• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Sekitar setengah dari daratan di muka bumi telah dikonversi atau secara subtansial dimodifikasi untuk aktivitas manusia selama 10.000 tahun terakhir (Lambin, et al., 2003). Perubahan tutupan lahan merupakan salah satu faktor yang diketahui sebagai agen perubahan ekologi dan faktor penting antara aktivitas manusia dan perubahan lingkungan global (Wasige, et al., 2013). Interaksi dengan lingkungan yang sering dilakukan adalah modifikasi lanskap atau dengan mengubah lanskap alam menjadi bentukan antropogenik (Foley, et al., 2005) dalam (Wasige, et al., 2013). Modifikasi tersebut secara luasan global berubah menjadi lahan pertanian, padang rumput, perkebunan dan daerah perkotaan. Perubahan tutupan lahan ini didorong oleh kebutuhan untuk menyediakan makanan, air, dan tempat untuk lebih dari 7 miliar penduduk dunia saat ini.

Di Indonesia, perubahan tutupan lahan lebih didominasi oleh tutupan hutan menjadi bentuk penggunaan yang beragam: perkotaan, lahan pertanian, hingga perubahan lanskap akibat aktivitas pertambangan terbuka. Salah satu faktor pemicu perubahan tersebut secara intensif terjadi akibat kebijakan otonomi daerah (McCarthy, 2001). Kebijakan otonomi daerah telah memberi celah terhadap pengelolaan sumberdaya yang tidak berkelanjutan, karena daerah otonom memiliki hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Forest Watch Indonesia, 2011; Tarmansyah, 2011; Suhendra, 2014; Yasmi, et al., 2005).

Perubahan tutupan lahan akan mempengaruhi fungsi dari ekosistem, biodiversitas, dan iklim (Southworth, 2004). Di daerah tropis, banyak perubahan tutupan lahan yang sedang berlangsung merubah sistem ekologi dan iklim, seperti kolonisasi lahan marginal, deforestasi hutan, degradasi lahan kering, fragmentasi

(2)

lanskap dan urbanisasi perkotaan (Lambin, 1999) dalam (Southworth, 2004). Perubahan tutupan lahan yang terjadi tentunya akan mempengaruhi suhu permukaan (Chen, et al., 2006). Pengaruh tersebut dapat berupa terjadi penurunan suhu permukaan maupun peningkatan suhu permukaan. Perubahan ini memicu terjadinya fenomena-fenomena alam lainnya, seperti perubahan iklim lokal (Landsberg, 1981; Southworth, 2004; Weng, et al., 2004; Leeuwen, et al., 2011; Weng, 2008).

Fenomena alam lainnya yang muncul akibat dari pengaruh perubahan tutupan lahan adalah suhu permukaan di suatu daerah yang lebih hangat dari lingkungan sekitarnya. Fenomena ini disebut dengan heat island. Heat island disebabkan oleh lokasi yang terisolasi (berbeda kondisi) yang memiliki suhu permukaan/udara lebih tinggi dari daerah disekitarnya pada pengukuran in situ. Suhu yang lebih tinggi pada heat island meningkatkan kebutuhan pengaturan udara, meningkatkan kadar polusi, dan dapat mengubah pola curah hujan (Zong-Ci, et al., 2013). Aplikasi yang paling sering digunakan adalah urban heat island, yakni perubahan suhu dan perbedaannya antara kota dan desa (United States Environmental Protection Agency, 2008; Voogt & Oke, 2003). Pada penelitian ini, fokus analisis pada heat island, tidak spesifik pada urban heat island. Karena heat island terjadi ketika terjadi perbedaan kapasitas termal objek yang menimbulkan perbedaan suhu dengan lingkungan sekitarnya, baik itu karena pada perkotaan, ataupun dapat terjadi pada objek tanah dan bebatuan (Sabins, 2007).

Informasi mengenai fenomena tersebut dapat diekstrak melalui pengukuran in situ atau dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan algoritma tertentu yang juga memiliki hasil yang mendekati pengukuran in situ (Sobrino, et al., 2004). Dalam skala regional, pengukuran in situ di rasa memiliki banyak kelemahan dari segi waktu, biaya cukup tinggi, dan terdapat masalah dalam interpolasi spasial data yang telah diperoleh. Penggunaan teknologi penginderaan jauh cukup tepat untuk mendapatkan data permukaan bumi yang semakin kompleks dan dengan wilayah kajian yang cukup luas, sebagai alternatif penyelesaian masalah diatas yang lebih selain pengukuran in situ.

Keuntungan menggunakan data penginderaan jauh adalah tersedianya data dengan resolusi yang cukup tinggi, konsisten, pengulangan perekaman, dan kemampuan dalam mengukur/merekam kondisi permukaan bumi dengan baik (Owen,

(3)

et al., 1998). Dalam penginderaan jauh, sensor inframerah termal pada satelit dapat memperoleh informasi kuantitatif mengenai suhu permukaan terkait dengan tipe/ketegori tutupan lahannya. Hasil studi penggunaan teknologi penginderaan jauh memberi banyak informasi mengenai fenomena perubahan tutupan lahan yang berkaitan dengan suhu permukaan pada perbedaan skala dan jenis data yang digunakan, seperti NOAA-AVHRR dengan resolusi spasial 1,1 km, Landsat Thermatic Mapper (TM) dan Enhanched Thematic Mapper Plus (ETM+) dengan sensor inframerah termal (Thermal Infrared) data dengan resolusi spasial masing-masing 120 m dan 60 m (Basar, et al., 2008; Cao, et al., 2008; Kindap, et al., 2012; Kumar, et al., 2012; Laosuwan & Sangpradit, 2012; Sobrino, et al., 2004; Southworth, 2004; Tan, et al., 2009; Rigo, et al., 2006; Walawender, et al., 2013).

Salah satu satelit yang digunakan secara luas untuk aplikasi ini adalah Landsat ETM+. Penggunaan satelit ini dapat memberi informasi ketika dikonversi kedalam suhu permukaan, dapat digunakan secara langsung untuk dihubungkan dengan proses yang lain (seperti mikrometerogikal). Hasil ekstraksi penginderaan jauh tersebut selanjutnya harus dapat merepresentasikan besarnya perubahan yang terjadi. Hasilnya tentu dapat menjadi database lingkungan untuk melakukan penilaian dampak lingkungan dalam konteks regional dan memahami deforestasi hutan atau perubahan tutupan lahan dan suhu permukaan pada domain spasial dan temporal dengan penginderaan jauh, yang sulit dengan metode konvensional.

1.2 Rumusan Masalah

Studi ini dilakukan di Kabupaten Kutai Kartenegara, Provinsi Kalimantan Timur. Studi mengenai perubahan tutupan lahan dan pengaruhnya terhadap suhu permukaan menjadi penting mengingat sumberdaya alam yang melimpah pada daerah penelitian. Peran otonomi daerah terjadinya pembangunan daerah untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya telah memodifikasi banyak lanskap alam, seperti hutan hujan tropis. Di mana dengan adanya cadangan batubara yang cukup besar dan daya tarik sektor ekonomi, berpotensi memicu eksploitasi bahan tambang dan peningkatan jumlah penduduk yang banyak merubah konfigurasi muka bumi dan tutupan lahannya. Bentuk perubahan lahan hutan menjadi lahan-lahan terbangun sebagai daerah perkotaan, lahan-lahan terbuka sebagai akibat dari perambahan hutan atau penambangan batubara, hingga perubahan menjadi tubuh air. Perubahan tersebut juga

(4)

mengubah respon spektral yang terekam pada sensor penginderaan jauh, baik pada sistem pasif maupun termal.

