• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen Struktural Modal Sosial dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Komponen Struktural Modal Sosial dan "

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Komponen Struktural Modal Sosial  

 

Oleh Sunyoto Usman  Fisipol UGM 

   

Bab  ini  memberi  perbendaharaan  pengetahuan  kepada  mahasiswa  tentang  keberadaan  dan  proses  terbentuknya  komponen  struktural  modal  sosial.  Komponen struktural tersebut dapat berupa asosiasi, organisasi, perkumpulan  atau  perhimpunan,  serta  jejaring  (network)  yang  melembaga  di  dalamnya.   Komponen  struktural  modal  sosial  tersebut  muncul  dipengaruhi  oleh  serangkaian  tindakan  para  aktor.  Hubungan  antara  komponen  struktural  dengan  tindakan  aktor  bersifat  interdependensi  (timbal­balik,  saling  menentukan). Di satu pihak, komponen struktural tumbuh dan berkembang dari  serangkaian  tindakan  para  aktor  yang  dibalut  oleh  berbagai  macam  kepentingan.    Di  lain  pihak,  komponen  struktural  tersebut  juga  menciptakan  serangkaian  tindakan  para  aktor,  terutama  dalam  upaya  mereka  memberi  respons dan stimulan serta beradaptasi dengan perubahan lingkungan sosial.  Setelah  mendiskusikan  topik  ini  mahasiswa  diharapkan  memahami  keberadaan  dan  kekuatan  yang  melekat  dalam  komponen  struktural  modal  sosial. 

   

•  Ikatan Sosial 

 

Dalam  uraian  terdahulu  telah  disampaikan  bahwa  dalam  modal  sosial  terdapat komponen yang bersifat struktural.  Komponen ini bersifat obyektif dan relatif  dapat  diobservasi  dengan  kasat  mata  (tangiable)  seperti  asosiasi,  organisasi,  perkumpulan  atau  perhimpunan  serta  jejaring  (network)  yang  melembaga  didalamnya.  Asosiasi,  organisasi,  perkumpulan  atau  perhimpunan  serta  jejaring  (network)    semacam  itu  tidak  terbentuk  mendadak  dan  tiba­tiba  tetapi  terbentuk  melalui  proses  panjang  dan  berlilit­lilit  dengan  bermacam­macam  kepentingan.   Menurut  Nan  Lin  (2004:128)  faktor  penting  yang  mendorong  timbulnya  komponen  yang  bersifat  struktural  tersebut  adalah  tindakan  aktor  yang  terkait  dengan  upaya  minimalisasi  kerugian  (minimization  of  loss)  dan  maksimalisasi  keuntungan  (maximimization of gain).  Tindakan  aktor semacam itu diasumsikan dilandasi oleh  kalkulasi  atau  perhitungan  rasional  dengan  mempertimbangan  peluang  dan  resiko  yang ada di sekitarnya.   

 

(2)

mengembangkan  sumberdaya  (to expand  resources)  justru  yang  menjadi  prioritas  (dan demikian pula sebaliknya). 

 

Apa  implikasinya  terhadap  interaksi  sosial?    Dalam  kehidupan  nyata  interaksi  sosial  lazim  diwarnai  oleh  tindakan  aktor  yang  tidak  pernah  lelah    mempertahankan sumberdaya (resources) yang dimiliki atau dikuasai.  Mereka selalu  berusaha keras bagaimana supaya tidak kehilangan sumberdaya.  Manakala aktor­ aktor yang menjalin interaksi sosial tersebut sama­sama berhasil mempertahankan  sumberdaya  (resources)  yang  dimiliki  atau  dikuasai  (tidak  ada  yang  merasa  kehilangan),    maka  terjadilah  kondisi  a  mutual  recognition  (saling  menghargai).    Kondisi saling menghargai tersebut bukan hanya refleksi atau cermin tidak ada pihak  yang kehilangan, tetapi juga mampu mencegah kemungkinan terjadinya kehilangan  itu sendiri.  Kendatipun demikan dalam praktek tidak mudah mengembangkan kondisi  saling  menghargai  atau  memberi  perhatian.    MengapaAlasan  pertama,  kondisi  semacam  ini    bolehjadi  mudah  berlaku  dalam  interaksi  sosial  yang  terjalin  dalam  kelompok kecil, akan tetapi sangat sulit dikembangkan atau dipelihara ketika interaksi  sosial  yang  terjalin  melibatkan  banyak  aktor,  seperti  yang  terjadi  dalam  komunitas  atau  masyarakat  luas  (society).    Kepentingan  mereka  amat  bervariasi,  derajad  toleransinya juga amat beragam dan tidak mudah disatukan.  Alasan kedua, jarang  terjadi kasus pihak­pihak yang menjalin interaksi sosial memiliki persamaan kuantitas  dan  kualitas  sumberdaya.      Karena  itu  kondisi  a  mutual  recognition  (saling  menghargai  atau  memberi  perhatian)   tersebut  tidak  selalu  konstan.    Kondisi  semacam ini dapat dikembangkan manakala salah satu pihak bersedia memberikan  pengorbanan.  Pihak  yang  memberi  pengorbanan  ketika  itu  belum  memikirkan  mendapatkan keuntungan. Kelak setelah pihak yang memberi pengorbanan tersebut  mulai memikirkan mendapatkan keuntungan,  kondisi tersebut berarkhir (paling tindak  ditinjau  kembali).      Pernyataan  ini  semakin  menegaskan  bahwa  kondisi a  mutual  recognition (saling  menghargai  atau  memberi  perhatian)  lebih  digerakkan  di  atas  prinsip  minimialisasi  kehilangan  (minimization  of  loss)  daripada  maksimilisasi  keuntungan (maximization of gain).   

