• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARENTING SELF-EFFICACY IBU DARI TODDLER YANG KEMBAR DAN TIDAK KEMBAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PARENTING SELF-EFFICACY IBU DARI TODDLER YANG KEMBAR DAN TIDAK KEMBAR"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PARENTING SELF-EFFICACY IBU DARI TODDLER YANG KEMBAR

DAN TIDAK KEMBAR

Denia Putri Prameswari

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Efriyani Djuwita

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Erniza Miranda Madjid

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai parenting self-efficacy ibu dari toddler yang kembar dan tidak kembar. Pengukuran parenting self-efficacy menggunakan alat ukur Self-Efficacy for Parenting Tasks Index - Toddler Scale (Coleman & Karraker, 1998). Partisipan penelitian berjumlah total 86 orang yang terdiri dari 35 orang ibu dari toddler yang kembar (34 kembar 2 & 1 kembar 3) dan 51 orang ibu dari toddler yang tidak kembar. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy ibu dari toddler yang kembar dan tidak kembar (0.023 pada L.o.S 0.05). Domain terendah parenting self-efficacy, baik pada partisipan secara keseluruhan maupun pada kelompok ibu dari toddler yang kembar dan kelompok ibu dari toddler yang tidak kembar adalah domain discipline. Sedangkan domain tertingginya adalah domain teaching. Domain yang memiliki perbedaan paling besar pada ibu dari toddler yang kembar dan tidak kembar adalah domain emotional availability.

Abstract

This comparative study was conducted to obtain the description of parenting self-efficacy between mother with multiple and singleton toddler. To measure this parenting self-efficacy, the Self Efficacy for Parenting Tasks Index - Toddler Scale (Coleman & Karraker, 1998) was used. The total participants of this research were 86 mothers that consisted of 35 mothers with multiple toddler (34 twins & 1 triplet) and 51 mothers with singleton toddler. The results of this research showed that there were significant differences between mother’s parenting self-efficacy with multiple and singleton toddler (0.023 on L.O.S 0.05). The lowest domain of parenting self-efficacy on participants as a whole as well as on group of mothers with multiple and singleton toddler was discipline and the highest domain was teaching. The domain with highest difference on mothers with multiple and singleton toddler was emotional availability.

Kata Kunci:

(2)

Pendahuluan

Fenomena kelahiran anak kembar belakangan ini semakin mendapat sorotan dari masyarakat. Jumlahnya pun cenderung meningkat, terutama sejak maraknya penggunaan obat penyubur oleh para pasangan untuk mempunyai anak (Lytton & Gallagher, 2002). Kelahiran anak kembar di Indonesia untuk saat ini belum dapat ditentukan secara pasti jumlahnya karena tidak terdapat data spesifik dari hasil survey dan demografi yang dapat diakses. Namun menurut Martin dan Montgomery (2002 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) jumlah kelahiran anak kembar dua adalah sekitar 4 pada setiap 1000 kelahiran, sedangkan untuk kelahiran jamak lainnya seperti kembar tiga, empat, dan seterusnya (higher order pregnancies), lebih jarang terjadi (Bucciarelli, 2012). Pada kelahiran anak kembar, orang tua dihadapkan pada beberapa kompetensi khusus yang belum tentu dihadapi oleh orang tua anak tidak kembar dan terkait dengan kompetensi parenting.

Reaksi yang biasa ditunjukkan oleh orang tua terhadap kelahiran anak kembar meliputi kombinasi antara kaget, ambivalen, cemas dan stres sekaligus bangga dan gembira (Leonard & Denton, 2006). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perasaan istimewa karena berada dalam fenomena yang tidak biasa. Di sisi lain pengasuhan anak kembar memerlukan tanggung jawab orang tua yang berlipat ganda. Meskipun kompetensi terhadap tugas perkembangan anak relatif sama dengan anak tidak kembar, namun orang tua dihadapkan pada tuntutan tambahan untuk membangun interaksi dengan dua atau lebih anak yang mempunyai karakteristik masing-masing (Beer, 2008). Pada fenomena kembar tiga ditemukan bahwa terdapat kemungkinan risiko yang lebih tinggi dalam hal interaksi serta keterlibatan orang tua dimana baik ayah maupun ibu tidak memungkinkan untuk memberi fokus perhatian yang tinggi pada tiga anak dengan usia perkembangan yang sama secara sekaligus (Beer, 2008).

Kompetensi dalam pengasuhan pada ibu dari anak kembar merupakan fenomena yang unik karena terkait dengan tantangan untuk mengurus beberapa anak pada saat yang bersamaan serta tekanan dan kebutuhan akan dukungan sosial yang lebih tinggi sebagai orang tua (Damato, Anthony & Maloni, 2009). Tuntutan dalam pengasuhan pada orang tua dari anak kembar cenderung meningkat karena seringkali dipicu oleh keterbatasan sumber daya yang harus dibagi kepada dua anak atau lebih secara bersamaan (Beck, 2002; Bolvin, 2005; Holditch-Davi, Robert, & Sandelowski, 1999 dalam Damato, 2005). Orang tua dengan anak kembar selalu mencoba untuk menyeimbangkan antara pengetahuan mengenai karakteristik masing-masing anak sekaligus meluangkan waktu dan perhatian dengan jumlah yang sama bagi mereka (Bryan, 2003 dalam

(3)

Damato, 2005). Untuk memenuhi tuntutan tersebut, ibu dari anak kembar diharapkan mempunyai kemampuan untuk memperlakukan masing-masing anak secara adil serta di saat yang bersamaan memberikan respon yang berbeda dan sesuai dengan kekhasan setiap anak (Yokoyama, 2003 dalam Leonard & Denton, 2009). Akan tetapi sulitnya mencapai kondisi tersebut lama-kelamaan dapat menimbulkan perasaan bersalah dan tidak kompeten pada orang tua untuk membangun interaksi dengan masing-masing anak (Akerman, 1999; Garel & Blondel, 1992, 1995; Leonard, 1998 dalam Feldman, Eidelman & Rotenberg, 2004).