Salah satu cara untuk mengukur perubahan yang terjadi kaitannya dengan perubahan tutupan lahan yang mempengaruhi suhu permukaan adalah menggunakan penginderan jauh, adalah dengan klasifikasi tutupan lahan yang dikombinasikan dengan indeks vegetasi (Laosuwan & Sangpradit, 2012). Akan tetapi studi literatur menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan lebih berpengaruh terhadap kondisi suhu permukaan, terutama dari yang awalnya bervegetasi menjadi lahan terbangun di perkotaan (Basar, et al., 2008; Oke, 1982; Weng, et al., 2004; Watson, 2012; Rinner & Hussain, 2011) atau bentuk penggunaan lahan lainnya.

Klasifikasi jenis tutupan lahan dengan penginderan jauh digunakan untuk mendapatkan kelas tutupan lahan dan mendeteksi perubahan tutupan lahan yang dimonitoring secara multitemporal. Perubahan tutupan lahan yang terjadi merubah emisivitas objek karena emisivitas memiliki ketergantungan terhadap tutupan lahan (Mallick, et al., 2012). Perubahan emisivitas ini berpengaruh terhadap radiasi pancaran yang dipancarkan objek di permukaan bumi yang direkam oleh sensor. Karena energi yang dipancarkan oleh objek dipermukaan bumi tergantung kepada parameter permukaan itu sendiri, seperti emisivitas permukaan dan suhu permukaannya (Griend, et al., 1991). Berbeda dengan lautan yang memiliki nilai emisivitas seragam, pada permukaan di daratan memiliki variasi emisivitas yang signifikan dengan adanya variasi tutupan vegetasi, komposisinya, kelembaban, dan kekasaran permukaan. Emisivitas ditentukan oleh panjang gelombang, ini merujuk kepada emisivitas spektral (spectral emmisivity), sehingga emisivitas ini juga ditentukan oleh sudut pengambilan oleh satelit ketika perekaman. Radiasi pancaran tersebut direkam oleh sensor termal pada satelit. Pengetahuan tentang emisivitas permukaan penting untuk memperkirakan suhu permukaan. Hal ini dapat mengurangi kesalahan pada memperkirakan suhu permukaan dari data satelit termal (Mallick, et al., 2012).

Untuk mengetahui estimasi kondisi suhu permukaan dari data penginderaan jauh, dibutuhkan hubungan antara suhu permukaan dan jenis tutupan lahannya (Weng, et al., 2004). Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis tutupan lahan yang mengalami perubahan serta analisis hubungannya yang di analisis dengan perubahan emisivitasnya. Analisis tersebut untuk mengetahui pengaruhnya terhadap distribusi

(5)

suhu permukaan yang mengalami perubahan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh untuk ekstraksi data. Dalam hal ini, data sangat penting untuk mengetahui perubahan yang ada sehingga digunakan data multitemporal kurun waktu 10 tahun. Kurun waktu tersebut diharapkan telah memberikan analisis perubahan tutupan lahan dan suhu permukaan. Mengetahui distribusi suhu permukaan yang mengalami perubahan, dengan karakteristik tutupan lahannya, menjadi parameter utama yang ditentukan untuk menilai hubungan yang dihasilkan oleh tiap variabel.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Dari permasalahan tersebut, dihasilkan pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana distribusi tutupan lahan dan suhu permukaan distribusi suhu

permukaan di wilayah kajian dari hasil ekstraksi citra penginderaan jauh? 2. Bagaimana hubungan antara perubahan tutupan lahan yang terjadi pada

wilayah kajian dengan suhu permukaan?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui distribusi tutupan lahan dan perubahannya serta mengestimasi suhu permukaan dan distribusinya menggunakan data satelit Landsat ETM+ di wilayah kajian.

2. Menganalisis hubungan antara perubahan tutupan lahan dengan perubahan suhu permukaan yang terjadi pada wilayah kajian yang terjadi pada tahun 2002 dan 2012.

1.5 Kegunaan Penelitian

Bagi ilmu pengetahuan dapat menambah pilihan metode untuk identifikasi dan klasifikasi khususnya yang berhubungan dengan perubahan tutupan lahan dengan suhu permukaan. Selain itu diharapkan dapat mendorong memunculkan ide-ide penelitian baru yang lebih baik dan inovatif yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang penginderaan jauh.

(6)

1.6 Telaah Pustaka

1.6.1 Penginderaan Jauh Termal

Pada penginderaan jauh sistem termal, radiasi yang dipancarkan oleh objek direkam untuk mendapatkan estimasi suhu permukaan bumi. Pengukuran ini ditentukan oleh suhu radian (Trad) yang merupakan suhu terekam di citra. Suhu dari objek yang terekam tergantung pada dua faktor – suhu kinetik (Tkin) dan emisivitas (ε). Gambar 1.1 merepresentasikan variasi faktor yang mempengaruhi suhu radian (Sabins, 2007), disadur dari Prakash (2000). Penjelasan masing-masing variasi faktor, dijelaskan oleh Sutanto (1987).

Gambar 1.1. Faktor yang mengontrol suhu yang terekam pada sensor satelit Sumber: (Prakash, 2000)

1.6.1.1 Panjang Gelombang

Inframerah adalah radiasi elektromagnetik dari panjang gelombang lebih panjang dari cahaya tampak tetapi lebih pendek dari gelombang mikro. Radiasi inframerah memiliki panjang gelombang antara 0.7 sampai 1000 μm. Untuk semua

SUHU RADIAN

Suhu Kinetik Emisivitas

Neraca energi (heat budget)

Pemanasan oleh matahari

Gelombang panjang radiasi upwelling

Radiasi downwelling

Sumber panas lainnya

Elevasi matahari

Tutupan awan

Kondisi atmosfer

Ketinggian topografi

Sifat termal benda (thermal properties) Konduktivitas termal Specific heat Kapasitas termal Kebauran termal Termal inersia

(7)

misi penginderaan jauh, akuisisi data berada pada jendela atmosfer untuk mengurangi absorbs di atmosfer. Jendela atmosfer inframerah termal yang digunakan dalam penginderaan jauh sistem termal berada pada rentang 3 – 14 μm (Sabins, 2007). Jendela atmosfer yang paling baik untuk inframerah termal terletak pada panjang gelombang 8 – 14 μm, karena memiliki energi radian puncak sebesar 300 K; ini merupakan suhu lingkungan di bumi. Namun pada beberapa sensor, panjang gelombang 3 – 5 μm digunakan untuk mengindera suhu yang lebih tinggi seperti yang berasosiasi dengan kebakaran, aliran lava, atau sumber panas lainnya. Panjang gelombang lain yang digunakan walau masih dalam penelitian yakni terletak pada panjang gelombang 17 – 25 μm. Secara umum, panjang gelombang 8 – 14 μm adalah panjang gelombang yang digunakan pada penginderaan jauh sistem termal.

