• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar IV.7a. Indeks Sunspot vs tahun banjir Jakarta (tanda ) dan curah hujan maksimum hasil reanalisis daerah Jakarta (tanda ).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar IV.7a. Indeks Sunspot vs tahun banjir Jakarta (tanda ) dan curah hujan maksimum hasil reanalisis daerah Jakarta (tanda )."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 1910 1915 1920 1925 1930 1935 1940 1945 1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 Tahun S u n sp o t I n d ex ( x 100) . ANFIS DATA

Gambar IV.7a. Indeks Sunspot vs tahun banjir Jakarta (tanda ) dan curah hujan maksimum hasil reanalisis daerah Jakarta (tanda ).

Pola indeks sunspot saat kejadian banjir DKI-Jakarta tahun 1918, 1942, 1976, 1996, 2002 dan 2007 (Caljouw et al., 2004; kantor berita radio 68 H) sebagaimana dalam Gambar IV.7a, terjadi pada saat kondisi indeks sunspot maksimum dan minimum. Banjir DKI-Jakarta tahun 1942, 1976, 1996 dan 2007 terjadi pada indeks sunspot minimum. Adapun banjir tahun 1918 dan 2002 terjadi pada saat nilai indeks sunspot maksimum.

Perbedaan antara kejadian banjir 2002 dan 2007 disebabkan oleh pola sunspot maksimum dan minimum. Aktivitas matahari yang diwakili oleh ledakan maksimum Eruption Maximum (EM), bintik surya minimum Sunspot Minimum (SM) akan berpengaruh pada perubahan iklim.

Secara fisis kejadian banjir tahun 2002 diakibatkan ketika aktivitas matahari maksimum (EM), akan mengakibatkan fluks sinar kosmik yang sampai ke atmosfer bawah menjadi minimum. Adapun akibat energi tambahan dari flare ketika terjadi EM maka iradiansi energi surya yang sampai ke permukaan bumi menjadi maksimum, mengakibatkan timbulnya tutupan awan maksimum. Adapun fenomena banjir tahun 2007 terjadi ketika aktivitas matahari rendah atau bintik surya minimum (SM), akan mengakibatkan fluks sinar kosmik maksimum sehingga tutupan awan menjadi maksimum. Hal ini berarti iradiansi energi surya

Digitally signed by Institut Teknologi Bandung DN: cn=Institut Teknologi Bandung, o=Digital Library, ou=UPT Perpustakaan ITB, email=digilib@lib.itb.ac.id, c=ID Date: 2013.06.13 14:39:27 +07'00'

(2)

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 Tahun S uns pot M ut lak x 100

Gambar IV.7b. Sunspot mutlak vs tahun banjir Jakarta (tanda ) dan curah hujan maksimum reanalisis daerah Jakarta (tanda ).

Sebagaimana dalam Gambar IV.7b terlihat pola kejadian tahun banjir Jakarta dan curah hujan maksimum reanalisis Jakarta, cukup konsisten dengan korelasi hasil perhitungan sunspot mutlak. Dimana sunspot mutlak dihitung dari nilai mutlak indeks sunspot dikurangi dengan rata-rata indeks sunspot. Dengan analisis fisis keterkaitan aktivitas matahari dengan perubahan iklim dimulai dari partikel bermuatan dari lontaran massa korona memodifikasi medan magnetik antara bumi-matahari, kemudian masuk ke kutub bumi dan menabrak atmosfer bumi yang menyebabkan alih energi disertai muncul gejala Aurora (Liong et al., 2007).

Svensmark dan Friis-Christensen (1997) menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antara lapisan awan total dari data International Sattelite Cloud Climate

Project Version C2 (ISCCP C2) dan data fluks sinar kosmik antara tahun 1984

dan 1991. Penelitian yang dilakukan, adalah dengan menganalisis data nilai-tengah bulanan dari awan total di atas samudra-samudra antara 60°S dan 60°N dari satelit-satelit geostationary. Kemudian penelitian selanjutnya adalah memperluas analisisnya untuk data tahun 1980 sampai 1996 menggunakan data awan dari satelit-satelit Defense Meteorological Sattelite Program (DMSP) dan Nimbus-7. Hasil yang diperoleh bahwa ada suatu pengaruh yang kuat antara aktivitas matahari dan perubahan iklim. Studi-studi lain yang menunjukkan bahwa

(3)

6 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 7 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 TAHUN T ut upan A w an ( x10% ) 3300 3400 3500 3600 3700 3800 3900 4000 4100 4200 4300 Si na r Ko sm ik

Tutupan Aw an Sinar kosmik

variasi-variasi di dalam aktivitas matahari mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap iklim di atas bumi. Dimana dalam penelitianya ditunjukan adanya korelasi yang tinggi antara aktivitas matahari dan pengaruh fluks sinar kosmik galaktik dengan suhu permukaan Bumi (Marsh and Svensmark, 2003; Svensmark dan Christensen, 1997; Bard and Frank, 2006; Kristjansson et al., 2002; Shaviv, 2002a dan Sahviv, 2002b).