 

Sumberdaya  (resources)  tidak  dikuasai  atau  dimiliki  secara  abadi.  Suatu  ketika  sumberdaya  (resources)    juga  diserahkan  (transfered)  kepada  orang.  Pertanyaannya adalah kepada siapa sumberdaya tersebut diserahkan?   Bagaimana  proses  menyerahkannya?  Bagaimana  sosiologi  menjelaskan  fenomena  ini?    Penjelasan  sosiologi  tentang  masalah  ini  lazim  dikaitkan  dengan  interaksi  sosial.  Manakala  bereferensi  pada  prinsip  meminimalkan  kehilangan,  maka  orang  cenderung menyerahkan (to transfer) sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai kepada  aktor­aktor yang dianggap mau dan mampu memelihara kelangsungan sumberdaya  tersebut.    Aktor­aktor  tersebut  acapkali  dalam  satu  ikatan  primodial  karena  bukan  hanya  dianggap  memiliki  persamaan  sikap  dan  kepentingan  tetapi  juga  diyakini  mampu memelihara trust (nilai­nilai positif yang menghargai perkembangan). 

 

(3)

dapat meraih sumberdaya tersebut, tetapi juga membuka jalan menciptakan peluang  untuk menambah sumberdaya baru. Demikianlah proses ini berlanjut dan terjadilah  kemudian akumulasi serta peningkatan jumlah sumberdaya. 

     

•  Jejaring (Networks

 

Burt  (2001:31)  memilahkan  jejaring  kedalam  dua  kategori  yaitu structural  holes  atau jejaring yang ditandai oleh peran penghubung atau jembatan (broker) dan   network closure atau jejaring yang ditandai oleh interkoneksi antar aktor yang amat  kuat  (tanpa broker).  Kendatipun  karakteristik  dua  macam  struktur  jejaring  tersebut  berbeda namun sama­sama berupa refleksi tindakan aktor­aktor dalam membentuk  relas­relasi  sosial  yang  dikembangkan  untuk  memenuhi  pelbagai  macam  kepentingan.  Sebagai ilustrasi berikut disampaikan diagram yang pernah ditawarkan  Burt. 

 

 

(Burt,2001:33)   

Dalam  diagram  tersebut  ditunjukkan  sosiogram  yang  menggambarkan  kedekatan hubungan antar aktor dalam memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan  tertentu,  serta    aktor­aktor  yang  berperan  sebagai  jembatan  (broker)  yang  menghubungkan  mereka.    Titik­titik  adalah  gambaran  posisi  aktor­aktor,  dan  garis  menunjukkan jalingan hubungan antar aktor. Secara teoritis sosiogram semacam itu  tidak  permanen  dalam  arti  jejaring  yang  terbentuk  untuk  tujuan,  tempat  dan  waktu  tertentu bisa berbeda dengan jejaring yang terbentuk untuk tujuan, tempat dan waktu  tertentu  lainnya.    Dalam  sosiogram  tersebut  terdapat  tiga  kelompok  (A,B  dan  C).   Setiap  kelompok  melembagakan  pola  hubungan  sosial  sendiri.  Namun  mereka  sebenarnya  tidak  terpisah,  karena  terdapat  sejumlah  aktor  yang  berperan  menjembatani  hubungan  antar  kelompok.    Dalam  kondisi  demikian  informasi  yang  diterima oleh aktor­aktor tertentu dapat tersebar kepada aktor­aktor tertentu lainnya  meskipun  mereka  berafiliasi  pada  kelompok  yang  berbeda.    Oleh  karena  sejumlah   aktor menjadi bagian dari lebih dari satu kelompok (beberapa kelompok sekaligus),  maka mereka memperoleh informasi lebih banyak daripada aktor­aktor yang hanya  menjadi bagian dari satu kelompok saja.   

 

(4)

each other) are likely to have similar information an therefore provide redundant  information  benefits.    Structurally  equivalent  contacts  (contacts  who  link  a  manager to the same third parties) have the same sources of information and  therefore provide redundant information benefits. 