Gambar 1.2. Spektrum gelombang inframerah termal, tipe absorbsi oleh gas dan air di atmosfer, dan jendela atmosfer untuk inframerah termal di penginderaan jauh

Sumber: (Kuenzer & Dech, 2013) 1.6.1.2 Suhu Radian (Radiant Temperature)

Suhu radian (Trad) merupakan suhu aktual yang diperoleh dari pengukuran menggunakan teknik penginderaan jauh. Dengan kata lain, suhu radian merupakan suhu hasil ekstraksi atau yang direkam pada citra penginderaan jauh. Suhu radian tergantung pada suhu kinetik objek (Tkin) dan emisivitasnya. Total radiasi yang dipancarkan oleh objek yang bukan benda hitam dapat dinyatakan dalam Hukum Stefan-Boltzmann. Persamaan yang digunakan yakni:

(8)

TRadBB = e. σ. Tk4 = σ. T

R4 ………... (1.1) di mana TRadBB adalah fluks radian dari benda hitam, T adalah suhu kinetik (K), 𝜎 adalah konstanta Stefan-Boltzmann (5.6697 x 10-8 Wm-2 K-4) (Sabins, 2007). Persamaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu suatu benda semakin besar jumlah total radiasi (energi) yang dipancarkannya. Dari persamaan tersebut dapat didefinisikan hubungan antara suhu radian dan suhu kinetik dengan persamaan berikut.

TR = e1⁄4. TK ………... (1.2)

Dengan mengetahui emisivitas dari objek/material yang bukan benda hitam dengan emisivitas kurang dari satu, jelas bahwa suhu radian (Trad) yang diperoleh dari penginderaan jauh selalu kurang dari suhu bermukaan sebenarnya dengan faktor 𝑒1⁄4.

Total energi radiasi yang dipancarkan oleh suatu benda juga dapat diestimasi dengan menggunakan hukum radiasi benda hitam Planck. Hukum radiasi benda hitam Planck merupakan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh benda hitam sebagai fungsi dari suhu absolut benda hitam tersebut. Radiasi yang dipancarkan oleh benda hitam dapat hitung dengan persamaan:

Mλ= 2 h c2 λ5 [ 1 e h c λ kB T−1 ] 𝑒1 ……… (1.3)

di mana Mλ adalah radian spektral (W m-2 μm-1), λ adalah panjang gelombang (μm), h adalah konstanta Planck (6.626 x 10-34 J s), c adalah kecepatan cahaya (2.9979246 x 108 ms-1), T adalah suhu absolut (K), k

B adalah konstanta Boltzmann (1.3806488 × 10−23 J K−1), dan e

1 adalah emisivitas.

Persamaan 1.3 juga berimplikasi pada setiap kenaikan suhu objek, ada peningkatan intensitas radiasi yang dipancarkan dengan puncak bergeser ke panjang gelombang yang lebih pendek. Dengan persamaan Planck maka didapatkan perolehan suhu dari nilai radian yang diperoleh melalui persamaan:

∴ T = C2 λ ln( [e1 C1λ5

W1 ] +1)

(9)

Di mana ∴ T adalah suhu radian, C1= h c = 3.742 x 10-16 Wm-2 dan C2 = h ck

B =0.0144

mK.

Suhu radian yang dipancarkan oleh objek ditentukan oleh panjang gelombang elektromagnetik yang diradiasikan. Distribusi energi yang diradiasikan bervariasi pada tiap panjang gelombang yang dijelaskan pada persamaan Planck. Pada setiap suhu tertentu, terdapat frekuensi puncak (fmax = λ𝑐) di mana energi yang dipancarkan adalah maksimal. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan hukum pergeseran Wien, bahwa frekuensi cahaya berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Berarti bahwa frekuensi sebanding tengan suhu absolut benda hitam. Hukum pergeseran Wien dapat dijabarkan dalam persamaan berikut (Heald, 2003).

f = αhkBT ≈ (5.879 x 1010 HzK) T ……… (1.5)

Di mana α adalah konstanta Wien (2.821439 μm K) dan T adalah suhu kinetik. Pada suhu permukaan benda, radiasi yang dipancarkan oleh matahari diserap oleh objek, mendekati pola benda hitam pada frekuensi maksimal pada suhu 300 K. Sedangkan pada frekuensi yang lebih rendah, sebagian besar radiasi yang dipancarkan diserap atau dihamburkan oleh atmosfer. Hal tersebut yang menjadikan jendela atmosfer untuk penginderaan jauh sistem termal berada di panjang gelombang 3 – 5 μm dan 8 – 14 μm.

(10)

Gambar 1.3. Spektrum radiasi benda hitam pada suhu yang berbeda, diturunkan Hukum Planck pada persamaan 1.3, Stefan-Boltzman (area yang ditandai di bawah kurva 300 K)

dan Hukum pergeseran Wien (garis putus-putus hijau). Grafik batang berwarna biru menunjukkan spektrum tampak. Sumber: (Kuenzer & Dech, 2013)

1.6.1.3 Emisivitas dan Suhu Kinetik

Penginderaan jauh sistem termal menggunakan dasar bahwa segala sesuatu di atas nol mutlak (0 Kelvin atau -273,15° C) memancarkan radiasi yang berada pada gelombang inframerah. Besaran energi yang dipancarkan oleh objek tergantung pada suhu kinetik dan emisivitas permukaannya.

Emisivitas adalah rasio energi yang diradiasikan oleh material tertentu dengan energi yang dirasiokan oleh benda hitam (black body) pada suhu yang sama. Benda hitam itu sendiri secara teori merupakan objek yang mampu menyerap dan memancarkan energi yang diterimanya di semua panjang gelombang (Kuenzer & Dech, 2013). Ini adalah ukuran dari kemampuan suatu benda untuk meradiasikan energi yang diserapnya. Emisivitas dinotasikan dengan epsilon (ε) dengan nilai bervariasi antara 0 dan 1. Untuk objek yang alami, nilainya berkisar 0.7 sampai 0.95. Sedangkan emisivitas benda hitam adalah 1. Emisivitas adalah satuan yang tidak berdimensi. Pada umumnya, semakin kasar dan hitam benda tersebut, emisivitas meningkat mendekati 1.

