka dipanggil Hulubalang Panglima Api (dan) Panglima tedung, diperintahkan pergi menjemputorang tua di tengah lawang (yang) melingkar di dalam bakul.

80. Berbunyilah tabuh orang dusun itu. Orang membawa (perkakas pesta), cukup genap segala selesai.

81. Ada yang mengatur pinang yang berkeping tinggi…

82. Maka orang berangkat (ke pesta). Orang bertiup (memukul tabuh) sedang pergi, orang berdendang sepanjang jalan.

83. Cukup dua hari, sampailah mereka di bawah puncak gunung Pantai Cermin. Dikembar lapik, dikembar tikar, banyak orang yang berpidato; diturut undangan orang tua tadi. (berupacara orang) dengan sirih lima macam.

84. Disusun (orang) pisang dengan ramai, dikeping ayamnya, disusun di tengah padang.

85. Sudah lengkap samasekali. Berupacaralah orang tua itu, dikeluarkan (orang) dari dalam bakul.

86. Sedang diupacarakan orang tua tadi, asap kemenyan membubung ke langit.

87. Tiba-tiba seorang orang berdiri di situ: petua berbaju baju meriak kumbang padang, berbuhul destar, berserual serual panjang beluderu halus, bertongkat semambu kuning, bersisip keris kecil penikam batu, pedang kecil jenawi angin, pedang (pe)rencong (pembelah) gunung sembilan.

88. Beramai-ramai tergemam orang banyak. Apa yang diseru Tuan Sunan Meraja Tua? Duduklah orang beratus-ratusan. Selesai berupacaralah orang tadi; berkatalah (ia) kepada orang banyak: “Kamu serapat bujang dan gadis… (lacuna)

89. Begitulah kata Nénék itu. Nénék tadi bernama Nénék Rebieh Rendah Kayu, penunggu puncak gunung Pantai Cermin yang menaruh (mewakili) padang pinang, yang menaruh padang sirih, yang menaruh padang labu, yang menyabung ayam biring.

90. Berangkatlah orang tua itu. …. (Se)sudah terletak jari(nya) di tanah, melepaskanlah (melahirkan anaknya) puteri Inang Kinantan Agung. Telah berlepas (lahir) baik, dicucikan elok-elok (oleh) yang bernama puteri Inang Kinantan Agung. Sehari ada, sehari (hari itu jua) sudah bergelar, sudah bernama: Tuan Bujang Juara Pantang.

91. (Semasa) lagi kecil, berpantang menyusu (ia); sudah besar, berpantang makan; sudah dewasa, berpantang kawin mengambil janda; kalau berperang, berpantang kalah.

92. Pandai menangis, sudah sehat sekali ia; kuat, berani, berkuasa, elok (bagus) orangnya, bukan kepalang; kilat kening(nya) memancar ke langit, kilat tapak(nya) melantasi bumi, kilat badannya (menerangi)seluruh alam, kilat muka(nya) seperti pauh dilayang, kilat tumit(nya) seperti dihiasi dengan telor.

93. (Begitulah pantasnya) orang muda Tuan Juara Pantang. Tersebut pula Kembang Gadis: siaplah (ia) menyimpan kainnya, sudah dicuci samasekali, hendak (akan) bersih.

94. Tidak lama (sesudah itu, maka) genaplah tiga hari, tiga bulan, tiga musim, berbunyilah tabuh larangan (sakti): orang hendak berkenduri waktu itu.

95. Tidak berapa lamanya tabuh berbunyi, orang datang (hendak) berbaris-baris.

96. Parit mana yang tertimpa, bendul mana yang roboh? Gadis mana yang beroleh sopan, bujang mana yang beroleh malu, maka tabuh larangan berbunyi?

(6)

97. Berjawablah Panglima Api dan Panglima Tedung: Tak ada yang tertimpa, tak ada parit yang roboh, tak ada gadis yang beroleh sopan, tak ada bujang yang beroleh malu. Tuan raja kitalah yang menyuruh, sebab beliau hendak membawa anaknya turun ke air.”

98. Bersiaplah pula orang hendak berkenduri, berkenduri juga orang muda itu. Tidak berapa lama, sudahlag orang berkenduri. Orang banyak kenduri samasekali; pesta sudah selesai; keramaian sudah habis. Tinggal sahaja lima orang (yang) menunggui rumah adat pusaka. 99. (Sesudah pesta) kembali panjang kuku jari (orang), kembali tutup pintu bulan.

100. Genap tiga musim, sampai tujuh taun, sudah pandailah (Juara Pantang) terjun ke halaman, hendak bermain di halaman panjang.

101. (JuaraPantang) yang pandai berpantang tiga sudah puas (bosan) mudik ke halaman (bermain di halaman?).

102. Tidak berapa lamanya mau pulang ke rumah ia: “Hai ibu dan bapak,minta ampun beribu-ribu ampun, maaf beberibu-ribu-beribu-ribu maaf! Mana baju bapak waktubujang, mana pedang, manakah keris bapak (semasa masih muda?) Hamba hendak berangkat. Mana yang belum ada pada hamba (yang hamba perlukan untuk) pergi ke puncak Gunung Tinggi?” Begitulah permintaannya. “Hamba hendak melihat (mengunjungi) Nénék hamba, Nénék Rebieh Rendah Kayu!”

103. Menjawablah puteri Inang Kinantan Agung: “Hai anakku, tak usahlah engkau berjalan (berangkat); engkau masih sekecil bunga alis, masih merah bunga kukumu, masih seruas rumpun serai.” Begitulah kata puteri Inang Kinantan Agung.

104. Menjawablah Tuan Bujang Juara Pantang: “Eh, menghempas (hamba ini kepada) orang tuaku; kalau ditegah, lambat pergi, kalau disuruh, cepat kembali.”

105. Begitulah kata Juara Pantang. Bermesyuaratlah orang tua keduanya (punai kawan).

106. Berkatalah tuan Sunan Meraja Tua: “Hai anakku, belum patutlah engkau berjalan!” Begitulah kata tuan raja.

107. Orang muda itu keras (kepala) juga, hendak berjalan. Genap sepuluh hari, ibu-bapaknya berunding sampai ke pasar. Orang muda Juara Pantang menangis kepada orang tuanya; terpaksa juga mereka melepaskannya; dilepaskan dengan hati suci, muka jernih.

108. Waktu tengah hari maka diambilnya (tuan raja) baju (dari) dalam peti.

109. “Sekarang berjalan juga engkau ini, anak!” Begitulah katanya. Disuruhnya memakai baju putih seluar putih, berdestar destar putih. Terlompat ke halaman panjanglah Juara Pantang. 110. “Apa rupa hamba ini, ibu, apa tampan hamba ini, bapak?” Maka menjawab tuan Sunan

Meraja Tua: “Hai engkau anakku, eloklah engkau, hebatlah engkau; kilat punggung melanjut ke langit, kilat tapak melanting ke bumi, kilat badan (menerangi) seluruh alam… 111. “Ada salah sedikit engkau anak, seperti mayat turun ke halaman!”

112. Melompat pula ia ke rumah, Tuan Bujang Juara Pantang. Disarungkannya baju kuning, seluar kuning, berdestarkan destar kuning; terjunlah ia ke halaman panjang. “Bagaimana rupaku ibu, bagaimana tampanku bapak?” Begitulah katanya.

113. “Hai engkau anakku,” kata tuan raja, “kalau bersaktilah engkau, salah sedikit seperti simpai di rimba; pulanglah engkau ke rumah!”

114. Disarungkannya bajunya, baju hitam seluar hitam, berdestarkan destar hitam; terjunlah ia ke halaman panjang.

(7)

116. Menjawablah tuan raja: “Eh, engkau anakku, elok betul, bersaktilah (hebat) engkau, salah sedikit seperti siamang betina!”

117. Melompat ke rumah, memekik Juara Pantang: “Beroleh sopan engkau ini (tubuh), beroleh malu engkau ini (badan)!”

118. Sampailah ia ke tengah rumah: “Mana baju Nénék Negeri, mana seluar Nénék yang lama? Mana pedang yang berani?” Begitulah katanya kepada ibu dan bapak(nya).

119. Eh, tuan raja, belum ke pesta adat ia itu; pergilah ia ke tengah rumah, diambil (papan) jungkat-jungkitnya (?), disungkupi lubangnya; dalam lubang ada lubang lagi, ada peti yang berlapis tujuh; dibuka samasekali, mengambil baju Nénék yang lama, keris kecil penikam batu, penikam batu pelekat batu berlapis, pedang kecil penikam batu, penikam batu pelekat batu berlapis, pedang kecil penikam batu, pedang meraut gunung sembilan.

120. “Inilah bajumu, anakku!” Maka disarungkan orang muda baju itu, baju meriak kumbang padang; serual panjang beluderu halus, baju yang berwarna tiga; pagi-pagi berkilat putih, siang hari berkilat kuning; seluar panjang beluderu halus, tiap pesak berisi hikmat (jimat) yang menggilakan sekali, segila-gilanya; gila para pemuda, gila kaum tua.