(Burt, 2003:35).   

Manakala informasi tersebut dianggap sebagai energi untuk memanfaatkan  dan menciptakan peluang, maka kata Burt tidak terlalu berlebihan apabila dinyatakan  bahwa  peluang  mereka  lebih  besar  dibandingkan  dengan  aktor­aktor  lain.    Karena  mereka  bukan  hanya  dapat  memanfaatkan  dan  menciptakan  peluang  berdasarkan  informasi  beredar  di  lingkungannya  sendiri,  tetapi  juga  dapat  memanfaatkan  dan  menciptakan peluang berdasarkan informasi yang beredar di lingkungan lain.  Mereka  dapat  digolongkan  sebagai  aktor­aktor  yang  mengetahui,  menguasai  dan  mendayagunakan  pelbagai  macam  peluang.    Mereka  lebih  banyak  memiliki  energi  atau peluang akses terhadap sumberdaya yang dapat kembangkan sebagai modal  sosial daripada aktor­aktor yang lain. 

 

Pandangan  tersebut  berbeda  dengan  sosiogram  dalam  bentuk network  closure   atau  jejaring  yang  ditandai  oleh  ikatan  (connected)  semua  aktor  yang  terhimpun di dalamnya.  Menurut Coleman dalam jejaring semacam ini semua aktor  memiliki akses yang sama terhadap informasi.  Berikut dikutipkan pendapat Coleman. 

 

An important form of social capital is the potential for information the inheres in  social relations. ... A person who is not greatly interested in current events but  who is interested in being informed about important developments can save the  time required to read a newspaper if he can get the information he wants from  a friend who pays attention to such matter. 

(Coleman,1990:310)    Selanjutnya network  closure  atau  jejaring  yang  ditandai  oleh  interkoneksi  antar aktor  yang amat  kuat  juga  memfasilitasi  berlakunya  norma­norma yang  telah  menjadi  kesepakatan  bersama  dan  pemberian  sangsi  terhadap  terjadinya  penyimpangan terhadap norma­norma tersebut. Dalam network closure aktor­aktor  senantiasa berusaha menjaga berlakunya norma­norma terutama untuk memelihara  keakraban dan hubungan sosial yang harmonis.  Kepatuhan terhadap norma­norma  tersebut diyakini mampu menciptakan relasi­relasi sosial melembagakan kesadaran  kolektif serta persamaan dalam bersikap dan bertindak yang pada gilirannya dapat  menjadi energi untuk mengembangkan modal sosial.  Dalam network closure aktor­ aktor juga memberikan sangsi supaya aktor­aktor konsisten mentaati kewajiban dan  larangan yang terendap dalam norma­norma tersebut.  Berlakunya norma­norma dan  sangsi­sangsi  tersebut  memiliki  kekuatan  mendorong  aktor­aktor  mengembangkan  ikatan­ikatan  sosial  yang  amat  berharga  bagi  pengembangan  modal  sosial.    Hal  senada juga pernah disampaikan oleh Granovetter (1992:44) bahwa sangsi terhadap  penyimpangan  norma  mampu  menumbuhkan trust (keyakinan  terhadap  nilai­nilai  positif  yang  mampu  menciptakan  perubahan),  dan  kerjasama  yang  saling  menguntungkan. 

 

Burt (2003:39­40) pernah melakukan studi tentang jejaring yang tumbuh dan  berkembang di kalangan para menejer.  Kegiatan mereka membentuk jejaring sosial  yang diikat dengan norma­norma dan sangsi. Adapun pertanyaan­pertanyaan yang  diajukan Burt untuk mengidentifikasi jejaring mereka adalah sebagai berikut. 

 

(5)

important for their continued success in the firm, (h) their most difficult contact,  and (i) the people with whom they would discuss moving to a new job in another  firm. 

 

Sembilan  macam  pertanyaan  tersebut  dipergunakan  oleh  Burt  untuk  menggambarkan jejaring yang memperlihatkan relasi­relasi langsung maupun tidak  langsung di antara para menejer yang diobsevasi, terutama di seputar posisi aktor­ aktor tertentu yang dianggap memiliki banyak informasi dan dipilih sebagai referensi  sikap  dan  tindakan.    Melalui  serangkaian  pertanyaan  tersebut  Burt  dapat  mengidentifikasi tiga komponen yang terendap dalam jejaring yaitu jumlah aktor yang  terlibat  dalam  jejaring  (size),  kedekatan  kontak  para  aktor  tersebut  (density)  dan  ikatan kuat terhadap aktor­aktor tertentu yang dianggap sebagai panutan (hierarchy).   Tiga  komponen  ini  (size,  density  dan hierarchy)  selanjutnya  mewarnai  segenap  analisis tentang jejaring sosial. 

