• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terapi Kombinasi pada Serangan Asma Akut Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Terapi Kombinasi pada Serangan Asma Akut Anak"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Terapi Kombinasi pada

Serangan Asma Akut Anak

Bambang Supriyatno

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak: Asma merupakan penyakit respiratorik yang sering dijumpai. Tatalaksana asma dibagi menjadi dua kelompok yaitu saat serangan asma dan di luar serangan asma. Tujuan tatalaksana serangan asma adalah menghilangkan hipoksemia dan gejala sesegera mungkin tergantung derajat serangannya yaitu serangan ringan, sedang, dan berat. Pemberian kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida mempunyai peran pada serangan asma sedang dan serangan asma berat sedangkan pada serangan asma ringan tidak berbeda dengan pemberian agonis beta-2 saja. Efek samping pemberian kombinasi beta -2 agonis dan ipratropium bromida dibandingkan agonis beta-2 sendiri tidak ada perbedaan yang bermakna.

Kata kunci: Kombinasi terapi, serangan asma, anak

Combination therapy in Acute Asthma Attack in Children Bambang Supriyatno

Department of Child Health Faculty of Medicine University of Indonesia, Dr.Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta

Abstract: Asthma is a respiratory illness which is often encountered. Management of asthma is

divided into two groups during an asthma attack and non asthma attack. The objective of manag-ing an asthma attack is to relieve hypoxemia and other symptoms as soon as possible. It also depends on the degree of attack which are mild, moderate, and severe attacks. The combination of beta-2 agonist and ipratropium bromide has a role in asthma attacks both moderate and severe attack; while in mild asthma attacks there are no different from giving a beta-2 agonist alone. There is no significant difference in side effects between combination of beta-2 agonist and ipratropium bromide compared to the beta-2 agonist alone.

(2)

Pendahuluan

Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang pal-ing serpal-ing dijumpai pada anak. Kejadian asma menpal-ingkat dari tahun ke tahun baik di negara maju maupun negara berkembang. Peningkatan tersebut diduga karena pola hidup dan faktor polusi lingkungan.1 Di Indonesia, diperkirakan

10% anak usia 6-12 tahun menderita asma yang kemudian menurun menjadi 6,5 % pada usia 13-14 tahun.2

Asma dikelompokkan menjadi dua aspek yaitu aspek akut (biasa dikenal sebagai serangan asma) dan aspek kronik (dikenal sebagai asma di luar serangan). Serangan asma dibagi menjadi 3 yaitu asma serangan ringan, serangan sedang, dan serangan berat sedangkan aspek kronik dibagi dalam tiga kelompok juga yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten.2

Tabel 1. Klasifikasi Serangan Asma1,2

Parameter klinis, fungsi paru, Ringan Sedang Berat Ancamanhenti napas

Laboratorium

Sesak timbul-pada saat (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat

Bayi: menangis Bayi: - tangis pendek Bayi: berhenti makan

keras dan lemah

- kesulitan makan

Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata

Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk bertopang lengan

Kesadaran Mungkin iritable Biasanya iritable Biasanya iritable Kebingungan

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata

Mengi Sedang, sering ha- Nyaring, sepanjang ekspir. Sangat nyaring, terdengar Sulit/tidak terdengar

nya pada akhir + inspirasi tanpa stetoskop

ekspirasi

Sesak napas Minimal Sedang Berat

Otot bantu napas Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradoks torako

abdominal

Retraksi Dangkal, retraksi Sedang, ditambah retraksi Dalam, ditambah napas Dangkal/hilang

interkostal suprasternal cuping hidung

Laju napas Meningkat Meningkat Meningkat Menurun

Laju nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi

Pulsus paradok-sus Tidak ada Ada 10-20 mmHg Ada >20 mmHg Tidak ada, tanda

(pemeriksaannya tidak praktis) <10 mmHg lahan otot napas

PEFR atau FEV - pra bronkodilator (% nilai dugaan/ % nilai terbaik)

- pasca bronko dilator >60% 40-60% <40%

> 80% 60-80% <60%, respon <2 jam

SaO2 % > 95% 91-95% <90%

PaO2 Normal (biasanya >60 mmHg <60 mmHg

tidak perlu dipe-riksa)

PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:

Usia Laju napas normal

<2 bulan <60/menit

2-12 bulan <50/menit

1-5 tahun <40/menit

6-8 tahun <30/menit

Pedoman nilai baku laju nadi pada anak:

Usia Laju nadi normal

2-12 bulan <160/menit

1-2 tahun <120/menit

3-8 tahun <110/menit

Tujuan tatalaksana serangan asma adalah menghi-langkan gejala sesegera mungkin dan mengatasi hiperkarbia serta hipoksemia yang mungkin terjadi sedangkan pada tatalaksana di luar serangan lebih mengutamakan pada kualitas hidup yang tetap optimal.1-3 Tatalaksana serangan

asma akut berkembang pesat dengan penggunaan terapi inhalasi sebagai penanganan awal, yang sebelumnya menggunakan obat sistemik baik oral maupun injeksi.4,5 Definisi

UKK Respirologi PP IDAI membuat batasan asma sebagai berikut:2 “diduga asma apabila anak menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma

(3)

a

b dan alergi pada pasien atau keluarganya”. Serangan asma didefinisikan sebagai episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejala-gejala batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut.1,2

Klasifikasi

Serangan asma dibagi dalam 3 kelompok yaitu serangan asma ringan, serangan asma sedang, dan serangan asma berat.1,2,6 Pembagian itu diperlukan untuk menentukan

tatalaksana selanjutnya. Untuk menentukan klasifikasi tersebut diperlukan beberapa parameter seperti kemampuan mengucapkan kalimat atau kata, posisi duduk atau berbaring, adanya peningkatan usaha napas, sianosis, dan pemeriksaan penunjang seperti analisis gas darah dan uji fungsi paru (lihat tabel 1).1,2

Parameter tersebut tidak selalu tepat sehingga sering sulit menentukan derajat serangan asma. Sebagai pedoman, apabila sulit menentukan derajat serangan maka ditentukan derajat yang lebih tinggi. Apabila terdapat kesulitan membedakan serangan asma ringan atau sedang maka dilakukan penanganan sebagai serangan sedang demikian pula pada saat kesulitan menentukan serangan sedang atau berat maka dianggap sebagai serangan berat.

Patofisiologi Serangan Asma

Serangan asma terjadi apabila terpajan alergen sebagai pencetus. Pajanan alergen tersebut menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi saluran napas dengan hasil akhir berupa obstruksi saluran napas bawah sehingga terjadi gangguan ventilasi berupa kesulitan napas pada saat ekspirasi (air trapping).1

Terperangkapnya udara saat ekspirasi mengakibatkan peningkatan tekanan CO2 dan pada akhirnya menyebabkan penurunan tekanan O2 dengan akibat penimbunan asam laktat atau asidosis metabolik. Adanya obstruksi juga akan menyebabkan terjadinya hiperinflasi paru yang meng-akibatkan tahanan paru meningkat sehingga usaha napas meningkat. Usaha napas terlihat nyata pada saat ekspirasi sehingga dapat terlihat ekspirasi yang memanjang atau

wheezing.

Adanya peningkatan tekanan CO2 dan penurunan tekanan O2 serta asidosis dapat menyebabkan vasokon-striksi pulmonar yang berakibat pada penurunan surfaktan. Penurunan surfaktan tersebut dapat menyebabkan keadaan atelektasis. Selain itu, hipersekresi akan menyebabkan terjadinya sumbatan akibat sekret yang banyak (mucous

plug) dengan akibat atelektasis.1 Tatalaksana

Tatalaksana serangan asma bertujuan untuk meng-hilangkan gejala dan hipoksemia sesegera mungkin.1,7,8 Untuk

mengatasi hal tersebut maka yang paling tepat adalah pemberian obat secara inhalasi. Keuntungan terapi inhalasi

adalah obat langsung menuju sasaran, awitannya cepat, dosis minimal, dan efek samping minimal.2 Pada serangan asma

terjadi keadaan bronkokonstriksi sehingga penanganan awal adalah pemberian bronkodilator, selain pemberian oksigen bila terjadi hipoksemia. Bronkodilator yang digunakan adalah agonis beta-2 seperti salbutamol, terbutalin, prokaterol, dan lain lain. Bronkodilator tersebut harus segera diberikan untuk menghindari dampak hipoksemia lama yang akan meng-akibatkan sekuele di kemudian hari.9