121. Diberilah destar hitam berisi hitam, cahayanya sampai di langit, tempat anak mambang bercermin berkaca, tempat anak bidadari pergi berkalung.

122. Diambil tiga kerisnya; keris kecil penikam batu, penikam batu pelekat batu ara, 123. diambil pedangnya, diikat ke (pada) tiang.

124. Berderailah hujan panas, terlingkar ular danau, tertegak naga darah, tanda anak raja (itu) turun ke halaman.

125. “Bagaimana rupaku ini ibu, bagaimana tampanku ini bapak? – “Eh, engkau anakku,” (kata) tuan raja memandang anaknya – “Ada sebabnya (segala tanda itu), anakku! Kalau kita hendak tahu (ertinya) berderai hujan panas, itulah tanda engkau menangis, anak; kalau telingkar ular danau, (itulah) tanda engkau hendak berperang; kalau telingkar naga darah, (itulah) tanda engkau dihimpit jala besi! Begitulah, anak, tak usah engkau berjalan!” Begitulah kata tuan raja. Menjawablah Juara Pantang:

126. “Menggelegak di air puteri sembilan terjun mandi! Kalau ditegah, lebih disuruh, mencari (terbilang) kehendak hati(nya), hendak menuju Nénék Rebieh Rendah Kayu, pergi ke puncak gunung Pantai Cermin!”

127. Begitulah katanya. Tidak berapa lamanya pada tengah hari, waktu para mambang turun mandi, berangkatlah Tuan Bujang Juara Pantang.

128. “Hai ibuku yang terhormat, relakan (benarkan) saja; berjerih-payah Ibu menghidupi (membesarkan) hamba selama ini; sekarang hamba hendak berangkat, tak boleh ditahan, tak boleh dihambat!” Begitulah kata orang muda itu. Hendak berangkat ia, tinggallah Tuan Sunan Meraja Tua dan Puteri Inang Kinantan Agung.

129. Berangkatlah ia tidak berkawan. Berjalan pulalah ia; pulanglah kedua ibu-bapaknya serta meredup-redup saja; beriba-hatilah mereka menangis; tinggallah kedua kawan itu; berangkatlah anaknya.

130. Berjalanlah Juara Pantang, kian lama kian jauh, kian lama kian pergi; sudah hilang dari dusun itu. Masuk perbatasan keluar perbatasan, mendaki bukit yang tinggi, menerjuni (menuruni) lurah yang dalam.

131. Hari sudah lewat (dengan ketikanya); berjalanlah ia, tidak tentu (tujuannya), siang dan malam. Berjalan-jalanlah Juara Pantang, habis hari berganti hari, habis bulan berganti bulan, (terus) berjalan-jalan – maka sampailah ia di tepi laut.

(8)

132. Terkejutlah Juara Pantang: “Hai ibu(ku), mana pula aku melayari laut ini?” Begirulah katanya.

133. Berhentilah ia, berhentilah di pinggir laut; duduklah ia merenung-renung saja.

134. Bukanlah begitu adat orang lelaki, menurut yang berkata manusia (yang) berkembang (hidup) di atas dunia,” begitulah katanya.

135. Tidak berapa lamanya tertegak (bethentilah) Juara Pantang: “Mana pula air yang dingin ini?” Diambillah kemenyan baru: “Kubakarlah terpanggang, kuhimbau berkat orang keramat orang sakti, Aku minta kepada kamu supaya diperoleh permintaanku, tujuanku berlaku (sampai): aku minta supaya datanglah kamu Tuan Kecik Raja Penggada (yang) menghadapi Nénék Rebieh Rendah Kayu, penunggu pusaran air; dihimbau cepatlah datang, disuruh lekas pergi!”

136. Bujang Kecik Raja (Penggada) itu muncul, tertemu dalam mimpi (kerasukan); perahu kecil, lancing tembaga, berdenyut dari tengah laut; perahu kecil Nénék yang bahari, yang lama, perahu kecil kemudinya emas.

137. Cukup genaplah (ada) semuanya: dayung ada, satang (galah) ada, sampailah perahu. Meningkatlah (naiklah) Juara Pantang ke atas perahu yang elok, diangkatnya satang yang panjang; direngkuh dayung, menghadapkan berdenyut perahu itu ke tengah (laut); kembalilah perahu, sebagai kumbang yang putus talinya. Bernyanyi seni, bersiul halus, merdu dan panjang ia.

138. Siulnya melanjut ke langit tinggi, berdetus ke gunung tinggi; tergemang mambang di gunung, terkejut peri di langit mendengar siulnya.

139. Kata mambang di gunung: “Ada pesta, ada peralatan, (karena) berbunyilah siul seorang sakti!” Begitulah kata mambang di gunung, peri di langit.

140. Tidak berapa lamanya perahu itu berjalan (belayar). Habis hari berganti hari, habis bulan berganti bulan, sudah tiga bulan ia di laut, sampailah ia di pinggir laut. (Naik) ke daratlah (ke atas) ia, diambilnya kemenyan baru, dipanggang (dibakar) atas telapak (dada) tangannya.

141. “Hai engkau perahuku,” kata Juara Pantang, “engkau yang berbadan tembaga, aku ini hendak berangkat masuk rimba pula; sekaranglah kita (aku) bertepuk tangan; pulanglah engkau ke pusaran air Raja Penggada!” begitulah katanya.

142. “Dihimbau cepatlah aku pergi; dihimbau cepatlah aku tiba; disuruh segera (aku) pergi!” Begitulah katanya.

143. “(Engkau) ditolak kaki sekarang ke tengah laut, perahu berisi satang dan dayung.” Begitulah kata Juara Pantang. Tidak berapa lamanya berangkatlah pula Tuan Bujang Juara Pantang. Tidak berapa lamanya, berangkatlah pula Tuan Bujang Juara Pantang, menempuh rimba yang luas (bujur), mendaki bukit yang tinggi, menempuh onak dan sungai yang dalam.

144. Bersualah ia dengan rawa yang luas, dataran yang lebar.

145. “Mana pula tempat awak ini? Sawang banyak di situ, ular banyak pula, harimau banyak sekali disitu, gajah dan harimau segalanya ada dalam rimba itu.”

146. Berjalan-jalan terus Juara Pantang. (Tidak berapa lamanya) tidak patut, tidak ragu-ragu, tidak takutlah ia, masuk rimba keluar rimba. Tidak lama kemudian maka berhentilah ia di bawah pohon besar untuk memperhentikan keletihannya.

147. Tidak berapa lamanya berangkat pula ia, bersua (bertemu) dengan bukit yang bertakah tinggi.

(9)

148. Meninjaulah ia melihat ke hilir-udik, ke lembah dan ke daratan; nampaklah api di tengah rimba. Terkejutlah Juara Pantang: “Siapa pula yang menunggui rimba ini?”

149. Berjalanlah pula ia di jalan yang bujur (luas), di dataran yang hijau, menuju ke asap api. 150. Habis hari berganti hari cukup genaplah tiga hari, bertemulah ia dengan bekas api.

Tertempuhlah ia ke halaman panjang, terkejutlah dan tergemang ia: “Apa pula ini?” 151. “Atap(nya) rambut, dindingnya jangat anak manusia?”

152. “Hai kamu di rumah ini, siapa kamu yang tuan rumah?”

153. Sampai dua tiga kali ia memanggil, tak ada seorang pun yang menjawab. Maka naiklah ia ke atas rumah, tergemanglah ia: ada seorang manusia. Kata Juara Pantang bertanya: “Siapa gadis?” Menjawablah gadisnya: “Hai tuan, jangan lama tuan duduk (diam) di rumahku ini! Bapakku Hantu Putih Peninjau Lawan, orang kuat, memakan orang.”

154. “Baru sebentar (bukan) terlihat (kaulihat) rumah kami? Atapnya rambut, dindingnya kulit, kulit(nya) orang manusia?”

155. “Mana isi (rumah yang) berbau manusia?” “Hai tuan, lihatlah tuan ke bawah rumah: (ada) anak manusia!” Begitulah katanya. Menjawablah Juara Pantang: “Hai puteri, engkau ini anak siapa, (dan) siapa Nénékmu?”

156. “(Sebagai) adat (waktu) bertemu dengan sanak-saudara, marilah kita mengudut makan sirih!”

157. Begitulah kata Juara Pantang. Diudut rokok sebatang sirih sekapur; duduklah ia dengan puteri itu.

158. “Engkau orang mana? Anak orang manusia? Anak orang dusun? Atau anak setan iblis engkau?”

159. Menjawablah puteri itu: “Hai tuan, hamba ini anak raja Dusun Tanjung Pinang Sebatang, ibu saya puteri Sepanjang Urai, bapak hamba Raja Temenggung (dari) Dusun Tanjung Pinang Sebatang, kakak hamba bergelar Sutan Kecik Menderi Bulan.”

