Komponen Struktural Modal Sosial
Oleh Sunyoto Usman Fisipol UGM
Bab ini memberi perbendaharaan pengetahuan kepada mahasiswa tentang keberadaan dan proses terbentuknya komponen struktural modal sosial. Komponen struktural tersebut dapat berupa asosiasi, organisasi, perkumpulan atau perhimpunan, serta jejaring (network) yang melembaga di dalamnya. Komponen struktural modal sosial tersebut muncul dipengaruhi oleh serangkaian tindakan para aktor. Hubungan antara komponen struktural dengan tindakan aktor bersifat interdependensi (timbalbalik, saling menentukan). Di satu pihak, komponen struktural tumbuh dan berkembang dari serangkaian tindakan para aktor yang dibalut oleh berbagai macam kepentingan. Di lain pihak, komponen struktural tersebut juga menciptakan serangkaian tindakan para aktor, terutama dalam upaya mereka memberi respons dan stimulan serta beradaptasi dengan perubahan lingkungan sosial. Setelah mendiskusikan topik ini mahasiswa diharapkan memahami keberadaan dan kekuatan yang melekat dalam komponen struktural modal sosial.
• Ikatan Sosial
Dalam uraian terdahulu telah disampaikan bahwa dalam modal sosial terdapat komponen yang bersifat struktural. Komponen ini bersifat obyektif dan relatif dapat diobservasi dengan kasat mata (tangiable) seperti asosiasi, organisasi, perkumpulan atau perhimpunan serta jejaring (network) yang melembaga didalamnya. Asosiasi, organisasi, perkumpulan atau perhimpunan serta jejaring (network) semacam itu tidak terbentuk mendadak dan tibatiba tetapi terbentuk melalui proses panjang dan berlilitlilit dengan bermacammacam kepentingan. Menurut Nan Lin (2004:128) faktor penting yang mendorong timbulnya komponen yang bersifat struktural tersebut adalah tindakan aktor yang terkait dengan upaya minimalisasi kerugian (minimization of loss) dan maksimalisasi keuntungan (maximimization of gain). Tindakan aktor semacam itu diasumsikan dilandasi oleh kalkulasi atau perhitungan rasional dengan mempertimbangan peluang dan resiko yang ada di sekitarnya.
mengembangkan sumberdaya (to expand resources) justru yang menjadi prioritas (dan demikian pula sebaliknya).
Apa implikasinya terhadap interaksi sosial? Dalam kehidupan nyata interaksi sosial lazim diwarnai oleh tindakan aktor yang tidak pernah lelah mempertahankan sumberdaya (resources) yang dimiliki atau dikuasai. Mereka selalu berusaha keras bagaimana supaya tidak kehilangan sumberdaya. Manakala aktor aktor yang menjalin interaksi sosial tersebut samasama berhasil mempertahankan sumberdaya (resources) yang dimiliki atau dikuasai (tidak ada yang merasa kehilangan), maka terjadilah kondisi a mutual recognition (saling menghargai). Kondisi saling menghargai tersebut bukan hanya refleksi atau cermin tidak ada pihak yang kehilangan, tetapi juga mampu mencegah kemungkinan terjadinya kehilangan itu sendiri. Kendatipun demikan dalam praktek tidak mudah mengembangkan kondisi saling menghargai atau memberi perhatian. Mengapa? Alasan pertama, kondisi semacam ini bolehjadi mudah berlaku dalam interaksi sosial yang terjalin dalam kelompok kecil, akan tetapi sangat sulit dikembangkan atau dipelihara ketika interaksi sosial yang terjalin melibatkan banyak aktor, seperti yang terjadi dalam komunitas atau masyarakat luas (society). Kepentingan mereka amat bervariasi, derajad toleransinya juga amat beragam dan tidak mudah disatukan. Alasan kedua, jarang terjadi kasus pihakpihak yang menjalin interaksi sosial memiliki persamaan kuantitas dan kualitas sumberdaya. Karena itu kondisi a mutual recognition (saling menghargai atau memberi perhatian) tersebut tidak selalu konstan. Kondisi semacam ini dapat dikembangkan manakala salah satu pihak bersedia memberikan pengorbanan. Pihak yang memberi pengorbanan ketika itu belum memikirkan mendapatkan keuntungan. Kelak setelah pihak yang memberi pengorbanan tersebut mulai memikirkan mendapatkan keuntungan, kondisi tersebut berarkhir (paling tindak ditinjau kembali). Pernyataan ini semakin menegaskan bahwa kondisi a mutual recognition (saling menghargai atau memberi perhatian) lebih digerakkan di atas prinsip minimialisasi kehilangan (minimization of loss) daripada maksimilisasi keuntungan (maximization of gain).