Pada keadaan tertentu pemberian bronkodilator jenis agonis beta-2 saja kurang efektif sehingga perlu ditambahkan jenis bronkodilator lain seperti ipratropium bromida atau golongan xanthine.1 Ipratropium bromida adalah suatu

antikolinergik yang merupakan antagonis kompetitif asetilkolin yang bekerja dengan cara berikatan di reseptor kolinergik sehingga menghambat efek asetilkolin.10-12 Reseptor

kolinergik yang dihambat adalah reseptor di otot polos dan kelenjar submukosa sehingga mencegah peningkatan konsentrasi cyclic guanosine monophosphate (cyclic GMP) intraselular yang terjadi akibat interaksi asetilkolin dengan reseptor muskarinik pada otot polos bronkus. Dengan demikian dapat menghambat kontraksi otot polos dan mengurangi sekresi kelenjar submukosa saluran napas.13,14

Ipratropium bromida merupakan derivat atropin yang dikenal sebagai kuartener amonium sintetik (lihat gambar 1). Secara makroskopik ipratropium bromida adalah zat kristal putih, sangat larut dalam air dan sedikit larut dalam alkohol, tapi tidak larut dalam pelarut lipofilik seperti eter, kloroform, dan flurokarbon.8,15

Gambar 1. Struktur Kimia Ipratropium Bromida.8

Ipratropium bromida tidak menembus sawar darah otak dan mukosa gastrointestinal sehingga efek sistemiknya mini-mal, yaitu di bawah 1%. Meskipun ipratropium bromida mempunyai efek bronkodilator, tetapi efek bronkodilatasinya lebih lemah dan awitan kerjanya lebih lambat bila di-bandingkan dengan agonis beta-2. Ipratropium bromida mempunyai waktu paruh yang cukup panjang dibandingkan dengan agonis beta-2 sehingga penambahan ipratropium

(4)

bromida memperpanjang masa kerja obat bronkodilator secara keseluruhan. Ipratropium bromida sangat jarang digunakan sebagai bronkodilator secara tunggal.16,17 Dengan

penambahan kedua obat tersebut didapatkan awitan kerja yang cepat dan masa kerja yang lama.

Seperti umumnya obat bronkodilator, ipratropium bromida mempunyai efek samping mulut kering, mual, tremor, dan iritasi mata. Keluhan palpitasi dijumpai pada sebagian kecil pengguna ipratropium bromida. Meskipun ipratropium bromida termasuk derivat atropin tetapi tidak dijumpai efek samping retensi urin, gangguan penglihatan dan agitasi seperti pada atropin.18-20

Aplikasi Pemberian Agonis beta-2 dan Ipratropium Bro-mida pada Serangan Asma

Beberapa peneliti menggunakan kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida pada serangan asma baik ringan, sedang, maupun berat. Dosis agonis beta-2 yang digunakan adalah 2,5 mg sedangkan dosis ipratropium adalah 250 mikrogram.

Serangan Asma Ringan

Dalam Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak (PNAA), pemberian bronkodilator cukup dengan agonis beta-2 saja karena penambahan obat lain tidak menimbulkan perbedaan yang bermakna.2 Hal tersebut sejalan dengan

penelitian yang dikemukakan Storr dan Lenny,13 yang

menyatakan bahwa efektivitas penggunaan terapi kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida tidak berbeda dalam hal penurunan skor gejala, perbaikan uji fungsi paru, dan angka perawatan di rawat inap dibandingkan dengan pemberian beta-agonis sendiri saja pada serangan ringan. Dengan dasar tersebut direkomendasikan bahwa pada serangan asma ringan tidak diperlukan penambahan ipratropium bromida.2

Serangan Asma Sedang

Pada serangan asma sedang diberikan inhalasi agonis beta-2, steroid sistemik, dan oksigen serta penggantian cairan bila diperlukan. Inhalasi yang diberikan cukup agonis beta-2 saja dan tidak diperlukan penambahan ipratropium bromida.1,2 Namun pada penelitian-penelitian terakhir,

disebutkan adanya keuntungan yang didapat pada peng-gunaan kombinasi agonis beta-2 dengan ipratropium bromida pada serangan asma sedang.9,18,20,21