160. “Mengapa engkau datang kemari?” Begitulah kata Juara Pantang. “Hai tuan orang muda, jaman dulu waktu masih kecil hamba sedang bermain di tengah halaman, diambil Hantu Putih dibawanya kesini, dipermain-mainkannyalah sahaja hamba.”

161. Sesudah mendengar katanya itu, “Bersama dengan tuanlah hamba pulang!” kata (tuan puteri). “Tak usahlah engkau pulang dengan aku ini; masih jauhlah perjalananku, mencari yang tak ada pada aku, (tetapi) ada pada orang (lain); sekarang berilah aku beristirehat di rumahkau, memperhentikan letih-payah!”

162. Menjawablah puteri itu: “Hai kamu tuan, orang muda, jangan kamu hentikan letih-payah di rumah kami, (ada sebabnya) kalau-kalau kamu dimakan bapakku!”

163. “Hai puteri, sembunyikan saja aku di dalam peti!” Sesudah terdengar kata itu, disembunyikan puteri di dalam peti; di dalamnya ada peti lagi. Duduklah (diaSMah di dalamnya) orang muda Juara Pantang.

164. Tidak berapa lamanya, di tengah hari, kembalilah Hantu Putih Sitinjau Lawan. Baru (ada) seratus depa perjalanan dari rumahnya, sudah terbau anak manusia: “Manakah dia manusia itu? Sudah terbau kemanisan rasa, hendaklah aku memakannya, hendaklah aku mengunyahnya!” Begitulah kata Hantu Putih Sitinjau Lawan.

165. Sesudah dekat ke rumahnya memanggillah Hantu Putih Sitinjau Lawan: “Hai anakku, engkau puteri, mana kausimpan anak manusia? Aku ini (selama) dua kali tujuh hari tidak mendapat (mangsa), belum aku memakan orang! Hai anak, manakah engkau menyimpan

(10)

manusia itu?” Menjawablah puteri: “Hai bapak, Hantu Putih Sitinjau Lawan, kamu ini gila samasekali! (Bukan) kamu tahu aku ini anak manusia? Akulah yang berbau, akulah yang tercium, bapak!” Begitulah katanya.

166. Menjawablah Hantu Putih Sitinjau Lawan: “Engkau lain samasekali (dari) bau orang ini; alangkah harum, alangkah manis!”

167. Menjawablah pueri itu: (Jadi) aku yang lemak! Kalau hendak kamu makan, makanlah aku (saja), bapak! Begitu kata puteri itu. Hantu Putih Sitinjau Lawan, berkeras hati ia; diperiksanya rumah, dibukanya segala peti, (kecuali) peti tempat duduk puteri itu.

168. Kata Hantu Putih Sitinjau Lawan: “Larilah (keluarlah) engkau dari atas peti ini, dalam (peti) inilah (ada) anak manusia!” begitulah katanya.

169. Berkeras hatilah Hantu Putih Sitinjau Lawan. “Hai kamu bapak, jangan membuka peti ini, makanlah aku bapak, jangan memakan orang lain!” Itu kata tuan puteri. Berkeras hati juga Hantu Putih Sitinjau Lawan, dibukanya peti itu. Baru terbuka, melambunglah (keluar) Juara Pantang, melompat ke halaman panjang. “Hai engkau Hantu Putih Sitinjau Lawan, turunlah engkau ke halaman panjang, (maka) engkau kujadikan asap keris (?), umpan pedang!” Begitulah katanya.

170. Dituruni (turunlah) Hantu Putih Sitinjau Lawan ke tengah halaman; saling melecut kedua orang itu; sudah puas menekan, sudah puas menghempaskan. “Marilah kita memeras!” (kata Hantu Putih). Katanya Juara Pantang: “Cobalah memeras aku ini dulu!”

171. Dipegangnya kaki Juara Pantang, diperas badan Juara Pantang: sudah seperti tali badan Juara Pantang; dilepaskannya Hantu Putih, kembalilah ia ke halaman. Tertawa gelak Juara Pantang:

172. “Mengusik-usiklah kita ini; adat jangki beruntai-untai, adat kelapa berayun-ayun; adat budi saling membalas, adat jasa berganti-ganti. Patahlah badanku, (tetapi) kutahan rasa badan!” 173. Diperasnya Hantu Putih oleh Juara Pantang. Kata Hantu Putih Sitinjau Lawan: “Hai orang

muda, jangan diperas habis-habis, putuslah tulang pinggang(ku)!” Begitulah katanya. 174. Dilepaskan ia oleh Juara Pantang: “Bersumpah (terkutuk) aku berperang dengan seorang

manusia!” (kata Hantu Putih) “Marilah kita lepaskan sekaligus!”, kata Juara Pantang. 175. Dihempaskannya Juara Pantang; terlepaslah Juara Pantang, sudah setipis papan bujur. 176. Lepas juga (Juara Pantang) dilecut Hantu Putih Sitinjau Lawan. Terbahak-bahak Juara

Pantang: “Ada ibu di hadapanku, ada bapak di belakangku.” Itu katanya. “Sekarang ini (begitulah) kutahan (dilecut sebagai) tebusan budi pula.”

177. Dilecungnya (lagi) Hantu Putih Sitinjau Lawan. Tidak berapa lamanya, “Lain samasekali dilecut orang (ini)! Aku tersumpah bercekak (berkelahi) dengan seorang manusia! Lain samasekali orang ini: kuatlah (mampu) aku memakan orang, (tetapi) tidak juga seperti (orang) ini!” Itu kata Hantu Putih Sitinjau Lawan.

178. Tidak berapa lamanya, “Marilah kita berebut sekali lagi, berpijit-pijitan dan berhadapan (bertentangan).” Dipijitlah (memijit?) Juara Pantang, memijit pula Hantu Putih Sitinjau Lawan.

179. Meraunglah Hantu Putih Sitinjau Lawan: “Tolong, minta ampun! Rasanya sudah hancur tulang dada(ku)!” Larilah ia ke dalam rimba, tujuh hari tujuh malam memekik ia (lagi), terdengarlah pekiknya di dalam rimba itu.

180. “Tersumpahlah aku berkelahi dengan seorang manusia!” Larilah ia, tidak kembali (lagi). 181. Naik pula Juara Pantang ke rumah: “Hai Puteri, hentikanlah letih-payah!”

(11)

182. Tak berapa lamanya, maka berhentilah ia: “Hai Puteri, aku hendak bertanya kepadamu, jawablah engkau dengan lurus (tulus-ikhlas); aku bertanya baik-baik, jawablah engkau pula dengan baik-baik: “siapakah sebenarnya namamu?”

183. “Hai tuan,” kata Puteri itu, “hamba anak raja Dusun Tanjung Pinang Sebatang, ibuku bergelar (bernama) Puteri Sipandang Urai, kakak hamba bernama (Si) Raja Temenggung1

bapak hamba menjadi raja di dusun itu!”, kata Puteri itu. “Hamba bernama Puteri Bungsu!” Begitulah katanya.

184. Sesudah mendengar katanya itu, menjawablah Juara Pantang: “Kalau begitu katamu, pulanglah engkau dengan segera, kutunda (saja). Di mana jalan ke negerimu? Engkau kutunda (saja) pulang.”

185. “Galaslah engkau jangki kecil ini, ambillah bagi adik sendiri. Apa kehendakmu (lagi) di rumah ini?”

186. Maka diambil Puteri itu intan (dan) emas (yang) banyak, bekas (yang) dirampok Hantu Putih Sitinjau Lawan, ditimbun ke dalam jangki. Maka berangkatlah (mereka kedua). 187. Tidak berapa lamanya mereka berjalan berdayung-dayung (pelahan-pelahan), (tetapi)

sungguhpun berdayung, kencang (cepat) sekali;

188. Selama berjalan kawan itu berdua, (kalau) semut dilanyak (diinjak), tidak mati – (kalau) gajah dilanda, hancur-lulus.

189. Kata Juara Pantang: “Ayoh, engkau adik (berjalan) dulu (di hadapan).”

190. “Jangan engkau hendak kemudian (di belakang), sebab kita menempuh rimba langang (sepi) dan lebat!” Begitulah katanya.

191. Maka Puteri itu (berjalan) di hadapan. Tak berapa lamanya, memekiklah Puteri ke belakang: “Ini apa, kakak?”

192. Orang muda itu dilingkungi (dilingkari) ular sawa yang besar. Tergemang (terkejut) Puteri itu: sudah “menyanggah” ular sawa itu.

193. Menjawablah Juara Pantang: “Larilah ke belakang engkau!” Disentaknya pedangnya; matilah sahabat Hantu Putih Sitinjau Lawan itu.

194. Berangkat pula ia. “Ayoh Puteri, berangkatlah kita, kita kembali lagi ke rumah (tempat) kediamanmu!” Itu kata Tuan Muda Juara Pantang.

