• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENATAAN KELEMBAGAAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENATAAN KELEMBAGAAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PENATAAN KELEMBAGAAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI

(2)

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

(3)

Penerbit Alaf Riau

Pekanbaru 2018

PENATAAN KELEMBAGAAN

DAN PEMBERDAYAAN PETANI

MEMANFAATKAN LIMBAH SAWIT & SAPI

(4)

Penulis Khairul Anwar Meizy Haryanto Dahlan Tampubolon Adiwirman Editor Zulkarnaini Sampul Syamsul Anwar Perwajahan Arnain ’99 Cetakan I September 2017 Penerbit:

Alaf Riau Publishing

Jl. Rajawali Sakti No. 99 Pekanbaru

Telp. (0761) 7875794 E-mail: arnain_99@yahoo.com

ISBN 978-602-5531-02-6

PENATAAN KELEMBAGAAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI

(5)

PRAKATA PENULIS

Syukur Alhamdulillah, dengan rahmat , taufik dan hidayah Allah Ta’ala, penulis dapat menyelesaikan penulisan buku Teknologi Tepat Guna “Cara Menata Kelembagaan Dan Pemberdayaan Petani Dalam Memanfaatkan Limbah Kelapa Sawit & Ternak Sapi”. Buku panduan ini hasil riset Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2017, yang dibiayai Direktorat Riset Dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tahun anggaran 2017.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Riset Dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Kepada Rektor Universitas Riau cq Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Riau dan bapak Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik – Universitas Riau (UR) yang banyak memeberikan fasilitas informasi dan bantuan teknis dalam penyelesaian laporan ini. Demikian pula ucapatan terima kasih kepada Ketua dan Staf Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip- UR yang memfalitasi ketika penulis mengukiti kegiatan Riset, tentu tidak lupa kepada tim peneliti

(6)

MP3EI 2017 yang sudah berjuang menghimpun dan analisis data lapangan.

Pada tempatnya juga, penulis mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Riau, Kepala Kesatuan Politik Provinsi Riau, yang telah mendukung terlaksaananya Riset ini. Terima kasih kepada Bupati Siak, Bupati Rakan Hulu dan jajaran dinas, sekretariat DPRD Siak, Ketua Kelompok Tani, Camat Lubuk Dalam dan para Penghulu, Tokoh Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), para -kawan akademisi, dan para pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu tetapi memeiliki andil sangat penting dalam riset ini.

Tidak lupa mengucapkan sembah sujud dan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua; papa H.Djuma’Ali Bin Baital. di Siak Sri Indrapura, kepada ayah (almr) mertua H.Yusuf Muhammad dan ibunda (almarhumah) mertua Hj.Nurhafifah, Istriku tersayang Yusfiati Ssi,Msi beserta anak-anakku Mohtar Anwar, Yahya Syaefullah Anwar, Muhammad Amal Anwar ayah mohon maaf atas keterbatasan waktu dan perhatian ayah kepada kalian. pada akhirnya, penulis mohon maaf kepada semua pihak yang terkait tetapi karena keterbatasan penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu.

Semoga semua pihak yang telah memberikan dukungan tersebut mendapat hidayahNYa. Amien.

Pekanbaru, 23 September 2017

(7)

DAFTAR ISI

PRAKATA PENULIS ... 5

DAFTAR ISI ... 7

BAB I KELAPA SAWIT DAN PETERNAKAN ... 11

A. Asal-usul ... 11

B. Rumah Tangga Petani ... ... 13

C. Perkembangan ... 15

D. Sejarah Kebijakan Sawit dan Peternakan ... 22

E. Peluang dan Tantangan ... 27

BAB II KELEMBAGAAN PETANI ... 37

A. Pengertian Kelembagaan dan Pemberdayaan ... 37

B. Faktor-faktor Kelembagaan ... 40

C. Pentingnya Kelembagaan dan Pemberdayaan ... 42

BAB III PENATAAN KELEMBAGAAN DAN PEMBERDAYAAN... 47

A. Isu Kelembagaan dan Pemberdayaan ... 47

B. Langkah-langkah ... 48

(8)

BAB IV ALAT DAN TINDAKAN PENATAAN ... 55 A. Model Kelembagaan dan Pemberdayaan Petani ... 55 B. Peran Pemerantah, Pelaku Bisnis, dan Petani ... 58 C. Strategi Pemberdayaan Petani ... 62 D. Ilustrasi Penataan Kelembagaan ... 64

BAB V PEMANFAATAN LIMBAH SAWIT DAN TERNAK 79

A. Pembuatan Keranjang dari Pelepah Sawit ... 80 B. Pembuatan Briket dari Pelepah Sawit ... 82 C. Pembuatan Biogas, Pupuk Organik Padat,

dan Kompos ... 86

(9)

Bab I

KELAPA SAWIT

DAN PETERNAKAN

(10)
(11)

Bab I

KELAPA SAWIT

DAN PETERNAKAN

A. Asal-usul

Asal-usul pembangunan perkebunan di Indonesia telah melewati perjalanan panjang. Berabad-abad yang lampau, di Indonesia sudah diusahakan tanaman perkebunan rakyat seperti tebu, cengkeh, pala, dan rempah-rempah lainnya. Hasil perkebunan tersebut, oleh pedagang dipasarkan ke negeri-negeri di Asia dan akhirnya ke Eropa. Mulai abad ke-16 berturut-turut bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda da-tang ke kepulauan Nusantara. Abad ke-17 Belanda dengan VOC-nya, lebih kurang 200 tahun dan system tanaman paksa selama 60 tahun hingga dikeluarnya Undang-Undang Agraria tahun 1870 (Steyn dan Adiwinata, dalam Herman dkk, 2000:2-3).

Pembangunan perkebunan kelapa sawit pada mulanya diawali oleh gagasan pertumbuhan ekonomi yang mendunia. Ide ini semakin berkembang ketika ditemukan fakta bahwa interaksi faktor ekonomi dan non-ekonomi makin dirasakan pentingnya bahkan sering me-nentukan dalam proses pembangunan. Dalam perkembangannya, pem-bangunan perkebunan kelapa sawit terus meluas dan keberhasilannya erat kaitan dengan kebijakan makro ekonomi dan dukungan politik. Dalam konteks seperti inilah, muncul fenomena pertumbuhan ekonomi

(12)

yang berlangsung di tengah-tangah interaksi sektor tradisional dengan sektor modern.

Di Indonesia, menurut Mubyarto (1994) fenomena pertumbuhan ekonomi itu berlangusng terkait kebijakan dan pembangunan pertanian, hal ini dapat dilihat terutama pada sektor perkebunan (besar), mulai dari masa penjajahan hingga setelah kemerdekaan. Pada masa penja-jahan dikenal; (1) Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) 1870, (2) tahun 1878 Undang-undang budidaya tebu atau Wet Van de Zuikercultuur, (3) tahun 1894, Undang-undang persaingan berusaha atau Febrieken Ordonantie, dan (4) Kebijakan izin pabrik gula untuk menyewa tanah rakyat pada tahun 1918.

Setelah kemerdekaan, sejak Pelita I (1969) hingga akhir Pelita II (1978), perkebunan kelapa sawit hanya diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Menjelang Pelita III (1979), pemerintah memasukkan Perkebunan Rakyat dalam struktur pengusahaan perkebunan kelapa sawit (Suharyono, 1996). Sejak tahun 1969, pemerintah melakukan kebijakan ekonomi dibidang devaluasi rupiah, suku bunga, subsidi pupuk dan kebijakan upah bagi pekerja perkebunan.

Tahun 1978 melalui Keputusan tiga menteri ( Menteri perdaga-ngan dan Koperasi, Pertanian, dan Perindustrian)No.275/KPB/XII/ 1978,No.764Kpts/VM/12/1978 dan No.252/M/Sk/12/1978 diberlakukan kebijakan tata niaga minyak sawit dengan maksud melin-dungi konsumen minyak sawit domistik. SK menteri Perdagangan dan Koperasi No.282/Kp/XII/78 (Pakdes 1978). Pada tahun 1991 pemerintah mengeluarkan kebijakan “free market” (Pakjun) yang berisi deregulasi bidang investasi, perdagangan dan keuangan. Ke-bijakan penetapan harga ekspor CPO dan produk turunannya SK menteri keuangan No.440/KMK/017.tanggal 1 September 1994, Tahun 1999 melalaui SK menteri No.189/KMK/07/1999 kebijakan penurunan pajak ekspor CPO dari 30 % menjadi 10 %. Tahun 2002 pemerintah mengeluarkan keputusan Menteri pertanian No.357/Kpts/ HK.350/5/2002 tentang perizinan usaha perkebunan.

(13)

B. Rumah Tangga Petani

Dewasa ini, Pemerintah (Daerah) memiliki berbagai kebijakan pembangunan peternakan sebagai salah satu wujud usaha bagi menopang penyediaan pangan penduduk baik ditingkat nasional mapun lokal. Kebijakan tersebut dibuat, selain guna mengantisipasi masalah nasional saat ini, yaitu belum mampu pemerintah memenuhi dan pe-nyediaan produk-produk peternakan khususnya daging sapi. Ke-bijakan ini dimaksudkan untuk meningkatan kesejahteraan rumah tangga petani melalui peningkatan pendapatan dan asset rumah tangga petani. Seiring implementasi berbagai kebijakan tersebut, pemerintah berupaya untuk menata kembali kelembagaan peternakan terus-mene-rus bersama masyarakat petani. Penataan tersebut dilakukan umumnya melalui pemberdayaan peternakan rakyat. Tujuan penataan kelembaga ini adalah untuk meningkatkan kemampuan petani dalam mengambil keputusan, menumbuhkan kelompok tani yang produktif, mening-katkan produktivitas kebun plasma, menumbuhkan hubungan yang harmonis dengan perusahaan inti sebagai mitra dan menimgkatkan pen-dapatan atau kesejahteraan petani anggota (Sunarko, 2009:25).