(11)

Emisivitas setiap objek didasarkan pada hukum Kirchhoff, pada keseimbangan termal, tingkat emisi suatu benda atau permukaan setara dengan jumlah penyerapannya pada panjang gelombang yang sama. Penyerapan yang dimaksud adalah radiasi (atau energi) yang diserap oleh suatu benda yang didefinisikan berdasarkan panjang gelombang dan sudut datang tertentu. Persamaan hukum Kirchhoff yang digunakan yaitu (Lillesand, et al., 2008):

ε (λ) = α (λ) ……… (1.6)

Memperhitungkan konservasi energi, dimana total dari absorbs (α), pantulan (p), dan transmisi (τ) sama dengan satu, dan persamaan 2.6:

ε (λ) + ρ (λ) + τ (λ) = 1 ……… (1.7)

Dengan kebanyakan objek adalah benda-benda yang buram (opaque) dan tidak mengirimkan radiasi, maka persamaan 2.5 dapat dirumuskan kembali dengan persamaan:

ε (λ) + ρ (λ) = 1 ……… (1.8)

Oleh karena itu, pancaran spektral objek dapat dihitung dari pantulan (untuk benda hitam), dan sebaliknya. Sedangkan suatu benda dengan material dengan ε yang tinggi akan menyerap sejumlah besar energi dan meradiasikan sejumlah besar energi, material dengan ε yang rendah, akan menyerap dan meradiasikan energi yang lebih rendah (Sabin, 2007). Dengan kata lain variasi emisivitas tergantung pada tipe objek di permukaan dan panjang gelombang yang dapat diturunkan dari hukum Kirchhoff (ε (λ) = 1 - ρ (λ)), akan tetapi emisivitas tidak tergantung kepada suhu pada objek tersebut (Flynn, et al., 2001). Dengan demikian, emisivitas objek tidak bisa melebihi jumlah energi yang diserap, hal ini yang mendasari bahwa tidak mungkin suatu benda memancarkan energi radiasi lebih besar dibandingkan dengan benda hitam sempurna.

(12)

Tabel 1.1 Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 – 14 μm

Permukaan Benda Emisivitas pada panjang gelombang 8 – 14 μm

Serbuk karbon 0,98 – 0,99

Air 0,98

Es 0,97 – 0,98

Daun tanaman yang sehat 0,96 – 0,99 Daun tanaman yang sakit 0,88 – 0,94

Aspal 0,96

Pasir 0,93

Kayu 0,87

Granit 0,83 – 0,87

Batu Basalt 0,92 – 0,96

Logam yang di poles 0,02 – 0,21

Aluminium foil 0,03 – 0,07

Sumber: (Lillesand, et al., 2008; Sabin, 2007)

Gambar 1.4. Dampak dari perbedaan emisivitas terhadap suhu yang direkam oleh sensor. Perbedaan suhu yang dihasilkan dari sebuah blok aluminium dengan emisivitas yang rendah dengan separuh dicat dengan cat yang mengandung banyak

(13)

Berdasarkan persamaan 1.1 dan definisi dari emisivitas, dari persamaan tersebut dapat didefinisikan hubungan antara suhu radian dan suhu kinetik dengan persamaan berikut.

ε. σ. Tkin4 = σ. Trad4

ε1⁄4. Tkin= Trad

Tkin = Tεrad14 ……… (1.9)

Dengan mengetahui emisivitas dari objek/material yang bukan benda hitam dengan emisivitas kurang dari satu, jelas bahwa suhu radian (Trad) yang direkam dari sensor penginderaan jauh selalu kurang dari suhu bermukaan sebenarnya dengan faktor ε1⁄4. Persamaan 1.9 sangat tergantung pada tingkat ketelitian emisivitas yang dihasilkan. Jika nilai emisivitas ini tidak akurat maka suhu kinetik yang benar tidak dapat diukur. Dengan kata lain, variasi atau perubahan emisivitas akan menyebabkan perubahan suhu kinetik yang dapat di estimasi dari sensor termal penginderaan jauh.

Dalam perekaman menggunakan penginderaan jauh, emisivitas objek dapat dikoreksi dengan mengklasifikasikan citra penginderaan jauh kedalam tipe permukaan yang berbeda dan menetapkan nilai emisivitas untuk masing-masing kelas tutupan lahan. Untuk koreksi ini, Vidal (1991) menyatakan bahwa kesalahan emisivitas sebesar 0,01 akan menyebabkan kesalahan suhu sebesar 0,5 – 1 K. Brunsell & Gillies (2002) melakukan koreksi emisivitas terhadap citra yang menghasilkan perbedaan suhu yang dikoreksi mencapai 0,5 – 7,5oC. Dapat dikatakan kesalahan yang disebabkan oleh emisivitas tersebut tergantung pada suhu objek dan emisivitas objek, yang dapat dilihat pada tabel 2.2. Dengan emisivitas yang rendah akan mengakibatkan kesalahan suhu lebih dari 10 K. untuk beberapa tipe tutupan lahan dengan perubahan 0,01 akan mengakibatkan kesalahan sebesar 0,7 – 1 K. Tabel 3.1 akan menunjukkan pengaruh emisivitas terhadap suhu yang direkam sensor, dan besar kesalahan yang ditimbulkan pada suhu kinetik objek yang sama.

(14)

Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288 K (15oC)

Emisivitas Trad (K) Trad (oC) Error dari T kin (K)

Kesalahan dari perubahan emisivitas sebesar 0,01 (K) 0,03 119,86 -153,14 -168,14 8,94 0,04 128,80 -144,20 -159,20 7,39 0,05 136,19 -136,81 -151,81 6,35 0,06 142,54 -130,46 -145,46 5,60 0,07 148,14 -124,86 -139,86 4,58 0,08 153,74 -119,83 -134,83 4,58 0,09 157,74 -115,26 -130,26 4,21 … … … … … 0,3 213,14 -59,86 -74,86 1,75 0,31 214,90 -58,10 -73,10 1,71 … … … … … 0,7 263,43 -9,57 -24,57 0,94 0,71 264,37 -8,63 23,63 0,93 0,72 265,29 -7,71 -22,71 0,92 … … … … … 0,97 285,82 12,82 -2,18 0,73 0,98 286,55 13,55 -1,45 0,73

Sumber: (Kuenzer & Dech, 2013)

1.6.2 Suhu Permukaan Benda

Suhu permukaan (surface temperature) didefinisikan sebagai suhu antarmuka antara permukaan bumi dan atmosfer. Suhu permukaan merupakan variabel penting untuk memahami interaksi tanah-atmosfer dan parameter kunci dalam penelitian meteorologi dan hidrologi, yang melibatkan fluks energi (Niclòs, et al., 2009). Dengan kata lain suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek. Untuk vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan, dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya belum tentu sama. Hal ini tergantung

(15)

pada sifat fisik objek pada permukaan tersebut. Sifat fisis objek tersebut diantaranya: emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas termal.

Jumlah tenaga termal yang dipancarkan oleh setiap benda berbanding lurus terhadap pangkat empat suhu absolutnya dan berbanding lurus pula terhadap nilai pancarannya. Secara matematis dapat ditulis dengan formula berikut.

W = e ð T4 ……….……….. (1.10)

Di mana W = jumlah tenaga termal yang dipancarkan oleh benda, e = nilai pancaran benda, ð = kostanta Stefan – Boltsmann, dan T = suhu absolut benda.

Sifat termal benda sangat mempengaruhi variasi suhu harian permukaan benda. Semakin bayak menyerap energi radiasi maka akan meningkatkan suhu kinetik, di mana meningkatkan energi termal radian (Sabins, 2007). Hal tersebut dipengaruhi oleh waktu terkena pancaran radiasi matahari, pada siang hari benda memiliki nilai suhu radian yang paling tinggi sebagai akibat radiasi matahari yang maksimal. Sebagaimana yang disebutkan oleh Sabins (2007) sebagai variasi suhu harian, sebagaimana ditunjukkan oleh kurva dibawah ini.