Beberapa penelitian mengenai penggunaan terapi kombinasi pada serangan asma sedang mendapatkan hasil yang baik namun ada juga yang tidak bermakna. Penelitian yang dilakukan oleh Schuch,6 mendapatkan hasil yang tidak

berbeda bermakna antara pemberian agonis beta-2 saja dengan penambahan ipratropium bromida, baik dalam hal penurunan skor gejala, uji fungsi paru, maupun angka kejadian perawatan. Penelitian lain oleh Kartiningsih et al.,21

mendapatkan bahwa penambahan ipratropium bromida

dibandingkan agonis beta-2 sendiri memberikan hasil yang lebih baik dalam hal penurunan skor gejala, penurunan uji fungsi paru, dan rerata saturasi oksigen. Hasil metaanalisis yang dilakukan Rodrigo et al,9 mendapatkan bahwa pemberian

ipratropium bersama agonis 2 dibandingkan agonis beta-2 sendiri mempunyai hasil yang bermakna dalam hal peningkatan uji fungsi paru: (FEV1) yaitu sebesar 16,3% (IK 95% 8,2 sampai 24,5%) dan peningkatan PEFR sebesar 15% (IK 95% 5 sampai 24%) serta penurunan angka perawatan di rumah sakit dengan RR 0,73 (IK 95% 0,63 sampai 0,85). Dengan demikian terlihat bahwa terdapat kecenderungan keberhasilan penggunaan kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida dibandingkan agonis beta-2 sendiri pada serangan asma sedang.

Serangan Asma Berat

Pada tatalaksana serangan asma berat penggunaan agonis beta-2 bersama ipratropium bromida menjadi keharusan karena mempunyai beberapa keuntungan.1,2,6,7,17

Dengan penambahan ipratropium bromida pada inhalasi dengan agonis beta-2 mempunyai perbedaan yang cukup bermakna dalam hal peningkatan uji fungsi paru, yaitu PEFR (peak expiratory flow rate) dan FEV1 (forced expiratory

vol-ume in 1 second). Pada tahap awal (kurang dari 30 menit pasca inhalasi) terlihat tidak ada perbedaan bermakna antara pemberian agonis beta-2 sendiri dengan penambahan ipratropium bromida, tetapi setelah lebih dari 60 menit (1 jam) terlihat adanya peningkatan uji fungsi paru secara bermakna baik PEFR maupun FEV1.6,9,17

Selain itu penambahan ipratropium bromida dapat memperbaiki obstruksi saluran napas kecil yang dibuktikan dengan peningkatan FEF25-75 (forced expiratory flow pada

25-75% vital capacity) setelah 60 menit pasca pemberian inhalasi. Pada awal inhalasi tidak terdapat perbedaan uji fungsi paru FEF25-75 antara agonis beta-2 sendiri dengan penambahan ipratropium bromida tetapi setelah lebih dari 60 menit terlihat perbedaan secara bermakna.17 Penelitian meta-analisis

mendapatkan bahwa penggunaan agonis beta-2 bersama ipratropium bromida dibandingkan agonis beta-2 sendiri meningkatkan uji fungsi paru (FEV1) sebesar 9,8% (IK 95% 6,5 sampai 13,1%) dan menurunkan angka perawatan di rumah sakit dengan OR 0,62 (IK 95% 0,38 sampai 0,99). Tidak didapatkan perbedaan efek samping antara keduanya baik tremor, nausea dan muntah.8

Penatalaksanaan serangan asma berat sesuai standar harus dilakukan bukan hanya pemberian kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida saja. Penambahan terapi yang lain seperti pemberian oksigen, kortikosteroid sistemik, aminofilin, dan suportif seperti penggantian cairan, koreksi asam basa dan elektrolit harus diperhatikan.1,2

Kesimpulan

Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida

(5)

mempunyai peran pada serangan asma sedang dan asma berat sedangkan pada serangan asma ringan menghasilkan efek yang tidak berbeda dengan pemberian agonis beta-2 saja. Efek samping pemberian kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida dibandingkan agonis beta-2 sendiri tidak berbeda bermakna.

Daftar Pustaka

1. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/

WHO Workshop Report 2006.

2. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman nasional asma

anak. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indo-nesia; 2004.

3. O’Byrne P. Pathogenesis. Dalam: O’Byrne PM, Thomson NC,

editor. Manual of asthma management. Edisi ke-2. London: WB. Saunders; 2001.hal.27-40.

4. Martinez G. Round table: severe asthma in pediatrics: treatment of acute crises. Allergol Immunopathol.1999;27:53-62.

5. Gibbs MA, Camargo CA, Rowe BH, Silverman RA. State of the

Art: Therapeutic controversies in severe acute asthma. Acad Emerg Med.2000;7:800-15.

6. Schuh S, Johnson DW, Callahan S, Canny G, Levison H. Efficacy

of frequent nebulized ipratropium bromide added to frequent high-dose albuterol therapy in severe childhood asthma. J Pediatr.1995;126:639-45.