Penataan kelembagaan diarahkan kepada pembangunan ke-mandirian institusional peternakan rakyat. Mengapa ? di Indonesia, produksi sektor peternakan ini masih didominasi oleh usaha peternakan rakyat, yaitu usaha peternakan yang diusahakan oleh rumah tangga. Pada pelaksanaannya, usaha peternakan rakyat ini masih jauh dari prinsip-prinsip bisnis modern dan nilai-nilai ekonomi kebangsaan. Skala usaha peternakan rakyat ini juga relatif kecil, khususnya untuk ternak besar seperti sapi dan kerbau. Jika pemerintah mempunyai target untuk kemandirian pangan, khususnya swasembada daging sapi maka ke-bijakan yang mendukung pengelolaan usaha ternak rakyat dan pem-bangunan kemitraan (Sunarko, 2009: 8) menjadi hal yang harus di-lakukan secara intensif, terpadu dan berbasis idiologi kemandirian bangsa.

Dalam konteks kesejahteraan petani kelapa sawit dan keluarga-nya secara berkelanjutan, gambaran asset utama rumah tangga petani

(14)

berupa perkebunan kelapa sawit termasuk lahan, tanaman dan alat-alat produktif lainnya, menjadi indikator utama selain tingkat penda-patan. Jika dilihat dengan harga pasar yang berlaku di tingkat petani, nilai asset/kebun petani menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun baik petani sawit plasma, petani sawit mandiri maupun petani non-sawit.

Tabel 1.1. Pertumbuhan Aset Rumah Tangga Petani Plasma, Mandiri dan Non Sawit, 2014

Sumber: PASPI, dalam Sipayung dan Jan Horas, 2015

Dari data PASPI yang dikutip Sipayung dan Jan Horas (2015) diketahui bahwa nilai dan pertumbuhan asset petani plasma lebih tinggi dibandingkan dengan petani sawit mandiri. Karena perbedaan skala usaha dan umur tanaman. Dengan kata lain, peningkatan nilai asset petani dapat menunjukkan kapasitas ekonomi petani dalam meng-hasilkan pendapatan yang semakin meningkat.

(15)

Tabel 1.2. Perbandingan Pendapatan per Ha Petani Sawit Plasma, Mandiri, dan Petani Non Swait (PASPI, 2014)

C. Perkembangan

Dilihat dari data statistik 2013, selama periode 10 tahun terakhir sektor pertanian telah mengalami penurunan jumlah rumah tangga yang mengusahakannya. Selama sepuluh tahun, nampak bahwa jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) telah mengalami penurunan sebanyak 5,1 juta atau 16,3 persen dari 31,2 juta rumah tangga pada tahun 2003 menjadi 26,1 juta rumah tangga pada tahun 2013. Indikasi penurunan jumlah Rumah Tangga Usaha (RTU) juga terjadi pada usaha peternakan.

Selama periode 2003-2013, jumlah penurunan RTU peternakan termasuk yang paling tajam diantara usaha pertanian lainnya setelah RTU hortikultura. Penurunan tersebut hampir sepertiganya, yaitu men-capai lebih dari 30 persen. Kondisi ini akan sangat mengganggu kinerja bidang peternakan di Indonesia, padahal saat ini Indonesia masih sangat tergantung dengan impor daging sapi dan susu.

(16)

Gambar 1.3. Jumlah Rumah Tangga Usaha Peternakan (Juta), 2003 dan 2013

Dari data Sensus 2013 diatas, nampak jumlah RTUP peternakan mengalami penurunan, hal ini berdampak pada penyediaan produk peternakan. Dampak ini terlihat dari data menurunnya populasi sapi potong pada periode 2011-2013 sebanyak 2,5 juta ekor, yaitu dari 14,8 juta ekor menjadi 12,3 juta ekor. Dampak penurunanan RTUP tersebut terlihat pula dari penurunan jumlah ternak sapi perah maupun kerbau. Mengacu pada data sensus pertanian 2013, jumlah populasi sapi perah yang diusahakan oleh RTU menurun hampir 200 ribu ekor pada periode 2011-2013. Dengan mengacu data ini maka target-target untuk peningkatan produksi daging dan susu yang sudah dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka menciptakan kemandirian pangan akan menghadapi tantangan yang sangat berat di masa depan baik di tingkat nasional maupun tingkat lokal misalnya di provinsi Riau.

Menghadapi kecenderungan perkembangan kondisi peternakan diatas, maka masalah kelembagaan dan pemberdayaan petani-peternak harus ditata sedemikian rupa. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan

18.6 12.97 0 5 10 15 20 2003 2013 Sumber: BPS, 2013

(17)

kembali minat masyarakat pada usaha budidaya peternakan. Oleh sebab itu, dukungan dari pemerintah, para pelaku bisnis dan masyarakat petani sangat diperlukan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi masyarakat peternakan. Sejalan dengan kornitmen percepatan pemba-ngunan pertanian oleh pemerintahan baru, maka perlu gerakan secara kolektif membangunan sinergisitas kelembagaan dan gerakan pember-dayaan berbasis idiologi bangsa dalam mengembangkan sektor pe-ternakan.

Sementara itu, dilihat dari data perkembangan perkebunan ke-lapa sawit Indonesia dalam periode tahun 2000-2013 mengalami persecpatan pembangunan dan memberikan dampak positif bagi pendapatan rumah tangga petani sawit. Sipayung dan Jan Horas (2015) mengemukakan sebagai berikut: Pertama, selama periode tahun 2000-2013, pertambahan luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 367 ribu hektar setiap tahun, sementara pada periode sebe-lumnya hanya 126 hektar pertahun. Kedua, selama periode tahun 2000-2013 atau dalam sepuluh tahun Indonesia dapat membangun 4 juta hektar kebun sawit. Sementara pada periode sebelumnya Indo-nesia memerlukan waktu waktu hamper 90 tahun untuk membangun luasan yang sama.

Tabel 1.4 Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaannya Tahun 2000-2013

Tahun Rakyat Negara Swasta Total LUAS AREAL (ha) CPO (ton) Produksi

2000 1,166,758 588,125 2,403,194 4,158,077 7,000,508 2001 1,561,031 609,947 2,542,457 4,713,435 8,396,472 2002 1,808,424 631,566 2,627,068 5,067,058 9,622,345 2003 1,854,394 662,803 2,766,360 5,283,557 10,440,834 2004 2,220,338 605,865 2,458,520 5,284,723 10,830,389 2005 2,356,895 529,854 2,567,068 5,453,817 11,861,615 2006 2,549,572 687,428 3,357,914 6,594,914 17,350,848 2007 2,752,172 606,248 3,408,416 6,766,836 17,664,725 2008 2,881,898 602,963 3,878,986 7,363,847 17,539,788 2009 3,061,413 630,512 4,181,369 7,873,294 19,324,293 2010 3,387,257 631,520 4,366,617 8,385,394 21,958,119 2011 3,752,480 678,378 4,561,966 8,992,824 23,096,541 2012 4,137,620 683,227 4,751,868 9,572,715 26,015,518 2013* 4,356,087 727,767 5,381,166 10,465,020 27,746,125

(18)

Ketiga, dalam periode tahun 2000-2013, selain menghadapi masa sulit, juga tidak ada lagi fasilitas kemudahan yang diberikan pemerintah pada perkebunan kelapa sawit. Hal ini berbeda dengan periode sebe-lumnya yaitu masa Orde Baru, dimana lingkungan strategis yang relative stabil, pembangunan perkebunan kelapa sawit juga diberikan fasilitas dan kemudahan dari pemerintah. Keempat, Peran perkebunan kelapa sawit rakyat (swadaya) makin besar. Pangsa pasar kelapa sawit rakyat meningkat dari 28% tahun 2000 menjadi 41,6% pada tahun 2013. Peningkatan pangsa ini tanpa fasilitas/subsidi kredit dari pemerintah, melainkan dibiayai dari modal sendiri dan kredit komersial perbankan dengan atau tanpa avails.

Dari data Sensus Pertanian 2013 memperlihatkan bahwa skala usaha untuk beberapa jenis ternak seperti sapi potong dan sapi perah sebagian besar diusahakan oleh RTUP dalam skala kecil yaitu hanya 1-2 ekor (Gambar 2.2). Untuk sapi potong, tercatat 65 persen RTU peternakan yang berskala kecil. Rata-rata jumlah sapi potong yang dikuasi RTU berkisar antara 2-3 ekor. Jika dibandingkan dengan Aus-tralia, perbedaan skala usaha RTU sapi potong di Indonesia sangat jauh. Jika di Australia peternakan sapi potong hanya diusahakan oleh ratusan peternak besar dengan skala kepemilikan puluhan ribu ekor per peternak maka di Indonesia hanya 2-3 ekor saja dan diusahakan oleh sekitar 5 juta rumah tangga.

Gambar 1.5. Persentase Rumah Tangga Usaha Peternakan menurut Jenis Ternak dan Kategori Skala Usaha, 2014

(19)

Untuk jenis ternak kecil seperti babi dan ayam kampung, seba-gian RTU besar berskala sedang. Khusus untuk ternak babi mempunyai keunggulan dalam pembudidayaannya, antara lain produktivitasnya tinggi, cepat berkembang biak, mudah mencari sumber pakan (Nugroho dan Whendrato, 1990). Dengan berbagai kelebihannya maka RTU peternakan babi dapat mengusahakan ternak babi dalam jumlah yang cukup besar dibandingkan ternak Iainnya.

Sementara itu untuk usaha peternakan jenis unggas seperti ayam ras petelur dan ayam ras pedaging umumnya diusahakan dalam skala yang besar. Hasil ST2013 menunjukkan bahwa kedua usaha ternak tersebut 100 persen diusahakan pada skala yang besar (Gambar 2.1). Rata-rata penguasaan ayam ras petelur oleh RTU sebesar 2,7 ribu perRTU peternakan dan untuk ayam ras pedaging mencapai 16 ribu per RTU Peternakan. Demikian pula dengan usaha peternakan itik yang sebagian besar diusahakan dalam skala yang besar, dengan rata-rata kepemilikannya per rumah tangga sebanyak 33 ekor.Besarnya rata-rata ini menunjukkan potensi usaha budidaya itik yang cukup besar, seiring dengan meningkatnya permintaan daging itik sebagai menu makanan yang banyak diminati masyarakat.

Tingginya skala usaha ternak unggas menunjukkan potensi yang cukup besar dalam pengembangannya. Menurut Dekan Fakultas Pe-ternakan UGM, Prof. Dr. Tri Yuwanta, perunggasan merupakan salah satu usaha peternakan yang tumbuh secara signifikan dan paling slap menghadapi pasar global. Dibanding usaha peternakan lain, usaha per-unggasan telah menjadi usaha yang mempunyai komponen lengkap dari hulu hingga hilir (Perunggasan di Indonesia, UGM, 2015).