Gambar 1.5. Kurva variasi suhu harian (diurnal radiant temperature curves) dari beberapa material.

(16)

Kurva tersebut memberikan beberapa penjelasan mengenai sifat radian tiap objek. Meskipun ketahanan termal air sama besar dengan ketahanan termal tanah dan batuan, tetapi pada siang hari air lebih dingin, sedang pada malam hari air lebih panas dari tanah dan batuan. Suhu hariannya lebih kecil variasi. Sebabnya adalah karena konveksi yang terjadi pada air sehinga air mampu mengatur suhu yang lebih seragam. Pada siang hari, benda padat menerima panas matahari yang disimpan pada permukaannya. Pada malam hari maka panas yang tersimpan ini dilepaskan ke atmosfer tanpa ada tambahan panas oleh aliran konveksi seperti pada air.

1.6.3 Citra Landsat ETM+

Program Landsat dimulai dengan diluncurkannya satelit Landsat 1. Landsat 1 merupakan satelit pengamatan bumi (EOS/Earth Observation Sattelite) yang pertama, diluncurkan pada tahun 1972. Satelit ini terkenal dengan kemampuannya merekam permukaan bumi dari angkasa. Generasi penerus satelit Landsat 1 yaitu Landsat 2, 3, 4, 5, 7, dan 8.

Satelit Landsat dioperasikan mulai tahun 1972, saat ini telah sampai pada seri ke 8 (2013) dengan orbit polar, sunsynchronous. Akan tetapi, satelit Landsat 6 mengalami kegagalan yakni setelah hilang dari lintas edarnya. Konfigurasi satelit Landsat ETM+ (Danoedoro, 2012; Irons, 2014):

 Tanggal Peluncuran 24 September 1999 at Vandenberg Air Force Base, California, USA Orbit 705 +/- 5 km (at the equator) sun-synchronous  Inklinasi Orbit 98.2 +/- 0.15 dengan

 Periode Orbit 98.9 minutes  Ketinggian 681 kilometer

 Resolusi pada Nadir 30 x 30 meter, 60 m x 60 m piksel (far-infrared band/band 6)

 Cakupan Citra 185 km (115 miles)

 Waktu Melintas Ekuator 10:30 AM solar time  Waktu Lintas Ulang 16 days (233 orbits)

 Saluran Citra Panchromatic, blue, green, red, near IR, middle IR, far IR, Thermal IR

(17)

Landsat 7 diluncurkan pada 15 April 1999. Landsat 7 ini dilengkapi dengan Enhanced Thematic Mapper plus (ETM+), yang merupakan kelanjutan dari program Thematic Mapper (TM) yang diusung sejak Landsat 5. Saluran pada satelit ini pada dasarnya adalah sama dengan 7 saluran pada TM, namun diperluas dengan band 8 yaitu Pankromatik. Band 8 ini merupakan saluran beresolusi tinggi yaitu seluas 15 meter.

Semua band pada satelit Landat yang diperoleh dengan mode high gain dan low gain. Tujuan penggunaan gain ini adalah untuk memaksimalkan sensor 8 bit tanpa membuat detektor menjadi pada batas ketahanannya (detector saturation). Pemilihan gain ini merupakan strategi gain pada rencana akuisisi dimasa yang akan datang (Long Term Acquisition Plan, LTAP), yang tergantung kepada waktu akuisisi dan dominasi tipe objek di permukaan pada scene citra yang digunakan (persentase dari lahan, gurun, es, air, dan lain-lain). Nilai dari low gain adalah sekitar 1,5 kali lebih tinggi dari high gain. Oleh karena itu, low gain digunakan untuk permukaan yang memiliki tingkat kecerahan tinggi (nilai lebih tinggi namun dengan sensitivitas yang rendah), dan high gain digunakan pada citra dengan permukaan dengan tingkat kecerahan yang rendah (nilai yang lebih rendah namun dengan sensitivitas yang tinggi) (Chander, et al., 2009).

Atas permintaan khusus dimungkinkan untuk merencanakan akuisisi data pada malam hari (hanya untuk band termal saja). Penjadwalan akuisisi data pada malam hari biasanya hanya mungkin dilakukan pada pengguna dan proyek tertentu. Akan tetapi, akuisisi pada malam hari yang telah dilakukan biasanya tersedia pada arsip data dan dapat dipesan. Selain itu, data termal ETM+ telah tersedia sejak tahun 1999. Pada Mei 2003, sensor ETM+ mengalami kegagalan pada sistem scan mirror. Namun, mengacu kepada tim peneliti Landsat, 78% data pada setiap scene tidak terpengaruh dan dapat dipesan. Peneliti saat ini telah berhenti menggunakan data ETM+ dalam analisis penelitiannya akibat kegagalam scan mirror pada satelit Landsat yang mempengaruhi kualitas dan tujuan mereka. Solusinya adalah menggunakan Landsat 8 sebagai bagian dari keberlanjutan misi satelit Landsat dengan sensor TIRSnya yang memiliki resolusi spasial 100 meter.

1.6.3.1 Koreksi Geometrik Citra Landsat

Koreksi geometrik bertujuan untuk menempatkan kembali posisi piksel pada citra hasil perekaman satelit sesuai dengan koordinat bumi. Citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran obyek di permukaan bumi yang terekam

(18)

sensor sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan (Danoedoro, 2012). Sistem koordinat dan proyeksi peta tertentu dijadikan rujukan untuk koreksi geometrik ini sehingga diperlukan titik ikat lapangan atau Ground Control Point (GCP) berupa obyek statis yang mudah dikenali pada citra atau peta rujukan.

1.6.3.2 Koreksi Radiometrik Citra Landsat

Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel agar sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama (Soenarmo, 2009), dan juga untuk menghilangkan atau meminimalisir kesalahan radiometrik akibat aspek eksternal berupa gangguan atmosfer pada saat proses perekaman. Biasanya gangguan atmosfer ini dapat berupa serapan, hamburan, dan pantulan yang menyebabkan nilai piksel pada citra hasil perekaman tidak sesuai dengan nilai piksel obyek sebenarnya di lapangan. Kesalahan radiometrik pada citra dapat menyebabkan kesalahan interpretasi terutama jika interpretasi dilakukan secara digital yang mendasarkan pada nilai piksel. Koreksi radiometrik ini sangat penting untuk dilakukan agar hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan (Chander, et al., 2007).

Konversi Nilai Piksel ke Nilai Spektral Radian

Persamaan berikut digunakan untuk melakukan konversi Qcal do Lλ untuk Level 1 produk (Chander, et al., 2007; Chander, et al., 2009).

𝐋𝛌 = (QCALLmax− Lmin

max− QCALmin) x (BN − QCALmin) + Lmin ……..…… (1.11)

Di mana Lλ= radian spektral pada sensor (W/(m2 .sr.μm)), Qcal= nilai piksel (DN), Qcalmin= nilai minimum piksel yang mengacu pada LMINλ (DN), Qcalmax= nilai miksimum piksel yang mengacu pada LMAXλ (DN), LMINλ= nilai minimal radian spektral (W/(m2 .sr.μm)), dan LMAX

λ= nilai maksimal radian spektral (W/(m2 .sr.μm)) .