Sumberdaya (resources) tidak dikuasai atau dimiliki secara abadi. Suatu ketika sumberdaya (resources) juga diserahkan (transfered) kepada orang. Pertanyaannya adalah kepada siapa sumberdaya tersebut diserahkan? Bagaimana proses menyerahkannya? Bagaimana sosiologi menjelaskan fenomena ini? Penjelasan sosiologi tentang masalah ini lazim dikaitkan dengan interaksi sosial. Manakala bereferensi pada prinsip meminimalkan kehilangan, maka orang cenderung menyerahkan (to transfer) sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai kepada aktoraktor yang dianggap mau dan mampu memelihara kelangsungan sumberdaya tersebut. Aktoraktor tersebut acapkali dalam satu ikatan primodial karena bukan hanya dianggap memiliki persamaan sikap dan kepentingan tetapi juga diyakini mampu memelihara trust (nilainilai positif yang menghargai perkembangan).
dapat meraih sumberdaya tersebut, tetapi juga membuka jalan menciptakan peluang untuk menambah sumberdaya baru. Demikianlah proses ini berlanjut dan terjadilah kemudian akumulasi serta peningkatan jumlah sumberdaya.
• Jejaring (Networks)
Burt (2001:31) memilahkan jejaring kedalam dua kategori yaitu structural holes atau jejaring yang ditandai oleh peran penghubung atau jembatan (broker) dan network closure atau jejaring yang ditandai oleh interkoneksi antar aktor yang amat kuat (tanpa broker). Kendatipun karakteristik dua macam struktur jejaring tersebut berbeda namun samasama berupa refleksi tindakan aktoraktor dalam membentuk relasrelasi sosial yang dikembangkan untuk memenuhi pelbagai macam kepentingan. Sebagai ilustrasi berikut disampaikan diagram yang pernah ditawarkan Burt.
(Burt,2001:33)
Dalam diagram tersebut ditunjukkan sosiogram yang menggambarkan kedekatan hubungan antar aktor dalam memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan tertentu, serta aktoraktor yang berperan sebagai jembatan (broker) yang menghubungkan mereka. Titiktitik adalah gambaran posisi aktoraktor, dan garis menunjukkan jalingan hubungan antar aktor. Secara teoritis sosiogram semacam itu tidak permanen dalam arti jejaring yang terbentuk untuk tujuan, tempat dan waktu tertentu bisa berbeda dengan jejaring yang terbentuk untuk tujuan, tempat dan waktu tertentu lainnya. Dalam sosiogram tersebut terdapat tiga kelompok (A,B dan C). Setiap kelompok melembagakan pola hubungan sosial sendiri. Namun mereka sebenarnya tidak terpisah, karena terdapat sejumlah aktor yang berperan menjembatani hubungan antar kelompok. Dalam kondisi demikian informasi yang diterima oleh aktoraktor tertentu dapat tersebar kepada aktoraktor tertentu lainnya meskipun mereka berafiliasi pada kelompok yang berbeda. Oleh karena sejumlah aktor menjadi bagian dari lebih dari satu kelompok (beberapa kelompok sekaligus), maka mereka memperoleh informasi lebih banyak daripada aktoraktor yang hanya menjadi bagian dari satu kelompok saja.
each other) are likely to have similar information an therefore provide redundant information benefits. Structurally equivalent contacts (contacts who link a manager to the same third parties) have the same sources of information and therefore provide redundant information benefits.