Rendahnya skala usaha pada sebagian besar jenis usaha ternak berakibat pada minimnya pendapatan yang diterirna dari usaha peterna-kan. Hasil sensus 2013, menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan RTU Peternakan sebagai usaha utama hanya 14,6 juta pertahun atau sekitar 1,2 juta perbulan. Jika dibandingkan usaha pertanian lainnya, pendapatan RTU Peternakan termasuk rendah meskipun masih lebih tinggi dari usaha tanaman pangan, penangkaran tumbuhan/ satwa liar,

(20)

dan jasa pertanian. Indikasi rendahnya pendapatan dari usaha peternakan disebabkan rendahnya skala pengusahaan.

Gambar 1.6.Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian menurut Jenis Usaha Pertanian Utama (Juta/tahun), 2013

Hal ini didukung beberapa fakta di lapangan bahwa pemeliharaan ternak seperti sapi dan kambing hanya bertujuan sebagai tabungan. Sifat usaha ini pada umumnya merupakan subsisten.Pemeliharaannya tidak ditujukan untuk pengembangbiakan, sehingga penanganannya hanya sekedarnya saja. Ternak akan diperjualbelikan jika RTU sedang memerlukan dana dalam jumlah yang banyak, seperti untuk hajatan, menyeko!ahkan anak dan sebagainya. Di beberapa wilayah lain, ternak bukan hanya sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga dikaitkan dengan status sosial keluarga dan untuk keperluan adat. Jenis ternak seperti ayam kampung bahkan dipelihara hanya untuk konsumsi sendiri. Dengan demikian, bagi RTU Peternakan, usaha ternak bukan merupa-kan sumber pendapatan utama, namun hanya sebagai usaha sampingan. Hal ini juga dapat dijelaskan oleh data mengenai kontribusi pendapatan dari usaha Peternakan pada RTUP hanya sebesar 12 persen saja.

10.9 17.7 20.4 14.6 29.5 26.4 15.8 8.1 16.2 6.1 0 5 10 15 20 25 30 35 Sumber: BPS, 2013

(21)

Gambar 1.7. Persentase Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian menurut Jenis Usaha Pertanian, 2013

Sementara itu, di sub sektor perkebunan terutama kelapa sawit, pendapatan petani sawit baik plasma maupun petani mandiri mengalami pertumbuhan yang tinggi. Riset yang dilakukan Greig-Gran, dalam Sipayung dan Jan Horas (2015) menemukan bahwa pendapatan petani sawit plasma cenderung lebih rendah dibandingkan petani mandiri. Pendapatan petani sawit plasma mencapai $ 2100/ha, sementara petani sawit mandiri mencapai $ 2340/ha. Kondisi ini terjadi karena perbedaan pada tingkat produktivitas, biaya, skala usaha dan harga jual TBS ditingkat petani. Tingkat pendapatan petanisawit plasma maupun mandiri jauh melampaui tingkat pendapatan petani non-sawit (petani padi, petani karet). Pendapatan petani non sawit masih cenderung meningkat dari tahun ke tahun, meskipun laju pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan petani sawit.

Selaras dengan temuan riset diatas, Stren Review, dalam Sipayu-ng dan Jan Horas (2015) meSipayu-nguSipayu-ngkapkan bahwa pendapatan petani sawit tahun 2007 mencapai $ 960-3340/ha. Sedangkan pendapatan petani non sawit yakni petani karet ($72/ha), hingga padi ($ 28/ha), petani singkong ($ 19/ha) dan petani kayu ($1099/ha).

(22)

D. Sejarah Kebijakan Sawit dan Peternakan

Di Indonesia, sejarah kebijakan pembangunan perkebunan dapat dilihat terutama pada sektor perkebunan (besar), mulai dari masa penjajahan hingga setelah kemerdekaan. Pada masa penjajahan dikenal; (1) Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) 1870, (2) tahun 1878 Undang-undang budidaya tebu atau Wet Van deZuikercultuur, (3)tahun 1894, Undang-undang persaingan berusaha atau Febrieken Ordonantie,dan (4)Kebijakan izin pabrik gula untuk menyewa tanah rakyat pada tahun 1918 ( Mubyarto, 1994).

Lebih jauh Mubyarto (1994) menjelaskan bahwa setelah ke-merdekaan, sejak Pelita I (1969) hingga akhir Pelita II (1978), per-kebunan kelapa sawit hanya diusahakan oleh Perper-kebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS).Menjelang Pelita III (1979), pemerintah memasukkan Perkebunan Rakyat dalam struktur pengusahaan perkebunan kelapa sawit (Suharyono,1996). Mulai tahun 1969 pemerintah telah pula melakukan kebijakan ekonomi dibidang devaluasi rupiah, suku bunga, subsidi pupuk dan kebijakan upah bagi pekerja perkebunan.

Selanjutnya, sejarah kebijakan peternakan di Indonesia, dimulai dari pengaturan ketentuan perundangan peternakan berupa larangan pemotongan hewan betina bertanduk yang masih produktif.1 Peraturan ini direalisasikan dalam bentuk “Plakkaat”dan dituangkan dalam sebuah poster yang ditempelkan di tempat-tempat umum pada tanggal 26 Agustus 1836 (momentum ini merupakan tonggak sejarah penetapan hari lahir Peternakan dan Kesehatan hewan (Hoda, 2008: 64).

Lebih lanjut Hoda (2008) menjelaskan bahwa dari sejarah kebijakan peternakan diketahui bahwa pada tahun 1836, Pemerintah sudah mengeluarkan aturan tentang mutasi ternak. Aturan ini dilatar-belakangi oleh banyaknya pengiriman ternak dari satu daerah ke 1 Indonesia mempunyai 2 (dua) periode, dimana peraturan perundang-undangan

diterbitkan dan diberlakukan, yaitu: periode penjajahan dan kemerdekaan.Lihat Hoda, 2008 dalam Peternakan Dalam Perspektif Sosial Politik Dan KesMaVet. Lembaga Peternakan Universitas Khairun (LepKhair).

(23)

daerah lain, namun pada akhirnya aturan ini dihapus pada tahun 1853. Selama dua abad, yaitu Abad XVIII dan Abad XIX banyak peraturan diterbitkan yang pada dasarnya menggunakan pertimbangan pada peraturan perundang-undangan yang pertama kali diterbitkan tersebut, dimana dalam proses perkembangan materilnya telah berkali-kali disempurnakan, dikembangkan dan diperluas.

Menurut Hoda dalam Peternakan dalam Perspektif Sosial Politik dan KesMaVet (2008) bahwa Peraturan yang banyak dipersoalkan dari segi keuntungan ekonominya adalah Ordonansi tentang larangan pemotongan hewan besar betina bertanduk (Stbl 1926, Nomor 226). Oleh karena itu, penetapan di lapangan kurang efektif, akhirnya pemotongan hewan betina dewasa produktif yang bertanduk terus terjadi di luar kontrol pemerintah waktu itu. Keadaan ini berdampak pada ketersediaan sapi betina produktif, sehingga populasi antara jantan dan betina di beberapa daerah sangat tidak efisien yaitu ada yang mencapai 100 ekor jantan dan 50 ekor betina. Dalam Tahun 1912 diterbitkan sebuah peraturan oleh Gubernur Jenderal Belanda bersama-sama den tan Parlemen tentang pembatasan pemasukan dan pengeluaran hewan tertentu. Di dalam Stbl nomor 432 pada pasal 2a menyebutkan bahwa Menteri Pertanian (Vide Bijblad), untuk kepen-tingan hewan ternak dapat mewakili Gubernu:. Jenderal untuk melarang atau membatasi pengeluaran dan atau pemasukan hewan pada daerah--daerah tertentu di Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, peraturan mengenai kesejah-teraan hewan juga diperhatikan. Melalui Stbl 1903 No. 370 dan Stbl 1906 nomor 5, disebutkan bahwa Pemerintah melarang penggunaan tenaga sapi dan kuda yang masih muda dan yang sakit. Penyakit anjing gila (Rabies) juga mendapat perhatian yang serius dari pemerintah Belanda. Aturan ini diatur dalam Stbl 1926 nomor 451 jo St.1926 nomor 452. Aturan-aturan ini sudah mengalami beberapa kali peru-bahan, kemudian ditambah juga dengan Stbl 1930 nomor 89, 1931 nomor168, 1939 nomor 715 dan 716 kemudian 1938 nomor 371. Ditegaskan bahwa binatang seperti anjing, kucing dan kern yang

(24)

di-bawa dengan kapal laut, sebelum diangkut ke darat harus diperiksa terlebih dahulu oleh pegawai ahli kehewanan setempat. Binatang ini harus mempunyai surat keterangan dad penguasa daerah asal hewan yang menjelaskan bahwa selama 4 bulan sebelum diangkut di daerah itu tidak tertular penyakit anjing gila, juga disertai dengan surat kete-rangan dari petugas kesehatan hewan bahwa hewan-hewan tersebut dalam keadaan sehat. Selanjutnya hewan-hewan tersebut boleh dibawa ke darat setelah mendapat Surat Izin dari Kepolisian Pelabuhan.

Masih menurut Hoda (2008) bahwa Surat izin dari Kepolisian Pelabuhan hanya dapat diberikan apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Surat Keterangan dibuat dihadapan Bupati dari tempat asal binatang tersebut, yang menyebutkan tempat-temapat dimana bina-tang itu berada selama 4 bulan sebelum binabina-tang itu akin dikeluar-kan.

2. Surat keterangan dari Bupati-Bupati dari tempat dimana binatang itu berada selama waktu 4 bulan yang menyatakan bahwa selama waktu tersebut di wilayah kekuasaannya tidak terdapat penyakit anjing

gila.-3. Jika selama perjalanannya binatang itu berada lebih dari 2 hari pada suatu tempat, maka diperlukan pula keterangan seperti per-syaratan

4. Surat Keterangan dari kapten kapal yang menyatakan bahwa selama perjalanan tidak terdapat penyakit anjing gila.

Sementara itu, dibidang perkebunan kelapa sawit Tahun 1978 melalui Keputusan tiga menteri yaitu Menteri perdagangan dan Kope-rasi, Pertanian, dan Perindustrian No.275/KPB/XII/1978, No.764 Kpts/VM/12/1978 dan No.252/M/Sk/12/1978 diberlakukan ke-bijakan tata niaga minyak sawit dengan maksud melindungi konsumen minyak sawit domistik. SK menteri Perdagangan dan Koperasi No. 282/Kp/XII/78 (Pakdes 1978). Pada tahun 1991 pemerintah me-ngeluarkan kebijakan “free market” (Pakjun) yang berisi deregulasi bidang investasi,perdagangan dan keuangan. Kebijakan penetapan

(25)

harga ekspor CPO dan produk turunannya SK menteri keuangan No. 440/KMK/017 tanggal 1September 1994,Tahun 1999 melalaui SK menteri No.189/KMK/07/1999 kebijakan penurunan pajak ekspor CPO dari 30 % menjadi 10 %. Tahun 2002 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian No.357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang perizinan usaha perkebunan.

