• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMALISASI PENGENDALIAN HAMA PENGISAP POLONG KEDELAI (Riptortus linearis) DENGAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Verticillium lecanii

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPTIMALISASI PENGENDALIAN HAMA PENGISAP POLONG KEDELAI (Riptortus linearis) DENGAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Verticillium lecanii"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

D

i Indonesia terdapat tiga jenis hama pengisap polong kedelai, yaitu Nezara viridula, Piezodorus hybneri, dan Riptortus linearis (Tengkano et al. 1991). Kehilangan hasil akibat serangan hama pengisap polong mencapai 79% (Teng-kano 1985; Teng(Teng-kano et al. 1992). Hasil survei di Jawa Timur (Prayogo dan Tengkano 2003, tidak diterbitkan) dan Lampung (Tengkano et al. 2003, tidak diterbitkan) menunjukkan bahwa R.

linearis mempunyai daerah penyebaran dan serangan yang paling luas dibanding-kan dengan hama lainnya.

Berbagai upaya pengendalian hama pengisap polong kedelai terus dikem-bangkan, antara lain dengan: 1) bercocok tanam yang baik dan benar seperti sani-tasi, tanam serempak, pergiliran tanaman, dan penanaman tanaman perangkap, 2) menanam varietas tahan, dan 3) cara mekanis (Tengkano et al. 1992). Namun,

kenyataan di lapang menunjukkan bahwa lebih dari 90% petani masih mengandalkan insektisida kimia untuk pengendalian R. linearis karena praktis dan hasilnya cepat diketahui (Marwoto 1992; Marwoto dan Neering 1992). Namun, penggunaan insektisida kimia relatif mahal dan dapat menyebabkan timbulnya berbagai masa-lah seperti resistensi dan resurjensi hama, terbunuhnya serangga bukan sasaran, dan pencemaran lingkungan khususnya

OPTIMALISASI PENGENDALIAN HAMA PENGISAP

POLONG KEDELAI (

Riptortus linearis

)

DENGAN

CENDAWAN ENTOMOPATOGEN

Verticillium lecanii

Yusmani Prayogo dan Suharsono

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Kotak Pos 66, Malang 65101

ABSTRAK

Riptortus linearis merupakan salah satu hama pengisap polong kedelai yang dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 79%. Berbagai cara pengendalian hama tersebut terus dilakukan untuk menekan kerugian hasil, antara lain dengan pengendalian biologis. Salah satu cara pengendalian biologis yang mudah, murah, dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan adalah dengan memanfaatkan cendawan entomopatogen Verticillium lecanii.

Pengendalian R. linearis dengan menggunakan cendawan V. lecanii akan optimal bila dilakukan tepat waktu dan sasaran, karena cendawan tersebut mampu menginfeksi berbagai stadia R. linearis, yaitu efektif terhadap imago, nimfa instar I dan II, dan mampu mengkolonisasi telur. Populasi R. linearis di lapangan beragam bergantung pada stadia pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, aplikasi dianjurkan berulang kali. Cendawan V. lecanii juga kompatibel dengan cara pengendalian lainnya, yaitu dengan predator Oxyopes javanus dan beberapa jenis fungisida antara lain mankozeb, iprodion, dan kaptan. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang optimal, agen hayati tersebut disarankan dipadukan dengan komponen pengendalian hama yang lain melalui pengelolaan hama terpadu (PHT).

Kata kunci:Riptortus linearis, pengendalian hama, Verticillium lecanii,cendawan entomopatogen

ABSTRACT

The optimum control of soybean pod sucking bug Riptortus linearis by entomopathogenic fungus

Verticillium lecanii

Riptortus linearis is the most destructive pod sucking bugs on soybean. In severe damage the insect causes 79% yield loss. A biological control using an entomopathogenic Verticillium lecanii is the most promising biological agent due to environmental safety. The success of pod sucking bug R. linearis control is achieved if it is applied in proper way. The fungus infects various insect developmental stages, from egg to adult. Repeated applications of the fungus is recommended. The entomopathogenic fungus is also compatible with other biological control agents such as the predator Oxyopes javanus and several fungicides such as mancozeb, iprodion, and lime. The use of V. lecanii as one of the biological control agents can be integrated into the integrated pest management program of pod sucking bug R. linearis on soybean.

(2)

terhadap kesehatan manusia (Palm et al. 1970; Sosromarsono et al. 1988).

Pada era globalisasi, kesadaran masyarakat akan kesehatan makin mening-kat, yang ditandai dengan makin tinggi-nya tuntutan akan kualitas komoditas pertanian antara lain bebas dari pestisida (Junianto 2000). Berkaitan dengan itu maka pengendalian hama perlu dilakukan dengan cara yang aman, antara lain dengan cendawan entomopatogen.

Di Indonesia, pemanfaatan cen-dawan entomopatogen untuk mengen-dalikan hama khususnya pada tanaman pangan lebih rendah dibandingkan pada tanaman perkebunan dan sayuran (Har-daningsih dan Prayogo 2001). Kondisi ini disebabkan oleh: 1) tanaman pangan bersifat semusim sehingga agen hayati sulit berkembang karena iklim mikro yang dibutuhkan agen hayati kurang stabil, 2) nilai ekonomi tanaman pangan kurang komersial dibanding tanaman perkebunan dan sayuran, 3) pengetahuan tentang identifikasi serangga hama sasaran serta bioekologinya relatif kurang sehingga sulit menentukan stadia hama yang paling rentan terhadap cendawan entomo-patogen, 4) kurangnya informasi tentang peran agen hayati dalam pengendalian biologis, seperti cara perbanyakan, apli-kasi, mekanisme kinerja, dan potensinya.