195. Tidak berapa lamanya, habis hari berganti hari, sampailah hari yang ketiga, bertemu pula (mereka) dengan dua ekor harimau, seekor yang hitam, seekor yang kuning, sahabat Hantu Putih Sitinjau Lawan, hendak merusakkan (membinasakan) orang berdua itu.

196. “Hai adik, larilah engkau ke belakang!” Itu katanya. Dicabut (disentak) pedangnya, pedang kecil jinawi angin, (kalau) disentak merengek-rengek, merengek darah dan daging; pedang itu juga merindukan tulang dan benak.

197. Sudah tegaklah harimau dua ekor itu (untuk) menerkam; ia mengipas, seekor rebah ke kiri, seekor rebah ke kanan.

198. “Berjalanlah kita, adik!” Itu kata Juara Pantang. Mereka berjalan-jalan (terus). Tidak berapa lamanya, bertemu (i.e. ditemui) sahabat Hantu Putih Sitinjau Lawan, Raja Biring namanya, yang menyerbu (menyerang) dengan segera.

1

This is a mistake: in verse 161 we were told that Puteri Bungsu’s father is

Raja Temenggung, while her brother’s name is Sutan Kecik Menderi Bulan;

(12)

199. Memekiklah Puteri: “Apa ini, tuan, banyaklah isi rimba ini!” Menjawablah Juara Pantang: “Tidak banyaklah (i.e. tak apa-apa) yang ini!” Kata Juara Pantang: “Hendaklah tenang-tenang engkau ini, adik, jangan tergemam!” Itu kata Juara Pantang.

200. Sudah lari ke belakang Puteri Bungsu itu. (Akan Juara Pantang itu,) tercabut (tersentak) pula pedang kecil jenawi angin, bekas penebas (?) gunung sembilan.

201. Turunlah Raja Biring. Memekik Juara Pantang: “Inilah lawan, ini jodohmu; mau hidup atau mau mati kau?” Itu katanya.

202. Dipotong(nya) belalai gajah, gajah itu lari, gila samasekali; tidak (ada) lawan, diberi lawan; tak ada jodoh, diberi jodoh.

203. Luputlah aku ini memakan, belalaiku itu tidak ada lagi!” Itu kata Raja Biring.

204. Tuan Bujang Juara Pantang berkata kepada Puteri Bungsu: “Hendak putuslah gadingnya!” Itu kata Juara Pantang. Berjalanlah pula mereka keduanya, sudah letihlah mereka; berhentilah di rumpun kayu (pohon), pohon besar bukan kepalang, duduk di bawah induk (rumpun) pohon yang besar.

205. Tak berapa lamanya pingsanlah Puteri itu, sudah lama tidak makan, belum (pernah) perutnya diisi nasi; terlelaplah ia di bawah rumpun pohon kayu. Tak berapa lamanya maka turunlah pula dari atas rumpun itu seekor siamang besar, bekas hantu, Hantu Putih Sitinjau Lawan; sampailah ia di bawah, hendak mengupas (lawannya).

206. Disambut pula dengan keris kecil penikam batu. Banyaklah pekerjaan (kesusahan?) Hantu Putih Sitinjau Lawan: “Mana yang tiba (sekarang), (belum) mati segalanya?” Itu kata Juara Pantang.

207. Melihatlah ia sedang berpening (kerasukan): “Inilah adik sedang sakit, mabok (karena) tidak makan; tibalah (timbullah) ia pula, hendak menanyakan aku!” Begitulah katanya. 208. Tuan Bujang Juara Pantang duduk termenung; merenunglah ia, maka bangkit. Terkenan

(senang) rasa badannya, lapang (lega) rasa tubuhnya.

209. Diambil kemenyan baru dari ujung destar(nya). Dibakar kemenyan itu di (atas) dada (telapak) tangannya, dihimbau (dipanggil) berkat Nénék, orang sakti dan keramat.

210. Kuhutangkan (kupertanggung-jawabkan) anak puteri anak raja turun-temurun tujuh kali, yang menuruni hamba!” kata Juara Panta.

211. “Dapatlah permintaan(ku), berlakulah (terjadi, tercapailah) tujuan(ku) (minatku); minta datanglah engkau burung Si Unggas Murai, burung kersang (keramat?) Nénék Negeri, burung kuning Nénék yang lama!” Begitulah katanya.

212. Tak berapa lamanya, habis hari berganti hari, cukup (genap) tujuh hari, Puteri (ada) bernyawa sedikit. Tibalah (sekali lagi) burung itu: “Hai tuan kami, tuan muda Juara Pantang, mengapa tuan memanggil, mengapa tuan berseru?”

213. “Hai burung, (engkau kalau) dipanggil cepat datang, (kalau) disuruh cepat pergi.” Itu katanya.

214. Sekarang ini engkau kusuruh, pergilah engkau kembali lekas-lekas, minta obat kepada Nénék Rebieh Rendah Kayu di puncak gunung Pantai Cermin!” Begitulah katanya.

215. Terbanglah burung Si Unggas Murai, terbang dalam angin, tersasar dalam embun, kadang-kadang nampak kadang-kadang-kadang-kadang tidak.

216. Tidak berapa lama maka burung berkata (sesudah) ditangkap Nénék: “Apa kabar-berita engkau ini, burung?”

(13)

217. Menjawablah burung itu: “Hai Nénék, hamba ini seperti burung embun; disuruh cepat pergi, dipanggil cepat kembali. Hamba disuruh orang muda Tuan Bujang Juara Pantang, minta obat minta jampi.”

218. “Obatilah beliau, minta nasi putih kepada Nénék; adik akan mati di bawah rindang (naungan) pohon besar, di dalam rimba yang sepi!”

219. Nénék mengadakan kata (menjawab): “Siapa pula yang dibawa cucuku itu? Belum kusahkan ia beradik (beristeri), belum kusahkan ia berkawin!”

220. “(Sekarang) ini kutolong (saja); sampailah engkau bunga setangkai.” Diberikannya nasi tujuh biji, digantung di leher burung. Terbanglah burung itu. Tidak berapa lama, maka sampailah pula di rimba itu, menghadapi Tuan Bujang Juara Pantang. Berkatalah burung itu:

221. “Hai tuan, (hamba) ini yang tuan suruh, kuminta kepada Nénék itu, (perintahnya,): “Berilah kepadanya (memakan) nasi tujuh biji, uraskan bunga setangkai tujuh kali, dari ujung kepalanya terus ke ujung kaki!” Begitulah kata burung itu.

222. Diambil orang muda Juara Pantang air, diuras bunga setangkai, diletakkan nasi di dalam mulut puteri itu. Menjawablah tuan bujang Juara Pantang:

223. “Hai adik, mengapa engkau tertidur? Mati surilah engkau!” Itu katanya. Maka bangkitlah tuan gadis. Berjalanlah pula mereka keduanya, masuk rawa keluar rawa, mendaki bukit yang tinggi, menuju lurah yang dalam, menempuh (dalam) rimba itu.

224. Tidak berapa lamanya, genap tiga hari, genap tiga bulan, sampailah mereka di dusun Tanjung Pinang Sebatang. Berhentilah mereka di hulu sungai. “Berhentilah engkau adik, negeri apa ini, adik?” Itu kata Juara Pantang. Menjawablah Puteri Bungsu: “Inilah (yang) bernama dusun Tanjung Pinang Sebatang, negeri hamba ini!”

225. “Apa nama rumahmu?” Begitulah katanya. “Belum tentulah; hamba lagi (se)kecil bunga alis (waktu) dibawa oleh Hantu Putih Sintinjau Lawan, sudah lupalah. Cobalah kakak tanja kepada orang muda itu.”

226. Tidak berapa lama bertemu ia dengan seseorang di pintu lawang, hendak berjalan (masuk), dan memanggil: “Hai orang muda!”

227. Itu kata Juara Pantang. “Berhentilah tuan, kami ini hendak bertanya.” Itu kata Juara Pantang. Menjawablah orang muda itu: “(Ada) suatu pantang (di) negeri kami: pantang hantu selama hidup; kalau seorang manusia hendak masuk, masuklah saja; (kalau) hendak pergi, pergilah.” Itu katanya.

228. Berkatalah Juara Pantang – orang itu bertanya juga - : “Orang muda, di mana rumah rajamu kamu orang dusun ini; siapa nama, siapa gelar?”

229. Menjawablah orang muda itu: “Adapun orang dusun ini, yang bergelar raja kami, ialah Puteri Sipanjang Urai. Orang muda (anaknya) waktu dulu mandi di Teluk Bungsu; tuan raja kami kehilangan anak, dibawa Hantu Putih Sitinjau Lawan; sekarang ini ia bergila-gila.” 230. Sesudah terdengar kata itu, berjalan jugalah (yang bernama) Juara Pantang menuju

Halaman Panjang. Memanggil ia: “Hai kamu tuan-tuan, boleh kami bertanya?”Begitulah katanya.