Gambar IV.7c. Korelasi fluks sinar kosmik dengan data tutupan awan daerah Jakarta tahun 1980-1988 (sumber: tutupan awan: BMKG).

Sebagaimana Gambar IV.7c merupakan perhitungan korelasi antara fluks sinar kosmik dengan data tutupan awan dari data klimatologi BMKG stasiun Jakarta untuk tahun 1980-1988, diperoleh adalah 0.76. Dengan demikian maka sebagai analisis global dinamika atmosfer, dimungkinkan adanya pengaruh pola sunspot dan fluks sinar kosmik dengan kejadian curah hujan ekstrim. Hal tersebut dibuktikan baik sebagai hipotesa fisis maupun hasil penelitian sebelumnya yang menunjukan adanya korelasi antara sinar kosmis dan tutupan awan.

Dalam penelitianya Baskoro (2008) menunjukan adanya korelasi antara fluks sinar kosmik dengan liputan awan total dan awan atas kawasan Indonesia dalam periode 1979-1995. Hasil penelitian lain di wilayah Indonesia juga memperlihatkan adanya korelasi tinggi antara aktivitas matahari dengan suhu permukaan, konsentrasi ozon, osilasi quasi-biennial (QBO), curah hujan, cincin

(4)

IV.1.4 Karakteristik Awan Konveksi

Pergerakan MJO ke arah timur bersama angin baratan (westerly wind) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi awan cumulus tebal. Awan konvektif ini menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi sepanjang penjalarannya. Pembentukan awan cumulus melalui proses konveksi disebabkan terjadinya konvergensi angin bertekanan rendah di permukaan yang secara intensif dan berlangsung cukup lama. Sebaliknya di lapisan menengah pergerakan vektor angin tenggara yang berlawanan dengan arah angin di lapisan bawahnya akan membawa massa udara akibat proses depresi di Samudra Hindia bagian timur pada saat meluruhnya IOD. Kondisi itu menyebabkan gaya gesekan angin secara menegak (wind vertical shear) yang besar di permukaan dan mengakibatkan kondisi sangat kondusif untuk intensifikasi pembentukan awan cumulus dalam waktu lama dan berulang dalam sehari. Karakteristik pola awan yang tumbuh saat kejadian banjir Jakarta, menjadi sangat penting sebagaimana analisis pengaruh efek lokal terlihat pola pertumbuhan awan konvektif yang besar.

Menururt Guo et. al. (2006), Nasution (2004) dan Haryanto (2007) awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis awan cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dengan bentuknya yang seperti bunga kol. Awan cumulus terjadi karena proses konveksi. Sebagaimana penjelasan di atas fenomena banjir Jakarta diindikasikan diawali oleh pertumbuhan awan konvektif, maka analisis perhitungan indeks konvektif baik data Infra Red 1 (IR 1) temperature maupun OLR menjadi penting. Hal tersebut dikaitkan dengan penerapan teknologi modifikasi cuaca sistem statis untuk meminimalisasi kejadian curah hujan ekstrim.

IV.1.4.1 IR1 (Infra Red 1) temperature

Data lengkap baik menurut IR1 temperature maupun data curah hujan DKI-Jakarta dimana hujan dimulai pada tanggal 27 Januari 2002, dengan curah hujan terbesar atau ekstrim terjadi pada tanggal 29 Januari 2002, adapun untuk kejadian banjir 2007 curah hujan ekstrim terjadi pada 1 Februari 2007. Fenomena hujan ekstrim tersebut dianalisis berdasarkan pola dinamika awan (data IR1

(5)

awan di DKI Jakarta dimulai tanggal 27 Januari 2002, namun pertumbuhan awan maksimum terjadi pada tanggal 29 Januari 2002 yang dimulai pada waktu 00–03 UTC (07-09 WIB). Adapun untuk banjir tahun 2007 pertumbuhan awan dimulai pada 25 Januari 2007 hingga 2 Februari 2007. Hal ini yang menunjukan kesamaan pola tutupan awan yang dominan di atas Jakarta untuk kejadian banjir 2002 dan 2007.

Gambar IV.8a.. Pola perubahan IR1 Temperature 29 Januari 2002,

b. Pola perubahan IR1 Temperature 31 Januari 2007, pada 00 UTC DKI-Jakarta.

Keuntungan dari citra inframerah dapat memberikan citra pada siang dan malam hari. Citra inframerah termal menunjukkan temperatur daratan, lautan atau

(a) (b)

(6)

-200 -100 0 100 200 300 400 500 600 700 800

Jan-89 Jan-91 Jan-93 Jan-95 Jan-97 Jan-99 Jan-01 Jan-03 Jan-05 Jan-07 Bulan P-PE ( m m /Bu la n) hangat berkisar 00 – 300

Gambar IV.9. Neraca air Daerah Jakarta Bulanan tahun 1989-2007.