BIOEKOLOGI

Riptortus

linearis

Siklus hidup R. linearis meliputi stadium telur, nimfa yang terdiri atas lima instar, dan stadium imago. Imago (Gambar 1a) berbadan panjang dan berwarna kuning kecokelatan dengan garis putih kekuning-an di sepkekuning-anjkekuning-ang sisi badkekuning-annya (Tengkkekuning-ano dan Dunuyaali 1976). Imago datang pertama kali di pertanaman kedelai saat tanaman mulai berbunga dengan meletak-kan telur satu per satu pada permukaan atas dan bawah daun. Seekor imago betina mampu bertelur hingga 70 butir selama 4– 47 hari. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk perutnya, yaitu imago jantan ramping dengan panjang 11– 13 mm dan betina agak gemuk dengan panjang 13–14 mm.

Telur R. linearis berbentuk bulat dengan bagian tengah agak cekung, rata-rata berdiameter 1,20 mm. Telur berwarna biru keabuan kemudian berubah menjadi cokelat suram (Gambar 1b). Setelah 6–7 hari, telur menetas dan membentuk nimfa instar I selama 3 hari (Gambar 1c). Pada stadium nimfa, R. linearis berganti kulit (moulting) lima kali. Setiap berganti kulit terlihat perbedaan bentuk, warna, ukuran, dan umur. Rata-rata panjang tubuh nimfa

instar I adalah 2,60 mm, instar II 4,20 mm, instar III 6 mm, instar IV 7 mm, dan instar V 9,90 mm (Tengkano dan Dunuyaali 1976). Nimfa maupun imago mampu menye-babkan kerusakan pada polong kedelai dengan cara mengisap cairan biji di dalam polong dengan menusukkan stiletnya. Tingkat kerusakan akibat R. linearis ber-variasi, bergantung pada tahap perkem-bangan polong dan biji. Tingkat kerusakan biji dipengaruhi pula oleh letak dan jumlah tusukan pada biji (Todd dan Turnipseed 1974).

Serangan R. linearis pada fase pembentukan polong menyebabkan polong kering dan gugur. Serangan pada fase pertumbuhan polong dan perkem-bangan biji menyebabkan polong dan biji kempes kemudian polong mengering dan akhirnya gugur. Serangan pada fase pengisian biji menyebabkan biji berwarna hitam dan busuk, sedangkan pada fase pematangan polong mengakibatkan biji keriput. Serangan pada polong tua menjelang panen menyebabkan biji berlubang (Todd dan Turnipseed 1974; Tengkano 1985).

KARAKTERISTIK

CENDA-WAN

Verticillium lecanii

V. lecanii termasuk dalam devisi Deutero-mycotina: Hyphomycetes. Cendawan dalam kelas ini mempunyai paling banyak spesies yang mampu menyebabkan penyakit pada serangga hama (Ferron 1985). Cendawan V. lecanii dapat digu-nakan untuk mengendalikan serangga hama terutama dari ordo Homoptera (Hoddle 1999; Cloyd 2003) dan Hemiptera (Charnley 2003; Prayogo 2004).

Cendawan V. lecanii mudah tumbuh pada berbagai media, terutama pada medium potato dextrose agar (PDA) dan beras. Di dalam cawan petri, diameter koloni dapat mencapai 4–5,50 cm pada 3 hari setelah inokulasi (Gambar 2, kiri). Koloni cendawan berwarna putih pucat. Dua hari setelah inokulasi, cendawan sudah mampu memproduksi konidia. Kumpulan konidia ditopang oleh tangkai konidiofor yang membentuk pialid (whorls) seperti huruf V (Gambar 2, tengah). Setiap konidiofor menopang 5− 10 konidia yang terbungkus dalam kantong lendir. Konidia berbentuk silinder hingga elip, terdiri atas satu sel (Gambar 2, kanan), tidak berwarna (hialin), berukuran 2,30−10 x 1−2,60 µm.

Gambar 1. Hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis; (a) imago, (b) telur, (c) nimfa instar I, dan (d) nimfa instar V (Prayogo dan Tengkano 2003, tidak diterbitkan).

(3)

Cendawan V. lecanii tumbuh baik pada suhu 18–30oC dan kelembapan

minimal 80%. Pada kelembapan lebih dari 90% cendawan tumbuh sangat baik (Cloyd 2003).

Cendawan V. lecanii bersifat parasit, namun akan berubah menjadi saprofit bila kondisi tidak menguntungkan, misalnya dengan hidup pada serasah atau sisa-sisa hasil pertanian. Cendawan V. lecanii mampu hidup pada bahan organik yang mati dalam rentang waktu yang sangat panjang (Tanada dan Kaya 1993).

Mekanisme Infeksi

V. lecanii

pada Serangga

Terdapat empat tahap etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh cendawan (Ferron 1985). Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga inang, Propagul cendawan V. lecanii berupa konidia. V. lecanii berkembang biak secara tidak sempurna (imperfect fungi) (Ferron 1985). Selain konidia, organ lain seperti hifa juga berfungsi sebagai alat infeksi pada serangga inang. Pada proses tersebut senyawa mukopolisakarida memegang peranan sangat penting.