         

 

(6)

Komponen Kultural Modal Sosial 

 

Oleh Sunyoto Usman  Fisipol UGM 

 

Bab  ini  memberi  perbendaharaan  pengetahuan  kepada  mahasiswa  tentang  keberadaan dan proses terbentuknya komponen kultural (kognitif) modal sosial.   Komponen  kultural  tersebut  terutama  berupa  social  trust  (keyakinan  melembagakan  tindakan  yang  diendapi  oleh  nilai­nilai  positif  yang  mampu  menciptakan perubahan) dan pertukaran sosial (social exchange) yang saling  menguntungkan (reciprocal relationships).  Di satu sisi, komponen­komponen  tersebut tumbuh dan berkembang berkat fasilitas jejaring (network). Di sisi lain,  keberadaannya  juga  memperkuat  eksistensi  jejaring  (network)  tersebut.  Jadi  ada hubungan timbal balik. Setelah mendiskusikan topik ini mahasiswa dapat  memahami keberadaan dan kekuatan yang melekat dalam komponen kognitif  modal sosial. 

 

 

•  Social Trust 

 

Dalam literatur terdapat banyak difinisi tentang trust.  Salah satu di antara  difinisi tersebut disampaikan oleh Gabby dan Leender sebagai berikut. 

 

... a set of beliefs about the other party (trustee), which lead one (trustor) to  assume  that  the  trustee’s  actions  will  have  positive  consequences  for  the  trustor’s self. 

(Gabby and Leenders, 2003)    Dalam definisi tersebut sedikitnya terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan  yaitu belief (keyakinan), trustor (pihak yang menaruh kepercayaan) dan trustee (pihak  yang  dipercaya).    Oleh  karena  bentuknya  adalah belief  (keyakinan),  maka trust  tergolong tidak kasat mata dan hanya bisa diidentifikasi gejala­gejalanya.  Mayer at  al (1995) menyatakan terdapat tiga dimensi trust (keyakinan terhadap nilai­nilai positif  yang  mampu  menciptakan  perubahan),  yaitu capabilitybenevolence  dan integrity.   Capability  terkait  dengan skills  (keterampilan)  dan  kompetensi  yang  dimiliki  oleh  kelompok,  komunitas  atau  masyarakat  tempat  afiliasi  para  aktor  yang  dapat  didayagunakan  sebagai  energi  atau  kekuatan  untuk  mencapai  tujuan  tertentu.   Benevolence  terkait  dengan  seberapa  jauh trustee  (pihak  lain)  bersedia  atau  mau  berbuat  baik  terhadap trustor.    Kemudian integrity  terkait  dengan  persepsi trustor  terhadap trustee  tentang  prinsip­prinsip  tertentu  yang  patut  diterima  atau  diikuti.   Setiap dimensi tersebut berdiri sendiri (independen) maksudnya kendatipun memiliki  keterkaitan  namun  sebenarnya  terpisah.    Aktor­aktor  tertentu  yang  menaruh trust   pada kemampuan dan integritas kelompok tidak serta merta menaruh trust terhadap  kemampuan  dan  integritas  komunitas  (community)  atau  masyarakat  (society),  dan  begitu  pula  sebaliknya.    Aktor­aktor  tertentu  yang  menaruh  trust  terhadap  kemampuan dan integritas trustee tertentu (pihak lain) juga tidak serta menaruh trust  terhadap  kemampuan  dan  integritas  kelompok,  komunitas  atau  masyarakat,  dan  demikian pula sebaliknya.  Pandangan semacam itu hendak menegaskan terdapat  keragaman  tingkat  kedalaman trust  yang  tumbuh  dan  berkembang  dalam  suatu  kelompok,  komunitas  atau  masyarakat.    Kelompok,  komunitas  dan  masyarakat  tertentu mampu membangun trust yang cukup kuat, sebaliknya kelompok, komunitas  dan  masyarakat  tertentu  lainnya  justru  terlihat  berat  sekali  membangun  trust  (keyakinan terhadap nilai­nilai positif yang mampu menciptakan perubahan),. 

 

(7)