Hoda (2008) mencatat bahwa peraturan perundangan yang cukup monumental dibidang peternakan dan Kesehatan Hewan ada dua yaitu; (1) UU Nomor 6 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan (2) UU Nomor 6 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Namun sebagai rujukan yang sangat mendasar dan yang paling penting adalah UU Nomor 6 tahaun 1967. Oleh karena itu subtansi mendasar yang menjadi rujukan tulisan ini adalah UU Nomor 6/1967. Di dalam penjelasan umum UU ini dijelaskan bahwa negara kita mempunyai potensi yang sungguh besar dibidang peternakan dan hewani, sebagai karunia Tuhan yang wajib kita syukuri, dan dayagunakan, hingga men-capai manfaat yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Masyarakat kita yang sangat membutuhkan protein hewani, perlu dibimbing ke arah kebiasaan-kebiasaan baru, hingga mereka terjamin untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan protein hewani tersebut. Kebiasaan-kebiasaan baru tersebut tidaklah sekadar pada pemenuhan kebutuhan dimaksud, tetapi perlu diperluas dengan pengetahuan dan kesadaran bagaimana cara memperoleh, memeliharanya dan me-ngembangbiakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, bahkan untuk kepentingan sesama manusia (Hoda, 2008: 67-68).

Negara kita yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil memiliki potensi sumberdaya ternak yang tidak merata. Sarana dan prasarana yang masih perlu disempurnakan, mengakibatkan adanya kesukaran-kesukaran dalam mengangkut ternak ke pulau-pulau yang memerlukan ternak itu. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Surat Keputusan Di-rektur Jenderal Peternakan No: 1066?KPTS/DEPTAN/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Dan Pengembangan KUD Di Bidang

(26)

Peter-nakan disebut pasal (1) bahwa seluruh kegiatan pembangunan peterna-kan harus dikaitpeterna-kan dengan upaya pembinaan daan pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD). Kebijakan era Orde Baru ini bertujuan memberikan kesempatan bagi para petani peteranak untuk berpartisi-pasi dalam memecahkan persoalan-persoalan di lapangan bersama-sama dengan aparat peternakan pusat maupun di Daerah sesuai jen-jangnya. Sebagai sumber produksi dan sumber devisa untuk pen-dapatan negara maka perlu landasan hukum, maka diterbitkanlah UU Nomor 6 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.2

Dalam perkembangannya, komoditas peternakan mempunyai prospek pasar yang sangat baik karena didukung oleh karateristik produk yang dapat diterima oleh masayarakat Indonesia. Daryanto (2007) mengemukakan beberapa peluang bisnis komoditas peternakan diantaranya:

1. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 220 juta jiwa (ketika buku ini ditulis jumlah penduduk Indonesia 254,9 Juta jiwa) merupakan konsumen yang sangat besar, dan masih tetap bertumbuh sekitar 1,4 pertahun.

2. Kondisi geografis dan sumberdaya alam yang mendukung usaha dan industry peternakan.

3. Meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang gizi.

4. Jika pemulihan ekonomi berjalan baik, akan meningkatkan pen-dapatan perkapita yang kemudian akan menaikkan daya beli mas-yarakat.

2 UU ini memaparkan berbagai istilah antara lain sebagai berikut; (a) Hewan ialah

semua binatang yang hidup di darat, baik yang telah dijinakkan maupun yang hidup secara liar; (b) Hewan piara adalah hewan yang cara hidupnya untuk sebagian ditentukan oleh manusia untuk maksud tertentu; (c) Rumpun ialah segolongan hewan dari suatu jenis yang mempunyai bentuk dan sifat keturunan yang sama; (d) Ternak ialah hewan piara, yang kehidupannya yakni tempat, perkembangbiakan serta manfaatnya diatur dan diawasi oleh manusia serta dipelihara khusus sebagai penghasil bahan-bahan dan jasa-jasa yang berguna bagi kepentingan hidup manusia.

(27)

Akan tetapi dengan potensi pasar yang cukup besar, komoditas peternakan termasuk sapi tidak luput dari berbagai persoalan, antara lain adalah:

1. Kurang tersedianya bahan baku pakan, sehingga Indonesia masih harus mengimpor yang menyebabkan biaya produksi relative tinggi. 2. Kondisi politik, ekonomi dan keamanan yang masih tidak menentu

sehingga tidak kondusif bagi para investor.

3. Kenaikan harga BBM yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi hasil peternakan.

4. Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang relative rendah 5. Keterbatasan modal sehingga menghambat pengembangan usaha. 6. Mewbahnya penyakit yang berkembvang di beberapa daerah

(Daryanto, 2007: 77-78)

Dalam kondisi seprti inilah Mathur Riady dalam Daryanto (2007) mengungkapkan bahwa setiap tahun Indonesia mengalami deficit daging sapi. Saat ini mencapai 28 persen atau 109 ribu ton daging sapi. Se-dangkan deficit populasi sekitar 10,7 persen dari populasi idial 1,18 persen dan tidak diimbangi dengan kelahiran ternak sapi oleh karena itu pemerintah hendak mengimpor 400 ribu ekor sapi betina (Jurnal Nasional, dalam Daryanto, 2008: 79-80). Dalam kondisi sperti inilah Departemen Pertanian menerbitkan buku berjudul Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Sapi dengan tujuan mewujudkan swsembada daging tahun 2010.

D. Peluang dan Tantangan

Perkembangan usaha perkebunana kelapa sawit dan kebutuhan daging sapi terus meningkat sehingga peluangnya masih sangat terbuka lebar.di tingkat internasional termasuk Indonesia ke depan. Saragih (2010) mencatat bahwa dalam kurun tahun 2010-2050, negara-negara berkembang yang di dalamnya terdapat 75 persen penduduk dunia akan naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah-tinggi di

(28)

dunia. Peningkatan pendapatan ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah (Daerah) dalam merubah perilaku dalam meman-faatkan peluang yang datang baik dari lingkungan internal maupun eksternal.

Untuk memahami kaitan antara konteks tersebut dalam bagian ini diarahkan untuk membahas beberapa pertanyaan berikut: Peluang apa yang ditawarkan, dan tantangan apa yang ditimbulkan dari pem-bangunan usaha pempem-bangunan perkebunan kelapa sawit dan pe-ternakan sapi? Apa dampaknya kepada kemampuan pemerintah, dan apa yang dapat dilakukan oleh aktor lokal terutama PEMDA untuk menanggapi tantangan dan memanfaatkan peluang yang mungkin muncul terutama setelah otonomi daerah? Dan kondisi apa yang harus dipertimbangkan untuk memanfaatkan peluang dan tantangan perke-bunan kelapa sawit dan peternakan sapi?

Dewasa ini, usaha perkebunan kelapa sawit telah berkembang pesat di Riau. Luas areal terus bertambah, diikuti dengan produksi minyak sawit mentah (CPO) yang terus meningkat sehingga saat ini produksi minyak sawit telah mencapa 3.387.801 ton (Bappeda Riau, 2005: 11). Kondisi ini telah menjadikan Riau sebagai produsen minyak sawit terbesar di Indonesia. Peningkatan produksi ini akan terus meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dan permintaan konsumsi dalam dan luar negeri.

Dilihat dari ekspor minyak sawit Riau juga meningkat dari 3. 289.114 ton dengan nilai 1.189.292 dollar AS tahun 2003 menjadi 4.288.381 ton dengan nilai 1.747.007 juta dollar AS tahun 2004. Peningkatan nilai ekspor ini didukung juga peningkatan permintaan minyak sawit dunia. Minyak sawit merupakan bagian dari jenis minyak hayati, seperti kedelai, bunga matahari dan biji lobak. Tahun 2004-2005 permintaan minyak hayati dunia tercatat 135.659 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,81 persen pertahun. Namun, minyak sawit mempunyai keunggulan dalam produkstivitas dibandingkan dengan minyak lain sehingga pada tahun 2004-2005 produksi minyak sawit mencapai 33,14 juta ton minyak sawit 24,2 persen dari produksi minyak

(29)

hayati dunia (Kompas, 25 Februari 2006). Minyak sawit mampu menggeser produksi minyak kedelai 32,68 juta ton (23,8 persen dari produksi minyak hayati dunia) yang menjadi penghasil minyak hayati nomor satu dunia pada tahun-tahun sebelumnya.

Sementara itu, menguatnya pasar minyak nabati dunia didukung oleh meningkatnya perrmintaan minyak nabati dunia terutama seperti minyak biji lobak untuk bahan baku biodisel. Kondisi ini memberikan peluang minyak sawit untuk menggantikan peran minyak nabati lain terutama untuk bahan pangan. Selanjutnya, terbukanya peluang minyak sawit ini juga didukung oleh harga minyak sawit yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan minyak nabati lain. Kualitas nutrisi minyak sawit juga lebih unggul, yaitu kaya vitamin A dan E, mengandung anti oksidan, serta bebas asam lemak (Kompas, 25 Februari 2006). Keunggulan minyak sawit ini akan memperbesar pangsa pasar minyak sawit di Eropa dan Amerika Serikat.

Perkebunan kelapa sawit juga merupakan sumber penerimaan pajak. Komoditi ini sumber penerima pajak bumi bangunan (PBB). Pada tingkat nasional, PBB yang didapat dari perkebunan Kelapa sawit berkisar Rp.26,23 miliar. Asumsinya luas areal perkebunanan kelapa 5.247.171 hektar dan PBB tiap hektarnya Rp.5000 pertahun. Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga menjadi sumber pendapatan pajak ekspor yang cukup besar. Pajak ekspor CPO dan produk ola-hannya 10,05 juta ton dengan nilai ekspor 1,5 persen.

Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga membuka peluang kesempatan kerja. Pada industri hulu (budidaya kelapa sawit), usaha kelapa sawit memerlukan tenaga kerja rata-rata 35-40 orang per 100 hektar. Dengan luas areal perkebunan kelapa sawit 5,2 juta hektar tahun 2005, maka Indonesia membutuhkan sekitar 1.836.500 orang tenaga kerja di sektor perkebunan kelapa sawit. Kemudian, dalam hal pembukaan pabrik kelapa sawit (PKS). Komoditi ini juga mem-butuhkan tenaga kerja. Tahun 2003 jumlah PKS sekitar 320 unit dan setiap PKS berkapasitas olah 30 ton tandan buah segar (TBS) perjam memerlukan 136 tenaga kerja. Dengan demikian, jumlah tenaga kerja

(30)

yang dapat ditampung di seluruh PKS di Indonesia diperkirakan se-banyak 61.300 orang . Dalam pembangunan kelapa sawit ini, peluang kerja terjadi juga dalam sektor jasa dan pendukung lainnya yang terkait dengan industri hilir kelapa sawit.

Peluang-peluang yang diperoleh dari pembangunan perkebunan kelapa sawit ini terjadi juga di Daerah. Setidaknya ada sepuluh potensi yang dapat dikelola untuk memacu percepatan pembangunan perke-bunan di daerah ini. Pertama, potensi pasar atas komoditas perkeperke-bunan sawit dan olahan. Dengan mengamati pertumbuhan penduduk dan berbagai kebutuhan yang melekat pada perkembangunan pembangunan kelapa sawit , maka peluang pasar dan olahan komoditas ini menjadi potensial. Kedua, tersedianya tanah untuk dimanfaatkan sebagai lahan usaha perkebunan; Ketiga, tersedianya tenaga kerja yang dapat di-tingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam usaha pengelolaan perkebunan; Keempat, masyarakat dapat ditarik dan didorong minatnya untuk menginvestasikan modalnya dalam usaha perkebunan. Namun demikian, ditemui pula berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi sektor perkebunan daerah terutama dalam menghadapi pasar global. Pertama, persyaratan mutu produk perkebunan dan ola-han yang semakin ketat di pasar global; Kedua, peningkatan pen-dapatan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi, meng-akibatkan tuntutan produk perkebunan dan olahan yang bermutu tinggi dari berbagai pilihan harus tersedia; Ketiga, pengusahaan tani harus mampu mengelola usahanya dengan perubahan pasar; Keempat, belum efisien dan terpadunya usaha perkebunan dan agroindustri sebagai bahagian dari sistem agrobisnis; kelima, kelembagaan perkebunan belum mendukung secara terpadu pengembangan agrobisnis komoditas unggulan; dan keenam, usaha perkebunan yang berjangka panjang dihadapkan pada suku bunga bank yang tinggi (Yasin, 2003: 30).

Selain itu, perkembangan perkebunan kelapa sawit selama ini tampaknya juga memberikan peluang terhadap pembesaran akses perkebunan kelapa sawit rakyat di Daerah ini. Pembesaran ruang akses perkebunan kelapa sawit rakyat ini didapat dengan bertambahnya

(31)

sarana dan prasarana yang ada di area perkebunan. Sarana-prasarana ini baik yang dibangun oleh PEMDA maupun perusahaan-perusahaan perkebunan swasta. Sarana yang dibangun Pemda seperti jalan dan jembatan. Sarana yang dibangun perusahaan perkebunan seperti rumah sekolah dan pabrik kelapa sawit. Sarana dan prasana pendukung perkebunan ini semakin mempelancar arus informasi dan komunikasi pada sentra-sentra perkebunan rakyat yang letaknya cenderung ter-pencar dan menyebar di wilayah. Disamping itu, berkembangnya per-kebunan besar swasta terutama PTPN juga memberikan kemung-kinan bertambahnya areal perkebunan rakyat melalui pola perkebunan Inti Rakyat perkebunan (PIR-bun).

Dalam kondisi demikian, salah satu peluang ekonomi yang muncul adalah peningkatan pendapatan di tingkat petani kelapa sawit. Adapun tingkat rata-rata pendapatan petani perkebunan kelapa sawit secara umum terjadi peningkatan. Tahun 2003 sebesar Rp.18.000.000/KK dibandingkan dengan tahun 2004 sebesar Rp.25.910.000. Peningkatan pendapatan ini memacu tumbuhnya minat masyarakat setempat untuk berpartisipasi membangun kebun kelapa sawit sebagai langkah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya (Jonaidi,2005: 83-99). Karena pembukaan usaha perkebunan (termasuk kelapa sawit) memberikan peluang bagi perbaikan keadaan kelembagaan ekonomi petani yang berorientasi pasar. Kondisi inilah antara lain dapat memacu tumbuhnya luas perkebunan rakyat.

Sementara itu, peluang pasar peternakan sapi di Indonesia ter-buka lebar seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia dewasa ini. Sebagai sebuah negara dengan jumlah penduduk yang besar (pada tahun 2017 jumlah penduduk Indonesia sekitar 262. 403.765 jiwa) dan akan terus meningkat dengan laju pertumbuhan penduduk 1,43% (diperkirakan pada tahun 2024 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 289.746.472 jiwa) kebutuhan pangan balk sumber pangan nabati maupun hewani juga sangat besar.

(32)

Tabel 1.8. Tren & Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia 2015-2024

Sumber: Road Map Pengembangan Industri Sapi Potong Indonesia

Salah satu sumber pemenuhan kebutuhan protein hewani mas-yarakat Indonesia adalah daging sapi. Hampir di seluruh wilayah di negeri ini masyarakatnya mengenal dan menggemari berbagai olahan masakan daging sapi. Karenanya, meskipun angka konsumsi daging sapi di negeri ini masih sangat rendah, yaitu berkisar 2,72 kg/perkapita/ tahun pada tahun 2016 (sangat rendah jika dibandingkan standar konsumsi daging segar yang dicanangkan FAO pada tahun 2008 untuk meme-rangi kekurangan gizi, yaitu 33 kg per tahun per kapita) populasi penduduk yang besar memunculkan kebutuhan konsumsi daging sapi nasional yang juga besar, mencapai 684.884,27 ton pada tahun 2016.

Tabel 1.9. Kecenderungan Proyeksi Konsumsi Daging Sapi Nasional, 2014-2024

Tahun Jumlah Penduduk 2015 255.076.592 2016 258.714.240 2017 262.401765 2018 266.145.906 2019 269.941.414 2020 273.791.049 2021 277.695.584 2022 281.655.802 2023 285.672.496 2024 289.746.472

Tahun Konsumsi Daging Sapi (kg/kapita/tahun) Konsumsi Daging Nasional (ton)

2014 2,36 593.516,62 2015 2,56 639.857,57 2016 2,72 684.884,27 2017 2,88 729.910,96 2018 3,04 774.937,66 2019 3,20 819.964,36 2020 3,36 864.991,05 2021 3,52 910.017,75 2022 3,68 955.044,45 2023 3,84 1.000.071,14 2024 4,00 1.045.097,84

(33)

Besarnya kebutuhan konsumsi daging sapi dalam negeri ternyata belum dapat dipenuhi oleh produksi peternak sapi potong di dalam negeri. Hal ini tergambar dari data proyeksi suplai daging sapi nasional tahun 2014-2024, jumlah produksi daging sapi nasional per tahunnya masih di bawah jumlah kebutuhan daging sapi nasional.

Tabel 1.10. Proyeksi Suplai Daging Sapi Nasional 2014-2024

Dari Tabel di atas dapat digambarkan besarnya kekurangan daging sapi nasional ketika ketersediaan potensi daging sapid an ke-butuhan selaras pertumbuhan penduduki hingga proyeksi tahun 2014 – 2024 sebagai berikut.

Tabel 1.11. Proyeksi Jumlah Ketersediaan & Konsumsi Daging Sapi 2014-2015 Tahun  Jumlah Penduduk  2014  435.086,19  2015  446.180,61  2016  457.275,03  2017  468.369,45  2018  479.463,87  2019  490.558,29  2020  501.652,71  2021  512.747,13  2022  523.841,55  2023  534.935,97  2024  546.030,39 

Sumber: Road Map Pengembangan Industri Sapi Potong Indonesia

Tahun wrassomm.- Produksi dalam Negeri (ton) Konsumsi Daging Nasional (ton) Selisih Kekurangan (ton) Pemenuhan Produksi (%) 2014 435.086,19 593.516,62 -158.430,42 73,31 2015 446.180,61 639.857,57 -193.676,96 69,73 2016 457.275,03 684.884,27 -227.609,23 66,77 2017 468.369,45 729.910,96 -261.541,51 64,71 2018 479.463,87 774.937,66 -295.473,79 61,87 2019 490.558,29 819.964,36 -329.406,06 59,83 2020 501.652,71 864.991,05 -363.338,34 58,00 2021 512.747,13 910.017,75 -397.270,62 56,34 2022 523.841,55 955.044,45 -431.202,90 54,85 2023 534.935,97 1.000.071,14 -465.135,17 53,49 2024 546.030,39 1.045.097,84 -499.067,45 55,25

(34)

Selisih kekurangan suplai daging sapi nasional sebagaimana data pada Tabel 4 merupakan sebuah tantangan sekaligus peluang bagi para peternak dan talon peternak sapi potong karena sejatinya permintaan daging sapi nasional memang sangat besar. Diharapkan peternak sapi lokal dapat sama-sama membudidayakan sapi potong dengan mana-jemen ternak yang balk sehingga dapat turut menyumbang suplai daging sapi yang berkualitas demi terpenuhinya kebutuhan sapi potong nasional. Salah satu aspek utama yang sangat penting bagi keberhasilan sebuah usaha peternakan sapi potong adalah ketersediaan pakan yang murah, bermutu balk, dan ketersediaannya mencukupi. Pakan yang bermutu sangat penting bagi usaha peternakan, karena pakan me-ngambil 70% dari total biaya produksi. Pakan merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan dan pembangkit tenaga bagi ternak. Makin balk mutu dan jumlah pakan yang diberikan, makin besar tenaga yang ditimbulkan dan makin besar pula energi yang tersimpan dalam bentuk daging.

Besarnya peluang usaha sapi potong telah memunculkan peter-nakan sapi potong di berbagai daerah dengan berbagai Skala. Sebagai-mana data yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik (2013) terdapat populasi sapi dan kerbau sebanyak sekitar 17.595.961 ekor pada tahun 2016 dan terus meningkat hingga mencapai populasi 21.011.271 ekor pada tahun 2014.