Kekhawatiran orang tua terhadap kemampuannya untuk membangun kedekatan dengan lebih dari satu anak secara adil dan setara sangat sering ditemukan pada fenomena kelahiran anak kembar (Holditch-Davis, Roberts & Sandelowski, 1999 dalam Damato, 2005). Kesulitan tersebut secara tidak langsung merupakan perwujudan dari kompleksnya pembentukan hubungan dalam kondisi ini. Menurut Damato (2004 dalam Leonard & Denton, 2009), attachment pada ibu dengan anak kembar berlangsung secara unik karena terjadi pada dua tingkatan yang berbeda, yaitu dengan masing-masing anak secara individual serta dengan “si kembar” sebagai satu unit. Tak hanya isu attachment, pada kenyataannya komunikasi yang terbentuk terhadap anak kembar pun cenderung berbeda dengan anak tidak kembar, dimana secara alamiah pola komunikasi antara ibu dan anak merupakan pola dyadic, sedangkan pada ibu dengan anak kembar pola yang dipakai sejak awal setidaknya adalah pola triadic (Bryan, 2003 dalam Damato, 2005). Hal ini mengharuskan seorang ibu membagi atensi dan sulit untuk menerapkan pola komunikasi one-to-one. Sebagai tambahan, tantangan dalam hal pengasuhan anak kembar tak jarang merambah pada aspek ekonomi. Secara finansial, mempunyai anak kembar dapat berdampak pada peningkatan besar dalam pengeluaran keluarga (Leonard & Denton, 2009). Hal ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya oleh Damato (2005) yang menyebutkan bahwa membesarkan anak merupakan sebuah pekerjaan yang mahal, terlebih lagi pada orang tua dengan anak kembar yang mengemban tuntutan berkali-kali lipat lebih tinggi.

Terkait dengan berbagai kompetensi yang idealnya dimiliki oleh orang tua, proses penyesuaian diri terhadap anak kembar secara signifikan dipengaruhi oleh tingkat stres ibu, terutama pada kelahiran pertama (Damato, 2005). Pada kelahiran pertama, ibu mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan tingkat stres yang tinggi secara signifikan khususnya dalam hal kompetensi sebagai orang tua, kesehatan serta hubungan dengan pasangan (Colpin, DeMunter, Nys & Vandemeulebroecke, 1999). Kelahiran anak pertama memang seringkali dianggap sebagai sebuah penanda transisi besar bagi kehidupan orang tua, khususnya ibu (Papalia, Olds & Feldman 2009).

(4)

Masuk akal adanya apabila hal ini menimbulkan ketakutan pada ibu di kelahiran pertamanya karena dihadapkan pada tantangan baru untuk pertama kali yang melibatkan kombinasi banyak aspek seperti tuntutan intelektual, emosional, serta fisik yang signifikan (Coleman & Karraker, 1997). Ekspektasi sosial akan peran ibupun cukup banyak, mulai dari kesediaan untuk selalu ada bagi anak, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan fisik, cinta dan stimulasi, serta memastikan akses kesehatan, sosial dan program edukasi terbaik bagi anak (Brooks, 2008). Saat kebutuhan anak dapat dipenuhi dengan baik, akan timbul perasaan mampu, berhasil dan kompeten pada seorang ibu (Barnard & Solchany, 2002). Sehingga dengan begitu seorang ibu diharapkan terlibat secara positif dalam proses pengasuhan anak, meskipun pada praktiknya, menjalankan peran tersebut tidak selalu mudah. Sebaliknya, ketidakmampuan dalam hal pemenuhan kebutuhan anak akan menimbulkan perasaan gagal, tidak memadai dan emotional pain pada ibu. Pada kelahiran anak kembar, tentunya tantangan proses parenting tersebut akan semakin besar dan sedikit banyak mempunyai perbedaan dengan kelahiran anak yang tidak kembar. Hal ini juga terkait dengan adanya keterbatasan waktu dan kemampuan yang dimiliki orang tua untuk memusatkan perhatian pada satu anak atau lebih (Lytton & Gallagher, 2002). Kondisi-kondisi tersebut menunjukan bahwa jumlah anak sekelahiran dapat memengaruhi proses parenting. Proses parenting tersebut nantinya dapat berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan anak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Collins (2011 dalam Robbers, 2012) ditemukan bahwa proses parenting pada anak kembar seringkali menimbulkan stres, kesulitan secara finansial dan rendahnya kepuasan pernikahan pada orang tua, yang kemudian terkait dengan tingginya masalah tingkah laku yang dimunculkan anak kembar dibandingkan dengan anak tidak kembar ketika telah beranjak dewasa. Parenting pada anak kembar juga dapat menimbulkan dampak pada aspek lain, salah satunya inteligensi anak. Pengajaran pada anak kembar seringkali memerlukan usaha yang lebih besar sehingga berdampak pada minimnya afeksi yang diberikan selama proses tersebut, dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Lytton dan Gallagher (2002) ditemukan bahwa perkembangan bahasa, kemampuan membaca dan skor tes IQ pada anak kembar secara signifikan lebih rendah dibandingkan pada anak tidak kembar.

Proses parenting merupakan sebuah babak baru dalam fase hidup seseorang yang bisa menimbulkan banyak perubahan. Secara sederhana, parenting didefinisikan sebagai proses atau tahapan menjadi orang tua (Brooks, 2008). Saat seseorang mempunyai anak, mereka akan terlibat dalam proses parenting. Namun pada kenyataannya, proses ini tidak hanya sekedar melahirkan anak saja, melainkan jauh lebih komplek daripada itu. Oleh karena itu parenting seringkali dianggap sebagai sebuah proses yang dinamis (Weaver, 2008). Untuk memenuhi tuntutan tersebut dibutuhkan

(5)

kualitas parenting yang baik pada diri ibu dimana dalam berbagai penelitian, salah satu aspek yang memiliki korelasi dengan hal tersebut adalah parenting self-efficacy (e.g., Bugental, Blue, & Cruzcosa, 1989; Cutrona & Troutman, 1986; Teti & Gelfand, 1991 dalam Coleman, 1998).

Parenting self-efficacy merupakan pengembangan dari konsep self efficacy yang dikemukakan oleh Bandura. Self-efficacy adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya untuk menghasilkan kinerja yang telah ditargetkan serta berpengaruh terhadap kehidupannya (Bandura, 1994). Self-efficacy menentukan bagaimana orang merasa, berpikir, memotivasi diri dan berperilaku. Mengacu pada konsep tersebut, parenting self-efficacy merupakan estimasi pada kompetensi yang dimiliki oleh diri sendiri untuk menjalankan peran sebagai orang tua dan persepsi terhadap kemampuannya untuk membawa pengaruh positif pada perilaku serta perkembangan anak (Coleman & Karraker, 2000). Keyakinan terhadap kompetensi diri sendiri tersebut, menurut Gilmore dan Cuskelly (2008) dapat menjadi faktor pendorong bagi orang tua dalam mempraktekkan pola parenting yang efektif pada anak. Orang tua dengan parenting self-efficacy yang baik dapat membantu anak-anak mereka menjalani berbagai fase perkembangan tanpa masalah yang serius atau tekanan berat pada kehidupan perkawinannya sendiri. Sebaliknya, mereka yang mempunyai parenting self-efficacy kurang baik cenderung rentan terhadap stres dan depresi dalam memenuhi tuntutan keluarga yang semakin luas (Bandura, 1994). Rendahnya parenting self-efficacy juga dapat berimbas pada ketidakmampuan dalam menggunakan pengetahuannya untuk bertindak terhadap tugas sebagai orang tua yang pada akhirnya mampu menimbulkan tekanan emosi yang tinggi serta ketidakteguhan dalam proses parenting (Grusec et al., 1994 dalam Coleman, 1998). Perasaan kurang yakin akan kemampuan diri sendiri dalam menjalankan peran tersebut merupakan aspek penting yang berpengaruh pada perilaku parenting yang ditampilkan (Hastings & Brown 2002).