(Burt, 2003:35).
Manakala informasi tersebut dianggap sebagai energi untuk memanfaatkan dan menciptakan peluang, maka kata Burt tidak terlalu berlebihan apabila dinyatakan bahwa peluang mereka lebih besar dibandingkan dengan aktoraktor lain. Karena mereka bukan hanya dapat memanfaatkan dan menciptakan peluang berdasarkan informasi beredar di lingkungannya sendiri, tetapi juga dapat memanfaatkan dan menciptakan peluang berdasarkan informasi yang beredar di lingkungan lain. Mereka dapat digolongkan sebagai aktoraktor yang mengetahui, menguasai dan mendayagunakan pelbagai macam peluang. Mereka lebih banyak memiliki energi atau peluang akses terhadap sumberdaya yang dapat kembangkan sebagai modal sosial daripada aktoraktor yang lain.
Pandangan tersebut berbeda dengan sosiogram dalam bentuk network closure atau jejaring yang ditandai oleh ikatan (connected) semua aktor yang terhimpun di dalamnya. Menurut Coleman dalam jejaring semacam ini semua aktor memiliki akses yang sama terhadap informasi. Berikut dikutipkan pendapat Coleman.
An important form of social capital is the potential for information the inheres in social relations. ... A person who is not greatly interested in current events but who is interested in being informed about important developments can save the time required to read a newspaper if he can get the information he wants from a friend who pays attention to such matter.
(Coleman,1990:310) Selanjutnya network closure atau jejaring yang ditandai oleh interkoneksi antar aktor yang amat kuat juga memfasilitasi berlakunya normanorma yang telah menjadi kesepakatan bersama dan pemberian sangsi terhadap terjadinya penyimpangan terhadap normanorma tersebut. Dalam network closure aktoraktor senantiasa berusaha menjaga berlakunya normanorma terutama untuk memelihara keakraban dan hubungan sosial yang harmonis. Kepatuhan terhadap normanorma tersebut diyakini mampu menciptakan relasirelasi sosial melembagakan kesadaran kolektif serta persamaan dalam bersikap dan bertindak yang pada gilirannya dapat menjadi energi untuk mengembangkan modal sosial. Dalam network closure aktor aktor juga memberikan sangsi supaya aktoraktor konsisten mentaati kewajiban dan larangan yang terendap dalam normanorma tersebut. Berlakunya normanorma dan sangsisangsi tersebut memiliki kekuatan mendorong aktoraktor mengembangkan ikatanikatan sosial yang amat berharga bagi pengembangan modal sosial. Hal senada juga pernah disampaikan oleh Granovetter (1992:44) bahwa sangsi terhadap penyimpangan norma mampu menumbuhkan trust (keyakinan terhadap nilainilai positif yang mampu menciptakan perubahan), dan kerjasama yang saling menguntungkan.
Burt (2003:3940) pernah melakukan studi tentang jejaring yang tumbuh dan berkembang di kalangan para menejer. Kegiatan mereka membentuk jejaring sosial yang diikat dengan normanorma dan sangsi. Adapun pertanyaanpertanyaan yang diajukan Burt untuk mengidentifikasi jejaring mereka adalah sebagai berikut.
important for their continued success in the firm, (h) their most difficult contact, and (i) the people with whom they would discuss moving to a new job in another firm.