tiba.   Trust  terjadi  melalui  proses  yang  melibatkankan  hubungan  antar  aktor­aktor  yang  terhimpun  dalam  kelompok,  komunitas  atau  kelompok  tersebut.    Herreros  (2004: 52­71) menyatakan bahwa terjadinya trust bisa terkait dengan hal­hal sebagai  berikut.    Pertama, trust  terkait  dengan  persepsi  individual  aktor  terhadap  aktor  lain  yang terhimpun dalam suatu kelompok, komunitas atau masyarakat.  Individual aktor  menaruh  trust kepada  aktor  lain  (walaupun  bolehjadi  tidak  dikenalnya  secara  personal)  ketika  mempunyai  kesan  baik  terhadap  sikap  dan  tindakan  yang  diperagakan  oleh  anggota  kelompok,  komunitas  atau  masyarakat  tersebut.    Dalam  konteks ini aktor lain (trustee) dianggap sebagai representasi karakteristik kelompok,  komunitas dan masyarakat.  Karena itu pada saat individual aktor tadi memperoleh  pengalaman  berupa  perlakuan  baik  dari  kelompok,  komunitas  dan  masyarakat  tertentu,  maka  segera  tertanam  dalam  persepsinya  bahwa  aktor­aktor  lain  yang  terhimpun  dalam  kelompok,  komunitas  atau  masyarakat  tersebut  juga  memberi  perlakuan baik terhadap dirinya.  Dengan demikian trust semacam ini terbentuk dari  sebuah bridging  network (Putnam,  2000:22­23)  atau  lahir  dari  pihak  ketiga  (co­ members),  berada  di  luar trustor  (pihak  yang  menaruh  kepercayaan)  dan trustee  (pihak  yang  dipercaya).    Oleh  karena  terbentuknya trust  tersebut  melibatkan  pihak  ketiga  (co­members),  maka  pembahasan  eksistensi trust dalam  konteks  ini  bukan  hanya  melibatkan  persepsi  tetapi  juga  dengan  aspek  partisipasi.    Partisipasi  diasumsikan  mendahului  kemauan  dan  kemampuan  individual  aktor  melakukan  justifikasi dalam proses membangun persepsi. 

 

Kedua, trust (keyakinan terhadap nilai­nilai positif yang mampu menciptakan  perubahan),  terkait  kemampuan  individual  aktor  memahami  nilai­nilai  dan  norma­ norma  sosial  yang  terendap  dalam  kelompok,  komunitas  dan  masyarakat.    Dalam  konteks ini nilai­nilai dan norma­norma sosial tersebut diasumsikan sebagai referensi  semua  aktor  dalam  bersikap  dan  bertindak  yang  dikembangkan  untuk  mencapai  tujuan bersama, baik pada level kelompok, komunitas maupun masyarakat. Nilai­nilai  dan  norma­norma  tersebut  ditempatkan  sebagai  pengikat  solidaritas  sosial  atau  acuan  menyelesaikan  pelbagai  bentuk  konflik  dan  penyimpangan.  Nilai­nilai  dan  norma­norma sosial tersebut mempunyai kekuatan memaksa dalam arti mereka yang  mematuhi  mendapatkan  ganjaran  (reward)  dan  mereka  yang  mengingkari  diberi  sangsi.  Pemahaman  individual  aktor  terhadap  nilai­nilai  dan  norma­norma  sosial  tersebut  selanjutnya  memudahkannya  mengidentifikasi  siapa  aktor­aktor  lain  yang  patut  dikategorikan  sebagai trustee  (pihak  yang  dipercaya).    Bagaimana  kalau  kelompok, komunitas dan masyarakat tersebut diwarnai oleh afiliasi etnis, keyakinan  agama  dan  ideologi  (hiterogin)?    Tendensi  demikian  tidak  mengganggu  upaya  membangun trust  sepanjang  mereka  mau  dan  mampu  memahami  kewajiban  dan  larangan yang terendap dalam nilai­nilai dan norma­norma sosial tersebut.  Nilai­nilai  dan  norma­norma  sosial  bukan  hanya  diketahui  atau  dipahami  karakteristik  dan  fungsinya, tetapi juga disadari dapat memfasilitasi terbentuknya solidaritas sosial. 

 

Ketiga, trust  terkait  dengan  kemampuan  melakukan  transformasi  nilai­nilai  dan norma­norma sosial yang menjadi referensi sikap dan tindakan tersebut kedalam  kehidupan  nyata.  Nilai­nilai  dan  norma­norma  sosial  tersebut  ditelaah  secara  kritis  kemudian diaplikasikan sesuai dengan kondisi lingkungan.  Benar memang nilai­nilai  dan norma­norma sosial tersebut mempunyai kekuatan memaksa, tetapi aplikasinya  dijaga tidak merusak jalinan relasi atau jejaring yang sudah terbangun.  Transformasi  nilai­nilai  dan  norma­norma  sosial  tersebut  memiliki  konteks  tertentu  dan  diekspresikan  dalam  bentuk  tindakan­tindakan  nyata.  Tindakan­tindakan  nyata  tersebut bukan hanya sebuah keteladanan atau contoh nyata (sesuai dengan konteks  tertentu), tetapi juga memudahkan trustor mengidentifikasi siapa aktor­aktor lain yang  layak diklasifikasikan sebagai trustee (pihak yang dipercaya).   