Menurut Bandura (1982 dalam Coleman, 1998) self-efficacy dalam konteks parenting dapat menjadi prediktor yang lebih kuat terhadap respon orang tua dalam keadaan yang memancing munculnya stres. Fase yang dianggap sulit bagi orang tua adalah fase awal perkembangan anak (Coleman, 1998). Memasuki usia toddler, yaitu 12 sampai 36 bulan (Edwards & Liu, 2002) keluarga mulai dihadapkan pada potensi ketidakseimbangan yang cukup besar dikarenakan mulai munculnya isu separation-individuation pada anak (Barnard & Solchany, 2002). Selain itu, munculnya isu terrible twos yang merupakan puncak dari perilaku negativistik anak terjadi pada fase toddler ini. Perasaan stres dapat timbul pada orang tua disebabkan karena perilaku tersebut seringkali irasional dan muncul tak terkendali, baik dalam dimensi afeksi maupun tingkah laku (Davies, 1999). Perilaku tersebut cenderung muncul pada anak usia 2 tahun dan baru akan mereda

(6)

menjelang usia 4 tahun (Dubin & Dubin, 1963; Spitz, 1957; Wenar, 1982 dalam Edwards & Liu, 2002). Hal ini semakin menambah tuntutan peran orang tua dalam hal pengasuhan anak usia toddler. Untuk itu, ibu dan anggota keluarga lainnya dituntut untuk memegang peranan yang besar dalam proses perkembangan anak pada tahapan ini (Barnard & Solchany, 2002).

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dipaparkan, jumlah anak sekelahiran, yaitu single birth atau multiple birth,memiliki pengaruh terhadap kompetensi pada aspek parenting yang dalam penelitian ini dapat dihubungkan dengan parenting self-efficacy. Penelitian mengenai parenting self-efficacy ini dianggap perlu dilakukan karena merupakan salah satu prediktor dari kualitas parenting yang dapat menimbulkan efek jangka pada berbagai aspek perkembangan anak nantinya. Pada penelitian ini parenting self- efficacy akan diukur menggunakan alat ukur yang dirasa paling sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu Self-efficacy for Parenting Task Index-Toddler Scale (SEPTI-TS, Coleman, 1998). Pengukuran tersebut dilakukan pada dua kelompok yang berbeda, yaitu ibu dari anak kembar dan ibu dari anak tidak kembar. Kedua kelompok tersebut seluruhnya merupakan ibu dengan pengalaman kelahiran pertama. Berdasarkan pemaparan diatas, maka dalam penelitian ini akan dilihat parenting self-efficacy ibu dari toddler yang kembar dan tidak kembar.

Tinjauan Teoritis

Parenting Self-Efficacy

Konsep self-efficacy didefinisikan oleh Bandura (1994) sebagai keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya sendiri untuk menghasilkan kinerja yang telah ditargetkan serta memiliki pengaruh terhadap kehidupannya. Self-efficacy juga menentukan perasaan, kemampuan berpikir, motivasi dan perilaku yang ditampilkan seseorang. Pengembangan konsep tersebut dalam hal pengasuhan anak oleh orang tua disebut sebagai parenting self-efficacy dimana oleh Coleman dan Karraker (2000) didefinisikan sebagai estimasi terhadap kompetensi pada diri untuk menjalankan peran sebagai orang tua dan persepsi pada kemampuan diri untuk memberikan pengaruh positif pada perkembangan anak. Orang tua dengan parenting self-efficacy yang baik dapat membantu anak-anak mereka berkembang secara optimal dan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Bandura, 1994).

(7)

Kembar dan Tidak Kembar

Kelahiran kembar yang diawali dengan multiple pregnancy terjadi disaat seorang wanita hamil dengan jumlah janin di dalam kandungannya sebanyak dua atau lebih (Bucciarelli, 2012). Fenomena kelahiran kembar yang paling umum terjadi adalah kembar dua, sedangkan kembar tiga, empat, lima dan seterusnya, yang disebut dengan higher order pregnancies lebih jarang terjadi (Bucciarelli, 2012). Sedangkan, singleton difinisikan oleh United States National Library of Medicine oleh National Institutes of Health (2012) sebagai keturunan yang lahir secara tunggal.

Ibu dari Toddler

Toddlerhood merupakan tahapan perkembangan saat anak memasuki usia 12 sampai 36 bulan (Edwards & Liu, 2002). Pada setiap tahapan perkembangan anak, terdapat parenting task yang spesifik bagi orang tua dan sangat terkait dengan karakteristik usia dan kebutuhan anak pada fase tersebut.Parenting task didefinisikan sebagai ekspektasi yang dimiliki dan idealnya dilaksanakan oleh orang tua, khususnya dalam merawat anak. Pada usia di bawah 3 tahun, Barnard dan Solchany (2002) mengemukakan adanya beberapa kebutuhan yang perlu diperhatikan, antara lain makanan, tempat tinggal, stimulasi, interaksi, pola makan dan tidur yang rutin. Sebagai orang tua dari toddler, tanggung jawab berupa parenting task yang idealnya dilakukan adalah menyediakan makanan, keamanan dan stimulasi, menampilkan perilaku yang konsisten dan dapat ditebak, berusaha untuk selalu ada secara emosional ketika dibutuhkan, menampilkan respon yang tepat saat anak nampak dalam tekanan, memperkenalkan konsep rutinitas, serta berempati dan memberikan respon yang sensitif (Barnard & Solchany, 2002). Seluruh parenting task tersebut lebih banyak dilakukan oleh ibu dibandingkan ayah atau anggota keluarga lain, karena menurut Weisner dan Gallimore (1977 dalam Rogoff, Mistry, Göncü, Mosier, Chavajay & Heath, 1993) ibu merupakan caregiver utama pada masa toddlerhood, yaitu sampai anak menginjak usia 3 tahun. Ibu memegang peranan penting dalam menjalankan parenting task pada toddler misalnya dalam mempersiapkan kemampuan sosialnya seperti berteman, berbagi dengan orang lain serta menyelesaikan perselisihan (Parke, Cassidy, Burks, Carson, & Boyum, 1992 dalam Edwards & Liu, 2002). Kemampuan tersebut terkait dengan beberapa tugas perkembangan yang khas pada masa toddlerhood seperti empati dan keterikatan dengan anggota sosial lain (Edwards & Liu, 2002).