Tabel 1.12. Kecenderungan Proyeksi Populasi Sapi & Kerbau Indonesia 2014-2024

Tahun Jumlah (ekor)

2014 16.742.134 2015 17.022.875 2016 17.595.961 2017 18.022.875 2018 18.449.788 2019 18.876.702 2020 19.303.616 2021 19.730.529 2022 20.157.443 12023 20.584.357 2024 21.011.271

(35)

Bab II

KELEMBAGAAN

PETANI

(36)
(37)

Bab II

KELEMBAGAAN PETANI

A. Pengertian Kelembagaan dan Pemberdayaan

Persoalan kelembagaan dan pemberdayaan petani menjadi fenomena sosial yang menarik untuk diamati lebih dalam dan inilah yang mendorong penulis untuk menulis buku TTG guna mempelajari strategi kelembagaan dan pemberdayaan petani konteks percepatan pembangunan peternakan dan perkebunan kelapa sawit di Riau. Dalam hal ini, buku ini berusaha mengidentifikasi kelembagaan, kepentingan, preferensi aktor, pemberdayaan, dan interaksi aktor dengan lembaga informal lainnya. Untuk lebih memudahkan memahami fenomena pe-nataan kelembagaan harus terlebih dahulu diketahui pengertian ke-lembagaan dan pemberdayaan.

Menurut Mardikanto dan Soebiato (2012), konsep kelemba-gaan adalah sebagai suatu perangkat umum yang ditaati oleh suatu komunitas (masyarakat). Masih menurut Mardikanto dan Soebianto, kata kelembagaan sering dikaitkan dengan dua penegrtian, yaitu “so-cial institution” atau pranata-sosial dan “soscial organization” atau organisasi sosial. Apapun itu, pada prinsipnya suatu bentuk relasi sosial dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila memiliki emapat komponen, yaitu adanya: (1) Komponen person, di mana orang-orang

(38)

yang terlibat di dalam satu kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas; (2) Komponen kepentingan,di mana orang-orang tersebut pasti sedang diikat oleh satu kepentingan atau tujuan,sehingga di antara me-reka terpaksa harus saling berinteraksi; (3) Komponen aturan, di mana setiap kelembagaan mengembangkan separangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama, sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam lembaga tersebut; (4) Komponen struktur,di mana setiap orang memiliki posisi dan peran yang harus dijalankannya secara benar. Orang tidak bisamerubah-rubah posisinya dengan kemauan sendiri.

Lebih lanjut Mardikanto dan Soebiato (2012) menjelaskan bahwa dari beragam pengertian yang diberikan, kelembagaan memiliki ciri-ciri, sebagai berikut: (1) Kelembagagaan berkenaan dengan sesuatu yang permanen. Ia menjadi permanen karena dipandang rasional dan disadari kebutuhannya dalam kehidupan; (2) Kelembagaan,berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku. Sesuatu yang abstrak tersebut merupakansuatu kompleks dari beberapa hal yang sesungguhnya terdiri dari beberapa bentuk yang tidak sepadan (se-level). Hal yang abstrak ini kira-kira sama dengan public mind, atau “wujud idial kebudayaan”. (3) berkaitan dengan perilaku atau sepe-rangkat mores (tata kelakuan) atau cara bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat (establish way of behaving). Perilaku yang terpola merupakan kunci keteraturan hidup.(4) Kelembagaan juga menekankan kepada perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi. (5)Kelembagaan merupakan cara-cara yang standar untuk memecah-kan masalah.

Konseptualisasi Mardikanto dan Soebianto diatas sejalan dengan uraian karya Syahyuti (2012). Studi ini relevan untuk dibicarakan demi mempertajam kerangka analsis yang diajukan penelitia terdahulu. Studi ini, pada dasarnya bertumpu pada pertnyaan pokok penelitian adalah bagaimana petani mengorganisasikan dirinya dalam menjalankan usaha pertaniannya? Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut Syahyuti (2012) melakukan rekonseptualisasi terlebih dahulu terkait konsep

(39)

“Kelembagaan”, “Lembaga”, dan “Organisasi. Menurut Syahyuti selama ini sering terjadi kekeliruan, yaitu menyamakan ketiga konsep tersebut.

Menurut Syahyuti (2012) sebelum dikenal organisasi formal, petani (pekebun) telah mengorganisasikan dirinya (self organizing)

sedemikian rupa dengan basis pada relasi patron-klien,sentimen keke-rabatan,basis sentimen teritorian,ataupun pengorganisasian berbasis personal. Lebih jauh Syahyuti menjelaskan bahwa dalam menjalankan usaha pertaniannya petani menghadapi kerangka kelembagaan

(institusional framework) yang memberi batasan sekaligus pedoman baik dalam posisinya sebagai individu maupun dalam bentuk orga-nisasi. Kerangka utama yang dihadapi petani tersebut adalah regulasi pemerintah dan norma ekonomi dari pasar.

Tabel 2.1. Rekonseptualisasi “Lembaga” dan ”Organisasi”

Sumber: Syahyuti, 2012: 26 Terminologi bahasa Inggris Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Terminologi Semestinya

Batasan dan materinya

1. Institution Kelembagaan Lembaga Berisi norma, nilai, regulasi, pengetahuan, dll. menjadi pedoman dalam berperilaku aktor (individu dan organisasi)

2.Institusional Kelembagaan, institusi

Kelembagaan Hal-hal yang berkenaan dengan lembaga

3.Organization Organisasi, Lembaga Organisasi Adalah social group, aktor sosial, yang sengaja dibentuk punya anggota untuk mencapai tujuan tertentu dimana aturan dinyatakan tegas. Misalnya koperasi, kelompok tani, kantor pemerintah

4.Organization Keorganisasian, Kelembagaan

Keorganisasian Hal-hal yang berkenaan dengan organisasi.Misalnya kepemimpinan, keanggotaan, manajemen keuangan, organisasi kapasitas, organisasi relasi dengan organisasi lain.

(40)

B. Faktor-faktor Kelembagaan

Ada beberapa faktor terkait konseptualisasi kelembagaan, maka riset obed Haba Nono (2011) layak diketengahkan guna mempertajam pemahaman penataan kelembagaan. Menurut Nono (2011) mengutib Hayami dan Ruttan bahwa konsepsi dan anatomi kelembagaan di perdesaan, merupakan wujud dari keterkaitan antar empat faktor, yaitu dukungan sumber daya (resource endowments),dukungan budaya

(cultural endowments), teknologi (technology), dan kelembagaan

(institution).Oleh karena itu sumberday alam sumber daya manusia, teknologi dan kelembagaan merupakan empat faktor tersebut saling meunjang. Oleh akrena itu, penerapan teknologi saja tidak cukup untuk mengatasi permasalahan di tingkat usahatani tapi perlu diimbangi dengan pengelolaan sumber daya alam, manusia dan kelembagaannya.

Dalam kaitan dengan revitalisasi perternakan, menurut Daryanto (2017) faktor kelembagaan dapat dilihat dalam dua aras yaitu: a) aras makro yang memfokuskan pada domain aturan main (rules of the games). Aturan main ini pada dasarnya akan mempengaruhi tatanan perilaku dan kinerja dari para pelaku yang terlibat dalam proses transaksi dan ;b) aras mikro yang lebih memfokuskan pada institusional arrangement, sebagai upaya mengatur antar unit sosial-ekonomi mengenai cara-cara bekerjasama dan berkompetisi di antara anggota-nya dalam mencapai tujuan.

Selanjutnya Daryanto menjelaskan bahwa pemahaman akan makna faktor institusi ini menjadi penting artinya karena aktivitas di ektor peternakan baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi melibatkan banyak pihak yang berkepentingan. Hambatan yang sering dijumpai di sektor peternakan adalah upaya untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan yang seringkali bertentangan satu dengan yang lainnya..Salah satu kunci sukses keberhasilan program revitalisasi pembangunan peternakan terletak sejah mana kita akan melakukan penguatan kelembagaan.

Sejalan dengan riset Daryanto, Tri Pranadji (2003) membuktikan bahwa kerapuhan kelembagaan memang bisa dipandang sebagai

(41)

“biang keladi” kegagalan pengembangan perekonomian pedesaan, yang pada gilirannya hal ini tercermin pada perekonomian nasional yang tidak dapat mengelak dari krisis. Lebih jauh Tri Pranadji men-jelaskan bahwa paling tidak ada empat aspek (faktor) kelembagaan yang perlu mereka pahami, yaitu: kepemimpinan, tata nilai, keorga-nisasian sosial dan tata (otonomi penyelenggaraan) pemerintahan (daerah) yang sehat. Karena kekurangan pemahaman tadi, banyak ditemukan operasionalisasi kebijakan pengembangan kelembagaan pedesaan di lapangan yang bukan saja sulit mencapai hasil yang diharapkan namun juga (justru) menimbulkan perusakan dan gejala kontra produktif terhadap khasanah lembaga setempat yang sudah lama hidup dan berakar pada budaya setempat. Apapun bentuk dan jenis lembaganya, jika upaya pengembangannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah universal dan diterima masyarakat setempat maka hal tersebut akan menimbulkan kemubaziran.

Gambaran faktor kelembagaan Tri Pranadji diatas selaras dengan temuan Artuo Israel (1992) yang melakukan riset Pengembangan Ke-lembagaan. Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. Riset ini meng-ajukan pertanyaan pokok, yaitu mengapa prestasi satu lembaga lebih baik daripada lembaga lainnya yang berada dalam lingkungan yang serupa? Untuk menjawab pertanyaan riset tersebut Arturo Israel me-lakukan analisis terhadap pengembangan kelembagaan (atau analisa kelembagaan). Analisis Israel menunjukkan bahwa prestasi suatu lembaga terkait kepada (faktor-faktor) pengembangan kelembagaan yang menyangkut sistem manajemen, termasuk pemantauan dan eva-luasi; struktur dan perubahan organisasi; perencanaan,termasuk pe-rencanaan untuk suatu proses investasi yang evisien; kebijaksanaan staf personalia; pelatihan staf; prestasi keuangan, termasuk manajemen keuangan dan perencanaan, penyusunan anggaran, akunting dan auditing; perawatan; dan pengadaan.