231. Menjawablah orang dusun itu: “Siapakah nama yang ditanyakan?” Menjawablah Juara Pantang: “Kami hendak bertanya cukup lurus, jawablah (kamu) dengan lurus: (di) manakah rumah tuan raja Puteri Sipanjang Urai?” Itu kata tuan muda Juara Pantang.

232. Menjawablah orang dusun itu: “Kalau tuan hendak tahu rumah tuan raja kami Puteri Sipanjang Urai, alu tersandar (di) tengah halaman.”

(14)

233. Orang muda (Juara Pantang) pergi melihat rumah itu: “Mana alu tersandar di tengah halaman?” Didekatinya rumah itu, menghematkan (mengamati) sekeliling rumah; bukan kepalang eloknya, rumah berani (hebat), bukan sederhana; atapnya kaca dinding cermin, salah sedikit dijalari akar(nya) buluh

234. “Inilah rumahmu!”, kata Juara Pantang. Naiklah ia2 ke rumah; ibunya berdekap dengan

bendul, entah berapa lama; sudah terlalu kurus orangnya, (karena) orang muda Sutan Kecek Menderi Bulan pergi menggembala kerbau (dengan) orang dusun itu.

235. Ia bergila-gila, menggembala bersama dengan bapaknya, karena gadisnya (anak perempuannya) ditangkap Hantu Putih Sitinjau Lawan.

236. Puteri itu menyelesaikan (membersihkan) rumah samasekali. Orang muda JuaraPantang dibuka (disentak) pedang kecilnya jenawi angin, dirambah (dibabat) rumput sekeliling rumah; sudah selesai samasekali. Puteri itu bersama dengan Juara Pantang pergi membersihkan tepian (serambi?).

237. Sudah selesailah elok-elok; kembalilah kedua punei-kawan itu. Sesampai di rumah, puteri itu pergi mengambil mundam; dirabanya (?) tangan ibunya itu.

238. Dibawanya ke tiang. Sesampai di tiang, dimandikan elok-elok ibunya, dilimaukan baik-baik, dibawa ke bendul, disikat rambut orang tua itu, sudah bersih samasekali. Sampailah orang banyak bertanya: “Siapa pula kamu ini yang membersihkan rumah raja kita?”

239. Berkatalah Puteri Bungsu: “Hai kamu kanak-kanak (yang) naik, hendaklah kamu kusuruh. Pergilah kamu memanggil orang tuaku yang menggembala kerbau orang dusun ini, suruh menghinap di rumah kami. Katakanlah Puteri Bungsu sudah pulang.” Begitulah katanya. Kanak-kanak itu berlari tergegas tergopoh-gopoh kepada padang kerbau itu.

240. Ditemuinya bapak Puteri Bungsu, tuan raja itu; berlumurlah tahi kerbau ke ujung kakinya. Berkatalah kanak-kanak: “Hai tuan, tuan disuruh orang pulang. Yang menyuruh tuan adalah anak tuan yang hilang jaman dulu; (sekarang) sudah ada di rumah tuan!”

241. Sesudah mendengar kata orang itu, tuan raja pulang tergopoh-gopoh. Tidak berapa lama, sampailah ia di rumah, duduk. Kemudian pulanglah Sutan Kecek Menderi Bulan membawa kerbau, memberitahukan: “Sudah penuh-sesak orang ramai dengan kanak-kanak.” Maka berkatalah orang muda Juara Pantang: “Hai Tuan, pergilah mandi tuan; inilah sayak (tempurung, gayung), inilah limau.” Begitulah katanya.

242. Tidak berapa lamanya maka pergilah ke tepian orang tua dua beranak, mandi dan berlimau. Sesudah mandi pulanglah mereka keduanya, minta beras dari urang dusun; berhutanglah mereka. Menancap, menjemur, menyelesaikan rangkiang tujuh berderet.

243. Sesudah menancap, diletakkan nasi di tengah rumah; maka memakanlah orang anak-beranak.

244. Tidak berapa lama maka berkatalah puteri itu: “Marilah kita (memakan) bersama!” Akan Juara Pantang, diambilnya nasi tiga biji: sebiji menjadi remah, sebiji menjadi air basuh, sebiji disepit (di) sela gigi; maka dibasuhnya jari.

245. Ia belum pernah memakan (jadi) berhentilah ia. Berkatalah Puteri Bungsu: “Hai kakak, mengapa tuan berhenti? (Ada) apa-apa yang terdapat dalam nasi, apa-apa yang tertemu dalam gulai?”

246. “Kalau tertemu rambut dalam pinggan, aku betul-betul menampi sambil bersikat; kalau tertemu sarap dalam gulai, aku betul-betul bersikat!” Itu katanya.

2

(15)

247. Menjawablah Juara Pantang: “Tak (ada) satu-satu yang tertemu dalam gulai, tertemu air bercampur dengan beras, nasi gulai bercampur dengan cabai.” Itu katanya.

248. Tidak berapa lamanya maka orang duduk memakan sirih, orang berpidato; sudah lambatlah (terlalu lama) membilang isi bumi isi langit.

249. Tidak berapa lamanya (pada) hari ketiga hari keempat, berkatalah Juara Pantang: “(Sekarang) ini, tuan Raja kami, tuan Raja dusun Tanjung Pinang Sebatang, hamba ini hendak meminta langkah, hendak meminta berjalan kepada tuan; hamba hendak memulangkan anak tuan; anak tuan hamba pulangkan kepada tuan dan (kepada) Puteri Sipanjang Urai, hamba membawa dari rimba; (sesudah) tertemu, hamba ambil, hamba menempuh dalam rimba; terdapat anak tuan di rumah Hantu Putih Sitinjau Lawan, sudah hamba bawa kembali ke rumah tuan.”

250. “Sudah sampai ia di sini;(jadi) sekarang ini, Tuan, anak tuan hamba pulangkan; tidak apa-apa anak tuan, tidak rusak, tidak hamba sumbingkan, hamba jaga baik-baik dalam rimba.” Begitulah katanya.

251. “Sekarang apa balasan tuan, karena akan hamba ini, lagi jauh perjalanan hamba, pergi mencari yang tidak ada pada hamba, ada pada orang.” Begitulah katanya.

252. Menjawablah tuan Raja: “Hai orang muda, mengapa lekas betul berangkat?” Kata Jauara Pantang: “Sudah lama hamba di dusun tuan, sudah genap tiga bulan.”

253. Maka diserahnya puteri itu. Akan puteri, sesudah mendengar bahwa orang muda hendak berjalan (berangkat), menangis dan meratap ia: “Hai ibu dan bapak, janganlah suruh dia lari (berangkat); kuhentikan dia menempuh (jalan)! Aku mau kawin dengan dia; tetap budinya, tetap jasanya.”

254. Menjawablah Juara Pantang: “Hai adik, asal saja lepaskan aku berjalan (untuk) mencari yang tidak ada pada hamba.” Itu katanya.

255. Tak berapa lamanya orang berunding. Berkatalah Sutan Kecek Menderi Bulan, saudara lelaki Puteri Bungsu: “(Kalau) begitulah katamu, kami menurut saja.” Begitulah katanya. Akan Puteri, berhenti, tidak menangis lagi.

256. Tak lama kemudian, selesailah perundingan itu; ombak teduh, angin tenang, hati suci, muka jernih.

257. Menerima (keputusan), berjalanlah (berangkatlah) ia sesudah bermaaf (minta maaf) kepada orang di rumah itu. Balik (sekali lagi) (ia) masuk rimba yang sepi, masuk hutan yang berjintan, mendaki bukit yang tinggi, menuruni lurah yang dalam.

258. Habis hari berganti hari, habis bulan berganti bulan, tak berapa lamanya ia menempuh, menghabiskan bulan menghabiskan musim ia menempuh (dalam) rimba itu.

259. Tak berapa lamanya bertemu dengan (sebuah) dusun: “Siapa nama dusun ini?” Dusun Tanjung Kerbau Jatuh nama dusun itu. Baru (se)jauh dua ratus depa dusun itu, adalah orang terkejar (berkejar-kejaran), lelah (?) dan ketakut-takutan. Tergemaslah Juara Pantang, (katanya): “Mengapa pula kamu ini, mengapa pula berkejar-kejaran?”.

260. “Boleh (hamba) bertanya (kepada) tuan?” Berkatalah orang itu: “Hai tuan, hamba ini berperang dengan Kunci Petir Kumbang Berantai: bulu tekiaknya (sebesar) lidi enau jantan, bulu badannya (sebesar) ijuk selembar.”

261. Kalau ia turun memandi, dengan sekaligus segantang udang (timbul) ke atas: begitulah besarnya. Lebar dadanya (ada) tiga hasta.”

