TEKNIK COGNITIVE DEFUSION: PENERAPAN
INTERVENSI KONSELING UNTUK MENINGKATKAN
PERCAYA DIRI SISWA
Wahyu Nanda Eka Saputra1, Hardi Prasetiawan2 1
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta wahyu.saputra@bk.uad.ac.id
2Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta hardi.prasetiawan@bk.uad.ac.id
Abstrak
Percaya diri merupakan salah satu aspek yang perlu dikembangkan untuk menunjang prestasi akademik siswa. Hal ini akan memberikan penguatan pada diri siswa untuk dapat berkembang optimal sesuai dengan potensinya masing-masing. Salah satu teknik konseling yang dapat digunakan untuk meningkatkan percaya diri adalah cognitive
defusion. Teknik cognitive defusion adalah suatu teknik konseling yang digunakan untuk
mengurangi pikiran negatif dengan mengubah konteks masalah yang terjadi. Pengubahan ini dilakukan dengan cara pengubahan bahasa dalam pikiran konseli. Bahasa tersebut berperan sebagai stimulus yang dapat mengubah tingkah laku.
Kata Kunci:
Percaya Diri, Teknik Cognitive Defusion
AbstractSelf-confidence is one aspect that needs to be developed to support students' academic achievement. This will provide reinforcement in students themselves to be able to develop optimally in accordance with their respective potential. One of the counseling techniques that can be used to boost of self-confidence is cognitive defusion. The technique of cognitive defusion is a counseling technique used to reduce negative thoughts by changing the context of the problem. This change is done by changing the language in the mind of the counselee. The language acts as a stimulus that can change behavior.
Keywords: Self-Confidance, Cognitive Defusion Technique
PENDAHULUAN
Percaya diri merupakan aspek yang dapat digunakan siswa untuk menunjang keberhasilan akademik yang di tempuh saat ini. Dengan unsur percaya diri, siswa akan mampu untuk menunjukkan dan beraktualisasi diri terkait dengan potensi yang dimiliki. Sehingga potensi siswa tidak terabaikan dan mampu tersalurkan dengan maksimal.
Kondisi ideal tersebut tidak sepenuhnya terjadi di lapangan.
Beberapa penelitian menunjukkan terjadi berbagai masalah terkait dengan percaya diri siswa. Penelitian Suhardita (2011) menunjukkan bahwa 2,17% kategori sangat tinggi, 22,46% kategori tinggi, 57,97% kategori sedang, 13,77 kategori rendah, dan 3,62% kategori sangat rendah. Penelitian Mastur, Sugiharto & Sukiman (2012) menunjukkan hasil prosentase skor 0,70 % berada pada kategori rendah, 78,47 % berada pada kategori sedang dan 20,83 % berada pada kategori tinggi.
Beberapa penelitian yang menunjukkan berbagai masalah terkait dengan percaya diri membutuhkan sebuah upaya agar siswa mampu meningkatkan percaya diri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memaksimalkan kinerja konselor untuk melaksanakan konseling teknik
cognitive defusion. Teknik ini dipakai
dipakai dalam konteks di mana konseli terlibat dalam masalah pribadi seperti pikiran diri yang negatif yang sangat mendalam (Masuda dkk., 2010).
Berdasarkan uraian di atas, teknik konseling yang digunakan untuk meningkatkan percaya diri adalah teknik
cognitive defusion. Makalah ini akan
menjabarkan konseling teknik cognitive
defusion dalam meningkatkan percaya
diri siswa. Sehingga konseling teknik
cognitibe defusion dapat menjadi salah
satu pilihan konselor dalam upayanya meningkatkan percaya diri siswa.
PEMBAHASAN 1. Percaya Diri
Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan dan mengidentifikasi pengertian percaya diri secara berbeda-beda. Percaya diri adalah dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri. Lindenfield (1997) menyatakan bahwa orang yang percaya diri adalah orang yang merasa puas dengan dirinya. Rasa percaya diri juga disebut sebagai harga diri atau gambaran diri (Suntrock, 2003). Menurut Lie (2003) percaya diri adalah yakin akan kemampuannya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan masalah. Menurut Suharyadi (2007) percaya diri merupakan sikap dan keyakinan untuk memulai, melakukan, dan menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang dihadapi.