Sembilan macam pertanyaan tersebut dipergunakan oleh Burt untuk menggambarkan jejaring yang memperlihatkan relasirelasi langsung maupun tidak langsung di antara para menejer yang diobsevasi, terutama di seputar posisi aktor aktor tertentu yang dianggap memiliki banyak informasi dan dipilih sebagai referensi sikap dan tindakan. Melalui serangkaian pertanyaan tersebut Burt dapat mengidentifikasi tiga komponen yang terendap dalam jejaring yaitu jumlah aktor yang terlibat dalam jejaring (size), kedekatan kontak para aktor tersebut (density) dan ikatan kuat terhadap aktoraktor tertentu yang dianggap sebagai panutan (hierarchy). Tiga komponen ini (size, density dan hierarchy) selanjutnya mewarnai segenap analisis tentang jejaring sosial.
Komponen Kultural Modal Sosial
Oleh Sunyoto Usman Fisipol UGM
Bab ini memberi perbendaharaan pengetahuan kepada mahasiswa tentang keberadaan dan proses terbentuknya komponen kultural (kognitif) modal sosial. Komponen kultural tersebut terutama berupa social trust (keyakinan melembagakan tindakan yang diendapi oleh nilainilai positif yang mampu menciptakan perubahan) dan pertukaran sosial (social exchange) yang saling menguntungkan (reciprocal relationships). Di satu sisi, komponenkomponen tersebut tumbuh dan berkembang berkat fasilitas jejaring (network). Di sisi lain, keberadaannya juga memperkuat eksistensi jejaring (network) tersebut. Jadi ada hubungan timbal balik. Setelah mendiskusikan topik ini mahasiswa dapat memahami keberadaan dan kekuatan yang melekat dalam komponen kognitif modal sosial.
• Social Trust
Dalam literatur terdapat banyak difinisi tentang trust. Salah satu di antara difinisi tersebut disampaikan oleh Gabby dan Leender sebagai berikut.
... a set of beliefs about the other party (trustee), which lead one (trustor) to assume that the trustee’s actions will have positive consequences for the trustor’s self.
(Gabby and Leenders, 2003) Dalam definisi tersebut sedikitnya terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu belief (keyakinan), trustor (pihak yang menaruh kepercayaan) dan trustee (pihak yang dipercaya). Oleh karena bentuknya adalah belief (keyakinan), maka trust tergolong tidak kasat mata dan hanya bisa diidentifikasi gejalagejalanya. Mayer at al (1995) menyatakan terdapat tiga dimensi trust (keyakinan terhadap nilainilai positif yang mampu menciptakan perubahan), yaitu capability, benevolence dan integrity. Capability terkait dengan skills (keterampilan) dan kompetensi yang dimiliki oleh kelompok, komunitas atau masyarakat tempat afiliasi para aktor yang dapat didayagunakan sebagai energi atau kekuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Benevolence terkait dengan seberapa jauh trustee (pihak lain) bersedia atau mau berbuat baik terhadap trustor. Kemudian integrity terkait dengan persepsi trustor terhadap trustee tentang prinsipprinsip tertentu yang patut diterima atau diikuti. Setiap dimensi tersebut berdiri sendiri (independen) maksudnya kendatipun memiliki keterkaitan namun sebenarnya terpisah. Aktoraktor tertentu yang menaruh trust pada kemampuan dan integritas kelompok tidak serta merta menaruh trust terhadap kemampuan dan integritas komunitas (community) atau masyarakat (society), dan begitu pula sebaliknya. Aktoraktor tertentu yang menaruh trust terhadap kemampuan dan integritas trustee tertentu (pihak lain) juga tidak serta menaruh trust terhadap kemampuan dan integritas kelompok, komunitas atau masyarakat, dan demikian pula sebaliknya. Pandangan semacam itu hendak menegaskan terdapat keragaman tingkat kedalaman trust yang tumbuh dan berkembang dalam suatu kelompok, komunitas atau masyarakat. Kelompok, komunitas dan masyarakat tertentu mampu membangun trust yang cukup kuat, sebaliknya kelompok, komunitas dan masyarakat tertentu lainnya justru terlihat berat sekali membangun trust (keyakinan terhadap nilainilai positif yang mampu menciptakan perubahan),.