San Afri Awang (2003) memperkuat pendapat diatas. Menurut Awang bahwa banyak orang berpendapat bahwa kegagalan melakukan kegiatan pembangunan-terutama pembangunan yang berorientasi

(42)

kepada pembangunan masyarakat – disebabkan oleh lemahnya kelembagaan yang ada dalam proses pembangunan tersebut. Secara teknis dan finansial kegiatan pembangunan tersebut nyaris tidak ada masalah, tetapi capaian keberhasilan masih rendah.

Lebih lanjut Awang mengelaborasi bahawa keyakinan banyak orang tentang posisi strategis kelembagaan dalam suatu kegiatan me-miliki dasar yang kuat. Dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang per orang maka kelembagaan tidak menjadi penting, tetapi jika kegiatan tersebut dilakukan oleh banyak orang, banyak aktor, berdampak luas kepada sumberdaya alam, lingkungan sosial, apalagi sebuah gerakan sosial yang luas, maka diperlukan pengaturan, membangun tata nilai bersama, dan bahkan alat ukur keberhasilan yang diakui secara ber-sama-sama oleh semua pihak yang terlibat. Dalam situasi seperti itulah kita memerlukan kelembagaan guna mencapai tujuan bersama.

C. Pentingnya Kelembagaan dan Pemberdayaan

Penataan kelembagaan dan pemberdayaan petani penting di-lakukan. Riset Elizabeth (2007) menunjukkan bahwa penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani mendukung pengembangan agribisnis. Menurut Elizabeth lembaga di pedesaan lahir untuk meme-nuhi kebutuhan sosial masyarakatnya. Sifatnya tidak linier, namun cen-derung merupakan kebutuhan individu anggotanya, berupa: kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman (safe), kebutuhan hubungan sosial (social affiliattion), pengakuan (esteem), dan pengembangan pengakuan (self actualization). Manfaat utama lembaga adalah mewadahi kebutuhan salah satu sisi kehidupan sosial masyarakat, dan sebagai social control, sehingga setiap orang dapat mengatur perilakunya menurut kehendak masyarakat.

Lebih jauh Elizabet (2007) menjelaskan bahwa lembaga yang ada sekarang berkembang di pedesaan merupakan lembaga modern, karena umumnya telah memiliki: 1) struktur dan tata nilai yang jelas; 2) telah diformalkan (dengan terdapatnya kepastian anggota dan proses

(43)

pelaksanaan);3) adanya aturan tertulis dalam anggaran dasar dan rumah tangga; 4) adanya kepemimpinan yang resmi; dan 5)biasanya sengaja dibentuk karena tumbuhnya kesadaran pentingnya keberadaan lem-baga tersebut.

Mosher seperti yang dikutib dalam Totok Mardikanto dan Poer-woko Soebianto (2012) menjelaskan bahwa untuk membangun struktur pedesaan yang progresif dibutuhkan kelembagaan-kelemba-gaan: (1) sarana produksi dan peralatan pertanian,(2)kredit produksi, (3) pemasaran produksi, (4) percobaan/pengujian lokal,(5) penyulu-han, dan (6) transportasi.

Selaras dengan penelitian di atas, Sutoro Eko (2013) meneliti pembangunan dan kesejahteraan di pedesaan. Menurut Sutoro bahwa inkulisifitas daerah banyak ditentukan oleh proses pelembagaan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan. Demikian pula, Amin Tohari (2013) menunjukkan bahwa perangkap demokrasi populer dan liberal memang tidak memikirkan persoalan kesejahteraan. Karena itu kita harus keluar dari perangkap demokrasi minimalis tersebut dan melaku-kan pemberdayaan, basis empiris masyarakat argraris terletak pada penguasaan tanah dan ternyata konflik penguasaan tanah memiliki kaitan erat dengan kelembagaan demokrasi.

(44)
(45)

Bab III

PENATAAN

KELEMBAGAAN

DAN

PEMBERDAYAAN

(46)
(47)

Bab III

PENATAAN KELEMBAGAAN

DAN PEMBERDAYAAN

A. Isu Kelembagaan dan Pemberdayaan

Persoalan besar di Indonesia termasuk Riau terkait kelembagaan perkebunan adalah semakin maraknya konflik yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) terutama perkebunan kelapa sawit. Berbagai studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa konflik ini tidak hanya melibatkan pemerintah (Daerah), perusahaan, mas-yarakat lokal, tetapi sudah melibatkan dunia internasional, meng-akibatkan kerugian sosial dan ancaman terhadap legitimasi pemerintah. Fakta itu menunjukkan bahwa konflik semakin banyak dan intensitasnya semakin meningkat. Hasil penelitian terdahulu menunjuk-kan bahwa terdapat pola dan arah interaksi konflik aktor yang semakin dinamik dan vertikal, arena dan jaringan yang beragam. Masalah ini berkaitan dengan pentingnya penataan kelembagaan dan pember-dayaan petani perkebunan kelapa sawit. Dalam kaitan penataan institusional buku ini mengidentifikasi sejumlah isu, yaitu: aktor yang ikut serta sebagai para pihak berkepentingan; Tujuan dan kepentingan para aktor kelembagaan; Bagaimana para aktor berkoalisi; dan apa sumberdaya para pihak tersebut.

(48)

Buku panduan ini bermaksud menginformasikan cara-cara menata kelembagaan petani dalam memanfaatkan sumberdaya limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah ternak sapi dengan model siner-gisitas pemberdayaan kelembagaan petani. Berikut ini akan diuraikan apa saja langkah-langkah yang dilakukan dalam mengelola berbagai isu dalam penataan kelembagaan dan pemberdayaan petani.

B. Langkah-Langkah

1. Kelompok tani, tokoh setempat bersama-sama PPL atau peme-rintah setempat mengadakan pertemuan dengan tujuan memus-yawarahkan permasalahan dalam memanfaatkan potensi limbah perkebunan kelapa sawit dan peternakan sapi (perikanan) yang tersedia di wilayah kampong/desa masing-masing. Para aktor lokal ini menegosiasikan berbagai isu kebijakan perkebunan yang muncul kepermukaan. Pertemuan ini dimaksudkan untuk menumbuh-kembangkan kesadaran bersama akan manfaat dan keuntungan ekonomi, sosial yang didapat bagi petani, kampong, daerah dan negara.

2. Inisiatif pertemuan dapat juga datang dari Penghulu/Kepala Desa/ PPL bersama-sama dinas terkait, perangkat kampung melalui rapat koordinasi di tingkat kecamatan dalam membahas isu-isu kebijakan mengenai perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya, dilanjutkan pem-bahasannya dengan para pengusaha perkebunan dalam rangka membangun kerjasama dan saling tukar informasi. Kemudian, membuat kesepakatan-kesepakatan mengenai problem kebijakan untuk dibahas bersama-sama.

3. Penghulu dan Perangkat lampung dapat juga memperoleh informasi mengenai persoalaan pemanfaatan potensi perkebunan dan pe-ternakan tersebut langsung ke masyarakat atau kelompok tani misalnya melalui tatap muka memusyawarahkan pembangunan kampong dengan turun ke kelapangan atau workshop.

(49)

mendapatkan informasi mengenai persoalaan pemanfaatan potensi perkebunan dan peternakan, melalui musyawarah bersama mem-bahas apa masalahnya, apa langkah atau strateginya. Selanjutnya, para tokoh ini dapat menegosiasikan dengan para birokrat dan politisi lokal. Pola negosiasi yang disepakati dapat berupa win-win solution atau bagi hasil perkebunan. Misalnya para petani peserta dapat membeli kebun dan saham pabrik dengan meng-gunakan fasilitas kredit lembaga pembiyayaan yang ada. Skim kre-dit ini difasilitasi ketersediannnya oleh pengusaha pengembang atau dapat melalui koperasi. Petani pekebun sebagai pemilik menyerah-kan pengelolaannya melalui kontrak manajemen atas dasar kese-pakatan.

5. Kesepakatan para pihak yang bertikai dapat juga berupa peman-faatan kesempatan kerja yang dibutuhkan perusahaan. Karena kualifikasi kerja yang dibutuhkan perusahaan belum dipenuhi, maka calon tenaga kerja lokal itu terlebih dahulu dilatih. Masyarakat atau pemuda setempat bersama-sama perusahaan perkebunan menjadi penyelenggara bagi pendidikan dan latihan kerja bagi calon tenaga kerja yang akan ditempatkan di perusahaan. Masyarakat menyediakan tempat, sementara perusahaan menanggung pem-biayaan, materi dan intsruktur

6. Dalam hal pengelolaan konflik pertanahan, konsep pengelolaan konflik dimulai dari penataan kembali luas areal perusahaan per-kebunan swasta (PBS) kelapa sawit yang telah memiliki waktu operasi lebih dari 10 tahun keatas. Pendataan ini dapat dilakukan oleh Disbun, setelah menghitung apakah PBS sudah dapat me-ngembalikan investasi yang dikeluarkan. Setelah itu, 10% dari luas lahan PBS diperuntukkan bagi masyarakat tempatan, dan untuk kas Desa disekitar perkebunan. Lahan yang 10 % itu dikelola melalui pola kemitraan (seperti pola KKPA). Sehingga model penanganan konflik lahan kelapa sawit ini dapat meredam sekaligus memper-timbangkan kepentingan masing-masing pihak yang bertikai. Karena pada prinsipnya masing-masing pihak itu sebenarnya saling

(50)

membutuhkan. Perusahaan perkebunan dapat beroperasi, mas-yarakat tempatan dapat menjalankan hidup dan kehidupannya, Pemda dapat menjalankan fungsi-fungsi pemerintahahnya. 7. Pola interaksi aktor dalam situasi konflik perkebunan Kelapa sawit

ini dilandasi perspektif ekonomi-politik yang mempertimbangkan kekuatan politik dan ekonomi yang berkembang di tingkat lokal dalam memperebutkan sumber daya perkebunan kelapa sawit se-perti yang sudah diuraikan dibahagian terdahulu. Konsepsi ini dimaksudkan untuk memberikan landasan prinsipil aturan main dalam berinteraksi para aktor lokal. Dari pola interaksi inilah model sinergisitas kebijakan ditemukan dan diharapkan dapat menekan potensi destruksi misalnya saling bakar, dan sebagainya. Pada akhirnya diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi terjadinya perubahan dan tumbuhnya dinamika masyarakat di tingkat lokal.