Tahap kedua yaitu proses penem-pelan dan perkecambahan propagul cen-dawan pada integumen serangga (Ferron 1985; Butts 2003; Kanga et al. 2003). Kelembapan yang tinggi dan bahkan kadang-kadang air sangat diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan (Silva dan Messias 1985; Chamdler et al. 1993; Glare et al. 1995). Pada tahap ini, konidia cendawan akan memanfaatkan

senyawa-senyawa yang terdapat pada lapisan integumen serangga.

Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi pada tubuh serangga. Pada waktu melakukan penetrasi dan menembus integumen, cendawan membentuk ta-bung kecambah (appresorium) (Tyrrell dan MacLeod 1975; Perry et al. 1982; Bidochka et al. 2000). Pada tahap ini, proses tersebut sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen dengan titik penetrasi kecambah cendawan (Santoso 1993). Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin.

Keempat adalah destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemo-limfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Tanada dan Kaya 1993; Lee dan Hou 2003; Strack 2003). Sekitar 48 jam setelah infeksi, serangga sudah mengalami kematian sebelum proliferasi blastospora (Tanada dan Kaya 1993). Beberapa jenis cendawan entomo-patogen mempunyai kurang lebih lima jenis enzim, yaitu khitinase, amilase, proteinase (Lee dan Hou 2003), pospatase, dan esterase (Freimoser et al. 2003). Namun, cendawan V. lecanii memproduksi dua senyawa metabolit, yaitu dipicolonic acid dan cyclodepsipeptide (Cloyd 2003). Serangga juga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma (Gillespie dan Claydon 1989; Huxham et al. 1989; Gillespie et al. 1997; Charnley 2003).

Pada waktu serangga mati, fase per-kembangan saprofit cendawan dimulai dengan cara menyerang jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ

reproduksi baru kemudian menyebar ke seluruh tubuh serangga (Hall 1976, 1979). Pada umumnya semua jaringan dalam tubuh serangga dan cairan tubuh habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi (Gambar 3). Pertumbuhan cendawan diikuti dengan pengeluaran pigmen atau toksin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain, terutama bakteri. Pertumbuhan cendawan tidak selalu me-nembus ke luar jaringan integumen se-rangga. Apabila keadaan kurang men-dukung perkembangan saprofit maka pertumbuhan hanya berlangsung di dalam tubuh serangga. Oleh karena itu, cendawan membentuk struktur khusus yang dapat bertahan yaitu arthrospora (Ferron 1985).

Keefektifan

V. lecanii

terhadap

R. linearis

Pengendalian R. linearis akan mencapai hasil yang maksimal apabila dilakukan tepat waktu dan sasaran. Siklus hidup R. linearis terdiri atas beberapa stadia instar sehingga perlu diketahui stadia serangga yang rentan terhadap aplikasi cendawan V. lecanii. Walaupun V. lecanii mampu menginfeksi berbagai stadia R. linearis, aplikasi beberapa kali sangat membantu menurunkan populasi hama sampai pada batas yang tidak merugikan (Hoddle 1999; Cloyd 2003). Dengan demikian, aplikasi V. lecanii dianjurkan dilakukan beberapa kali.

Gambar 3. Imago Riptortus linearis yang terkolonisasi Verticil-lium lecanii (Prayogo 2004).

Gambar 2. Karakteristik cendawan Verticillium lecanii; koloni pada medium PDA umur 3 HSI (kiri), kumpulan konidia didukung oleh konidiofor (tengah), dan konidia (kanan) (Prayogo 2005).

(4)

Gambar 4. Mortalitas Riptortus linearis yang terinfeksi berbagai jenis cendawan entomopatogen pada beberapa hari setelah aplikasi (HSA).

Keefektifan

V. lecanii

terhadap

Imago

R. linearis

Keefektifan agen hayati untuk mengen-dalikan suatu hama dapat dilihat dari mortalitas serangga uji dan tingkat kerusakan hasil setelah dilakukan aplikasi. Kinerja suatu agen hayati umumnya tidak dapat dilihat dalam waktu singkat seperti halnya insektisida kimia. Namun, aplikasi cendawan V. lecanii dapat menyebabkan kematian imago R. linearis hingga 81% (Gambar 4) (Prayogo 2004), karena cendawan mampu memproduksi senyawa metabolit seperti cyclodepsi-peptide dan dipicolinic acid yang sangat virulen terhadap beberapa jenis serangga hama (Cloyd 2003).

Di samping menyebabkan mortalitas R. linearis yang cukup tinggi, kerusakan biji akibat tusukan imago juga rendah, hanya 2,60 tusukan tiap biji (Gambar 5) (Prayogo 2004). Tusukan pada biji me-nyebabkan kualitas dan kuantitas hasil berkurang hingga 79% serta daya ke-cambah biji rendah (Jansen dan Newsom 1972; Tengkano et al. 1988). Rendahnya tingkat kerusakan biji karena perlakuan cendawan V. lecanii mengindikasikan bahwa agen hayati tersebut berpeluang sebagai salah satu alternatif pengendali-an hama pengisap polong kedelai.

Keefektifan Cendawan

V. lecanii

terhadap Telur

R. linearis

Suatu agen hayati seperti cendawan ento-mopatogen dikatakan efektif apabila mampu menginfeksi semua stadia serang-ga, seperti imago, nimfa, dan telur. R. linearis mempunyai siklus hidup yang meliputi imago, telur, dan nimfa dengan populasi di lapangan yang tumpang tindih. Cendawan V. lecanii mampu meng-infeksi berbagai stadia R. linearis sehing-ga populasi hama tersebut di lapansehing-gan selalu terkendali. Di samping itu, V. lecanii mampu hidup dalam jangka waktu lama dengan bertahan sebagai saprofit pada serasah atau sisa-sisa hasil pertanian sehingga eksistensi cendawan cukup berarti (Hall 1973).