tiba. Trust terjadi melalui proses yang melibatkankan hubungan antar aktoraktor yang terhimpun dalam kelompok, komunitas atau kelompok tersebut. Herreros (2004: 5271) menyatakan bahwa terjadinya trust bisa terkait dengan halhal sebagai berikut. Pertama, trust terkait dengan persepsi individual aktor terhadap aktor lain yang terhimpun dalam suatu kelompok, komunitas atau masyarakat. Individual aktor menaruh trust kepada aktor lain (walaupun bolehjadi tidak dikenalnya secara personal) ketika mempunyai kesan baik terhadap sikap dan tindakan yang diperagakan oleh anggota kelompok, komunitas atau masyarakat tersebut. Dalam konteks ini aktor lain (trustee) dianggap sebagai representasi karakteristik kelompok, komunitas dan masyarakat. Karena itu pada saat individual aktor tadi memperoleh pengalaman berupa perlakuan baik dari kelompok, komunitas dan masyarakat tertentu, maka segera tertanam dalam persepsinya bahwa aktoraktor lain yang terhimpun dalam kelompok, komunitas atau masyarakat tersebut juga memberi perlakuan baik terhadap dirinya. Dengan demikian trust semacam ini terbentuk dari sebuah bridging network (Putnam, 2000:2223) atau lahir dari pihak ketiga (co members), berada di luar trustor (pihak yang menaruh kepercayaan) dan trustee (pihak yang dipercaya). Oleh karena terbentuknya trust tersebut melibatkan pihak ketiga (comembers), maka pembahasan eksistensi trust dalam konteks ini bukan hanya melibatkan persepsi tetapi juga dengan aspek partisipasi. Partisipasi diasumsikan mendahului kemauan dan kemampuan individual aktor melakukan justifikasi dalam proses membangun persepsi.
Kedua, trust (keyakinan terhadap nilainilai positif yang mampu menciptakan perubahan), terkait kemampuan individual aktor memahami nilainilai dan norma norma sosial yang terendap dalam kelompok, komunitas dan masyarakat. Dalam konteks ini nilainilai dan normanorma sosial tersebut diasumsikan sebagai referensi semua aktor dalam bersikap dan bertindak yang dikembangkan untuk mencapai tujuan bersama, baik pada level kelompok, komunitas maupun masyarakat. Nilainilai dan normanorma tersebut ditempatkan sebagai pengikat solidaritas sosial atau acuan menyelesaikan pelbagai bentuk konflik dan penyimpangan. Nilainilai dan normanorma sosial tersebut mempunyai kekuatan memaksa dalam arti mereka yang mematuhi mendapatkan ganjaran (reward) dan mereka yang mengingkari diberi sangsi. Pemahaman individual aktor terhadap nilainilai dan normanorma sosial tersebut selanjutnya memudahkannya mengidentifikasi siapa aktoraktor lain yang patut dikategorikan sebagai trustee (pihak yang dipercaya). Bagaimana kalau kelompok, komunitas dan masyarakat tersebut diwarnai oleh afiliasi etnis, keyakinan agama dan ideologi (hiterogin)? Tendensi demikian tidak mengganggu upaya membangun trust sepanjang mereka mau dan mampu memahami kewajiban dan larangan yang terendap dalam nilainilai dan normanorma sosial tersebut. Nilainilai dan normanorma sosial bukan hanya diketahui atau dipahami karakteristik dan fungsinya, tetapi juga disadari dapat memfasilitasi terbentuknya solidaritas sosial.
Ketiga, trust terkait dengan kemampuan melakukan transformasi nilainilai dan normanorma sosial yang menjadi referensi sikap dan tindakan tersebut kedalam kehidupan nyata. Nilainilai dan normanorma sosial tersebut ditelaah secara kritis kemudian diaplikasikan sesuai dengan kondisi lingkungan. Benar memang nilainilai dan normanorma sosial tersebut mempunyai kekuatan memaksa, tetapi aplikasinya dijaga tidak merusak jalinan relasi atau jejaring yang sudah terbangun. Transformasi nilainilai dan normanorma sosial tersebut memiliki konteks tertentu dan diekspresikan dalam bentuk tindakantindakan nyata. Tindakantindakan nyata tersebut bukan hanya sebuah keteladanan atau contoh nyata (sesuai dengan konteks tertentu), tetapi juga memudahkan trustor mengidentifikasi siapa aktoraktor lain yang layak diklasifikasikan sebagai trustee (pihak yang dipercaya).