C umumnya merupakan rata-rata daratan dan lautan tanpa tutupan awan. Adapun untuk temperatur yang sangat dingin menunjukkan puncak awan yang sangat tinggi, biasanya mengindikasikan aktivitas konveksi yang sangat kuat.

Pola tutupan awan sebagaimana dalam Gambar IV.8a dan b, menunjukan terjadinya pertumbuhan konveksi aktif selama terjadinya curah hujan ekstrim. Akan tetapi perlu diperjelas secara spesifik untuk melihat efek lokal dari pola tersebut. Dengan demikian maka perlu menganalisis data Infra Red 1 (IR 1) dalam perhitungan indeks konveksi untuk melihat posisi maksimum dari pola tutupan awan tersebut.

IV.1.4.2 Perhitungan Neraca Air

Mengkaji pola distribusi hujan dan neraca air sangat bermanfaat untuk studi lingkungan, untuk mengetahui ketersediaan air. Perhitungan ini menggunakan metode statistik dan metode Thornthwaite dan Mather (1957) untuk analisis neraca air.

Perhitungan neraca air dilakukan dengan masukan berupa data curah hujan bulanan (mm/bulan), Water Holding Capacity (WHC) berdasarkan perubahan penggunaan lahan serta letak lintang tiap stasiun penakar hujan, hal tersebut

(7)

merupakan variabel dari perhitungan Evapotranspirasi Potensial. Perhitungan neraca air daerah Jakarta sebagaimana dalam Gambar IV.9 terlihat mengalami kenaikan untuk tahun 1996, 2002 dan 2007 dimana terjadi banjir besar, hal ini mengindikasikan terjadi peningkatan jumlah curah hujan setiap tahunnya. Namun pada Bulan Juni-Agustus terjadi kekurangan ketersediaan air (Sunarto, 2007).

IV.1.4.3 Indeks Konveksi IR-1

Perhitungan indeks konveksi dari data IR 1, kejadian banjir DKI-Jakarta tahun 2002 dan 2007 ada perbedaan pola. Sebagaimana pada Gambar IV.10 a,b dimana untuk perioda 2002 puncak konveksi terjadi mulai tanggal 28 Januari hingga 30 Januari 2002 dengan arah lintasan dari darat ke laut disekitar Jakarta. Namun untuk periode 2007, puncak konveksi dimulai tanggal 31 Januari hingga 2 Februari 2007 dengan lintasan disekitar Jakarta. Analisis data IR 1 berdasarkan perhitungan Houze et. al. (1981), dimana Ic= 0 untuk nilai Tbb = 240 K sedangkan nilai Tbb < 240 K maka Ic = 240 – Tbb.

Identifikasi pola tutupan dilakukan dengan melihat indeks konveksi maksimum dari hasil perhitungan data IR1, terlihat sebagaimana Gambar IV.11a untuk periode tahun 2003 dan Gambar IV.11b untuk periode 2004. Sebagai analisis perbandingan untuk perhitungan indeks konveksi tahun 2003 dan 2004 dimana terjadi hujan di atas normal, terjadi aktivitas konveksi dalam posisi yang agak bergeser dan dengan nilai indeks konveksi lebih kecil dibanding kejadian tahun 2002 dan 2007 dimana peristiwa banjir besar terjadi di DKI-Jakarta.

Karakteristik pola awan yang tumbuh saat kejadian banjir Jakarta, sebagaimana analisis pengaruh efek lokal terlihat pola pertumbuhan awan konvektif yang besar. Hal ini terlihat dari perhitungan indeks konveksi data IR1 Temperature di DKI Jakarta, untuk periode 2002 dan 2007. Indeks konveksi maksimum tepat pada posisi daerah DKI-Jakarta untuk kedua periode banjir tersebut. Secara fisis dapat diartikan bahwa puncak konveksi terjadi pada saat tejadinya curah hujan ekstrim, pertumbuhan konveksi yang besar dan terlokalisir pada posisi dimana banjir

(8)

Gambar IV.10.a. Indeks Konveksi data IR1 tanggal 28-29-30 Januari 2002 b. Indeks Konveksi data IR1 tanggal 31 Januari dan 1-2-Februari

2007.

a. b.

(9)

Gambar. IV.11a. Indeks Konveksi data IR1 tanggal 4-5-6 Februari 2003 b. Indeks Konveksi data IR1 tanggal 30-31 Januari dan

1 Februari 2004.

a. b.