Cendawan V. lecanii mampu meng-infeksi telur R. linearis dan menyebabkan telur yang tidak menetas mencapai 59%, sehingga diharapkan dapat menekan populasi hama di lapangan (Prayogo 2004, 2005). Walaupun telur mampu

Gambar 5. Jumlah tusukan imago Riptortus linearis pada biji kedelai akibat aplikasi beberapa jenis cendawan entomopatogen (Prayogo 2004).

Gambar 6. Telur Riptortus linearis yang menetas dari nimfa instar I yang mampu hidup setelah infeksi beberapa jenis cendawan entomopatogen (Prayogo 2005). 2 0 4 0 6 0 8 0 100 Mortalitas R. linearis (%) 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 12 12 12 12 12 12 12 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 12 12 12 12 12 12 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 12 12 12 12 12 12 12 0 123 123 123 12 12 3 HSA 6 HSA 9 HSA 12 HSA

V. lecanii B. bassiana N. rileyi P. fumoso-roseus M. anisopliae Kontrol Jumlah tusukan/biji 0 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 3 5

Kontrol V. lecanii B. bassiana N. rileyi P. fumoso-roseus

M. anisop-liae

Deltametrin

Telur menetas dan nimfa hidup (%)

0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 100

Kontrol V. lecanii B. bassiana N. rileyi P. fumoso-roseus

M. anisop-liae

Telur menetas Nimfa I hidup

(5)

walaupun tidak setara dengan kontrol (Gambar 8). Namun cendawan V. lecanii tidak dapat dipadukan dengan fungisida yang mengandung bahan aktif karben-dazim, tiofanat metil, dan triadimefon.

Kompatibilitas Cendawan

V.

lecanii

dengan Predator

Oxyopes javanus

Artropoda predator yang banyak dite-mukan pada ekosistem kedelai tergo-long dalam beberapa ordo, antara lain Hemiptera (famili Pentatomidae, Reduvii-dae, Nabidae); Coleoptera (famili Staphy-linidae, Carabidae, dan Coccinelidae); Orthoptera (famili Gryllidae); Odonata, serta laba-laba famili Oxyopidae (Daud dan Dai 1992; Mahrub et al. 1992). Salah satu spesies dari famili Oxyopidae adalah Oxyopes javanus yang banyak ditemukan pada pertanaman kedelai di Indonesia (Tengkano dan Bedjo 2002), khususnya di Jawa Timur (Prayogo dan Tengkano 2003, tidak diterbitkan) dan Lampung (Tengkano et al. 2003). Jenis mangsa O. javanus sangat luas, antara lain Spo-doptera litura, Piezodorus hybneri, R. linearis, Nezara viridula, Helicoverpa armigera, Etiella zinckenella, dan Ophiomyiia phaseoli. Kemampuan predasi O. javanus terhadap hama utama kedelai khususnya R. linearis sangat tinggi, mencapai 3 ekor/hari (Tengkano dan Bedjo 2002). Semua stadia R. linearis, yaitu nimfa instar I-V serta imago dan telur, merupakan mangsa dari O. javanus. menetas membentuk nimfa instar I,

kelangsungan hidup nimfa hanya 21% (Gambar 6).

Keefektifan Cendawan

V. lecanii

terhadap Nimfa

R. linearis

Sebelum melakukan pengendalian suatu hama, perlu dipahami biologi serangga hama sasaran sehingga dapat ditentukan saat pengendalian yang tepat. Meskipun hama stadium awal umumnya rentan terhadap berbagai cara pengendalian (Hoddle 1999; Prayogo dan Tengkano 2002), pada ulat api (Setora nitens) kerentanan ulat terhadap cendawan Beauveria bassiana dan Paecilomyces fumosoroseus justru terjadi pada instar yang lebih tua (Widayat dan Rayati 1993). Cendawan V. lecanii lebih efektif terhadap nimfa R. linearis instar I dan II daripada instar lainnya (Prayogo et al. 2005). Mortalitas nimfa instar I dan II berkisar antara 72−80%, sedangkan pada instar lainnya mortalitas paling tinggi hanya 28% (Gambar 7). Tingginya mor-talitas instar I dan II akan memudahkan pengendalian karena mobilitas serangga pada instar tersebut kurang aktif di-bandingkan dengan instar yang lebih tua, sehingga peluang suspensi konidia cendawan V. lecanii menempel pada integumen jauh lebih banyak. Selain itu, lapisan kulit integumen serangga muda lebih tipis dan lunak sehingga memudah-kan konidia cendawan masuk ke dalam tubuh inang. Dengan demikian, pe-ngendalian hama pengisap polong kedelai R. linearis dianjurkan dilakukan pada stadia muda, yaitu nimfa instar I dan II, apabila populasi serangga di lapangan masih tinggi akibat aplikasi sebelumnya kurang berhasil.

KOMPATIBILITAS

CENDAWAN

V. lecanii

DALAM PHT KEDELAI

Kompatibilitas Cendawan

V.

lecanii

dengan Fungisida

Pengendalian hama terpadu (PHT) meru-pakan perpaduan dari berbagai cara pe-ngendalian dengan tujuan untuk menekan populasi hama agar tidak melampaui batas ambang kerugian. PHT dapat meman-faatkan mikroorganisme sebagai agen hayati termasuk cendawan

entomo-patogen. Suatu agen hayati dapat di-anggap kompatibel dalam program PHT apabila agen tersebut dapat digunakan bersamaan dengan cara pengendalian lainnya termasuk dengan fungisida.