(8)

Metode Penelitian

Variabel Penelitian, Partisipan Penelitian, dan Prosedur

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah parenting self-efficacy pada toddler (terdiri dari tujuh domain yaitu emotional availability, nurturance, protection, discipline, play, teaching dan instrumental care). Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 86 ibu dari toddler, yaitu 35 ibu dari toddler yang kembar pada kelahiran pertama, dan 51 ibu dari toddler yang tidak kembar pada kelahiran pertama. Penelitian ini menggunakan tipe accidental sampling, Tipe sampling ini merupakan tipe pengambilan sampel dengan cara memilih individu yang tersedia pada populasi (Kumar, 2005). Namun tetap perlu diperhatikan karakteristik sampel agar sesuai dengan tujuan dari penelitian. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, baik melalui media hardcopy maupun melalui media softcopy dengan menggunakan fitur google spreadsheet.

Pengukuran

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Self-Efficacy for Parenting Tasks Index – Toddler Scale (SEPTI - TS) oleh Coleman dan Karraker (1998) untuk mengukur parenting self-efficacy. Alat ukur ini dipilih karena sesuai dengan karakteristik subjek yang ingin disasar, yaitu ibu dari toddler. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pada penelitian ini, batasan usia toddler yang digunakan adalah 12 sampai 36 bulan (Edwards & Liu, 2002). Pada penelitian ini, alat ukur SEPTI –TS telah diadaptasi oleh Dra. Erniza Miranda Madjid, M.Si., Efriyani Djuwita, S.Psi., M.Si., Denia Putri Prameswari dan Farraas Afiefah Muhdiar. SEPTI – TS terdiri dari tujuh domain yaitu emotional availability, nurturance, protection, discipline, play, teaching dan instrumental care yang masing-masing terdiri dari 7 sampai 9 item. Setiap item dalam kuesioner dikur melalui enam pilihan jawaban yaitu “sangat tidak sesuai” yang memiliki nilai 1, “tidak sesuai” yang memiliki skor 2, “agak tidak sesuai” yang memiliki skor 3, “agak sesuai” yang memiliki skor 4, “sesuai” yang memiliki skor 5, dan “sangat sesuai yang memiliki skor 6. Pada beberapa item yang merupakan item unfavorable, pemberian skor dilakukan secara sebaliknya

Metode Analisis Data

Data-data dari kuesioner yang kembali kemudian diskor sesuai dengan teknik skoring yang sudah ditentukan. Setelah itu, data diolah dengan menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science) dengan teknik-teknik: 1) statistika deskriptif, untuk melihat gambaran umum

(9)

karakteristik partisipan melalui central tendency, 2) Independent sample t-test, digunakan untuk menguji signifikansi perbedaan nilai rata-rata (mean) parenting self-efficacy ibu dari toddler yang kembar dan tidak kembar secara keseluruhan serta pada setiap domainnya.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang akan dijabarkan adalah parenting self-efficacy, perbedaan masing-masing domainnya, serta beberapa hasil pengolahan data yang lebih spesifik.

Tabel 1. Perbedaan Parenting Self Efficacy Ibu dari Toddler yang Kembar dan Tidak Kembar

Kelompok N Mean Signifikansi

Kembar 35 4.3394 p = 0.023**

t = 2.315

Tidak Kembar 51 4.5867

** p < .05 level

Berdasarkan tabel 1 diperoleh nilai signifikansi sebesar .023. Hal ini berarti nilai nilai tersebut signifikan pada LOS .05 two-tailed. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini hipotesis null (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (HA) diterima sehingga dapat diinterpretasikan

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy ibu dari toddler yang kembar dan tidak kembar. Parenting self-efficacy pada ibu dari toddler yang kembar cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pada ibu dari toddler yang tidak kembar.

Tabel 2. Perbedaan Domain Parenting Self Efficacy Ibu dari Toddler yang Kembar dan Tidak Kembar T p Domain Emotional availability 3.098 .003** Nurturance 2.881 .005** Protection 0.746 .458 Discipline 2.773 .007** Play 1.755 .083 Teaching 2.240 .028** Instrumental care -0.304 .762 ** p < .05 level

(10)

Hasil lain yang diperoleh dalam penelitian ini adalah gambaran parenting self-efficacy yang dimiliki ibu dari toddler yang kembar dan tidak kembar. Dalam tabel 3 digambarkan bahwa parenting self-efficacy ibu dari toddler yang kembar cenderung lebih rendah dibandingkan ibu dari toddler yang tidak kembar.

Tabel 3. Gambaran Parenting Self-Efficacy Ibu dari Toddler yang Kembar dan Tidak Kembar

N Mean

Parenting Self-Efficacy (mean = 4.49)

Skor ibu dari toddler yang kembar

35 4.3394

Skor ibu dari toddler yang tidak kembar

51 4.5867

Jika dilihat berdasarkan domain, penelitian ini menemukan domain parenting self-efficacy tertinggi yang dimiliki partisipan adalah domain teaching sedangkan domain terendahnya adalah domain discipline seperti dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Gambaran Domain Parenting Self-Efficacy

Domain Mean SD Range

Min Max Emotional availability 4.73 0.67 2.00 5.86 Nurturance 4.67 0.60 2.38 5.75 Protection 4.43 0.52 2.71 5.29 Discipline 3.48 0.66 1.71 4.71 Play 4.65 0.61 3.29 5.86 Teaching 4.74 0.60 3.22 6.00 Instrumental care 4.50 0.70 2.13 5.88 Diskusi

Dari hasil dan analisis penelitian, diketahui bahwa parenting self-efficacy pada ibu dari toddler yang tidak kembar secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada ibu dari toddler yang kembar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Lytton dan Gallagher

(11)