(8)

•  Pertukaran Sosial 

 

Relasi­relasi  sosial  yang  tumbuh  dalam  kelampok,  komunitas  dan  masyarakat  ditandai  oleh  pertukaran  sosial  (social  exchange).    Dalam  sosiologi  pertukaran sosial lazim dikonsepsikan sebagai relasi­relasi sosial yang terjalin antar  aktor  dalam  bingkai  transaksi  sumberdaya  (resources).    Dalam  konsep  tersebut  terendap dua elemen penting yaitu aktor­aktor yang menjalin hubungan (subyek) dan  sumberdaya  (resources)  yang  ditransaksikan  atau  ditukarkan  (obyek).      Dalam  diri  aktor­aktor  tersebut  terendap  keinginan  dan  keyakinan  tertentu,  karena  itu  ketika  seorang aktor melakukan transaksi sumberdaya bukan hanya memperhatikan posisi  atau  status  sosial  aktor­aktor  lain,  tetapi  juga  mengembangkan  hubungan  yang  ditandai  oleh  proses  pertukaran  dengan  mempertimbangkan  keinginan  dan  keyakinan  aktor­aktor  tersebut.    Pertimbangan  tersebut  berupa  kalkulasi  tentang  bentuk dan jumlah sumberdaya yang ditransaksikan (dilandasi rasionalitas tertentu).   Dengan  demikian  dalam  proses  pertukaran  tersebut  terdapat  aspek  relational  sekaligus  aspek  transaksional.    Aspek  relational  dalam  proses  pertukaran  dikategorikan  sebagai  pertukaran  sosial  (social  exchange),  sedangkan  aspek  transaksional dalam proses pertukaran dikategorikan sebagai pertukaran ekonomik  (economic  exchange).    Dua  macam  pertukaran  tersebut  sama­sama  diendapi  kalkulasi yang rasional, meskipun dengan proses yang berbeda. 

 

Nan Lin (2004:155) menunjukkan terdapat perbedaan prinsip yang melekat  dalam  pertukaran  ekonomik  dan  pertukaran  sosial.  Pertukaran  ekonomik  memberi  tekanan  (fokus)  pada  transaksi  (bersifat  transaksional).    Tujuan  utamanya  adalah  memperoleh  keuntungan  ekonomi  melalui  cara  atau  mekanisme  transaksi.  Sumberdaya (resources) ditransaksikan dan dalam transaksi tersebut dimediasi oleh  harga  (uang).    Setiap  pertukaran  dilakukan  untuk  mendapatkan  keuntungan  maksimal.  Rasionalitas  yang  dijadikan  acuan  adalah  analisis  tentang  relasi­relasi  yang mendatangkan keuntungan, dan keuntungan yang diperoleh tersebut kemudian  diletakkan  sebagai  pijakan  untuk  melakukan  transaksi­transaki  berikutnya.   Bagaimana  kalau  relasi­relalsi  tersebut  gagal  mendatangkan  keuntungan?    Aktor­ aktor  tersebut  bisa  mencari  alternatif  relasi­relasi  lain  (meninggalkan  relasi­relasi  yang  ada),  atau  masih  mempertahankan  relasi­relasi  yang  ada  tetapi  dengan  menekan biaya yang ditransaksikan (transactional cost).  

 

Seperti  telah  disampaikan  pada  uraian  di  atas  bahwa  dalam  pertukaran  ekonomik,  aktor­aktor  selalu  berusaha  melakukan  relasi­relasi  yang  mampu  mendatangkan  sumberdaya  (resources)  melalui  pelbagai  bentuk  transaksi  (bersifat  transaksional). Oleh karena spirit yang terendap dalam relasi­relasi tersebut adalah  memperoleh  keuntungan  ekonomi,  maka  komitmen  aktor­aktor  pada  umumnya  hanya dalam waktu relatif pendek atau hanya sebatas keperluannya saja.  Komitmen  tersebut  melemah  (bahkan  hilang)  ketika  mereka  merasa  bahwa  telah  sama­sama  memperoleh  keuntungan  ekonomi.  Dalam  benak  mereka  hanya  ada  satu  harapan  yaitu  bagaimana  supaya  transaksi  dapat  berjalan  dengan fair  (more  gain  and  less  cost).  Relasi­relasi di luar tujuan tersebut diabaikan.  Itulah sebabnya lazim dikatakan  bahwa  kerjasama  di  antara  mereka  hanyalah  bersifat  insedential,  dan  lebih  mengedepankan kesepakatan niilai ekonomi. 

 

(9)

Tuna (rugi) satak (harta) tetapi bati (untung) sanak (saudara). Dalam pepatah Jawa  tersebut  terendap  pertimbangan  rasional  bahwa  kerugian  ekonomi  yang  dialami  orang  (akibat  dari  penambahan  biaya)  sebenarnya  sebuah  “pengorbanan”  yang  dapat  berfungsi  memperkuat  relasi­relasi  sosial,  dan  pada  gilirannya  kelak  diyakini  membuahkan  keuntungan  ekonomi  juga.    Karena  itu  dalam  pertukaran  sosial,  perhatian  aktor­aktor  terutama  pada  pengakuan  (recoginition),  bukan  pada  uang  (materi).  Bagi mereka pengakuan jauh lebih penting daripada sekedar uang (materi). 