Merujuk pada persamaan (1.7), Level 1 Product Generation System (LPGS) menggunakan 1 sebagai nilai post-calibration Qcalmin sedangkan National Land

(19)

Archive Production System (NLAPS) menggunakan 0 (Kim, et al., 2005). Persamaan yang digunakan untuk koreksi band 6 yaitu (Chander, et al., 2009):

Lλ – ETM = G rescale . Q cal + B rescale ………. (1.12)

Di sini terdapat dua band termal, yang dinamakan Low gain 6 (1) and High gain 6 (2). Dalam penelitian ini, yang digunakan untuk band termal adalah high gain. Sehingga nilai yang digunakan untuk Grescale adalah0,037205 (W/m2.sr.μm)/DN dan Brescale adalah 3,16 (W/(m2 .sr.μm).

Konversi to TOA reflectance (Qcal to Lλ)

Level koreksi band termal pada citra Landsat hanya sampai pada konversi menjadi nilai radian, karena gelombang yang direkam merupakan pancaran dari inframerah termal. Untuk band tampak yang akan digunakan dalam analisis di penelitian ini, perlu dilakukan koreksi lanjutan yaitu koreksi atmosfer yang berguna menurunkan variabilitas antar scene citra. Proses koreksi dilakukan dengan merubah nilai piksel menjadi nilai radian (radiasi dari objek ke sensor) dan merubah lagi menjadi reflektansi (rasio antara radian dan irradian antara radiasi objek ke matahari dan radiasi matahari ke objek). Persamaan konversi diperlihatkan pada persamaan dibawah ini.

𝛒

𝛌

=

π .Lλ .d2

ESUNλ .cos θs ………..………. (1.13)

Di mana 𝜌𝜆 merupakan nilai reflektan (tanpa unit), 𝜋 adalah konstanta matematika (~3,14159), d adalah jarak matahari – bumi (unit astronomi), 𝐸𝑆𝑈𝑁𝜆 adalah rerata exoatmospheric iradiansi matahari (W/m2.sr.μm), dan 𝜃

𝑠 adalah sudut zenit matahari (derajat). Nilai-nilai yang dibutuhkan dalam persamaan didapatkan pada penelitian Chander, et al. (2009).

(20)

1.6.3 Klasifikasi Penggunaan Lahan 1.6.3.1 Ekstraksi Penggunaan Lahan

Penelitian ini menggunakan klasifikasi multispektral dengan pengolahan citra digital. Klasifikasi citra digital merupakan proses pengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas tertentu. Biasanya tiap piksel diproses sebagai unit individual yang tersusun dari beberapa saluran spektral. Dengan cara membandingkan untuk mengelompokkan piksel dengan karakteristik yang sama ke dalam suatu kelas. Kelas-kelas tersebut membentuk area pada peta atau citra, sehingga setelah terklasifikasi citra digital direpresentasikan sebagai mozaik dari unit-unit pemetaan yang seragam dengan simbol atau warna yang spesifik (Danoedoro, 2012). Asumsi yang digunakan dalam klasifikasi multispektral ialah bahwa setiap objek dapat dibedakan dari yang lainnya berdasarkan nilai spektralnya. Dari beberapa penelitian eksperimental diperoleh hasil bahwa setiap objek cenderung memberikan pola respon spektral yang spesifik.

Klasifikasi secara digital secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua cara, yaitu: (1) klasifikasi nilai piksel didasarkan pada contoh daerah yang diketahui jenis obyek dan nilai spekltralnya, di sebut sebagai klasifikasi terbimbing atau terselia (supervised classification), dan (2) klasifikasi tanpa daerah contoh yang diketahui jenis obyek dan nilai spektralnya, disebut klasifikasi tak terbimbing atau tak terselia (unsupervised classification).

1.6.3.1 Skema Klasifikasi Tutupan/Penggunaan Lahan

Pada dasarnya, setiap data yang dihasilkan oleh penginderaan jauh memiliki kemampuan yang berbeda dalam penyediaan informasi. Pengetahuan mengenai spesifikasi citra sangat penting kaitannya dengan tujuan ekstraksi data penggunaan lahan yang akan dilakukan. Ukuran luasan minimum yang dapat dipetakan tergantung dari skala dan resolusi yang dimiliki oleh sebuah data penginderaan jauh atau data lainnya yang diinterpretasi. Perbedaan skala ini menentukan informasi yang akan termuat dalam sebuah peta. Peta dengan skala kecil tentu memuat informasi yang tidak serinci peta dengan skala besar.

(21)

Tabel 1.3. Skema klasifikasi penggunaan lahan menurut Anderson Level I Level II 1.Perkotaan/lahan terbangun 1. Hunian 2. Penggunaan umum

3. Kompleks industri dan komersial 4. Lahan sedang dibangun

2.Lahan pertanian 1. Lahan pertanian dan peternakan

2. Lahan kebun buah, persemaian dan lahan holtikultura hias

3. Lahan pertanian lainnya

3.Lahan peternakan 1. Lahan peternakan rumput

2. Lahan peternakan semak dan belukar

4. Lahan hutan 1. Lahan hutan menggugurkan daunnya 2. Lahan hutan selalu hijau

3. Lahan hutan campur

5. Perairan 1. Sungai dan saluran 2. Danau

3. Reservoir

4. Tanggul dan muara

6. Lahan basah 1. Lahan basah berhutan 2. Lahan basah tidak berhutan

7. Lahan kosong 1. Pantai

2. Area berpasir lain selain pantai 3. Bidang tambang

4. Lahan gundul

8. Salju / es tahunan 1. Padang salju tahunan 2. Gletser

Sumber: (Anderson, et al., 1976)

Tidak ada satu klasifikasi yang ideal untuk penggunaan lahan dan tutupan lahan, dan tidak mungkin bahwa salah satu pernah bisa dikembangkan. Ada perspektif yang berbeda dalam proses klasifikasi, dan proses itu sendiri cenderung subyektif, bahkan ketika pendekatan numerik obyektif digunakan. Setiap klasifikasi dibuat untuk memenuhi kebutuhan pengguna, dan beberapa pengguna merasa cukup dengan sistem klasifikasi yang tidak memenuhi sebagian besar kebutuhan mereka. Oleh karena itu, terkait dengan kemampuan sensor dalam merekam informasi, maka sistem klasifikasi yang digunakan adalah sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh Anderson, et al. (1976). Anderson, et al. (1976) mengemukakan tingkat klasifikasi penggunaan lahan dalam beberapa level

(22)

klasifikasi penggunaan lahan berdasarkan tingkatan skala dan tipe data yang digunakan.