(2002) yang menyebutkan bahwa perbedaan parenting self-efficacy kedua kelompok tersebut terlihat jelas dikarenakan proses parenting pada dua atau lebih anak sekaligus dengan tingkatan perkembangan yang sama memiliki derajat kesulitan yang lebih tinggi, misalnya dalam membangun interaksi dengan masing-masing anak yang merupakan hal esensial dalam pengasuhan. Pernyataan tersebut diperkuat pula oleh hasil penelitian Damato (2005) yang menyatakan bahwa, secara umum tuntutan pada keluarga dengan anak kembar lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga dengan anak tidak kembar, terutama terkait dengan kebutuhan untuk membagi sumber daya untuk dua anak atau lebih secara bersamaan. Hal tersebut dapat memengaruhi estimasi dan persepsi terhadap kompetensi diri seseorang untuk menjalankan peran sebagai orang tua serta memberikan pengaruh positif pada perkembangan anak. Dengan kata lain, tuntutan yang lebih besar tersebut dapat berpengaruh terhadap parenting self-efficacy yang rendah. Orang tua dengan parenting self efficacy yang rendah merasa kurang yakin terhadap kompetensi dirinya sendiri sehingga pada akhirnya dapat memengaruhi kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan anak. Tidak hanya kompetensi tambahan tersebut, pengalaman dalam menjalankan peran sebagai orang tua juga ikut berpengaruh terhdap parenting self-efficacy khususnya pada ibu dari anak kembar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Colpin, DeMunter, Nys dan Vandemeulebroecke (1999) menemukan bahwa ibu dengan anak kembar yang merupakan kelahiran pertama, secara signifikan memiliki parenting self-efficacy lebih rendah dalam hal menjalankan peran sebagai orang tua dibandingkan ibu dengan anak kembar yang telah mempunyai pengalaman memiliki anak sebelumnya. Hal ini sesuai dengan konsep dasar self-efficacy yang dinyatakan oleh Bandura (1989) dimana pengalaman langsung seseorang dengan perilaku tertentu merupakan salah satu faktor yang menjadi sumber informasi utama dalam membentuk estimasi akan formasi efficacy itu sendiri. Hal ini menyebabkan self-efficacy dalam ranah parenting dapat meningkat apabila orang tua telah memiliki pengalaman dalam mengurus anak sebelumnya.

Rendahnya parenting self-efficacy pada ibu dari toddler yang kembar kemungkinan dapat disebabkan oleh faktor lain, salah satunya hubungan dengan pasangan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Colpin, DeMunter, Nys dan Vandemeulebroecke (1999) ditemukan bahwa parenting self-efficacy pada ibu dengan anak kembar secara signifikan berkorelasi dengan dukungan dari pasangan. Glazebrook (2004 dalam Jackson, Ternestedt, Magnuson & Schollin, 2007) menyebutkan bahwa hubungan orang tua dari anak kembar seringkali memiliki lebih banyak masalah akibat sedikitnya waktu yang dapat dihabiskan bersama karena tersita untuk mengurus lebih dari satu anak. Hal ini terutama berlaku pada ibu dengan kelahiran pertama / first-time mother yang pada

(12)

akhirnya berimbas pada lebih tingginya tingkat stres dalam berkegiatan sehari-hari. Penemuan tersebut didukung pula oleh hasil penelitian Coleman dan Karakker (2005) mengenai faktor yang memengaruhi parenting self-efficacy seseorang, salah satunya adalah dukungan sociomarital dimana hal tersebut dianggap penting karena mampu memberikan persuasi sosial atau feedback bagi individu yang bersangkutan. Ditambahkan pula oleh Baor dan Soskolne (2010) bahwa kualitas pernikahan dan dukungan dari pasangan merupakan faktor yang dapat memengaruhi tingkat stres pada ibu, dimana tingkat stres itu sendiri terkait dengan self-efficacy dalam menjalankan peran sebagai orang tua

Menurut Leen dan Karraker (2002 dalam Coleman & Karraker, 2005), parenting self-efficacy dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya taraf kesiapan kognitif individu dalam menjalankan perannya sebagai orang tua, dimana salah satu bentuk kesiapan kognitif tersebut diwujudkan dalam keterpusatan diri dan pikiran terhadap anak / child-centeredness yang kuat. Namun dalam praktiknya, keterpusatan diri dan pikiran secara utuh terhadap anak sulit untuk dicapai, terlebih lagi pada ibu dengan anak kembar yang memiliki keterbatasan kapasitas dalam memberikan atensi, sehingga masing-masing anak mendapatkan proporsi yang lebih sedikit dibandingkan dengan anak yang tidak kembar (Beck, 2002; Bolvin, 2005; Holditch-Davi, Robert, & Sandelowski, 1999 dalam Damato, 2005). Ditambahkan pula oleh Damato (2005), bahwa sumber daya yang terbatas dengan tuntutan untuk membaginya kepada dua anak atau lebih dalam waktu yang bersamaan dapat memberikan tekanan terhadap ibu dengan anak kembar. Sejalan dengan hal tersebut, Colpin, DeMunter, Nys dan Vandemeulebroecke, (1999) juga mengemukakan bahwa perasaan tidak kompeten pada ibu dengan anak kembar pada akhirnya mampu memicu tingginya tingkat stres.

Domain teaching merupakan domain yang memiliki nilai parenting self-efficacy paling tinggi dibandingkan dengan domain yang lain, baik pada responden secara keseluruhan, maupun pada masing-masing kelompok, yaitu kelompok ibu dari toddler yang kembar dan kelompok ibu dari toddler yang tidak kembar. Pada toddlerhood, orang tua diharapkan mampu memfasilitasi dan mendukung perkembangan anaknya dengan cara memberikan pengajaran dalam kompetensi berbahasa dan representasi simbolik (Edwards & Liu, 2002), yaitu dengan menciptakan lingkungan yang kaya akan stimulasi kognitif (Duckworth, 1972 dalam Edwards & Liu, 2002). Dari hasil penelitian Reese, Cox, Harte dan McAnally (2003 dalam Aram, 2007), diketahui bahwa pola pengajaran yang sangat efektif dalam interaksi antara orang tua dan anak sehari-hari adalah dengan membacakan anak buku cerita secara rutin. Hal ini memberikan dampak positif bagi perkembangan

(13)

bahasa anak semenjak usia dini, terutama pada masa toddler. Kebanyakan ibu merasa yakin akan kompetensinya menjalankan tugas tersebut karena cenderung dapat diikutsertakan dalam interaksi sehari-hari. Selain itu, kesadaran mengenai pentingnya stimulasi kognitif pada anak semenjak usia dini juga semakin berkembang di masyarakat. Hal ini juga didukung dengan banyaknya informasi mengenai cara pemberian stimulasi terhadap anak serta manfaat yang bisa didapatkan dari aktivitas tersebut.