Beberapa ahli mendefinisikan ciri-ciri percaya diri. Menurut Hankin (2004) ciri-ciri orang yang percaya diri adalah (a) orang yang memiliki percaya diri menjadi cemas menghadapi masalah nyata, bukan masalah psikologis; (b) mereka menenangkan diri agar bisa merencanakan sebuah penyelesaian; (c) mereka tidak sering merasa risau; (d) mereka tahu tahu kapan kecemasan terjadi karena melanggar aturan misalnya terlambat; (e) tidak bersikap irasional jika orang lain tidak sepenuhnya sepakat dengan mereka; dan (f) mereka benar-benar menyukai tantangan terhadap kemampuan mereka. Menurut Lie (2003) ciri-ciri perilaku yang mencerminkan percaya diri menurut adalah (a) yakin kepada diri sendiri; (b) tidak bergantung pada orang lain; (c) tidak ragu-ragu; (d) merasa diri berharga; (e) tidak menyombongkan diri; dan (f) memiliki keberanian untuk bertindak. Menurut Hakim (2002) ciri-ciri orang yang percaya diri adalah (a) bersikap tenang mengerjakan sesuatu; (b) mempunyai potensi yang memadai; (c) menetralisasi ketegangan yang muncul; (d) berkomunikasi di berbagai situasi; (e) memiliki kondisi mental dan fisik yang menunjang penampilannya; (f) memiliki kecerdasan yang cukup; (g) memiliki pendidikan formal yang cukup; (h) memiliki keahlian yang menunjang; (i) mampu bersosialisasi; (j) berlatar belakang pendidikan keluarga yang baik; (k) berpengalaman hidup yang menempa mentalnya menjadi kuat dalam menghadapi berbagai cobaan; dan (l) bereaksi positif dalam menghadapi berbagai masalah.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa percaya diri adalah dimensi menyeluruh individu
yang berupa sikap bertanggung jawab gambaran diri dan keyakinan akan kemampuannya dalam memulai, melakukan, dan menyelesaikan suatu pekerjaan dan tugas. Seseorang yang memiliki rasa percaya diri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) menyesuaikan diri dan berkomunikasi di berbagai situasi; (b) memiliki kemampuan besosialisasi; (c) memiliki pengalaman yang menempa mental menjadi kuat terhadap cobaan; (d) tenang di dalam mengerjakan sesuatu; (e) menetralisir ketegangan yang muncul; dan (f) selalu bereaksi dan bertindak positif di dalam menghadapi berbagai situasi.
2. Teknik Cognitive Defusion
Teknik cognitive defusion
berakar dari pendekatan Acceptence and
Commitment Therapy atau disingkat
dengan ACT (Hayes, Strosahl & Wilson, 1999) yang merupakan gelombang baru CBT (Hofmann, Sawyer & Fang, 2010). ACT berbeda dengan CBT, ACT memandang pikiran dan kepercayaan tidak secara langsung berdampak pada perilaku. Oleh sebab itu, ACT tidak mengubah konten kognisi untuk mempromosikan perubahan perilaku (Ruiz, 2012) akan tetapi ACT berfokus pada perilaku individu dan konteks terjadinya (Bach & Moran, 2008).
Salah satu teknik ACT adalah
cognitive defusion (Heimberg & Ritter,
2008; Hesser dkk., 2009; Kishita dkk., 2014). Teknik cognitive defusion
dikonseptualisasikan sebagai pengubahan makna kata-kata dan fungsi pengaturan perilaku dari masalah pribadi yang dialami tanpa mengubah bentuk, frekuensi, dan situasi yang sensitif pada diri mereka (Masuda dkk., 2004). Teknik cognitive defusion sering dipakai
dalam konteks di mana konseli terlalu banyak terlibat dalam masalah pribadi mereka seperti pikiran diri yang negatif. Teknik cognitive defusion didesain untuk mengurangi pikiran negatif dengan mengubah konteks masalah yang terjadi daripada berupaya mengubah bentuk, frekuensi, dan situasi yang sensitif pada diri mereka (Hayes dkk., 2006).