1.7 Penelitian Sebelumnya

Penelitian mengenai suhu permukaan dan kaitannya dengan perubahan tutupan lahan telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai metode. Penelitian yang berjudul ”Analisis Pengaruh Tutupan Vegetasi terhadap Suhu Permukaan Kota Samarinda berdasarkan Pengolahan Citra ASTER Tahun 2003 dan 2009” meneliti mengenai urbanisasi yang terjadi di Kota Samarinda dan hubungannya dengan meningkatnya suhu permukaan (Fadillah, 2011). Penelitian ini menggunakan citra ASTER untuk perolehan suhu permukaan dan transformasi indeks vegetasi (NDVI) sebagai dasar untuk melakukan deteksi perubahan dengan menggunakan fraksi tutupan vegetasi dan image defferencing (Singh, 1989) dengan persamaan ∆ image = image (i) – image (i-1), dengan image (i) adalah citra tahun 2009 dan image (i-1) adalah citra tahun 2003. Hasilnya adalah terdapat hubungan antara suhu permukaan tahun 2003 dengan R2=0.597, dan tahun 2009 dengan R2= 0.467. Nilai suhu permukaan yang dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi sebesar 53.2% (R2=0,532), dan 46.8% dipengaruhi oleh faktor lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa adanya vegetasi di perkotaan hanya memberikan pengaruh mereduksi efek sebesar 53.2% atas fenomena urban heat island yang terjadi di kawasan perkotaan tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Fadillah (2011) senada dengan penelian yang berjudul “Assesing the Impact of Urbanization on Urban Thermal Environment: A Case Study of Bangkok Metropolitan.” Penelitian in merupakan penelitian di kota Bangkok yang meneliti arus urbanisasi yang terjadi, dengan tujuan mengetahui pola perubahan penggunaan lahan di kota Bangkok dan kaitannya dengan urbanisasi sejak tahun 1994 dan dampaknya pada variasi spasial urban heat island (Srivanit, et al., 2012). Menggunakan citra Landsat TM tahun 1994 dan tahun 2009, dilakukan klasifikasi multispektral untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan dan transformasi NDVI untuk mengetahui keterkaitannya dengan ketersediaan vegetasi, dan serta dilakukan ekstraksi suhu permukaan. Hasilnya ketersedian vegetasi di kota Bangkok menjadi hal penting yang mempengaruhi suhu permukaan. Akan tetapi disini harus lebih difokuskan evaluasi dampak yang ditimbulkan dari morfologi kota dan

(23)

aspek perencanaannya. Kedua penelitian diatas sama-sama menggunakan NDVI sebagai parameter pendugaan perubahan, akan tetapi Srivanit, et al. (2012) tidak melakukan validasi terhadap hasil pengolahan yang telah dilakukan.

Penelitian yang mendekati penelitian yang dilakukan mengenai suhu permukaan dan penggunaan lahan - adalah penelitian yang dilakukan oleh (Rinner & Hussain, 2011). Penelitian yang berjudul “Toronto’s Urban Heat Island—Exploring the Relationship between Land Use and Surface Temperature” meneliti tentang karakteristik penggunaan lahan di kota Toronto, Kanada. Penelitian dilakukan pada musim panas yang kaitannya dengan suhu permukaan yang lebih tinggi atau lebih rendah, dan apakah kontras panas yang berbeda pada penggunaan lahan di kota tersebut makin memperburuk hubungan dengan suhu permukaan menggunakan citra Landsat ETM+. Hasilnya dengan menggunakan statistik zonasi (zonal statistics) yang diperoleh dari ekstraksi citra penginderaan jauh, menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan antara suhu rata-rata tinggi untuk penggunaan lahan komersial dan sumber daya/industri atau lahan terbangun (29,1°C), dan suhu rata-rata rendah untuk taman dan lahan rekreasi (25,1°C) dan badan air (23,1°C). Hasil dari analisis ANOVA yang dilakukan menunjukkan bahwa perbedaan suhu rerata dari tiap jenis penggunaan lahan secara statistik signifikan.

Hal serupa dilakukan oleh Le-Xiang, et al. (2006) yang melakukan penelitian dengan judul “Impacts of Land Use and Cover Change on Land Surface Temperature in the Zhujiang Delta.” Penelitian ini menggunakan citra Landsat ETM+ tahun 1990 dan 2000 untuk mendapatkan informasi mengenai perubahan pengunaan lahan dan suhu permukaannya di delta Zhujiang, China. Hasil penelitian menunjukkan perubahan penggunaan lahan lebih kuat berada di wilayah perkotaan. Hal tersebut menyebabkan naiknya suhu permukaan sebesar 4,56oC akibat urbanisasi yang terjadi. Disimpulkan juga bahwa secara keseluruhan, penginderaan jauh dan teknologi sistem informasi geografis adalah pendekatan yang efektif untuk memantau dan menganalisis pola pertumbuhan perkotaan dan mengevaluasi dampaknya terhadap suhu permukaan.

Selain itu, suhu permukaan juga mempengaruhi suhu udara yang berada diatasnya. Dapat dikatakan juga perubahan suhu permukaan juga menandakan terjadi perubahan suhu udara. Klok, et al. (2012) meneliti suhu permukaan dan hubungannya dengan karakteristik permukaannya yang berjudul “The Surface Heat Island of

(24)

Retterdam and its Relationship with Urban Surface Characteristics.” 15 citra termal Landsat TM musim panas sejak tahun 1984 digunakan. Suhu rerata tiap objek pada masing-masing objek dibandingkan dengan distrik kota dan desa. Hasilnya nilai suhu permukaan (surface heat island) perbedaan suhu antara distrik yang paling hangat dan paling dingin mencapai 12o C pada siang hari, dan 9o C pada malam hari. Nilai suhu permukaan juga berkorelasi terhadap nilai suhu udara pada wilayah tersebut, dengan nilai korelasi 0.81.

Faktor biofisik wilayah juga mempengaruhi suhu permukaan, yang dicirikan dengan variasi spasial, termasuk didalamnya adalah kondisi tutupan/penggunaan lahannya. Weng (2008) melakukan penelitian yang berjudul “The Spatial Variations of Urban Land Surface Temperature: Pertinent Factors, Zoning Effect and Seasonal Variability.” Citra ASTER pada sensor AVNIR dan SWIR digunakan untuk mengklasifikasikan penggunaan lahan dan penutup lahan serta untuk pengolahan Spectral Mixture Analysis (SMA). SMA digunakan oleh peneliti untuk menghasilkan tingkat kehijauan vegetasi, tanah dan ketahanan permukaan pada fraction image. Sensor ketiga citra ASTER, yaitu sensor TIR digunakan untuk mengestimasi suhu permukaan daratan dengan menghitung suhu kecerahan terlebih dahulu yang kemudian dihasilkan peta estimasi nilai rata-rata dan standar deviasi suhu permukaan daratan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel biofisik ialah variabel yang paling signifikan dalam menjelaskan variasi spasial suhu permukaan daratan. Principal component analysis selanjutnya mengindikasikan bahwa perbedaan kumulatif selalu besar pada area zoning, termasuk faktor-faktor yang mengkontribusi pada variasi suhu permukaan daratan pada general zoning menggunakan landscape metrics mungkin lebih kompleks daripada hal tersebut. Pola spasial suhu permukaan daratan di Indianapolis terkarakteristik secara konsentris pada sebagian pusat kota.