Meskipun sama-sama merupakan domain dengan nilai tertinggi, teaching pada anak usia toddler yang kembar dan tidak kembar juga memiliki perbedaan yang signifikan. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa ibu dari toddler yang tidak kembar cenderung memiliki keyakinan yang lebih tinggi dalam mengajarkan anaknya, misalnya dalam mengenalkan konsep bahasa, warna, bentuk dan nama benda yang biasa ditemui sehari-hari. Menurut Lytton dan Conway (1977 dalam Stromswold, 2006) perbedaan antara ibu dari toddler yang kembar dan tidak kembar dalam hal pengajaran tersebut lebih disebabkan oleh tuntutan akan usaha yang besar dibandingkan faktor komunikasi yang dikhawatirkan berbeda pada masing-masing anak karena pada kenyataanya proses tersebut dilakukan secara simultan atau bersamaan. Dalam menjalankan tugas yang terwujud dengan aktivitas tersebut, ibu dengan anak kembar memiliki tantangan yang lebih dibandingkan ibu dengan anak tidak kembar. Menurut Lytton dan Conway (1977 dalam Stromswold, 2006) pengajaran bahasa yang dilakukan ibu dengan anak kembar lebih sedikit melibatkan unsur afeksi dibandingkan dengan ibu dengan anak tidak kembar. Kekurangmampuan dalam memberikan aspek afeksi pada pengajaran terhadap anak usia toddler tersebut membuat ibu dari anak kembar cenderung memiliki keyakinan yang rendah terhadap dirinya sendiri dalam menjalankan perannya sebagai primary caregiver.

Sementara itu, domain discipline merupakan domain yang memiliki nilai parenting self-efficacy paling rendah dibandingkan dengan domain yang lain. Hal tersebut berlaku, baik pada responden secara keseluruhan, maupun pada masing-masing kelompok, yaitu kelompok ibu dari toddler yang kembar dan kelompok ibu dari toddler yang tidak kembar. Interpretasi dari hasil yang didapatkan pada penelitian ini adalah bahwa kebanyakan ibu merasa kurang yakin dalam hal menentukan batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak terkait dengan norma kepantasan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan karakteristik spesifik yang khas pada anak usia toddler. Pada masa toddlerhood, anak cenderung menampilkan perilaku yang merupakan puncak dari sikap negativistiknya, seperti misalnya menampilkan perilaku tantrum atau mengunakan intonasi bicara yang emosional dengan pola yang meningkat tajam setelah melewati usia 12 bulan

(14)

dan baru akan berkurang pada usia 36 bulan (Kopp, 1992 dalam Edwards & Liu, 2002). Istilah terrible twos dipakai untuk menjelaskan masa toddlerhood dimana anak seringkali menampilkan tingkah laku yang mencerminkan permusuhan dengan orang tua, temper tantrum dan perilaku agresif sehingga cenderung menimbulkan bentuk pendisiplinan yang lebih rendah, seperti pemberian reaksi berlebihan atau justru mengabaikan perilaku anaknya (Dowling, Slep & O’Leary, 2009). Dowling, Slep dan O’Leary (2009) juga menambahkan bahwa pemberian disiplin yang longgar terlihat dari cara menanggapi kenakalan anaknya dengan cara permisif, misalnya menyerah pada tuntutan anak sekedar untuk membuatnya berhenti merengek. Hal tersebut muncul ketika ibu merasa tidak tega untuk melarang atau menetapkan aturan terhadap anak yang usianya masih dianggap kecil, sehingga cenderung menerapkan pola disiplin yang longgar.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa domain emotional availability memiliki perbedaan yang paling signifikan diantara domain-domain yang lain dimana ibu dari toddler yang kembar secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan ibu dari toddler yang tidak kembar. Kebanyakan ibu dari toddler yang kembar cenderung memiliki keyakinan yang rendah untuk selalu mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan emosional anak-anaknya. Pada dasarnya, kehadiran anak kembar mampu memberikan perubahan gaya hidup pada seluruh anggota keluarga, terutama pada ibu (Langkamp & Girardet, 2006). Perubahan yang signifikan tersebut pun seringkali dapat menimbulkan tekanan pada ibu yang kemudian berimbas pula pada rendahnya kualitas afeksi yang ia berikan kepada anak-anaknya. Imbas dari minimnya kualitas afeksi, ditambah dengan pola interaksi ganda yang dilakukan oleh ibu terhadap anak kembar akan menimbulkan kompetisi diantara masing-masing anak (Casati, 1994 dalam Moilanen, Linna, Ebeling, Kumpulainen, Tamminen, Piha & Almqvist, 1999). Hal ini menjadi penting karena kemampuan untuk selalu ada dan memenuhi kebutuhan anak merupakan salah satu tugas parenting yang idealnya dipenuhi oleh orang tua, tidak hanya bagi yang memiliki anak kembar saja, melainkan orang tua secara umum (Barnard & Solchany, 2002).

Domain lain yang memiliki perbedaan signifikan antara ibu dari toddler yang kembar dan tidak kembar adalah domain nurturance, discipline dan teaching. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan beberapa penelitian yang menekankan mengenai tuntutan tambahan dalam pengasuhan anak kembar khususnya pada masa toddler. Domain nurturance didefinisikan sebagai kompetensi yang dimiliki orang tua untuk mengasuh anak dalam menampilkan perilaku yang peka terhadap kebutuhan, minat serta perasaan anak (Coleman & Karraker, 1997). Hal tersebut dapat terwujud melalui kemampuan mendengar aktif serta pemberian dukungan yang sesuai terhadap anak. Pada

(15)

keluarga dengan anak kembar, pemenuhan kompetensi tersebut seringkali terhalangi oleh terbatasnya waktu dan sumber daya yang dimiliki oleh orang tua karena terbagi untuk dua anak atau lebih di saat yang bersamaan, sehingga proporsi keterpusatannya pun cenderung lebih sedikit dibandingkan pada keluarga dengan anak tidak kembar (Lytton & Gallagher, 2002).