 

Dalam  pertukaran  sosial  apa  yang  hendak  diraih  bukan  kekayaan  semata  tetapi  adalah  reputasi  (social  standing)  dan  kepercayaan.    Karena  itu  relasi­relasi  yang  terjalin  tidak  berdasarkan  nilai­nilai  dan  norma­norma  yang  bersifat  kontrak  (sebagaimana dalam pertukaran ekonomi), tetapi berdasarkan nilai­nilai dan norma­ norma yang melembagakan solidaritas sosial. Dalam pertukaran ekonomi nilai dan  norma  kontrak  ditujukan  untuk  menjaga  survival  diri  aktor,  sedangkan  dalam  pertukaran sosial nilai dan norma yang disepakati ditujukan untuk menjaga survival  kelompok  (kebersamaan). Dalam  pertukaran  ekonomi,  nilai  dan  norma  kontrak  ditujukan  untuk  meningkatkan  keuntungan  (optimatization  of  gains),  sedangkan  dalam pertukaran sosial nilai dan norma yang disepakati bersama tersebut ditujukan  untuk menekan kehilangan (minimization of loss). 

 

Seperti telah disampaikan pula bahwa relasi­relasi dalam pertukaran sosial  terutama  didorong  oleh  motivasi  memperoleh  reputasi  (penghargaan)  dengan  menebarkan  pengakuan  (recognition)  dalam  jejaring  kelompok.    Karena  itu  dalam  pertukaran  sosial  aktor­aktor  yang  menjalin  hubungan  senantiasa  berusaha  memelihara relasi­relasi sosial (maintenance of social relationships).  Bentuk relasi  semacam ini melahirkan dua macam kemungkinan partisipasi. Manakala hubungan  yang mereka jalin mampu mendorong relasi yang mapan (a presistent relationship),  maka  hubungan  tersebut  terus  berlanjut.    Tetapi  sebaliknya  manakala  hubungan  tersebut  dirasakan  tidak  mampu  mendorong  hubungan  yang  mapan,  maka  dicari  alternatif lain yang diyakini mampu memperkuat pengakuan (recognition). Atau bisa  juga tetap mempertahankan hubungan sosial yang telah terjalin, tetapi menurunkan  derajad pengakuan (recognition).   

 

Relasi­relasi yang mapan (presistent relationships) mampu memperluas dan  menebarkan  pengakuan  melalui  koneksi­koneksi  antar  aktor.  Semakin  kuat  mempertahankan  relasi­relasi  yang  mapan  tersebut  maka  semakin  mudah  menebarkan  pengakuan.  Jejaring  mereka  semakin  kuat  ketika  aktor­aktor  tersebut  mampu  menumbuhkan  sentiment  melalui  aktor­aktor  tertentu  yang  memiliki  pengaruh.  Sikap  dan  tindakan  aktor­aktor  yang  berpengaruh  tersebut  selanjutnya  menjadi  referensi  sikap  dan  tindakan  aktor­aktor  lain.    Semakin  luas  koneksi  antar  aktor  (baik  langsung  maupun  tidak  langsung),  maka  semakin  besar  efek  dari  pengakuan  (recognition)  dan  reputasi  yang  ditimbulkan,  dan  selanjutnya  semakin  besar  pula  kemungkinannya  dapat  megembangkan  modal  sosial.    Semakin  kuat  komitmen  atau  integritas  mereka  dalam  jejaring  yang  dibangun  untuk  mencapai  tujuan  bersama,  maka  semakin  kuat  pula  potensi  mereka  mengembangkan  modal  sosial. Berikut dikutipkan pandang Ni Lan dalam masalah tersebut. 

 

Transactional rationality can survive on an individual basis when partners  in  exchanges  are  interchangeable  as  long  as  they  meet  the  requirement  of  transactional utility.  Relational rationality depends on the survival of the group  and  the  group’s  members.    The  more  resources  embedded  in  the  social  networks and the stronger the ties, the greater the collective benefit to the group  and the relative benefit to each actor in the group. Ni Lan (2014:156) 

(10)