(10)

IV.1.4.4 Indeks OLR (Outgoing Longwave Radiation)

Di daerah tropis dimana suhu permukaan bervariasi tidak ekstrim sepanjang tahun, perubahan variasi OLR adalah akibat langsung dari perubahan jumlah dan ketinggian awan. Hubungan fisis terhadap awan ini yang membawa pemakaian OLR pada estimasi perhitungan curah hujan pada awal 1980-an. Publikasi pertama dari estimasi ini adalah hasil kerja Lau dan Chan (1983) dimana jumlah hari dengan OLR kurang dari 240Wm-2dipakai sebagai prediktor dari curah hujan bulanan dan dikalibrasi dengan estimasi berdasarkan observasi microwave di lautan tropis (Rao et al., 1976).

Motell dan Weare (1987) menghubungkan total fluks OLR terhadap curah hujan yang didapat dari penakar dan memilih beberapa kepulauan di Pasifik tropis serta membuat hubungan statistik untuk mengestimasi curah hujan dari data OLR. Weare (1987) mengaplikasikan model tersebut pada sistem grid dari data hujan bulanan di Pasifik tropis, kemudian memakainya untuk melihat hubungan antara curah hujan dan suhu muka laut. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa OLR berkorelasi negatif dengan curah hujan. Selanjutnya Yoo dan Carton (1988) dalam penelitianya mengestimasi total curah hujan dan OLR di daerah Atlantik tropis pada periode 1983-1984.

Tehnik estimasi curah hujan dengan data OLR, dimungkinkan dapat dipakai untuk daerah tropis. Hal ini karena fluks dari OLR di daerah ini sangat dimodulasi oleh aktivitas awan konvektif tinggi, dimana sebagian besar curah hujan dihasilkan dari jenis awan tersebut. Arkin (1984) menunjukkan bahwa anomali musiman dari curah hujan di daerah tropis juga berkorelasi negatif dengan nilai OLR. Dia menemukan bahwa 45% dari variansi pada nilai anomali curah hujan musiman daerah Pasifik tropis dapat dijelaskan dari anomali OLR. Perbandingkan dilakukan dengan 57% dari cara yang sama untuk total curah hujan terhadap total fluks OLR. Pada akhirnya beberapa produk iklim yang merupakan gabungan beberapa teknik estimasi turut memadukan data OLR, data satelit dan data in-situ diharapkan dapat mengestimasi kejadian curah hujan (Huffman et al., 1995; Xie dan Arkin, 1996; Huffman et al., 1997).

(11)

Gambar IV.12. Perbandingan Indeks Konveksi dari data OLR (Outgoing

Longwave Radiation) Untuk periode banjir DKI Jakarta a.)

Tahun 2002 dan b). Tahun 2007.

a. b. Jakarta Jakarta w/m2 w/m2

(12)

Gambar IV.13. Perbandingan Indeks Konveksi dari data OLR (Outgoing

Longwave Radiation) Untuk periode banjir DKI Jakarta a.)

Tahun 2003 dan b). Tahun 2004.

Nilai OLR pada puncak atmosfer bumi, adalah fungsi dua hal yaitu awan dan suhu

Jakarta

Jakarta b.

a. w/m2

(13)

kejadian dan cakupan yang luas dari awan tinggi dengan puncak awan yang dingin menandakan curah hujan konveksi dan nilai OLR yang tertekan, sehingga terjadi hubungan korelasi negatif antara total curah hujan dan OLR di daerah dimana hujan konveksi dominan. Untuk daerah tropis, faktor suhu permukaan bisa dieliminir karena perubahan pola suhu permukaan yang relatif kecil sepanjang tahun.

Dalam penelitianya, Arkin (1984) melihat hubungan dari rata rata musiman OLR dan data penakar daerah Pasifik tropis dan menemukan bahwa 57% dari variance curah hujan musiman dapat dijelaskan dari fungsi OLR. Arkin et al. (1989) membandingkan data satelit Geostationary Operational Environmental Satellite (GOES) dengan OLR dan menemukan bahwa penyebaran nilai OLR sangat sesuai dengan estimasi curah hujan oleh GOES Precipitation Index (GPI). Arkin dan Xie (1994) memakai analisis regresi untuk membangun hubungan linier pada estimasi curah hujan dari OLR di daerah tropis.