• Pertukaran Sosial
Relasirelasi sosial yang tumbuh dalam kelampok, komunitas dan masyarakat ditandai oleh pertukaran sosial (social exchange). Dalam sosiologi pertukaran sosial lazim dikonsepsikan sebagai relasirelasi sosial yang terjalin antar aktor dalam bingkai transaksi sumberdaya (resources). Dalam konsep tersebut terendap dua elemen penting yaitu aktoraktor yang menjalin hubungan (subyek) dan sumberdaya (resources) yang ditransaksikan atau ditukarkan (obyek). Dalam diri aktoraktor tersebut terendap keinginan dan keyakinan tertentu, karena itu ketika seorang aktor melakukan transaksi sumberdaya bukan hanya memperhatikan posisi atau status sosial aktoraktor lain, tetapi juga mengembangkan hubungan yang ditandai oleh proses pertukaran dengan mempertimbangkan keinginan dan keyakinan aktoraktor tersebut. Pertimbangan tersebut berupa kalkulasi tentang bentuk dan jumlah sumberdaya yang ditransaksikan (dilandasi rasionalitas tertentu). Dengan demikian dalam proses pertukaran tersebut terdapat aspek relational sekaligus aspek transaksional. Aspek relational dalam proses pertukaran dikategorikan sebagai pertukaran sosial (social exchange), sedangkan aspek transaksional dalam proses pertukaran dikategorikan sebagai pertukaran ekonomik (economic exchange). Dua macam pertukaran tersebut samasama diendapi kalkulasi yang rasional, meskipun dengan proses yang berbeda.
Nan Lin (2004:155) menunjukkan terdapat perbedaan prinsip yang melekat dalam pertukaran ekonomik dan pertukaran sosial. Pertukaran ekonomik memberi tekanan (fokus) pada transaksi (bersifat transaksional). Tujuan utamanya adalah memperoleh keuntungan ekonomi melalui cara atau mekanisme transaksi. Sumberdaya (resources) ditransaksikan dan dalam transaksi tersebut dimediasi oleh harga (uang). Setiap pertukaran dilakukan untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Rasionalitas yang dijadikan acuan adalah analisis tentang relasirelasi yang mendatangkan keuntungan, dan keuntungan yang diperoleh tersebut kemudian diletakkan sebagai pijakan untuk melakukan transaksitransaki berikutnya. Bagaimana kalau relasirelalsi tersebut gagal mendatangkan keuntungan? Aktor aktor tersebut bisa mencari alternatif relasirelasi lain (meninggalkan relasirelasi yang ada), atau masih mempertahankan relasirelasi yang ada tetapi dengan menekan biaya yang ditransaksikan (transactional cost).
Seperti telah disampaikan pada uraian di atas bahwa dalam pertukaran ekonomik, aktoraktor selalu berusaha melakukan relasirelasi yang mampu mendatangkan sumberdaya (resources) melalui pelbagai bentuk transaksi (bersifat transaksional). Oleh karena spirit yang terendap dalam relasirelasi tersebut adalah memperoleh keuntungan ekonomi, maka komitmen aktoraktor pada umumnya hanya dalam waktu relatif pendek atau hanya sebatas keperluannya saja. Komitmen tersebut melemah (bahkan hilang) ketika mereka merasa bahwa telah samasama memperoleh keuntungan ekonomi. Dalam benak mereka hanya ada satu harapan yaitu bagaimana supaya transaksi dapat berjalan dengan fair (more gain and less cost). Relasirelasi di luar tujuan tersebut diabaikan. Itulah sebabnya lazim dikatakan bahwa kerjasama di antara mereka hanyalah bersifat insedential, dan lebih mengedepankan kesepakatan niilai ekonomi.