C. Prakondisi yang Dibutuhkan

1. Pemikiran akan pentingnya mengikutsertakan berbagai pihak yairtu pemerintah, masyarakat, petani dan swasta (PMS) melalui proses musyawarah dalam menyelesiakan berbagai permasalahan petani. Terbukanya ruang publik ini, dimana didalamnya ada komunikasi timbal balik dan interaksi sosial berbagai pihak terutama para petani. Persoalan selama ini kelompok kelompok tani aatau para petani baru dilibatkan ketika muncul masalah. Oleh karena itu, pelibatan petani seharusnya sejak tahapan isu kebijakan, masalah kebijakan, dan implementasi kebijakan, sehingga tindakan peme-rintah dan petani mendapat legitimasi.

2. Kondisi yang kondisional artinya penyelesaian masalah dapat bersifat linier atau lingkaran, bisa dari isu kebijakan, masalah dan formulasi. Sebaliknya dari formulasi jika ada masalah konflik dapat direkronstruksi dari memahami isi-isu kebijakan. Sehinggga diharapkan model ini tidak hanya dapat diinisiasikan oleh pe-merintah, melainkan kelompok-kelompok sosial yang tumbuh cepat di era reformasi dewasa ini.

(51)

3. Model ini mengetengahkan empat variabel ekonomi-politik utama yang seringkali menimbulkan ketegangan sosial-politik yaitu; aktor, kepentingan,basis sosial,dan sumberdaya. Sepanjang yang penulis ketahui, belum ada model formulasi kebijakan publik yang meng-gunakan variabel-variebel sosial-politik tersebut.

Prakondisi penataan kelembagaan dan pemberdayaan petani didasarkan pada sudut pandang kemitraan. Adapun tahapan kemitraan yang sederhana digambarkan dengan baik oleh Jeff Campbell (1999) adalah sebagai berikut:

1. Harus duduk dan bicara bersama. Kedengarannya sederhana, tapi kadang-kadang kita tidak bicara bersama, ada satu pihak yang bicara dan ada pihak yang hanya mendengarkannya, ada pihak yang menawarkan dan ada pihak yang setuju. Contoh yang baik di keluarga.

2. Membuka hati dan menciptakan rasa saling percaya. Apabila melihat sejarah, ada sejarah yang tidak enak, tapi itu harus dihilang-kan.

3. Mencoba saling mengerti dan menghormati, bukan hanya untuk pejabat

4. Tukar menukar impian dan bayangan, biasanya sampai sekarang pembangunan dimulai dari masalah. Tapi sekarang dibalik, kita mulai dengan bayangan apa yang kita harap dari untuk anak-anak. 5. Tukar menukar informasi. Ini sukar sekali dalam dalam prakteknya,

misalnya apabila ada aturan baru apakah disebarluaskan. 6. Mencari kesamaan dan ketidaksamaan secara damai. Maksudnya

harus ada pengakuan dimana ada isu-isu yang beda, dan didiskusi-kan dan diakui secara terbuka. Sementara ini ada kebiasaan yang mendasar bahwa kita harus menyamakan pendapat dan kalau ber-beda justru diabaikan.

7. Mencari Kesepakatan yang minimal. Pasti ada beberapa hal yang sama, cari itu pada tahap awal.

(52)

penting diakui dulu, setelah diakui baru kita bias bicara, kadang-kadang ada persepsi bahwa ini adalah tujuan jelas, ini sudah ada peraturan, seharusnya semua orang sudah mempunyai persepsi yang sama, dan ada istilah sosialisasi yang berarti supaya orang lain berfikir sama seperti kita, tapi bukan belajar bersama dan melihat perbedaan persepsi dan mengakuinya.

9. Merubah ketidaksamaan yang gampang diubah. Kalau ada per-bedaan yang sifatnya kecil-kecil itu harus diubah.

10. Selalu mencoba bernegosiasi dan kompromi. Dengan era refor-masi, pemerintah baru sekarang siap bernegosiasi dan berkom-promi, termasuk melihat kembali peraturan.

11. Mulai dengan beberapa kegiatan sederhana secara bersama. Ha-rus ada kegiatan yang membuktikan bahwa ini kemitraan yang benar.

12. Sering bertemu dan sering berbicara bersama. Kita kadang-kadang apabila kita sudah duduk bersama satu atau dua kali maka kita sudah cukup, padahal perubahan selalu terjadi. Kita harus selalu adaftif dengan keadaan yang sekarang.

13. Memantau kegiatan berdasarkan indicator yang disetujui bersama. Biasanya indikator hanya satu pihak yang tahu. Mengakui indicator yang berbeda. Misalnya di TN ada kepentingan untuk melestarikan keanekaragaman hayati, mungkin dari kepentingan masyarakat ada yang lagi, misalnya untuk menacari kayu bakar, jamu dsb. Tapi indicator bersama harus dipantau terus.

(53)

Bab IV

ALAT DAN

TINDAKAN PENATAAN

(54)
(55)

A. Model Kelembagaan dan Pemberdayaan Petani

Tindakan penataan kelembagaan dan pemberdayaan petani terdiri dari dua tahap dengan mengikutsertakan para pihak yaitu petani, Pelaku usaha/swasta; dan pemerintah. Adapun kedua tahap tersebut adalah sebagai berikut: pertama, kerangka dasar yang terdiri dari isi isu kebijakan, masalah, formulasi dan legitimasi kebijakan. Pada tingkat isi kebijakan keterlibatan kelompok tani sudah intens dilakukan. Semakin beragam kelompok sosial yang ikut semakin terbuka ke-mungkinan perubahan akan kesadaran pentingnya pengelolaan masalah.

Secara empirik, pada tingkat isu kebijakan ini meskipun beragam nilai yang ditawarkan namun seringkali didapatkan konsensus. Pada batas-batas tertentu memang dibutuhkan kemampuan menanamkan pengaruh dan setiap kelompok masyarakat biasanya ada yang ber-pengaruh. Tahapan ini menentukan tahapan masalah kebijakan, isu kebijakan dapat sama namun masalah yang dimunculkan sangat be-ragam. Hal ini sangat tergantung sudut pandang yang dipakai. Singkat kata, isu dapat sama namun masalahnya dapat berbeda. Secara

Bab IV

(56)

empirik, inilah sumber konflik sosial-politik yang utama dewasa ini di tingkat lokal. Model-model kelembagaan petani harus dilibatkan sejak tahapan isu kebijakan, masalah kebijakan, dan formulasi kebijakan. Sehingga tindakan pemerintah menjadi tindakan bersama dalam me-ngelola masalah petani.

Para pihak yang terkait petani, swasta, dan pemerintah terlebih dahulu diidentifikasi apa yang menjadi tujuan dan kepentingannya. La-ngkah ini mengasumsikan para aktor adalah individu atau institusi yang berupaya memaksimalkan utulitas, dan melakukan perhitungan keuntu-ngan dan kerugian sebaik-baiknya dalam mencapai tujuan. Aktor-aktor tersebut baik yang berasal dari kalangan pemerintah seperti PPL, Penghulu/Kepala Desa, Kepala-Kepala Dusun, Kerani, BPD. Mau-pun kelompok-kelompok sosial lainnya misalnya kalangan Perusahaan pengembang kebun sawit.

Para pihak yang terkait dalam pengelolaan kelembagaan dan pemberdayaan petani memiliki, preferensi masing-masing mengenai tindakan pengelolaan SISKA. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat setidaknya empat pola kebijakan pengembangan kelapa sawit yakni Pola ; Perkebunan Besar Swasta, Perkebunan Besar Negara, Perke-bunan Rakyat, Perusahaan Inti Rakyat (PIR), dan perkePerke-bunan K2I. Dari lima pola tersebut dalam pelaksanaannya terdapat paling tidak empat isu utama, yaitu pertanahan, lapangan kerja, teknologi, dan lingkungan.

Dalam menentukan pilihan-pilihan terhadap penanganan isu-isu ini para pihak digambarkan sebagai pihak yang suka pada pola yang dapat memaksimalkan keuntungannya. Mendiskripsikan bagaimana para aktor berkoalisi dalam mencapai tujuan. Koalisi ini dilakukan dalam rangka memperkuat daya tawar terhadap kelompok lain. Para pihak terkait mengkrompomikan kepentingannya dengan pihak atau kelompok lainnya. Langkah ini antara lain bertujuan untuk men-dapatkan dukungan dalam memperkuat koalisi. Dalam kasus pemba-ngunan SISKA di Riau. Kelompok yang “mendukung” perolehan “hasil” kelapa sawit baik yang berasal dari kalangan pemerintah Daerah

Gambar

Tabel 1.1. Pertumbuhan Aset Rumah Tangga Petani Plasma, Mandiri dan Non Sawit, 2014
Tabel 1.2.  Perbandingan Pendapatan per Ha Petani Sawit Plasma, Mandiri, dan Petani Non Swait (PASPI, 2014)
Gambar 1.3. Jumlah Rumah Tangga Usaha Peternakan (Juta), 2003 dan 2013
Tabel 1.4 Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaannya Tahun 2000-2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan

Namun kenyataan di lapangan bahwa dalam pelaksanaannya ada beberapa syarat yang belum dipenuhi dalam pelaksanaan implementasi kebijakan sertifikasi kompetensi SDM

Beberapa nilai siswa tidak mencapai kriteria ketuntasa minimal (KKM), namun setelah menggunakan Mobile Learning Media bermuatan ethnoscience menunjukkan bahwa

Gabungan kata atau kelompok kata yang merupakan frasa yang tidak berderivasi tidak diberlakukan sebagai lema atau sublema, tetapi diberlakukan sebagai contoh pemakaian

MASJID JUM’AH MADINAH.. khutbah dan inilah merupakan shalat berjamaah jum’at pertama yang dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. walaupun perintah shalat berjamaah jum’at telah

Namun, sesungguhnya yang lebih dahsyat dari gegap gempita ini adalah kenyataan bahwa suatu program acara televisi bisa juga memberi manfaat sehat bagi orang

Di tengah suasana yang serba meriah dan marak itu, semoga saja esai ini bisa jadi pengingat bagi banyak pihak, termasuk pemilik/pengelola Galeri Nadi: bahwa ada banyak harapan

 Secara ideal, sumber daya manusia yang diharapkan untuk melaksanakan penanggulangan HIV dan AIDS adalah mereka yang selama ini telah bekerja di sektor kesehatan