Beberapa penyakit utama kedelai adalah penyakit karat yang disebabkan oleh Phakopsora pachyrhizi, rebah kecambah Rhizoctonia solani, hawar daun dan batang Sclerotium rolfsii, dan bercak kuning Peronospora manshuria (Hardaningsih 1991; 2004). Umumnya petani mengendalikan penyakit-penyakit tersebut dengan fungisida (Sudjonoet et al. 1985; Hardaningsih dan Sumartini 1991; Hardaningsih 1992, 1994). Namun penggunaan fungisida yang mengandung logam berat seperti Cu dan Pb akan mem-pengaruhi kinerja cendawan V. lecanii (Ropek 2002). Penggunaan fungisida dalam pengendalian penyakit kedelai khususnya karat diharapkan tidak mempengaruhi perkembangan V. lecanii karena cendawan tersebut mampu menghidrolisis dinding sel spora penyakit sehingga perkembangan penyakit ter-tekan (Tanada dan Kaya 1993). Dengan demikian, peran V. lecanii akan semakin tinggi apabila kompatibel dengan bebe-rapa jenis fungisida.

Beberapa fungisida yang diketahui kompatibel dengan cendawan V. lecanii adalah mankozeb, iprodion, dan kaptan (Prayogo dan Marwoto 2005). Kompatibi-litas fungisida dengan cendawan terlihat dari pertumbuhan koloni cendawan yang ditumbuhkan pada medium yang mengan-dung fungisida. Di samping itu, jumlah konidia yang terbentuk juga masih tinggi,

Stadia nimfa R. linearis Mortalitas R. linearis

Gambar 7. Mortalitas nimfa Riptortus linearis yang terinfeksi cendawan Verticil-lium lecanii pada beberapa hari setelah aplikasi (HSA) (Prayogo 2004).

12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 12 12 12 12 12 12 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 12 12 12 12 12 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 12 12 12 12 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 I II III IV V 12 12 1234 1234 1234 3 HSA 6 HSA 9 HSA 12 HSA

(6)

Dilihat dari kemampuan predasinya, O. javanus mempunyai potensi yang tinggi dalam menekan R. linearis pada tanaman kedelai. Dengan demikian, kelangsungan hidup predator tersebut perlu dilestarikan agar dapat berperan secara optimal. Pengurangan penggunaan insektisida dalam pengendalian hama dan menggan-tinya dengan agen hayati seperti cen-dawan entomopatogen, diharapkan dapat mengurangi pengaruh buruk insektisida terhadap lingkungan. Dengan demikian, kelangsungan hidup serangga predator khususnya O. javanus dapat terjaga.

Kompatibilitas cendawan V. lecanii dengan predator O. javanus diketahui dengan tidak adanya predator yang mati pada 30 hari setelah aplikasi cendawan V. lecanii (Prayogo 2004). Oleh karena itu, cendawan V. lecanii dapat diintegrasikan dalam program PHT kedelai, karena dam-pak negatifnya terhadap kelangsungan hidup musuh alami jauh lebih rendah dibandingkan dengan insektisida kimia (Lacey dan Goettel 1995; Powprawski et al. 1998).

PERBANYAKAN CENDAWAN

Verticillium lecanii

Suatu agen hayati akan mudah diadopsi pengguna apabila agen tersebut memiliki

beberapa kelebihan, antara lain efektif terhadap hama sasaran, mudah dan cepat diperbanyak, murah, mudah menye-suaikan dengan lingkungan setempat, kompatibel dengan cara pengendalian yang lain, dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Pada umum-nya agen hayati sulit memenuhi semua kriteria tersebut.

Cendawan V. lecanii, walaupun tidak seefektif insektisida kimia, memenuhi beberapa kriteria tersebut. Oleh karena itu, V. lecanii memiliki peran yang cukup penting dalam PHT kedelai, baik di masa sekarang maupun yang akan datang.

Cendawan ini dapat diperbanyak pada berbagai media, terutama beras. Beras dimasukkan ke dalam kantong plas-tik kemudian disterilisasi dalam autoclave atau dimasak hingga steril. Selanjutnya isolat cendawan diinokulasikan pada medium tersebut. Koloni jamur akan tumbuh pada 2 minggu setelah inokulasi (Gambar 9). Biakan cendawan lalu diencerkan dengan air dan disaring dengan kain kasa. Suspensi konidia cendawan dihitung dengan haemocytometer hingga kerapatan konidia 107/ml, atau setara

dengan 200 g biakan cendawan umur 2 minggu setelah inokulasi dalam 5 liter air. Selanjutnya cendawan siap diaplikasikan pada hama sasaran.

Sebelum diaplikasikan, ke dalam suspensi cendawan ditambahkan bahan

Gambar 9. Biakan cendawan Verti-cillium lecanii pada me-dium beras (Prayogo 2005).

Gambar 8. Diameter koloni dan jumlah konidia cendawan Verticillium lecanii pada medium yang mengandung berbagai jenis fungisida (Prayogo dan Marwoto 2005).

perekat untuk melindungi konidia dari pengaruh air hujan atau angin. Aplikasi pada sore hari lebih efektif daripada pada pagi maupun siang hari.