Tuna (rugi) satak (harta) tetapi bati (untung) sanak (saudara). Dalam pepatah Jawa tersebut terendap pertimbangan rasional bahwa kerugian ekonomi yang dialami orang (akibat dari penambahan biaya) sebenarnya sebuah “pengorbanan” yang dapat berfungsi memperkuat relasirelasi sosial, dan pada gilirannya kelak diyakini membuahkan keuntungan ekonomi juga. Karena itu dalam pertukaran sosial, perhatian aktoraktor terutama pada pengakuan (recoginition), bukan pada uang (materi). Bagi mereka pengakuan jauh lebih penting daripada sekedar uang (materi).
Dalam pertukaran sosial apa yang hendak diraih bukan kekayaan semata tetapi adalah reputasi (social standing) dan kepercayaan. Karena itu relasirelasi yang terjalin tidak berdasarkan nilainilai dan normanorma yang bersifat kontrak (sebagaimana dalam pertukaran ekonomi), tetapi berdasarkan nilainilai dan norma norma yang melembagakan solidaritas sosial. Dalam pertukaran ekonomi nilai dan norma kontrak ditujukan untuk menjaga survival diri aktor, sedangkan dalam pertukaran sosial nilai dan norma yang disepakati ditujukan untuk menjaga survival kelompok (kebersamaan). Dalam pertukaran ekonomi, nilai dan norma kontrak ditujukan untuk meningkatkan keuntungan (optimatization of gains), sedangkan dalam pertukaran sosial nilai dan norma yang disepakati bersama tersebut ditujukan untuk menekan kehilangan (minimization of loss).
Seperti telah disampaikan pula bahwa relasirelasi dalam pertukaran sosial terutama didorong oleh motivasi memperoleh reputasi (penghargaan) dengan menebarkan pengakuan (recognition) dalam jejaring kelompok. Karena itu dalam pertukaran sosial aktoraktor yang menjalin hubungan senantiasa berusaha memelihara relasirelasi sosial (maintenance of social relationships). Bentuk relasi semacam ini melahirkan dua macam kemungkinan partisipasi. Manakala hubungan yang mereka jalin mampu mendorong relasi yang mapan (a presistent relationship), maka hubungan tersebut terus berlanjut. Tetapi sebaliknya manakala hubungan tersebut dirasakan tidak mampu mendorong hubungan yang mapan, maka dicari alternatif lain yang diyakini mampu memperkuat pengakuan (recognition). Atau bisa juga tetap mempertahankan hubungan sosial yang telah terjalin, tetapi menurunkan derajad pengakuan (recognition).
Relasirelasi yang mapan (presistent relationships) mampu memperluas dan menebarkan pengakuan melalui koneksikoneksi antar aktor. Semakin kuat mempertahankan relasirelasi yang mapan tersebut maka semakin mudah menebarkan pengakuan. Jejaring mereka semakin kuat ketika aktoraktor tersebut mampu menumbuhkan sentiment melalui aktoraktor tertentu yang memiliki pengaruh. Sikap dan tindakan aktoraktor yang berpengaruh tersebut selanjutnya menjadi referensi sikap dan tindakan aktoraktor lain. Semakin luas koneksi antar aktor (baik langsung maupun tidak langsung), maka semakin besar efek dari pengakuan (recognition) dan reputasi yang ditimbulkan, dan selanjutnya semakin besar pula kemungkinannya dapat megembangkan modal sosial. Semakin kuat komitmen atau integritas mereka dalam jejaring yang dibangun untuk mencapai tujuan bersama, maka semakin kuat pula potensi mereka mengembangkan modal sosial. Berikut dikutipkan pandang Ni Lan dalam masalah tersebut.