Dalam  membahas  pertukaran  sosial,  sebuah  kata  kunci  yang  berulang  muncul  adalah  reputasi.    Kata  reputasi  dianggap  lebih  tepat  dipakai  daripada  kata  mutual recognition  atau  social  credits.    Dalam  pertukaran  ekonomik  (economic  exchange) alat transaksi adalah uang, sedang dalam pertukaran sosial alat transaksi  tersebut  adalah  reputasi.    Reputasi  memiliki  implikasi  yang  signifikan  terhadap  pengakuan  (recognition),  dan  pengakuan  tersebut  memiliki  peran  penting  dalam  menjaga  eksistensi  para  aktor.  Ketika  sebuah  kelompok  atau  komunitas  tergolong  homogin dalam arti para aktor yang menjadi anggotanya memiliki karakteristik yang  kurang  sama,  tidak  terlalu  sulit  mengidentifikasi  relasi­relasi  yang  saling  menguntungkan  (reciprocal  relationships)  atau  tindakan­tindakan  yang  bersifat  sejajar (symetric).  Solidaritas sosial dalam kelompok atau komunitas  semacam itu  biasanya  terlihat  kuat.    Tetapi  tendensi  berbeda  diketemukan  pada  kelompok  atau  komunitas yang tergolong hiterogin.  Dalam kelompok atau komunitas yang tergolong  hiterogin  acapkali  pertukaran  menjadi  berat  sebelah  (unequal  transactions)  dan  tindakan­tindakan menjadi bersifat asymetric (tidak sejajar).  Dalam kondisi demikian  aktor­aktor  menghadapi  persoalan  reputasi,  karena  kendatipun  mereka  terhimpun  dalam satu kelompok atau komunitas, reputasinya beragam dalam arti sejumlah aktor  memiliki reputasi yang lebih tinggi daripada sejumlah aktor yang lain.  Lalu bagaimana  menjelaskan  masalah  pengakuan  (recognition)  ketika  reputasi  aktor­aktor  tersebut  beragam (hiterogin)? 

 

Ni  Lan  (2004:158)  menjawab  pertanyaan  semacam  itu  berangkat  dari   penjelasan  tentang  pengakuan  (recognition).  Kata  Ni  Lan  pengakuan  tersebut  memberi legitimasi kepada aktor­aktor tentang sumberdaya (resources) yang dimiliki.   Ketika  pengakuan  tersebut  disebarkan  melalui  jejaring  (network),    maka  eksistensi  atau  keberadaan  aktor­aktor  dalam  jejaring  semakin  kuat.    Dalam  proses  ini  dibutuhkan  reputasi  (alat  pertukaran  sosial).  Reputasi  terutama  berfungsi  memberi  dukungan proses penyebaran pengakuan tersebut.  Reputasi menegaskan aset yang  dimiliki oleh aktor­aktor tersebut. Fungsinya mirip uang dalam pertukaran ekonomi.  Perkembangan selanjutnya reputasi menjadi aset kolektif.  Kelompok atau komunitas  dapat  mengembangkan  sebuah  reputasi.    Dalam  konteks  ini  reputasi  dipahami  sebagai  aset  jaringan.  Reputasi  bukan  hanya  memperkuat  legitimasi  aktor­aktor  dalam melakukan claim terhadap sumberdaya (resources) yang dimiliki, tetapi juga  claim terhadap posisi­posisinya.   

 

Dari segenap uraian yang telah dipaparkan, secara ringkas dapat dikatakan  bahwa  pertukaran  sosial  ditandai  dengan  relasi­relasi  sosial  (social relationships).   Pertukaran  sosial  berupaya  melakukan  optimalisasi  pengeluaran  atau  biaya  hubungan (relationship at a cost). Dalam pertukaran sosial, reputasi (social standing)  memiliki  peran  penting  karena  menentukan  pengakuan  (social  credit,  social  debt),  sebuah  sarana  yang  dipergunakan  untuk  melegitimasi  sumberdaya  (resources).   Tendensi ini terbeda dengan pola yang terdapat dalam pertukaran ekonomik, karena  dalam  pertukaran  ekonomik  sarana  yang  dipergunakan  untuk  melegitimasi  sumberdaya  adalah  kekayaan  (economic standing).  Dalam  konteks  ini  kekayaan  (economic standing) memiliki peran penting karena menentukan transaksi keuangan  (economic credit, economic debt). 

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa pada saat terdakwa berada di rumah Uli Harta yang berulangtahun, terdakwa melihat asap tebal dan banyak warga pergi ke lokasi asap tebal, lalu terdakwa

Analisis (antai Marko) yaitu alat analisis yang dapat digunakan, misalnya untuk meramalkan pangsa pasar saat ini dan masa datang. !eknik  yang digunakan dalam analisis

Pada waktu perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya berwujud unsur-unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan, luhur dan sebagainya, maka masyarakat

Rencana Strategis Dinas Perhubungan Kabupaten Ponorogo merupakan dokumen yang sangat penting untuk menampung kepentingan publik khususnya dalam bidang transportasi,

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas semua rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kekuatan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sebagai salah

Sensor load cell   merupakan sensor yang dirancang untuk mendeteksi tekanan atau berat sebuah beban, sensor load cell  umumnya digunakan sebagai komponen utama pada sistem

 Etika yang berarti Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya, Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru

Dilihat dari konteksnya, penulis merasakan adanya perasaan berupa rasa simpulan, menyimpulkan dan rasa simpulan atas apa yang dirasakan seorang tokoh atas