262. “Siapa namamu, siapa gelarmu, siapa engkau ini?”, kata Juara Pantang. “Kalau tuan hendak tahu nama hamba, hamba bernama Lumang Kasihan, tuan.” Itu katanya.

(16)

263. “Apa sebabnya aku lari? Adikku hendak diambil Kunci Petir Kumbang Berantai.” Itu katanya. “Tak terlawan dengan (oleh) hamba.” Lama (mereka berdua) berunding.

264. Tidak berapa lamanya maka sampailah sahabat saudaranya itu (yang) hulubalang. Mereka duduk di tepi paya, di perbatasan. Maka berkata orang muda itu:

265. “Hai tuan, tolonglah membantu hamba ini! Sebenar-benarnyalah kami beroleh malu: adik perempuan hamba diambil Kunci Petir Kumbang Berantai; ibu hamba dibunuh, bapakku dicincangnya; (tolong) tebuslah, tuan!” Itu kata orang muda itu. Tersebut pula Juara Pantang: “Bagaimanakah aku (bisa) menolong? Aku akan dikejarnya juga. Jika kita dilelahkannya jauh-jauh, jika tersambar pula, aku (akan) dikejarnya pula.” Itu kata Juara Pantang.

266. “Hendaklah kita coba-coba melawan dia!” Berangkatlah (mereka), masuk ke tengah dudun Tanjung Kerbau Jatuh, bertemu dengan Kunci Petir Kumbang berantai serta dengan hulubalangnya Sutan Gerembut Kepala Api.

267. Dengan sekaligus (dengan segera) berperanglah mereka; perang terjadilah. Akan Juara Pantang disentak pedangnya.

268. Berperanglah orang muda itu: empat serencong (setetak), kena pedang tujuh setikam; kena keris, rebah ke kiri (dan) ke kanan.

269. Memekiklah Juara Pantang: “Beroleh malu dan sopan orang dusun ini! Di manakah engkau, Kunci Petir Kumbang Berantai? Inilah jodohmu, inilah lawanmu, (yang) bernama Tuan Bujang Juara Pantang!” Itu katanya. “Lagi kecil, berpantang menyusu, sudah besar, berpantang memakan; bujang berpantang mengambil janda; kalau berperang, berpantang kalah.” Itu kata Juara Pantang bertemu dengan Kunci Petir Kumbang Berantai.

270. Bertemulah Juara Pantang (dengan lawannya): “Bagaimana sekiranya kita berhenti, kita merokok dulu?” Begitulah katanya. Merokoklah mereka keduanya.

271. Akan Juara Pantang diberinya pundi-pundinya berpisak lima berisi sirih, cukup genap (ber)warna lima, diberinya kepada Kunci Petir Kumbang Berantai. Maka diambil oleh Kunci Petir, dikunyahnya bersama dengan pundi-pundi, dikunyahnya belungkang loyang. 272. “Kuat sekali tuan ini, gagah sekali tuan ini!” Itu kata Juara Pantang. Yang lain semua

mundur, tinggal hanya kedua hulubalang.

273. “Sekarang marilah kita bersilat di halaman ini; kita berdua ini, kawan sudah bertemu (dengan) kawanku; sudah larilah kawanku itu. (Sekarang) ini, diselesaikanlah perang (kita): makanan habis, penggal-memenggal putuslah. Kalau matilah aku, tak sampailah (niat)ku itu!” Itu kata Juara Pantang.

274. “Aku membantu, aku menolong orang dusun ini, aku menolong orang (yang) teraniaya!” 275. Tuan Bujang Juara Pantang hendak dimajukan langkah tiga, berkecak (pinggang) langkah

empat, dibuat langkah serang (berbelok-belok): “Sampailah aku!” kata Kunci Petir Kumbang Berantai.

276. Berenggutan mereka kedua, terserak darah di kening Kunci Petir Kumbang Berantai, teralir darah dari perutnya, keluar tahinya.

277. Duduklah Juara Pantang. Maka sampai Lumang Kasihan: “Apa kabar, kakak orang muda?” Berkatalah Juara Pantang: “Engkau yang ditolong, engkau yang berlari-lari; tak patutlah seperti itu!” Itu katanya.

278. Kalau begitu engkau berperang, patutlah ibumu dicincang lumat-lumat, dipancung mati!” Itu kata Juara Pantang kepada Lumang Kasihan.

(17)

279. Tidak berapa lamanya maka berundinglah kedua orang muda itu, pergi ke rumahnya di dusun Tanjung Kerbau Jatuh. “Naiklah kita ke rumah adat, ke rumah lembaga, batang atapnya kaca, dindingnya cermin; di situ kita berapat! Hamba pergi memanggil adikku Puteri Permaisuri yang dibawa Kunci Petir Kumbang Berantai, dibawa ke sungai dulu.” 280. Duduklah Juara Pantang dan Luman Kasihan bertiga dengan adiknya. Sampailah hari yang

kedua, sampai sebulan dua bulan mereka (duduk di) dusun itu menghentikan letih dan jerih-payah, maka bermohonlah Juara Pantang kepada kedua orang muda:

281. “Hai orang muda, beginilah kita: kalau berjasa kutolong, kalau engkau berperang kubantu. Sekarang tidak ada lagi (lawan), sekarang lepaskanlah aku berjalan! Berkatalah orang muda Lumang Kasihan: “Hai kakak orang muda, sabarlah tuan hendak berangkat berjalan!: Itu katanya. Tersebut pula Puteri Permaisuri: “Hai kakak, sabarlah tuan dulu berjalan, kami hendak berkenduri lagi!” “Nantikanlah aku pulang, maka kamu berkenduri (nanti), karena aku ini masih jauh perjalananku!” Itu kata Juara Pantang.

282. “Lepaskan saja aku berjalan!” Itu katanya. Tidak berapa lamanya mereka berunding, habis berbicara dan bermesyuarat, terhitunglah isi bumi, terbilang isi langit, kira-kira (sampai) hari sianglah mereka berunding.

283. Pagi-pagi hari (baru) berangkatlah Juara Pantang, dilepaskan oleh orang dua beradik: “Kini!” kata Juara Pantang.”Hai kakak Juara Pantang, kalau sekarang, (jadilah); kalau tuan terimpit, berilah kabar dan berita kepada kami. Hai kakak, kami (tetap) bertiga dengan tuan. Kalau tuan nanti esok hari pulang ke sini, janganlah tuan (lupa) singgah di rumah kami!” Begitulah katanya.

284. Tidak berapa lamanya, awak berjalanlah tatkala itu, masuk rimba keluar rimba, masuk perbatasan keluar perbatasan, mendaki bukit menerjuni (menuruni) lurah, lurah yang dalam.

285. Tidak berapa lamanya awak berjalan, (maka) “menderita betul engkau ini (tubuhku)!” Begitulah kata Juara Pantang.

286. Menggelegaklah air, mengguruhlah puteri sembilan terjun mandi, disebabkan lebih disuruh mencari kiblat kehendak hati.

287. “Jikalau kehendak hati(ku), tidak akan mati; kehendak Allah tidaklah akan hilang!” begitulah kata Juara Pantang.

288. Berjalanlah awak terus-menerus; tiga hari, tiga bulan, cukup genaplah tujuh bulan awak menempuh rimba itu.

289. Yang bernama Juara Pantang sudah puas (bosan) menempuh rimba itu. Macam-macam ditemui dalam rimba, macam-macam tersua dalam hutan.

290. Tidak berapa lamanya, bertemu pula ia dengan tepi laut yang bujur (luas); berhentilah orang muda tatkala itu, tepekurlah awak waktu itu.

291. BermalaSMah ia dua hari dua malam di tepi laut itu, memperhentikan letih-payahnya. 292. Pada hari kedua, hari ketiga, (waktu) pagi diambilnya kemenyan baru di ujung destar,

dibakar di telapak tangannya, menghimbau berkat orang keramat orang sakti.

293. “Kuasapi anak puteri, kuasapi anak raja, tujuh kali turun; tibalah pada aku kalau terdapat (tercapai) permintaanku dan berlaku tujuanku.”

294. Tibalah jong kecil lancar tembaga, jong pusaka Nénék gi bahari.

295. Cukup genaplah segala ada, hari yang ketiga. Tidak berapa lamanya, belum terpetik air liur, berdenyut jauh dari tengah (laut);

(18)

296. Jong kecil lancar tembaga, bekas jong Nénék lagi bujang (Nénék bahari). 297. Jong kecil lancar tembaga, (ber)kemudi emas, ber-dayung seimbang galah.

298. Bergulinglah Juara Pantang ke dalam jong itu, dikunyah sirihnya, diudut sebatang rokok. 299. Tidak berapa lamanya, dihentaknya galah yang panjang, berdenyutlah jong ke tengah,

(ber)bunyi kumbang keputusan tali; direngkuh dayung yang seimbang, entah ke lima pulau terlampau.