Transactional rationality can survive on an individual basis when partners in exchanges are interchangeable as long as they meet the requirement of transactional utility. Relational rationality depends on the survival of the group and the group’s members. The more resources embedded in the social networks and the stronger the ties, the greater the collective benefit to the group and the relative benefit to each actor in the group. Ni Lan (2014:156)
Dalam membahas pertukaran sosial, sebuah kata kunci yang berulang muncul adalah reputasi. Kata reputasi dianggap lebih tepat dipakai daripada kata mutual recognition atau social credits. Dalam pertukaran ekonomik (economic exchange) alat transaksi adalah uang, sedang dalam pertukaran sosial alat transaksi tersebut adalah reputasi. Reputasi memiliki implikasi yang signifikan terhadap pengakuan (recognition), dan pengakuan tersebut memiliki peran penting dalam menjaga eksistensi para aktor. Ketika sebuah kelompok atau komunitas tergolong homogin dalam arti para aktor yang menjadi anggotanya memiliki karakteristik yang kurang sama, tidak terlalu sulit mengidentifikasi relasirelasi yang saling menguntungkan (reciprocal relationships) atau tindakantindakan yang bersifat sejajar (symetric). Solidaritas sosial dalam kelompok atau komunitas semacam itu biasanya terlihat kuat. Tetapi tendensi berbeda diketemukan pada kelompok atau komunitas yang tergolong hiterogin. Dalam kelompok atau komunitas yang tergolong hiterogin acapkali pertukaran menjadi berat sebelah (unequal transactions) dan tindakantindakan menjadi bersifat asymetric (tidak sejajar). Dalam kondisi demikian aktoraktor menghadapi persoalan reputasi, karena kendatipun mereka terhimpun dalam satu kelompok atau komunitas, reputasinya beragam dalam arti sejumlah aktor memiliki reputasi yang lebih tinggi daripada sejumlah aktor yang lain. Lalu bagaimana menjelaskan masalah pengakuan (recognition) ketika reputasi aktoraktor tersebut beragam (hiterogin)?
Ni Lan (2004:158) menjawab pertanyaan semacam itu berangkat dari penjelasan tentang pengakuan (recognition). Kata Ni Lan pengakuan tersebut memberi legitimasi kepada aktoraktor tentang sumberdaya (resources) yang dimiliki. Ketika pengakuan tersebut disebarkan melalui jejaring (network), maka eksistensi atau keberadaan aktoraktor dalam jejaring semakin kuat. Dalam proses ini dibutuhkan reputasi (alat pertukaran sosial). Reputasi terutama berfungsi memberi dukungan proses penyebaran pengakuan tersebut. Reputasi menegaskan aset yang dimiliki oleh aktoraktor tersebut. Fungsinya mirip uang dalam pertukaran ekonomi. Perkembangan selanjutnya reputasi menjadi aset kolektif. Kelompok atau komunitas dapat mengembangkan sebuah reputasi. Dalam konteks ini reputasi dipahami sebagai aset jaringan. Reputasi bukan hanya memperkuat legitimasi aktoraktor dalam melakukan claim terhadap sumberdaya (resources) yang dimiliki, tetapi juga claim terhadap posisiposisinya.
Dari segenap uraian yang telah dipaparkan, secara ringkas dapat dikatakan bahwa pertukaran sosial ditandai dengan relasirelasi sosial (social relationships). Pertukaran sosial berupaya melakukan optimalisasi pengeluaran atau biaya hubungan (relationship at a cost). Dalam pertukaran sosial, reputasi (social standing) memiliki peran penting karena menentukan pengakuan (social credit, social debt), sebuah sarana yang dipergunakan untuk melegitimasi sumberdaya (resources). Tendensi ini terbeda dengan pola yang terdapat dalam pertukaran ekonomik, karena dalam pertukaran ekonomik sarana yang dipergunakan untuk melegitimasi sumberdaya adalah kekayaan (economic standing). Dalam konteks ini kekayaan (economic standing) memiliki peran penting karena menentukan transaksi keuangan (economic credit, economic debt).