Dalam mengasuh anak kembar, ibu idealnya mampu memperlakukan anak sebagai individu yang unik, salah satunya dengan tidak membandingkan antara anak satu dengan anak yang lainnya. (Friedman, 2008). Penerapan konsep tersebut menjadi lebih sulit saat diaplikasikan dalam pola pendisiplinan anak karena setiap anak memiliki kepribadian yang unik dan berbeda sehingga diperlukan cara yang berbeda pula dalam penanganannya. Hal ini tidak berlaku pada ibu dari toddler yang tidak kembar karena hanya dihadapkan pada satu anak dalam waktu yang bersamaan. Akan lebih mudah bagi orang tua untuk memberikan reward atau punishment secara bersamaan saat anak kembar mereka mematuhi atau melanggar batasan yang telah ditetapkan. Namun apabila hal tersebut hanya dilakukan oleh salah satu dari anak kembar, maka orang tua dituntut untuk adil dalam memperlakukan anak kembarnya sesuai tingkah laku yang ditunjukan. Pada kenyataannya, hal tersebut sulit dilakukan sehingga seringkali dapat menimbulkan perasaan bersalah dan tidak kompeten pada orang tua dari anak kembar (Akerman, 1999; Garel & Blondel, 1992, 1995; Leonard, 1998 dalam Feldman, Eidelman & Rotenberg, 2004).

Enam dari tujuh domain parenting self-efficacy pada penelitian ini cenderung lebih tinggi pada kelompok ibu dari toddler yang tidak kembar dibandingan dengan ibu dari todler yang kembar. Satu-satunya domain yang menunjukan hasil sebaliknya adalah instrumental care dimana ibu dari toddler yang kembar cenderung memiliki keyakinan yang lebih tinggi dalam menjalankan kompetensi tersebut dibandingkan dengan ibu dari toddler yang tidak kembar, meskipun tidak signifikan. Domain instrumental care terkait dengan penetapan kegiatan-kegiatan yang sifatnya rutin terkait dengan kebutuhan utama, seperti makan dan tidur dalam intensitas serta pada jadwal yang sesuai (Coleman, 1998). Pengaturan jadwal rutin sehari-hari khususnya jadwal tidur yang sesuai merupakan komponen penting dalam tugas parenting (Leonard & Denton, 2006). Pada penelitian ini, domain instrumental care merupakan satu-satunya domain dimana ibu dari toddler yang kembar memiliki parenting self-efficacy lebih tinggi dibandingkan dengan ibu dari toddler yang tidak kembar, meskipun tidak signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Van den Oord, Koot, Boos,a, Verhulst dan Orlebeke (1995 dalam Moilanen, Linna, Ebeling, Kumpulainen, Tamminen, Piha & Almqvist, 1999) yang menggunakan alat ukur Child Behaviour Checklist (CBCL) didapatkah hasil bahwa anak kembar cenderung memiliki masalah tidur yang

(16)

lebih sedikit dibandingkan dengan anak yang tidak kembar. Dibandingkan dengan anak tidak kembar, kondisi ini menyebabkan pengaturan intensitas dan jadwal tidur anak kembar menjadi lebih mudah. Hal lain yang ikut berpengaruh pada hasil tersebut adalah kemungkinan ibu dengan anak kembar dituntut untuk lebih mampu menetapkan jadwal rutin yang sesuai terhadap dua anak atau lebih, agar dapat dijalankan secara simultan atau bersamaan karena terkait dengan keterbatasan waktu dan energi yang dimiliki oleh ibu.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil analisis data dan interpretasi yang telah dilakukan dalam penelitian ini, didapatkan kesimpulan bahwa Hipotesis Null (H0) ditolak dan Hipotesis Alternatif (HA) diterima.

Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy ibu dari toddler yang kembar dan tidak kembar. Dalam hal ini, parenting self-efficacy ibu dari toddler yang kembar cenderung lebih rendah dibandingkan dengan ibu dari toddler yang tidak kembar.

Dilihat dari mean pada masing-masing domain dari parenting self-efficacy, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa mean tertinggi berada pada domain teaching, sedangkan mean terendah berada pada domain discipline. Hal ini berlaku pada kedua kelompok, baik pada kelompok ibu dari toddler yang kembar maupun tidak kembar. Hasil tersebut menunjukan bahwa secara keseluruhan, ibu yang berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki keyakinan yang tinggi dalam menjalankan perannya sebagai orang tua dalam pembentukan konsep dasar yang diperlukan anak usia toddler, seperti mengenal warna, benda dan kemampuan berbahasa, namun memiliki keyakinan yang rendah dalam menjalankan perannya sebagai orang tua dalam memberikan batasan-batasan terhadap apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak.

Saran untuk penelitian berikutnya antara lain adalah memperbesar jumlah sampel serta meningkatkan heterogenitas karakteristik sampel agar varians skor yang dihasilkan dapat lebih luas, melakukan wawancara pada responden penelitian dengan tujuan agar mendapatkan informasi tambahan mengenai proses parenting yang dilakukan, menambahkan variabel jumlah anak kembar sebagai ide penelitian, menambah variabel dukungan sociomarital dalam melakukan tugas parenting pada ibu dengan anak kembar dan tidak kembar serta menambah variabel urutan kelahiran anak kembar dalam keluarga. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para konselor atau psikolog untuk mengadakan penyuluhan, baik yang

(17)

sifatnya prenatal maupun postnatal mengenai persiapan dan tugas bagi para ibu dalam mengasuh anak kembarnya terutama saat memasuki masa toddler, strategi dalam menerapkan disiplin pada toddler, serta dukungan keluarga terutama pada keluarga dengan anak kembar dalam hal pemenuhan kebutuhan emosional anak dengan ibu.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Aram, D. (2007). Sensitivity and Consistency of Maternal Writing Mediation to Twin Kindergartners. Early Education And Development, 18 (1), 71-92. doi: 10.1080/10409280701274733

Bandura, A. (1994). Self efficacy. Retrieved from http://www.des.emory.edu/mfp/BanEncy.html. Baor, L. & Soskolne, V. (2010). Mothers of IVF and Spontaneously Conceived Twins: A

Comparison of Prenatal Maternal Expectations, Coping Resources and Maternal Stress. Human Reproduction, 25 (6), 1490–1496. doi:10.1093/humrep/deq045

Barnard, K. E., & Solchany, J. E. (2002). Mothering (M. H. Bornstein, Penyunt.). Handbook of Parenting Volume 3 Being and Becoming a Parent (2nd ed., hal. 3-26). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum

Beer, E. C. (2008). Impact of a multiple birth on maternal mental health and early mother-infant interactions : implications for information provision in IVF treatment. Thesis (Ph.D.) University of Nottingham.

Brooks, J. (2008). The Process of Parenting (7th ed.). CA: Mayfield Publishing Company.

Bucciarelli, A. (2010). Multiple Pregnancies. Retrieved from http://www.med.nyu.edu/content?ChunkIID=101288.