300. Berjalanjalan terus jong Juara Pantang; bersiul siul halus ia, merengeng-rengeng seni, merdu panjang.

301. Siulnya pergi melantas ke langit tinggi, tertumbuk (kena) ke napal belang, merapah (mengembara) ke alam dunia siungnya, terdengar ke gunung tinggi, melanjut ke gunung jauh.

302. Tersebutlah pula Puteri Kecek Simabok Alam (katanya): “Ini orang lain datang, orang keramat tiba, orang sakti.”

303. Kedengaranlah siul Juara Pantang, rasanya tertumbuk ke ujung rambut, rasanya putus tali jantung, (begitulah) merdu (nyanyi)-nya.

304. “Gaib betul orangnya; hendak dicoba (kucoba) ia!” itu kata Puteri Kecek Simabok Alam. 305. Duduklah ia merenung diatas mahligai tinggi, di puncak gunung tinggi; ia tunangan tuan

negeri.

306. Tidak berapa lamanya, tersebut pula Puteri Kecek Simabok Alam. (Adalah) tujuh adik (kawan): seorang bernama Puteri Tengah, seorang bernama Puteri Tua, seorang bernama Puteri Bungsu, seorang bernama Puteri Bunga Melur.

307. Itulah tujuh adik (kawan). Kepala gadis, itu Puteri Kecek Simabok Alam, tunangan Tuan Negeri.

308. Tersebutlah pula Puteri Kecek Simabok Alam: “Hai orang muda, tuan negeri raja kami! Beri ampun, beri maaf, aku ini hendak meminta (sesuatu) kepada tuan.” Begitulah katanya. “Aku ini hendak berangkat (pergi) ke taman tujuh, pergi ke puncak gunung Pantai Cermin!” Begitulah katanya.

309. Berjawablah Tuan negeri: “Hai engkau adik, kalau engkau hendak (pergi) ke dataran alam dunia, ke puncak gunung Pantai cermin, banyaklah penglihatan orang dataran alam dunia, banyaklah hikmatnya; banyak betul yang memakai yang jahat-jahat.” Begitulah katanya. 310. “Boleh juga (barangkali) engkau dibawanya lari.” – “Hai kakak orang muda, aku

menangis-nangis (meng)ingat kata tuan; asal lepaslah aku (untuk) pergi mandi ke taman tujuh, menumpang mandi ke taman Nénék Rebieh Rendah Kayu.” Begitulah katanya.

311. Menjawablah Tuan Negeri: “Kalau begitu kata engkau ini adik, kulepaskan dengan hati suci muka jernih; pergilah engkau adik!” Begitulah kata orang muda Tuan Negeri.

312. Berkatalah Puteri Kecek Simabok Alam: “Apa lagi kamu orang tujuh ini, berangkatlah kita!” Diambilnya baju ayah (yang) pandai terbang, tujuh helainya.

313. “Aku ini terjun (turun) dulu ke rendah (dataran) alam dunia,” Begitu katanya.

314. Bersiaplah dia, terbanglah, turunlah puteri ke orang dataran (dunia), seperti balam turun kejemuran, ke puncak gunung Pantai cermin, pergi memandi waktu itu.

(19)

316. Keramat sama keramat, sangat keramatlah ia – menumbuk batu di lesung, pinang tertumpuk, loyang tertumbuk.

317. Saktinya sama, sejodoh, sama (dengan) keramat orang muda Sijaro Panta. 318. Tidak berapa lamanya, tibalah ia di gunung Pantai Cermin.

319. Puteri (Kecek Simabok Alam) memandang ke kiri, memandang ke kanan, memandang ke lembah, memandang ke darat.

320. Puteri Kecek memandang ke laut lepas (jauh-jauh), diiringi ekor mata, - nampaklah seorang orang diri berjung di tengah laut itu.

321. “Siapa pula yang berdayung di tengah laut ini?” tanyanya.

322. “Pandai betul ia berdayung, sangat keramat orangnya, amat ganteng; kilat kukunya melanjut ke langit, kilat tapaknya melantasi bumi, kilat badannya (memenuhi) seluruh dunia, kilat mukanya seperti pauh dilayang!”

323. “Bukan sederhana tampaknya; ia dipandangi orang.”

324. “Kalau nampak jelas ia, bermata silau (orang) dan kelingkingnya besar rupanya; kalau dihampiri, hancur-putus hatiku.” Begitu katanya Puteri Simabok Alam.

325. “Hendak kucoba orangnya,” kata Puteri Kecek Simabok Alam.

326. Pergilah mereka ke rumah Nénék Rebieh, (bertanya:) “Hai Nénék, kami ini hendak menumpang (ikut) mandi; siapa orang itu yang menempuh laut, ber-jung kecil lancar tembaga? Kami hendak mempercobainya, Nénék!”

327. Jawablah Nénék Rebiah: “Janganlah mempercoba-coba orang itu; apa kiranya engkau ditentanginya? Bukan orang terjagajaga, bukan orang yang dapat dipusing-pusing sahaja; keramat dan sakti orangnya.”

328. “Sebenarnya, dia yang menempuh laut itu, lain dari semua orang sakti yang lain.”

329. Puteri Sembilan dan Puteri Kecek berkata sekali lagi: “Hendaklah kami percoba orangnya, Nénék!”

330. Jawablah Nénék sekali lagi: “Janganlah, cucuku! (Tapi karena nampaknya) keras kepala dia (engkau), terserahlah kepadakau...”

331. Maka dicobai Puteri Kecek, diambil kemenyan baru, dibakar di atas telapak tangannya: 332. “Turunlah kau angin topan, angin badai, induk topan dan kilat; kami minta supaya

kautumbuk dan kaukipas orang itu yang berani menempuh laut; dialah kami hendak mempercobai!” (begitulah katanya)

333. Tidak berapa lamanya, berdenyutlah angin topan, berdetuslah badai, meletus petirnya dengan mengipas (meghentam) jung orang itu.

334. Dilambungkan ombak jung Juara Pantang – dihentam badai, dialunkan ombak.

335. Kadang-kadang tersiramlah ia ke halaman kuning, kadang-kadang tertukik ke lapangan belang.

336. Beberapa petir mengelilingi jungnya.

337. Tak berapa lamanya merasa sakitlah Juara Pantang.

338. Angin berlaga dengan jung; dalam pertempuran itu, berkatalah Juara Pantang: 339. “Teduhlah kau angin, berhentilah kau badai!”

(20)

340. Kalau terus-menerus (topan dan badai), aku akan membakar kemenyan untuk anak raja dan puteri-puteri tujuh kali (supaya) turun kepada saya! Niat(ku) baik.”

341. (Moga-moga) dapatlah permintaanku, terjadilah tujuanku! Berhentilah kau angin topan, berhentilah kau petir!

342. Tidak berapa lamanya, Juara Pantang merasa jerih sedang menimba jungnya itu. 343. Berangkatlah jung itu; melungguh Juara Pantang, berhentikan lelah-payahnya. 344. Tak berapa lamanya, kainnya sudah jemur; baru merasa senang dia:

345. “Ibu, nantikan orang yang bernama Juara Pantang itu!”

346. “Adat jangki beruntai-untai, adat kelapa tali-menali; adat budi balik-membalik, adat jasa ganti-berganti.”

347. Begitulah katanya. “Kelakuanku bukan seperti elang beranak muda; tinggallah kau anak, senanglah kau, tinggal di rumah, - engkau tidak akan kumakan!”

348. “Kalau sekali lagi diasapi anak puteri dan anak raja, diturunkan anak keturunan Nénék Rebiah, mogamoga terdapat permintaanmu dan berlakulah tujuanmu; turunlah kau angin, membalik angin orang itu.”

349. “Turunlah engkau induk topan; turunlah engkau induk badai; turunlah engkau induk petir.” 350. Tidak berapa lamanya, petir menumbuk puncak gunung Pantai Cermin; tibalah angin yang

garang (hebat), sampai runtuklah rimba belantara, sampai jatuh daun kayu.

351. Sampai rebah junjungan sirih, sampai patah (dibinasakan) padang pinang, sampai rata samasekali padang gambir dan taman bunga pemali (larangan) Nénék Rumbia...

352. Tersebut pula Puteri Kecek Simabok Alam berkawan tujuh. 353. “Hai Nénék, tolonglah, bantulah (cucumu)!” begitulah katanya.

354. “Saya sebagai telor dihimpit batu; tolong bantu; kalau lambat ditolong, jiwaku melayang!” 355. “Menyesal amat sangat kami (karena) mencobai anak muda itu!”

356. Berjawablah Nénék Rumbia: “Sejak tadi aku ini telah menegur kamu berkawan tujuh, 357. “Ingin sekali (keras kepala) dan agak tuli kamu tujuh orang;

358. “orang lain menengok-nengok dahulu, tetapi kamu hendak mencobai orang itu dengan segera – anak raja, seorang manusia!” Begitulah katanya Nénék Rumbia.