Ada persamaan kejadian fenomena OLR untuk banjir tahun 2002 dan 2007, analisis data OLR berdasarkan (Matsumoto dan Murakami, 2002): Ic = 220 – OLR dengan nalai OLR = 220 Wm-2, adapun untuk Ic= 0 dimana nilai OLR > 220 Wm-2 dari hasil perhitungan tersbut menunjukan sebelum terjadi hujan ekstrim, terlihat kondisi kering (Gambar IV.12 dan IV.13) pada bulan-bulan tersebut. Hal ini terlihat curah hujan sebelum kejadian sangat lemah, sebagaimana pada Gambar IV.1. Anomali OLR yang tinggi di kawasan Indonesia, dalam hal ini terjadi suatu kondisi kering berlangsung dari 22 Desember 2001 hingga 25 Januari 2002 dan 1 Januari 2007 hingga 25 Januari 2007 untuk periode banjir 2002 dan 2007. Pengolahan data OLR untuk periode 1 Desember 2001–11 Februari 2002 dan 1 Desember 2001–11 Februari 2002 serta 1 Desember 2006 – 11 Februari 2007 sebagaimana dalam Gambar IV.12, menggambarkan perbedaan distribusi tutupan awan. Pada bulan tersebut terlihat diposisi 60LU – 60 LS, terdapat tutupan awan yang besar. Tutupan awan yang besar ini, dapat diasosiasikan dengan adanya konveksi yang besar. Analisis hasil, secara tidak langsung menunjukkan bahwa

(14)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

1-Jan 4-Jan 7-Jan 10-Jan 13-Jan 16-Jan 19-Jan 22-Jan 25-Jan 28-Jan 31-Jan 3-Feb 6-Feb

Harian Cu ra h Hu ja n ( m m ) 2002 2007

Sedemikian sehingga, kejadian curah hujan ekstrim diakibatkan oleh terjadinya konveksi skala besar sepanjang periode dimana banjir besar terjadi.

Adapun sebagai perbandingan dilakukan pengolahan data OLR untuk periode 1 Desember 2002–11 Februari 2003 dan 1 Desember 2003 –11 Februari 2002 serta 4 Desember 2006–11 Februari 2007 sebagaimana dalam Gambar IV.13, pada bulan tersebut konveksi yang terjadi relatif lebih kecil dibanding dengan bulan dimana terjadi banjir besar, meskipun demikian masih terlihat pola konveksi. Pada bulan-bulan ini dianggap konveksi hanya terjadi pada skala lokal, sehingga tidak terlihat dengan data OLR yang mempunyai resolusi rendah. Hal tersebut di atas digambarkan dalam diagram Hovmöller indeks konveksi dari OLR pada periode dimana kejadian banjir besar dan banjir tahunan di DKI Jakarta rata-rata untuk posisi 60 LU – 60

Gambar IV.14. Curah Hujan harian Bandung 1 Januari – 6 Februari 2002 dan 2007.

LS. Secara fisis telah terjadi suatu penyimpanan energi di atmosfer dalam periode tersebut, kemudian dilepas secara bersamaan. Dengan demikian sehingga terjadi dorongan pulsa energi yang besar, dalam hal ini berbentuk energi curah hujan ekstrim. Maka sebagai bahan pertimbangan dimasa mendatang kejadian ini perlu diperhatikan pada saat-saat dimana musim hujan akan mencapai puncaknya.

Sebagai akibat dari pertumbuhan konveksi yang besar, maka curah hujan variasinya sangat besar pada periode tersebut. Berdasarkan analisis data, terlihat

(15)

dan 1 Februari 2007 lebih disebabkan oleh kejadian simultan faktor dinamika atmosfer. Karena dari analisis parameter-parameter menunjukkan pola yang mengarah pada pertumbuhan awan konvektif penyebab hujan lebat atau hujan ekstrim.

Berdasarkan kejadian curah hujan, sebagaimana Gambar IV.1 kondisinya mencapai maksimum pada tanggal 29 Januari 2002 dan 1 Februari 2007. Hal inilah menunjukan bahwa pola pertumbuhan awan konvektif lokal yang besar penyebab terjadinya hujan lebat tersebut. Berkaitan dengan pola konveksi dari perhitungan data OLR (Gambar IV.12) untuk kejadian periode tahun 2002 mengalami konveksi kuat, namun untuk periode tahun 2007 pola konveksi pada tanggal kejadian 1 Februari 2007 sedikit melemah. Hal yang perlu diperhatikan adalah terdapat delay waktu kejadian hujan sebelum terjadi curah hujan ekstrim tersebut untuk periode 2002 dan 2007, secara fisis dianalisis sebagai pengumpulan energi di atmosfer sebagai penyebab curah hujan ekstrim.

Hal mana jika efek global atau sinoptik yang mendominasi maka curah hujan akan terjadi secara menyeluruh sebagai dampak dari efek tersebut (Roxana dan Wajsowicz, 2005), namun kondisi untuk periode 2002 dan 2007 curah hujan tidak merata Gambar IV.14 menunjukan curah hujan harian stasiun Bandung tanggal 1 Januari -6 Februari tahun 2002 dan 2007. Berdasarkan hal tersebut, curah hujan ekstrim penyebab banjir DKI-Jakarta lebih disebabkan oleh kejadian fenomena

vortex yang merupakan efek dinamika atmosfer baik pengaruh faktor lokal, efek

global berupa aktivitas matahari dan fluks sinar kosmik.