KESIMPULAN

Cendawan entomopatogen V. lecanii dapat digunakan untuk mengendalikan hama pengisap polong kedelai R. linearis. Cendawan mampu menginfeksi semua stadia perkembangan hama. Untuk memperoleh hasil yang optimal, aplikasi perlu dilakukan berulang kali. Cendawan V. lecanii dapat digunakan sebagai salah satu agen hayati pada program PHT kedelai karena perbanyakannya murah dan mudah serta kompatibel dengan cara pengendalian lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Dr. Yusdar Hilman, Dr. Titis Adisarwanto, dan Dr. Nasir Saleh, atas saran dan koreksi pada naskah ini.

Jenis fungisida Diameter koloni V. lecanii (cm)

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Mankozeb Iprodion Kaptan Karben-dazim Triadi-mefon Tiofanat metil Kontrol 0 2 4 6 8 10 12 Diameter koloni Jumlah konidia

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Bidochka, M.J., A.M. Kamp, and J.N.A. Decroos. 2000. Insect pathogenic fungi: from genes to populations. Fungal. Pathol. 171−193. Butts, E. 2003. Metarhizium anisopliae strain

F52 biopesticide fact sheet. US Environ-mental Protection Agency. http://www. epa.gov/pesticides/biopesticides.htm [20 Maret 2005].

Chamdler, D., J.B. Heale, and A.T. Gillespie. 1993. Germination of entomopathogenic fungus Verticillium lecanii on scales of the glasshouse whitefly Trialeurodes vaporario-rum. Biol. Sci. Tech.(3): 161−164. Charnley, K. 2003. Fungal pathogens of insects

from mechanisms of pathogenicity to host defense. Department of Biology and Biochemistry, University of Bath. http:// www.bath.ac.uk/expertise/showperson. php? employee number = 573 [20 Maret 2005]. Cloyd, R. 2003. The entomopathogen Verti-cillium lecanii. Midwest Biological Control News. University of Illinois. http://www. extension.umn. Edu/distribution/horti-culture /DG7373.html [22 Maret 2005]. Daud, D.I. dan N. Dai. 1992. Inventarisasi musuh

alami hama penting tanaman kedelai. Semi-nar Hasil Penelitian Pendukung Pengen-dalian Hama Terpadu, Cisarua, 7−8 Sep-tember 1992. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Hasanudin Ujung Pandang.

Ferron, P. 1985. Fungal control. Comprehensive Insect Physiology. Bioch. Pharmacol. (12): 313−346.

Freimoser, F.M., S. Screen, S. Bagga, G. Hu, and R.J. St. Leger. 2003. Expressed sequence tag (EST) analysis of two subspecies of

Metarhizium anisopliae reveals a plethora of secreted proteins with potential activity in insect hosts. http://mic.sgmjournals.org/ c g i / o n t e n t / a b s t r a c t / 1 4 9 / 1 / 2 3 9 . h t m Microbiology (149): 239−247.[20 Desem-ber 2004].

Gillespie, A.T. and N. Claydon. 1989. The use of entomogenous fungi for pest control and the role of toxin in pathogenesis. Pesticide Sci.(27): 203−215.

Gillespie, J.P., M.R. Kanost, and R. Trenczek. 1997. Biological mediators of insect immu-nity. Ann. Rev. Entomol.(42): 611−643. Glare, T.R., R.J. Townsend, and S.D. Young.

1995. Temperature limitations on field effectiveness of Metarhizium anisopliae

against Costelytra zealandica (White) (Co-leoptera: Scarabidae) in Canterbury. The New Zealand Plat Protection Society In-corporated. http://www.hornet.co.nz/pu-blications/nzpps/proceeding/94/94 266.htm [20 Maret 2005].

Hall, T.M. 1973. Use of microorganism in biological control. p. 610−628. In P. Debach

(Ed.). Biological Control of Insects Pest and Weeds. Chapman and Hall Ltd., London. Hall, R.A. 1976. A bioassay of the pathogenicity

of Verticillium lecanii conidiospores on the aphid, Macrosiphoniella sanborni. J. Invertebr. Pathol.(27): 41−48.

Hall, R.A. 1979. Pathogenicity of Verticillium lecanii conidia and blastospores against the aphid, Macrosiphoniella sanborni. J. Invertebr. Pathol.(24): 191−198. Hardaningsih, S. 1991. Penyakit-penyakit baru

yang disebabkan jamur pada tanaman kacang-kacangan di Jawa Timur. hlm. 45−49. Dalam

M. Dahlan, Sudaryono, A. Kasno, Suyamto, H.K. Hendroatmodjo, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1990. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Hardaningsih, S. dan Sumartini. 1991.

Pengen-dalian penyakit karat pada kedelai secara kimiawi. Dalam A. Kasno, K. Hartojo, M. Dahlan, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 154−158. Hardaningsih, S. 1992. Efektivitas beberapa

fungisida dalam mengendalikan penyakit karat dan meningkatkan hasil kedelai.

Dalam A. Kasno, K. Hartojo, M. Dahlan, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1992. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 72−76.

Hardaningsih, S. 1994. Pengaruh pemberian KCl dan fungisida pada tanaman kedelai terhadap serangan jamur karat. Dalam Supriyatin, S.W. Indiati, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1994. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 135−146.

Hardaningsih, S. dan Y. Prayogo. 2001. Iden-tifikasi dan patogenisitas jamur entomo-patogen untuk mengendalikan hama pengisap polong (Riptortus linearis) dan hama boleng (Cylas formicarius). Dalam B. Prastowo, H. Semangun, N. Widijawati, D. Rahardjo, A. Prasetyaningsih, dan C. Amarantini (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Strategi Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati dalam Era Otonomi Daerah. Yogyakarta, 8−9 Juni 2001. Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. hlm. 145−150.