359. “Kaukasihi (kami) orang tujuh ini!” “Adat kelapa tali-menali; adat jangki beruntai-untai; adat jasa ganti-berganti; adat budi balik-membalik,” katanya Nénék Rumbia.

360. “Salah sedikit (lebih kurang) aku terlibat (dalam perkara ini); sirihku rebah (runtuh) junjungannya, pinangku patah-patah sahaja, gambirku terlepas (tersobek);

361. “tepian dan tengah halamanku penuh dengan (oleh) sarap dikipas (dibawa) angin!” begitulah katanya.

362. Maka tidak jadilah puteri tujuh orang itu pergi mandi ke rumah Nénék Rumbia.

363. Dengan segera ... puteri tujuh orang itu sampai di rumah Nénék; maka naiklah mereka ke rumahnya.

(21)

364. Maka berkata puteri tujuh orang ini: “Kami disuruh Tuan Negeri pergi mandi!” – “Mandilah kamu di Taman Tujuh!’ – kata Nénék Rumbia, Nénék orang muda Juara Pantang.

365. Pergilah mereka bertujuh orang. Sesudah sampai di tepi laut, mereka bermandi.

366. Tak berapa lamanya, mandi berlimau baik-baik mereka. Sesudah sehat badan (rasanya), disikat rambut mereka sedang jungkang-jungkit.

367. Diambil minyak dan kunyit, diambil pula bunga setangkai di tebing taman (kolam) yang tujuh.

368. Berkatalah Puteri Kecek kepada puteri-puteri yang berenam: “Cobalah cari semanis bunga kamu!”

369. Menjawablah puteri enam orang itu: “Semanis-manisnya (tidak berbanding) bunga kami; tak ada niat kedua atau niat ketiga – (bunga ini) untuk raja kami, Tuan Negeri!” kata enam puteri itu.

370. “Hai engkau ketua gadis, kacaukan bungamu!” begitulah katanya.

371. Berjawablah Puteri Kecek Simabok Alam: “Tak ada niat kedua atau ketiga – hanya kakak orang mercapada yang bernama Juara Pantang itu sahaja!”

372. Berkatalah puteri enam orang itu: “Matilah engkau (karena) dibengisi tuan raja kami, Tuan Negeri – lain dari yang kaukatakan!”

373. Sesudah menyebut perkataan “bunga”, marah sekaliputeri enam orang itu. Puteri Kecek berkata: “Mana bisa dia bengis kepada aku?”

374. “Pandai pula Tuan Negeri bengis kepadaku, tapi aku hendak kawin dengan dia; sampai hancur bendul jati, sampai ayam sabung bertelor, aku hendak kawin dengan dia!” Begitulah kata Puteri Kecek Simabok Alam.

375. Berkatalah Enam Puteri itu: “Dia akan murka sekali kepada kamu, ketua gadis!” Begitulah katanya.

376. Tidak lama kemudian berangkatlah (enam) puteri itu; kuatlah sayapnya yang keemas-emasan, (yang cakap) turun ke bumi atau terbang ke langit; terbanglah mereka ke gunung yang tinggi.

377. Mereka disambut oleh seorang hulubalang Tuan Negeri.

378. Tidak berapa lamanya tibalah Tuan Negeri (sendiri). “Hai kamu adik gadis, mengapa begitu lama kamu tinggal di puncak Gunung Cermin memandi-mandi? Saya kira kamu teralangi manusia?” Begitulah katanya.

379. Mengadu puteri enam orang itu, katanya: “Bukan kami yang mangadangi, tapi dia! 380. Walaupun semanis bunga Puteri Kecek Simabok Alam itu, tapi ditipunya kakak tua! 381. kata kami, kalau bunga kami ini, tidak ada niat kedua atau niat ketiga,

382. kamulah yang akan disunting tuan raja kami;

383. tapi itu bukan bunganya; tak ada niat kedua atau niat ketiga – (bunga itu untuk) orang manusia yang bernama Orang Muda Juara Pantang!”

384. “Hai adik-adik, kamu piuh-pilin berkata begitu!”

385. Berjawablah Puteri Kecek Simabok Alam: “Hai tuan, tuan raja kami! Saya hanya bersenda-gurau sahaja dengan orang manusia ini;

(22)

386. janji kita hendak kawin! Sehingga bendul jati hancur, sehingga kerbau jantan beranak, sehingga ayam sabung bertelor; itu janji kita ini, tuan!”

387. Berjawablah Tuan Negeri: “Pandai betul engkau bersenda-gurau!” 388. Tertawa terbahak-bahak Tuan Negeri itu – tawanya seperti petir tunggal.

389. Maka berkatalah Tuan Negeri: “Nyahlah engkau, turun ke anjung Mahligai Tinggi!” 390. Tak berapa lama kemudian, sampailah orang muda Juara Pantang di tepi laut, di bawah

gunung Pantai Cermin.

391. Sesudah sampai di tepi laut, naiklah ia, ditimbunkan galah dan dayung di dalam jung. 392. Setelah dia naik ke atas tebing, ditolaknya jongnya dengan kaki kiri ke tengah kaut,

berkata: “Hai engkau jung, engkau yang datang dengan segera kalau dipanggil, dan pergi dengan segera kalau disuruh pergi, - sekarang ini, engkau kusuruh pergi menunggui pusaran air (Raja Penghadap)!”

393. Berangkatlah ia ke kaki gunung Pantai cermin, untuk berhentikan letih-payahnya. 394. Lama tertegun (berhenti) dia di bawah gunung itu ...

395. Mana pula mendaki bukit Pantai cermin ini, - sedikit pun tak ada (tempat) menginjak kaki!” 396. Dicobanya pula mendaki, sepanjang seratus langkah, berguling dia; sepanjang lima puluh

langkah, dua ratus langkah, berguling lagi; sepanjang seratus langkah, letih sekali, payah sekali rasanya;

397. Diambilnya kemenyang baru, dibakarnya di atas telapak tangannya, dihimbau berkat orang sakti orang keramat: “Moga-moga permintaanku ini terjadi,

398. menginjakkau, bukit, (moga-moga kau akan) sebesar tongkol jagung!” begitulah katanya. 399. Sudah menginjak gunung Pantai Cermin, naiklah orang muda Juara Pantang ke atas gunung

itu.

400. Tidak berapa lamanya, sampailah ia di puncak gunung itu.

401. Sudah bertemu dia dengan simpang jalan; sesimpang jalan menuju ke rumah Nénék Rumbia; yang kedua, berbelok kiri, menuju ke taman tujuh, kediaman puteri tujuh orang itu.

402. Diturutnya simpang jalan yang berbelok kiri, menuju ke Taman Tujuh, tempat kediaman puteri tujuh orang itu.

403. Katanya: “Bukankah ini taman mereka yang mempercobai awak – marilah aku mandi dalam kolamnya itu!”

404. Diberaki Juara Pantang taman itu, ditebarnya bunga di atas taman itu. 405. Maka larilah ia menuju rumah Nénék Rumbia.

406. Dudukla ia, berhenti di tengah halaman Nénék Rumbia.

407. Duduklah ia di bawah naungan beringin kuning di halaman Nénék Rumbia.

408. “Nampaknya ayam berkotek, kambing mengembik, (be)berapa kerbau menguak, ayam berkotek di luar sangkarnya!”

409. Berkatalah Nénék Rumbia: “Hai engkau Kembang Gadis, coba (tolong) meninjau (menengok) ke tengah halaman, ayam apa yang ribut!”

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu puisi Korea yang penyampaian pesannya juga diperkuat dengan unsur seni rupa adalah antologi puisi kartun atau poemtoon ( 포 엠 툰 ) ‘Dangshinege Cheot Beonjjae

Hal ini sesuai pula dengan Kent (2004) yang menyatakan bahwa metakognisi pada hakikatnya untuk pembelajaran yang berhasil karena memungkinkan individu-individu lebih baik

Hasil pemberian ekstrak akar tuba dapat memberikan pengaruh pada ikan nila dengan hasil dosis 2ppm mempunyai nilai waktu yang sangat lama berbeda dengan dosis 4ppm, 6ppm, dan 8ppm

Unit sampling utama ( primary sampling ) adalah RT (Rukun Tetangga). Jumlah sampel RT per desa/kelurahan minimal 8 RT dan jumlah sampel per RT sebanyak 5

DIPA Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Makassar Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelatihan TKHI sebanyak 4 (empat) angkatan yang di rencanakan

Kanker payudara merupakan salah satu penyebab kematian pada wanita saat ini.Faktor prognosis yang berhubungan dengan biologis kanker payudara adalah subtipe

Tempat ujian adalah lokasi seorang peserta ukom melakukan proses ujian kompetensi. Jika melihat fasilitas yang ada pada masing-masing intitut pendidikan keperawatan baik tingkat

Alhamdulillah, tiada kata yang pantas dan patut penulis ungkapkan selain ungkapan rasa syukur kehadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan rahman dan rahimNya, sehingga penulis