Berdasarkan terjadinya pertumbuhan awan konvektif dalam dua periode kejadian curah hujan ekstrim tersebut, maka kejadian banjir tahun 2002 dan 2007 dapat diambil analisis mempunyai kemiripan dalam pola dinamika atmosfernya. Ditinjau secara umum dari sistem iklim di Benua Maritim Indonesia (BMI) dipengaruhi oleh sirkulasi monsun akibat adanya sel tekanan tinggi dan sel tekanan rendah di benua Asia dan Australia secara bergantian. Pada saat musim

(16)

tekanan tinggi di benua Asia sedangkan di Belahan Bumi Selatan pada waktu yang sama terdapat sel tekanan rendah akibat musim panas di benua Australia. Adanya perbedaan tekanan di kedua benua tersebut, menyebabkan terjadinya sirkulasi atmosfer dari benua Asia menuju benua Australia yang dikenal sebagai monsun barat (Hendon, 2003).

Banjir Akhir Januari 2002 terjadi pada saat kondisi iklim regional normal dan juga fase aktif MJO. Banjir Februari 2007 terjadi saat kondisi iklim regional El Nino di Samudra Pasifik dan IOD di Samudra Hindia baru saja meluruh. MJO menjadi faktor dominan kedua selain cold surge dan vortex yang menyebabkan banjir Jakarta 2002. Faktor dominan yang menyebabkan banjir Jakarta 2002 dan 2007, yaitu kehadiran cold surge dan vortex dengan kecepan angin dari arah barat daya lebih besar 10 m/s dan berlangsung dalam waktu cukup lama (12-24 harian); fase aktif osilasi gelombang MJO dalam periode 30-50 harian; dan kondisi lokal adanya massa udara kering pada lapisan menengah (lebih dari 3 km) yang menyebabkan meningkatnya instabilitas angin secara menegak dan pada gilirannya menjadi kondisi kondusif dalam pembentukan awan cumulus melalui proses konveksi pada saat cold surge dan vortex berada di lapisan permukaan (0-3 km) (Wu et. al., 2007)

IV.2 Kajian Numerik

Studi numerik dalam penelitian dilakukan untuk perhitungan simulasi kwantitatip (numerical simulation) dalam menjelaskan kejadian curah hujan ekstrim pada bulan Januari / February 2007 kejadian banjir Jakarta. Dalam penelitian ini digunakan WRF Modeling System versi 2. Model WRF merupakan model skala regional tidak hidrostatis yang dikembangkan oleh Pennsylvania State University /

National Center for Atmospheric Research (PSU/NCAR) seperti yang

digambarkan oleh Dudhia et al., 2005.

Penerapan model ini dapat dilakukan dengan teknologi PC-Cluster yang memungkinkan fitur komputasi paralel pada model dapat dijalankan. Hasil dari penelitian ini dapat diterapkan sebagai model dinamika awan untuk menentukan

(17)

dan menganalisis proses fisis kejadian cuaca ekstrim. Pengkajian terhadap pola konveksi di atas daerah DKI Jakarta berdasarkan data pengamatan, terutama citra satelit resolusi tinggi yang diharapkan memberikan pemahaman mengenai pola pertumbuhan awan konvektif yang menghasilkan hujan lebat dan mendatangkan banjir di wilayah DKI-Jakarta.

IV.2.1 Analisis Numerik Curah Hujan Ekstrim

IV.2.1.1 Analisis Model Cuaca Regional (WRF)

Kajian terhadap dinamika awan di Indonesia akan dilakukan berdasarkan penerapan model cuaca numerik Weather Research and Forecast yang merupakan

software open source dikembangkan oleh National Center for Atmospheric Research (NCAR) di Amerika Serikat. Model tersebut, merupakan model generasi

lanjutan sistem prediksi cuaca numerik skala meso yang didesain untuk prediksi operasional dan kebutuhan penelitian atmosfer.

Model ini mempunyai keistimewaan antara lain, mempunyai variasi 3-dimensional (3DVAR) sistem asimilasi data dan arsitektur perangkat lunak untuk melakukan komputasi secara paralel dan sistem yang ekstensibel. WRF cocok untuk aplikasi yang luas dari skala meter sampai ribuan kilometer, Pengembangkan model WRF dilakukan dengan kerjasama, antara National Center

for Atmospheric Research (NCAR), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), National Centers for Environmental Prediction (NCEP)

dan Forecast Systems Laboratory (FSL), Air Force 17 Weather Agency Naval

Research Laboratory (AFWA), Universitas Oklahoma dan Federal Aviation Administration (FAA) (Skamarock, 2005). Aplikasi model WRF pertama adalah

penentuan daerah domain yang digunakan untuk melakukan downscaling daerah penelitian (lihat Gambar IV.15a) (Michalakes et al., 1999 dan Skamarock et al., 2005). Penerapan model dalam penelitian ini, yaitu mencakup proses mikrofisika (microphysics), parameterisasi awan cumulus (cumulus parameterization), pemilihan luasan atau area daerah penelitian dimaksudkan untuk dapat diperoleh hasil yang cukup realistis mewakili kondisi yang sebenarnya.