Menurut Masuda dkk. (2004) teknik cognitive defusion terdiri dari tiga tahap. Adapun tiga tahap tersebut adalah (a) rasional teknik cognitive defusion; (b) pengalihan perhatian pada tugas; dan (c) rasional kontrol pikiran dan latihan. Selanjutnya, Masuda dkk. (2010) teknik
cognitive defusion terdiri dari tiga tahap.
Adapun ketiga tahap tersebut adalah (a) rasional perlakuan; (b) latihan defusion; dan (c) pengulangan kata-kata dari pikiran target selama 30 detik.
Berdasarkan pemaparan di atas, disimpulkan bahwa cognitive defusion merupakan teknik dari ACT yang memanfaatkan bahasa sebagai stimulus dalam pengubahan perilaku. Teknik
cognitive defusion dikonseptualisasikan
sebagai pengubahan makna kata-kata dan fungsi pengaturan perilaku dari masalah pribadi yang dialami tanpa mengubah bentuk, frekuensi, dan situasi sensitif konseli. Adapun tahap teknik
cognitive defusion adalah (a) rasional
perlakuan; (b) pelatihan defusion; (c) identifikasi pikiran negatif konseli atau bisa disebut sebagai tahap acceptance; (d) pengulangan kata-kata dari pikiran yang menjadi target selama 30 detik; dan (e) pembuatan komitmen baru sesuai dengan yang diinginkan konseli.
3. Teknik Cognitive Defusion untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa
Percaya diri yang rendah menjadi masalah serius di kalangan pelajar. Lindenfield (1997) menyatakan bahwa orang yang percaya diri adalah orang yang merasa puas dengan dirinya. Dampak negatif rendahnya percaya diri ditinjau dari dua hal, yaitu dampak akademik dan non akademik. Dampak akademik rendahnya percaya diri siswa meliputi menurunnya performa akademik, motivasi berprestasi, dan performa akademik. Dampak non akademik rendahnya percaya diri siswa meliputi meningkatnya kecemasan dalam melakukan komunikasi interpersonal dan berbicara di depan umum.
Strategi konseling untuk meningkatkan percaya diri adalah dengan konseling pendekatan ACT yang secara umum bertujuan meningkatkan fleksibilitas psikologis (Harris, 2006). Alasan penggunaan ACT karena tingkat percaya diri yang rendah dilatarbelakangi oleh pikiran disfungsional yang berasal dari perasaan tidak mampu. Dengan menerapkan konseling dengan pendekatan ACT, konselor mengubah tingkah laku yang tidak diinginkan dengan mengubah bahasa lisan dalam pikirannya (Pilecki & McKay, 2012).
Teknik ACT yang bisa diterapkan untuk meningkatkan percaya diri adalah cognitive defusion. Teknik
cognitive defusion dimaknai sebagai
pengubahan makna kata-kata dan fungsi pengaturan perilaku dari masalah pribadi yang dialami tanpa mengubah bentuk, frekuensi, dan situasi yang sensitif pada diri mereka (Masuda dkk., 2004). Tujuan teknik cognitive defusion adalah memodifikasi fungsi kognisi yang tidak diinginkan dan tidak dikehendaki
dengan mengubah cara individu berhubungan dengan kognisi yang tidak diinginkan dan dikehendaki tersebut. Fungsi kognisi yang dimaksud sangat berhubungan dengan bahasa yang diungkapkan oleh individu (Yovel, 2009).
SIMPULAN (Times New Roman 12 bold)
Percaya diri merupakan salah satu dimensi dari kepribadian manusia yang perlu dikembangkan. Jika unsur ini terabaikan, tentunya akan banyak berdampak negatif pada diri manusia tersebut, seperti turunnya hasil belajar, terisonalasi dalam kelompok, dan kurangnya interaksi dengan individu lain. Salah satu teknik konseling yang mampu membantu mendorong siswa meningkatkan percaya dirinya adalah
cognitive defusion. Tujuan teknik
cognitive defusion adalah memodifikasi
fungsi kognisi yang tidak diinginkan dan tidak dikehendaki dengan mengubah cara individu berhubungan dengan kognisi yang tidak diinginkan dan dikehendaki tersebut. Fungsi kognisi yang dimaksud sangat berhubungan dengan bahasa yang diungkapkan oleh individu.