Hardaningsih, S. 2004. Beberapa penyakit penting tanaman kedelai dan upaya pengen-daliannya. Seminar Nasional Teknologi Inovatif Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian untuk Mendukung Ketahanan Pangan, Malang, 16–17 September 2003. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. hlm. 381−389.

Hoddle, M.S. 1999. The biology and mana-gement of silverleaf whitefly Bemisia argentifolii Bellows and Perring (Homopte-ra: Aleyrodidae) on greenhouse grown orna-mentals. http://www.biocontrol.ucr.edu/be-misia.html# verticillium [5 April 2004]. Huxham, I.M., A.M. Lackie, and N.J.

Mccor-kindale. 1989. Inhibitory effects of cyclo-depsipeptides, destruxins, from the fungus

Metarhizium anisopliae, on cellular immu-nity in insects. J. Insects Physiol. (35): 97−

107.

Jansen, R.L. and L.D Newsom. 1972. Effect of stink bug damage soybean seeds on germi-nation, emergence and yield. J. Econ. Entomol. (65): 261−264.

Junianto, Y.D. 2000. Penggunaan Beauveria bassiana untuk pengendalian hama tanaman kopi dan kakao. Workshop Nasional Pengen-dalian Hayati OPT Tanaman Perkebunan. Cipayung, 15−17 Februari 2000. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. Kanga, L.B.B., W.A. Jones, and R.R. James.

2003. Field trials using fungal pathogen,

Metarhizium anisopliae (Deuteromycetes: Hyphomycetes) to control the ectoparasitic mite, Varroa destructor (Acari:Varroidae) in honey bee, Apis mellifera (Hymenop-tera:Apidae) colonies. J. Entomol. (96): 1.091−1.099. http://www.bioone.org/bioone/ ? r e q u e s t = g e t - a b s t r a c t & i s s n = 0 0 2 2 0493&volume = 096 &1ssue=048&page =1091.htm [20 Maret 2005].

Lacey, L.A. and M.S. Goettel. 1995. Current developments in microbial control of insect pests and prospects for the early 21st

century. Entomophaga (40): 3−27. Lee, P.C. and R.F. Hou. 2003. Pathogenesis of

Metarhizium anisopliae var. anisopliae in the smaller brown planthopper Laodelphax striatellus. Chinese J. Entomol. (9): 13−19. http://www.entsoc.org.tw/english/journal/ 9vol/nol/2.htm [20 Maret 2005]. Mahrub, E., F.E. Wagiman, dan Wijanarko.

1992. Jenis dan potensi musuh alami hama penting kedelai dalam berbagai ekosistem di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama Terpadu, Cisarua, 7−8 September 1992. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Marwoto. 1992. Masalah pengendalian hama kedelai di tingkat petani. Dalam Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai, Malang 8−10 Agustus 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm 37−43.

Marwoto dan K.E. Neering. 1992. Pengendalian hama kedelai dengan insektisida berdasar-kan pemantauan. Dalam Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah

(8)

Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai, Malang 8−10 Agustus 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 59−65.

Palm, C.E., W.W. Dykstra, G. Ferguson, E. Hansberry, W.Y. Hayes, J.R.L.W. Hazleton, J.C. Horstall, E.K. Knipling, L.D. Leach, L.R. Lovvorn, and G.A. Swanson. 1970. Insect pest management and control. Principles of Plant and Animal Pest Control (3): 508 pp.

Perry, D.F., D. Tyrrell, and A.J. Delyzer. 1982. The mode of germination of Zoophthora radicans zygospores. Mycologia (74): 549−

554.

Powprawski, T., J.C. Legaspi, and P.E. Parker. 1998. Influence of entomopathogenic fungi on Serangium parcesetosum (Coleoptera: Coccinellidae) an important predator of whiteflies (Homoptera: Aleyrodidae). Envi-ron. Entomol. (27): 785−795.

Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002. Pengaruh umur larva Spodoptera litura terhadap efektivitas Metarhizium anisopliae isolat Kendalpayak. Majalah Ilmiah Biologi Biosfera, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman 19(3): 70−76. Prayogo, Y. 2004. Keefektifan lima jenis

cendawan entomopatogen terhadap hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis

L. (Hemiptera: Alydidae) dan dampaknya terhadap predator Oxyopes javanus Thorell (Araneida: Oxyopidae). Tesis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 51 hlm.

Prayogo, Y. 2005. Cendawan entomopatogen

Verticillium lecanii dan Paecilomyces fumosoroseus sebagai salah satu alternatif untuk mengendalikan telur hama pengisap polong kedelai. Berita Puslitbangtan (32): 10.

Prayogo, Y. dan Marwoto. 2005. Kerentanan cendawan entomopatogen Verticillium leca-nii terhadap beberapa jenis fungisida. AGRIVITA, Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Brawidjaya 27(1): 271−279. Prayogo, Y., Santoso, dan Widodo. 2005.

Kerentanan stadia nimfa hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis (Hemipte-ra: Alydidae) terhadap jamur entomopato-gen Verticillium lecanii. Jurnal Agrikultura

Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran 16(2): 125−132.

Ropek, D. 2002. The effect of heavy metal ions and their complexons up the growth sporulation and pathogenicity of the entomopathogenic fungus Verticillium lecanii. J. Invertebr. Pathol. (79): 123−125. Santoso, T. 1993. Dasar-dasar patologi serangga.

Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Risalah Simposium Patologi Serangga I, Yogyakarta,12−13 Oktober 1993. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor. Silva, J.C. and C.L. Messias. 1985. Virulence of

Metarhizium anisopliae to Rhodnius prolixus. Cienc. Cult. (7): 37−40.