(18)

Gambar IV.15. a. Hasil Downscaling daerah penelitian menjadi 3 domain b. Peta topografi ketinggian daerah penelitian (shading area)

berdasarkan hasil Terrain height (m).

Sebagai input data pada model WRF diperlukan data final analysis (FNL), merupakan data global dari NCEP yang berada antara daerah 900LU – 900LS, 00 BT – 3600BT dengan resolusi 10x 10

b.

, dengan format data adalah WMO GRIB1 a.

(19)

Dalam penentuan batasan daerah penelitian digunakan tiga tingkatan nesting untuk downscaling data global NCEP-FNL, hal ini untuk menjangkau suatu pertumbuhan awan dalam radius 3 km arah horisontal yang menghubungkan daerah yang paling kecil. Proses simulasi domain 1 dan 2 dilakukan secara bersamaan dalam satu sistem model WRF (WPS). Adapun untuk domain 3 dilakukan dengan menggunakan perintah Ndown.exe dari model WRF. Resolusi dari tiga domain yaitu; domain 1 resolusi 30 km, domain 2 resolusi 10 km, domain 3 resolusi 5 km. Daerah domain simulasi dapat dilihat pada Gambar IV.15a. dan Gambar IV.15b tinggi vertikal dalam peta topografi Terrain Height dengan daerah tertinggi maksimum 1400 m.

IV.2.1.2 Peta Topografi Daerah Penelitian

Diseluruh wilayah monsun dunia termasuk Benua Maritim Indonesia, pola monsun selalu aktif sepanjang tahun. Berkaitan hal tersebut topografi mempunyai pengaruh yang signifikan pada cuaca lokal dan presipitasi (Riehl, 1954; Ramage, 1971; Ding, 1994).

Sebagaimana IV.16 dimana terlihat pola topografi daerah penelitian peta morfologi posisi Ground Based Generator. Analisis dinamika atmosfer dalam penelitian ini, dilakukan dengan perlakuan cross section pada garis lintang 1060,85!BT. Hal ini dilakukan dengan menarik garis lurus antara daerah Jakarta dengan posisi GBG yang dibangun. Salah satu parameter penting dalam penentuan lokasi GBG adalah distribusi curah hujan, disamping parameter lainnya seperti aliran sungai (run-off), arah angin, topografi, penggunaan lahan serta aspek aksesbilitas menuju lokasi menara.

Pemilihan lokasi berada diwilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung karena daerah tersebut memiliki curah hujan historis yang tinggi, kemudian parameter lain yaitu pengaruh turbulensi dan friction layer yang kecil sangat dipertimbangkan dalam menentukan lokasi menara GBG. Hal tersebut dilakukan agar baik secara ilmiah maupun pendekatan empirik dapat dilaksanakan dengan

(20)

Gambar IV.16. Peta Ground Based Generator, cross section pada 1060,85! BT (Sumber: UPTHB BPPT)

Menara GBG tinggi 50 meter, yang didirikan di Desa Pekancilan Perkebunan Teh Gunung Mas Afdeling Cikopo, mewakili curah hujan di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu dan Tengah. Perkebunan Teh Gunung Mas (PTP VIII), Jl. Raya Puncak ketinggian di atas permukaan laut 1191 m. Posisi Astronomis 1060,57! BT dan 60,42! LS. Pertimbangan menempatkan menara di lokasi ini adalah untuk menangkap masa udara yang masuk dari Utara dan Barat Laut, sehingga diharapkan bahan penyemai sampai ke dasar awan.

(21)

IV.2.1.3 Syarat Batas dan Syarat Awal

Sebelum melakukan validasi syarat awal dan syarat batas, penentuan parameterisasi skema mikrofisika sangatlah penting. Hal tersebut dilakukan karena hasil model akan digunakan sebagai masukan untuk model GBG, dengan asumsi proses konveksi dapat ditentukan dari proses mikrofisika yang bergantung pada tinggi lapisan batas. Parameterisasi uji untuk proses mikrofisika adalah skema WRF Single-Moment 6-class (WSM6) mengacu dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya (Nurjana, 2007).

Pengujian parameterisasi mikrofisika WSM6 adalah skema konveksi terbaik sesuai daerah penelitian. Hal ini berdasarkan hasil uji korelasi yang dilakukan oleh Nurjana (2007) diperoleh rata-rata di atas 0,6. Luaran model untuk parameter

cloud top temperature menunjukkan bahwa model dapat mengikuti fase darat

yang terjadi pada malam hari dengan koefisien korelasi mencapai diatas 0,6. Sementara itu, untuk fase laut model masih belum dapat mensimulasikan secara benar.