DAFTAR PUSTAKA
Bach, P. A., & Moran, D. J. (2008). ACT
in Practice: Case
Conceptualization in Acceptance & Commitment Therapy. Oakland, CA: New Harbinger Publications, Inc. Hakim, T. (2002). Mengatasi Rasa
Tidak Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara.
Hankin, S. (2004). PEDE ABIS !:
Percaya Diri. Jakarta: Gramedia
pustaka utama.
Harris, R. (2006). Embracing Your Demons: an Overview of Acceptance and Commitment Therapy. Psychotherapy in Australia, 12 (4): 2-8.
Hayes, S. C., Luoma, J. B., Bond, F. W., Masuda, A., & Lilis, J. (2006). Acceptance and Commitment Therapy: Model, Processes and Outcomes. Psychology Faculty Publications, Paper 101.
Hayes, S. C., Strosahl, K. D., & Wilson, K. G. (1999). Acceptance and
Commitment Therapy: An Experiential Approach to Behavior Change. New York:
Guilford Press.
Heimberg, R. G., & Ritter, M. R. (2008). Cognitive Behavioral Therapy and Acceptance and Commitment Therapy for the Anxiety Disorders: Two Approaches with Much to Offer.
Clinical Psychology: Science And Practice, 15 (4): 296-298.
Hesser, H., Westin, V., Hayes, S. C., & Andersson,G. (2009). Clients’ In -session Acceptance and Cognitive Defusion Behaviors in Acceptance-Based Treatment of Tinnitus Distress. Behaviour Research and Therapy, 47:
523-528.
Hofmann, S. G., Sawyer, A. T., & Fang, A. (2010). The Empirical Status
of the “New Wave” of CBT. Psychiatry Clinical North America, 33 (3): 701-710.
Kishita, N., Muto, T., Ohtsuki, T., & Barnes-Holmes, D. (2014). Measuring the Effect of Cognitive Defusion Using the IMPLICIT Relational Assessment Procedure: An Experimental Analysis with a Highly Socially Anxious Sample.
Journal of Contextual Behavioral Science, 3: 8-15.
Lie, A. (2003). Menjadi Orang Tua
Bijak 101 Cara Menumbuhkan Percaya Diri Anak. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Lindenfield, G. (1997). Mendidik Anak
Agar Percaya Diri.
Diterjemahkan oleh Kamil. Jakarta: Arcan.
Mastur, Sugiharto, DYP., & Sukiman. (2012). Konseling Kelompok dengan Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa. Jurnal
Bimbingan Konseling, 1 (2):
74-80.
Masuda, A., Feinstein, A. B., Wendell, J. W., Sheehan, S. T. (2010). Cognitive Defusion Versus Thought Distraction: A Clinical Rationale, Training, and Experiential Exercise in Altering Psychological Impacts of Negative Self-Referential Thoughts. Psychology Faculty Publications, paper 84.
Masuda, A., Hayes, S. C, Sackett, C. F, & Twohig, M. P. (2004). Cognitive Defusion and Self-Relevant Negative Thoughts: Examining the Impact of a Ninety Year Old Technique. Behaviour
Research and Therapy, 42:
477-485.
Pilecki, B.C., & McKay, D. (2012). An Experimental Investigation of Cognitive Defusion, The Psychological Record, 62: 19-40.
Ruiz, F. J. (2012). Acceptance and Commitment Therapy versus Traditional Cognitive Behavioral Therapy: A Systematic Review and Meta-analysis of Current Empirical Evidence. International
Psychological Therapy, 12 (2):
333-357.
Suhardita, K. (2011). Efektifitas Penggunaan Teknik Permainan Dalam Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa. Versi Elektronik. Edisi
Khusus, 1: 127-138.
Suharyadi, dkk. (2007). Kewirausahaan:
Membangun Usaha Sukses Sejak Usia Muda. Jakarta: Salemba
empat.
Suntrock, J. W. (2003). Adolescence
Perkembangan Remaja.
Diterjemahkan oleh Sherly Saragih. Jakarta: Erlangga.
Yovel, I. (2009). Acceptance and Commitment Therapy and the New Generation of Cognitive Behavioral Treatments. Israel Journal Psychiatry Relational Science, 46 (4): 304-309.