Sosromarsono, S., J. Soejitno, A. Mukelar, S. Soedarwohadi, dan Suhardi. 1988. Peranan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman pangan. Simposium Penggunaan Pestisida secara Bijaksana. Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indo-nesia, Jakarta. 51 hlm.

Strack, B.H. 2003. Biological control of termites by the fungal entomopathogen Metarhizium anisopliae. http://www.utoronto.ca/forest/ termite/metani_1.htm [20 Maret 2005]. Sudjono, M.S., M. Amir, dan R. Martoatmodjo.

1985. Penyakit kedelai dan penanggulang-annya. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, Yuswadi (Ed.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 331−355.

Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology. Academic Press, Inc., California. Tengkano, W. dan M. Dunuyaali. 1976. Biologi dan pengaruh tiga macam umur polong kedelai terhadap produksi telur Riptortus linearis F. Laporan Kemajuan Penelitian Seri Hama/Penyakit (4): 19−34.

Tengkano, W. 1985. Tingkat kerusakan eko-nomi pengisap polong, Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae) pada tanaman kedelai Orba. Tesis, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 105 hlm.

Tengkano, W., T. Okada, dan A.M. Tohir. 1988. Pengaruh serangan pengisap polong terhadap daya kecambah benih kedelai. Seminar Hasil Penelitian Hama Kedelai, Malang 6

Desem-ber 1988. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.

Tengkano, W., B. Untearianto, A. Rauf, dan E.S. Ratna. 1991. Preferensi pengisap polong,

Piezodorus hybneri F. (Hemiptera: Penta-tomidae) pada berbagai tahap pertumbuhan tanaman kedelai varietas Orba. Prosiding Seminar Biologi Dasar II. Bogor, 14 Februari 1990. Biologi Dasar dalam Menunjang Produktivitas dan Kualitas Hayati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, Bogor. hlm. 108−115.

Tengkano, W., M. Arifin, dan A.M. Tohir. 1992. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pengisap dan penggerek polong kedelai. Dalam Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai, Malang 8−10 Agustus 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 117−153.

Tengkano, W. dan Bedjo. 2002. Potensi Oxyopes javanus Thorell (Oxyopidae: Araneae) Memangsa Hama Utama Kedelai. Seminar Nasional Perkembangan Terkini Pengen-dalian Hayati di Bidang Pertanian dan Kesehatan, Institut Pertanian Bogor, 5 September 2002.

Tengkano, W., Supriyatin, Suharsono, Bedjo, Y. Prayogo, dan Purwantoro. 2003. Status hama penyakit kedelai dan musuh alami di lahan kering masam. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang.

Todd, J.W. and S.G. Turnipseed. 1974. Effect of Southern green stink bug damage on yield and quality of soybean. J. Econ. Entomol. (3): 421−426.

Tyrrell, D. and D.M. MacLeod. 1975. In vitro

germination of entomophthora aphidis resting spores. Can. J. Bot. (53): 1.188−

1.191.

Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993. Pengaruh Frekuensi Penyemprotan Jamur Entomo-patogenik terhadap Ulat Jengkal (Ectropis bhurmitra) di Perkebunan Teh. hlm 91−103.

Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I, Universitas Gadjah Mada, 12−

Gambar

Gambar 1. Hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis; (a) imago, (b) telur, (c) nimfa instar I, dan (d) nimfa instar V (Prayogo dan Tengkano 2003, tidak diterbitkan).
Gambar 2. Karakteristik cendawan Verticillium lecanii; koloni pada medium PDA umur 3 HSI (kiri), kumpulan konidia didukung oleh konidiofor (tengah), dan konidia (kanan) (Prayogo 2005).
Gambar 4. Mortalitas Riptortus linearis yang terinfeksi berbagai jenis cendawan entomopatogen pada beberapa hari setelah aplikasi (HSA).
Gambar 7. Mortalitas nimfa Riptortus linearis yang terinfeksi cendawan Verticil- Verticil-lium lecanii pada beberapa hari setelah aplikasi (HSA) (Prayogo 2004).
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil jawaban tertulis yang ditunjukkan pada gambar 4.26 dan gambar 4.27 sudah melakukan cara yang benar sehingga jawaban tertulis dan hasil wawancara subjek

Berdasarkan hasil pre-test diperoleh 6 siswa yang mendapatkan skor tinggi yang termasuk prokrastinasi akade mik siswa dan a kan d iberikan perlakuan

4. Memiliki wawasan serta pemahaman tentang teknik analisis korelasional 5. Memiliki wawasan serta pemahaman tentang teknik analisis komparasi.. Matriks Pembelajaran Ming gu 1 2

Pada penulisan ilmiah ini penulis mencoba untuk membuat suatu aplikasi mini game Battleship yang merupakan permainan menghancurkan pesawat musuh. Selain sebagai hiburan, game ini

Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas dan pengalaman dalam TOT Dosen Entrepreuneurship yang diselenggarakan oleh UNY bekerjasama dengan Universitas Ciputra

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kualitas semen ayam Kampung yang disimpan pada suhu 5 0 C dengan lama simpan yang berbeda yang meliputi

Saran perbaikan pada penelitian selanjutnya ada baiknya untuk siswa yang menggunakan model pembelajaran Open Inquiry tidak dilepas begitu saja dalam melakukan

adalah orang yang paling fasih lisannya dan yang paling sempurna penjelasannya serta yang paling mengerti akan sabdanya; (2) definisi ini tidak dipertentangkan