Dari beberapa penelitian tersebut, menunjukkan bahwa penelitian tersebut lebih kepada ekstraksi suhu permukaan yang dikaitkan dengan akibat yang ditimbulkan dari peningkatan suhu permukaan tersebut. Faktor yang disebutkan terkait perubahan suhu permukaan yang terjadi adalah akibat arus urbanisasi yang terjadi, atau perubahan lanskap alami menjadi perkotaan. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa pengaruh terhadap suhu udara maupun fenomena urban heat island.

(25)

1.8 Kerangka Pemikiran

Telah disebutkan bahwa interaksi manusia dengan lingkungan yang sering dilakukan adalah modifikasi lanskap atau dengan mengubah lanskap alam menjadi bentukan antropogenik. Interaksi tersebut menimbulkan dinamika fungsi lahan yang cukup dinamis. Dinamika fungsi lahan dapat didefinisikan sebagai perubahan tutupan lahan. Perubahan tutupan lahan tentunya merubah emisivitas objek dan radiasi inframerah termal yang dipancarkan sebagai konsekuensi dari kapasitas termal benda yang berubah. Dengan demikian perubahan tutupan lahan tentunya akan mempengaruhi suhu permukaan pada wilayah tersebut dengan berbagai cara.

Suhu permukaan dipengaruhi oleh jumlah radiasi gelombang inframerah yang diserap oleh permukaan (misalnya albedo), konduktansi permukaan, jumlah air yang tersedia untuk menguapkan pendinginan pada evapotranspirasi, kecepatan angin, dan kekasaran permukaan yang mengatur kekuatan fluks radiasi sensible dan latent. Pada wilayah yang bervegetasi terutama hutan, area tutupan pohon, yang sering memiliki akar yang lebih dalam dan dengan demikian dapat mengakses sumber daya air yang lebih besar, cenderung memiliki tingkat yang lebih tinggi evapotranspirasi (dan dengan demikian lebih rendah suhu permukaannya), bentuk tutupan lain, yang disebabkan oleh aktivitas penambangan yakni lahan terbuka, terjadi peningkatan suhu permukaan.

Tutupan lahan dan suhu permukaan yang berubah dapat direkam melalu citra satelit multitemporal yang memiliki saluran tampak dan saluran termal. Tren yang terjadi, perubahan tutupan lahan akibat interaksi yang terjadi lebih meningkatkan suhu permukaan karena objek menjadi bentukan antropogenik. Meningkatnya suhu permukaan akan mempengaruhi juga suhu udara. Energi matahari diserap dan dipancarkan kembali ke atmosfer oleh fitur fisik lahan. Hal ini dianggap sebagai faktor utama dalam pemanasan kedua suhu permukaan dan udara, terutama di lapisan kanopi, yang paling dekat dengan permukaan.

Citra Landsat ETM+ tahun 2002 dan 2012 digunakan untuk identifikasi perubahan tutupan lahan yang terjadi. Jarak 10 tahun di asumsikan telah banyak memberikan perubahan yang berarti dari segi tutupan lahan. Ekstraksi suhu permukaan menggunakan citra yang sama pada panjang gelombang inframerah

(26)

termal. Dengan hipotesis bahwa perubahan tutupan lahan akan berpengaruh terhadap suhu permukaan, sebagai akibat dari meningkatnya fluks radiasi di absorbs yang direpresentasikan dengan perubahan emisivitas dan konduktivitas termal yang lebih besar untuk dipancarkan. Untuk itu dilakukan pemetaan dan analisis distribusi tutupan lahan dan suhu permukaan pada tahun 2002 dan tahun 2012 dan perubahannya. Kemudian dianalisis bagaimana hubungan antara perubahan tutupan lahan yang terjadi dengan distribusi suhu permukaan pada kedua tahun tersebut. Secara garis besar kerangka pemikiran penelitian ini dapat disajikan pada Gambar 1.6. berikut.

Gambar 1.6. Kerangka alir penelitian Modifikasi lanskap oleh

manusia

Perubahan Tutupan Lahan

Terjadi hubungan antara perubahan tutupan lahan terhadap suhu permukaan dan suhu udara

Analisis hubungan antara perubahan penggunaan lahan terhadap suhu permukaan

Peningkatan Suhu Permukaan

Peningkatan Suhu Udara

Mempengaruhi manusia dan iklim lokal

(27)

1.9 Batasan Istilah

Penginderaan Jauh - ilmu atau teknik dan seni untuk mendapatkan informasi tentang objek, wilayah atau gejala dengan cara menganalisis data-data yang diperoleh dengan suatu alat, tanpa hubungan langsung dengan objek wilayah atau gejala yang dikaji (Lillesand & Kiefer, 1979).

Spektrum Elektromagnetik - perpaduan getaran medan listrik dan medan magnetik yang bergetar secara sinusoidal dengan arah getar tegak lurus dengan arah rambatan dan merambat tanpa memerluakan medium perantara.

Emisivitas – kemampuan suatu benda nyata memancarkan energi dibandingkan dengan benda hitam (Lillesand & Kiefer, 1979).

Suhu Permukaan – suhu bagian terluar dari suatu objek di permukaan bumi.

Tutupan Lahan - suatu kenampakan lahan secara fisik, baik kenampakan alami maupun kenampakan buatan manusia, yang “menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang ‘menutup’ permukaan lahan” (Lo, 1996).

Gambar

Gambar 1.1 merepresentasikan variasi faktor yang mempengaruhi suhu radian (Sabins,  2007),  disadur  dari  Prakash  (2000)
Gambar 1.2. Spektrum gelombang inframerah termal, tipe absorbsi oleh gas dan air di  atmosfer, dan jendela atmosfer untuk inframerah termal di penginderaan jauh
Gambar 1.3. Spektrum radiasi benda hitam pada suhu yang berbeda, diturunkan Hukum  Planck pada persamaan 1.3, Stefan-Boltzman (area yang ditandai di bawah kurva 300 K)
Tabel 1.1 Emisivitas dari  permukaan benda yang  berbeda pada panjang  gelombang 8 – 14 μm
+5

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimanakah respons otonomik tubuh yang direpresentasikan oleh analisis variabilitas laju jantung terhadap stimulus eksternal auditorik berupa musik dan lantunan

Pada penelitian ini, perubahan penutup lahan yang terjadi akibat dari konversi lahan akan dianalisis bersamaan dengan tingkat konektivitas jaringan jalan untuk

Bagaimana model pengolahan air limbah domestik menggunakan tanaman hias jenis Cyperus alternifolius dengan Sistem Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan

Radiasi dengan panjang gelombang lebih dari 350 nm mulai menembus dermis sehingga merangsang pembentukan melanin serta menghasilkan pencoklatan pada kulit (tanning) akibat

Mengkaji sebaran kekeringan pertanian di Kabupaten Grobogan berdasarkan indeks TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index) yang diekstrak dari suhu permukaan (Land

Ketika buah disimpan pada suhu rendah maka buah akan terlihat lebih pucat karena buah mengalami kesetimbangan akibat kekurangan O 2 sehingga terjadi perubahan proses kimi

10 Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji karakteristik geomorfologi, (2) menganalisisbahaya erosi permukaan, (3) menganalisis persebaran kelas kemampuan

Apabila pekerja telah terkena penyakit akibat radiasi sinar ultraviolet tersebut, maka produktivitas pekerja tersebut akan menurun dan akan membawa efek yang