Coleman, P. K., & Karraker, K. H. (1997). Self-efficacy and parenting quality: findings and future applications. Developmental Review , 18, 47-85. doi: 10.1006/drev.1997.0448.

Coleman, P. K., & Karraker, K. H. (2000). Parenting Self Efficacy among Mothers of School Age Children: Conceptualization, Measurement, and Correlates. FamilyRelations, 49 (01), 13-24. doi: 10.1111/j.1741-3729.2000.00013.x.

Coleman, P.K & Karraker, H.K. (2005). Parenting self efficacy, competence in parenting, and possible links to young children‟s social and academic outcomes. In O.N. Saracho & Spodek, B. (Eds.). Contemporary perspectives on families, communities, and schools for young

children. Retrieved from

http://books.google.co.id/books?id=lkv5J3BpbrMC&pg=PA88&dq=parenting+self+efficacy& hl=id&sa=X&ei=kOLOT72cIoHQrQfl24SVDA&ved=0CC8Q6AEwAA#v=onepage&q=paren ting%20self%20efficacy&f=false

(19)

Coleman, P. K.. (1998). Maternal self-efficacy beliefs as predictors of parenting competence and toddlers' emotional, social, and cognitive development. ProQuest Dissertations and Theses, 103 p.

Colpin H., DeMunter A., Nys K., & Vandemeulebroecke, L. (1999). Parenting stress and psychosocial well-being among parents with twins conceived naturally or by reproductive technology. Human Reproduction, 14 (12), 3133–3137. doi: 10.1093/humrep/14.12.3133. Damato, E. G. (2005). Parenting Multiple Infants. Newborn and Infant Nursing Reviews, 5 (4), 208–

214. doi: 10.1053/j.nainr.2005.08.003.

Damato, E. G., Anthony, M. K., & Maloni, J. A. (2009). Correlates of negative and positive mood State in mothers of twins. Journal of Pediatric Nursing, 24 (5), 396-377. doi: 10.1016/j.pedn.2008.05.003.

Davies, D. (1999). Child Development: A Practioner’s Guide. New York: The Guilford Press.

Edwards, C. P., & Liu, W. (2002). Parenting Toddlers. (M. H. Bornstein, Penyunt.). Handbook of Parenting Volume 1 Children and Parenting (2nd ed., hal. 45-72). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.

Feldman, R., Eidelman, A. I., & Rotenberg, N. (2004). Parenting Stress, Infant Emotion Regulation, Maternal Sensitivity, and the Cognitive Development of Triplets: A Model for Parent and Child Influences in a Unique Ecology. Child Development, 75 (6), 1774-1791.

doi: 10.1111/j.1467-8624.2004.00816.x.

Friedman, J. A. (2008). Emotionally Healthy Twins: A New Philosophy for Parenting Two Unique Individuals. Massachusetts: Da Capo Press

Gilmore, L. A., & Cuskelly, M. (2008). Factor structure of the parenting sense of competence scale using a normative sample. Child care, health, & development , 38 (1), 48-55. doi: 10.1111/j.1365-2214.2008.00867.x.

Hastings, R. & Brown, T. (2002) Behaviour Problems of Children with Autism, Parental Self Efficacy and Mental Health. American journal of Mental Retardation, 107 (3), 222-232. doi: 10.1352/0895-8017(2002)107<0222:BPOCWA>2.0.CO;2

Jackson, K., Ternestedt, B. M., Magnuson, A. & Schollin, J. (2007). Parental Stress and Toddler Behaviour at Age 18 Months after Pre-Term Birth. Acta Paediatr, 96 (2), 227-232. doi:10.1111/j.1651-2227.2007.00015.x

(20)

Langkamp, D. L. & Girardet, R. G. (2006). Primary Care for Twins and Higher Order Multiples. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care, 36, 47-67. doi: 10.1016/j.cppeds.2005.10.005

Leonard, L. G., & Denton, J. (2006). Preparation for parenting multiple birth children. Early Human Development, 82, 371-378. doi: 10.1016/j.earlhumdev.2006.03.009.

Lytton, H. & Gallagher, L. (2002). Parenting Twins and the Genetics of Parenting. (M. H. Bornstein, Penyunt.). Handbook of Parenting Volume 1 Children and Parenting (2nd ed., hal. 227-253). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.

Moilanen, I., Linna, S. L., Ebeling, H., Kumpulainen , K., Tamminen, T., Piha, J. & Almqvist, F. (1999). Are Twins’ Behavioural/Emotional Problems Different from Singletons’?. European Child & Adolescent Psychiatry, 8 (4), 62–67. doi: 10.1007/PL00010702

Papalia, D.E, Olds, S.W, & Feldman, R.D. (2009). Human Development (11th ed.). New York: McGraw-Hill

Robbers, S. (2012). The Development of Children’s Problem Behaviors a Twin-Singleton Comparison and the Influence of Parental Divorce. Department of Child and Adolescent Psychiatry, 47(10):1539-1548. doi: 10.1007/s00127-011-0470-9

Stromswold, K. (2006). Biological and Psychosocial Factors Affect Linguistic and Cognitive Development Differently: A Twin Study. ProQuest Dissertations and Theses.

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Parenting Self Efficacy Ibu dari Toddler yang Kembar dan Tidak Kembar
Tabel 3. Gambaran Parenting Self-Efficacy Ibu dari Toddler yang Kembar dan Tidak  Kembar

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dilakukan analisis kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui komposisi litologi, fluida, dan hubungan antara flow unit dengan litologi, serta

Gedung Perkantoran direncanakan di bangun di daerah Yoyakarta yang dimana daerah tersebut merupakan daerah dengan tingkat gempa yang tinggi, dan daerah Yogyakarta

Kerugian ini masih lebih kecil dibandingkan jika investor tidak menjual opsi call, karena dia akan mengalami kerugian sebesar 5.Jika harga saham pada waktu jatuh tempo S T   = 55,

Bahan-bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif, khususnya dalam hasil analisis dari pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan

Sehingga penulis menggunakan aplikasi yang sudah ada yaitu Prestashop suatu sistem aplikasi yang berguna untuk dapat menangani masalah yang timbul atau paling tidak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan multimedia berbantuan aplikasi articulate dalam meningkatkan kemampuan analisis dan sintesis siswa

Kinerja dimaksud disini adalah kinerja pada pejabat eselon III dan IV Pemerintah Kabupaten Batang Hari karena pejabat eselon III dan IV tersebut yang terlibat

Produk pengembangan media pembelajaran multimedia interaktif pada mata kuliah bahasa Inggris merupakan materi pembelajaran bahasa yang telah dikembangkan