7. Qureshi F, Pestian J, Davis P, Zatisky A. Effect of nebulized

ipratropium on the hospitalization rates of children with asthma. N Engl J Med. 1998;339:1030-5.

8. Aaron SD. The use of ipratropium bromide for the management

of acute asthma exacerbation in adults and children: A system-atic review. J Asthma 2001;38:521-30.

9. Rodrigo GJ, Castro-Rodriguez JA. Anticholinergics in the treat-ment of children and adults with acute asthma: a systematic review with meta-analysis. Thorax. 2005;60:740-46. 10. Rodrigo GJ, Rodrigo C. The role of anticholinergics in acute

asthma treatment. An evidence-based evaluation. Chest. 2002; 121:1977-87.

11. Zorc JJ, Pusic MV, Ogborn CJ, Lebet R, Duggan AK. Ipratropium bromide added to asthma treatment in the pediatric emergency department. Pediatrics. 1999;103:748-52.

12. Lanes SF, Garrett JE, Wentworth CE, Fitzgeralc JM, Karpel JP. The effect of adding ipratropium bromide to salbutamol in the treatment of acute asthma. A pooled analysis of three trials. Chest. 1998;114:365-72.

13. Storr J, Lenney W. Nebulised ipratropium and salbutamol in asthma. Arch Dis Child. 1986;61:602-3.

14. Plotnick LH, Ducharme FM. Acute asthma in children and ado-lescents. Should inhaled anticholinergics be added to beta2- ago-nist?. Am J Respir Med. 2003;2:109-15.

15. Sharma A, Madaan A. Nebulized salbutamol Vs salbutamol and ipratropium combination in asthma. Indian J Pediat. 2004; 71:121-4.

16. Potnick LH, Ducharme FM. Should inhaled anticholinergics be added to beta2-agonist for treating acute childhood and adoles-cent asthma? A systematic review. Br Med J. 1998;317:971-7. 17. DeStefano G, Bonetti S, Bonizzato C, Valletta EA, Piacentini GL,

Boner AL. Additive effect of albuterol and ipratropium bromide in the treatment of bronchospasm in children. Ann Allergy. 1990;65:260-2.

18. Watanasomsiri A, Phipatanakul W. Comparison of nebulized ipratropium bromide with salbutamol vs salbutamol alone in acute asthma exacerbation in children. Ann Allergy Asthma Immunol. 2006;96:701-6.

19. Anthracopoulos MB, Karatza AA, Davlouros PA, Chiladakis JA, Manolis AS, Beratis NG. Effects of two nebulization regimens on heart rate variability during acute asthma exacerbations in chil-dren. J Asthma. 2005;42:273-9.

20. Qureshi F, Zaritsky A, Lakkis H. Efficacy of nebulized ipratropium in severely asthmatic children. Ann Emerg Med. 1997;29:205-11.

21. Kartiningsih L, Setiawati L, Makmuri MS.Comparison of clinical efficacy and safety between salbutamol-ipratropium bromide nebu-lization and salbutamol alone in children with asthmatic attack. Pediatr Indones. 2006;46:241-5.

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi Serangan Asma 1,2

Referensi

Dokumen terkait

tiba.    Trust   terjadi  melalui  proses  yang  melibatkankan  hubungan  antar  aktor­aktor  yang  terhimpun  dalam  kelompok,  komunitas  atau  kelompok  tersebut. 

This supplementary data is a part of paper entitled “Determination of Urea Controlled Released Composite Material Radius”.. Determination urea controlled released material radius

Oleh karena itu, dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perjanjian sewa-menyewa antara pihak yang menyewakan ruko dengan pihak penyewa ruko,

[r]

Antarmuka halaman tambah data merupakan halaman yang berfungsi untuk memasukkan data pelanggan, periode atau bulan, tahun dan jumlah produksi. Data yang telah dimasukkan

File Splitter For Java adalah salah satu aplikasi pemecah file yang berjalan pada sistem operasi yang berbasiskan Windows yang disertai program JDK ( Java Divelopment Kit ).

Borkowski dan Ugras (1998) menyatakan bahwa persepsi etis berhubungan dengan aspek demografi dan variabel psikologi (Elias, 2010). Pada penelitian ini menganalisis

Berdasarkan uraian pada bab pendahuluan ini maka tujuan makalah ini adalah memanfaatkan perangkat lunak CHEMCAD.6.1.4 untuk diaplikasikan dalam melakukan desain sizing