Penentuan syarat awal dan syarat batas dalam suatu model sangat penting, karena akan menentukan validitas keluaran yang dihasilkan. Data masukan awal yang berfungsi sebagai syarat awal dan syarat batas yang digunakan untuk model WRF adalah data FNL. Validitas data ini dilakukan melalui perlakuan membandingkan data FNL dengan data pengukuran udara atas (radiosonde) pada stasiun yang telah dipilih. Variabel yang dibandingkan adalah komponen angin u dan v dalam m/s, dan temperature dalam K (Kelvin).

Gambar IV.17 a. adalah profil vertikal data radiosonde dan FNL pada tanggal 1 Februari 2007 pukul 00 UTC yang belum difilter. Data radiosonde stasiun Cengkareng dengan asumsi mewakili daerah penelitian DKI-Jakarta. Variabel dari kiri ke kanan adalah komponen angin u dan v dan temperatur. Adapun pada Gambar IV.17b menunjukkan adanya proses penghalusan data FNL dari data radiosonde. Ada beberapa pemilihan filtering yang disajikan dalam model WRF,

(22)

200 300 400 500 600 700 800 900 1000 -15 -10 -5 0 5 10 15 V w ind (m /s) P ressu re ( h P a ) SONDE FNL 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 200 220 240 260 280 300 Tem peratur (K) P ressu re ( h P a ) SONDE FNL 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 200 220 240 260 280 300 Tem peratur (K) P ressu re ( h P a ) SONDE FNL 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 -15 -10 -5 0 5 10 15 U w ind (m /s) P ressu re ( h P a) SONDE FNL 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 -15 -10 -5 0 5 10 15 V w ind (m /s) P ressu re ( h P a) SONDE FNL 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 -15 -10 -5 0 5 10 15 U w ind (m /s) P ressu re ( h P a ) SONDE FNL

Gambar IV.17.a. Validasi data FNL angin V (m/s) dan U (m/s) serta Temperatur (K) dengan data radiosonde stasiun Cengkareng-Jakarta.

b. Validasi data FNL angin V (m/s) dan U (m/s) serta Temperatur (K) dengan data radiosonde stasiun Cengkareng-Jakarta setelah

(23)

Tabel IV.1. Hasil statistik perbandingan data FNL dan data radiosonde Cengkareng Jakarta.

Filter

U wind V wind Temperatur

rmse r rmse r rmse r

sebelum 0.39970 0.42980 0.56517 0.43591 1 x 10-6 0.99816

sesudah 0.68910 0.78017 0.76578 0.67880 1 x 10-6 0.99970

rmse = root mean square error; r = koefisien korelasi

Sebagaimana terlihat pada Gambar IV.17a dan b pola yang mirip antara profil data radiosonde dan FNL dapat terlihat jelas. Oleh karena itu data FNL valid untuk digunakan sebagai data syarat awal dan batas. Perlakukan di atas diharapkan akan diperoleh hasil yang optimal dengan mengurangi kebutuhan waktu simulasi tanpa mempengaruhi pola dinamika mesoscale dan pemenuhan keterwakilan syarat batas dan syarat awal daerah penelitian (Black et al., 2002, De Beauville and Pontikis, 1998, dan Staudenmaier, 1996).

Dalam penelitian ini azas keterwakilan dilakukan dengan memvalidasi data FNL dan data radiosonde stasiun Cengkareng untuk zona daerah Jakarta secara khusus dan posisi dimana menara GBG dibangun. Hal ini diharapkan hasil model dapat diasumsikan dan memenuhi profil data meteorologi daerah DKI Jakarta.

Secara statistik perhitungan root mean square dan korelasi dari perbandingan data FNL dan radiosonde diperoleh hasil yang tinggi terutama pada parameter temperatur (0.99), hasil ini lebih disebabkan pola fluktuatif perubahan besaran temperatur tidak tinggi. Kemudian untuk vektor angin arah v (0.44) dan vektor angin arah u (0.43), hasil sebelum dilakukan pem-filteran. Namun setelah dilakukan pemfilteran diperoleh hasil yang relatif baik terutama untuk vektor angin v (0.68) dan vektor angin u (0.78), sedangkan untuk temperatur tidak begitu signifikan mengalami perubahan dikarenakan korelasinya cukup tinggi. Korelasi yang cukup tinggi dari parameter temperatur data radiosonde dengan data FNL,

(24)

temperatur. Sebagaimana data cuaca yang lain, data temperatur tidak terlalu fluktuatif variabilitasnya dibanding data yang lain (data curah hujan). Beberapa model cukup baik menghitung parameter temperatur, namun untuk parameter lain perlu perbaikan yang signifikan.

IV.2.1.4 Simulasi Curah Hujan

Dalam simulasi ini, sebagai masukan program adalah data FNL untuk tanggal 1 Februari 2007, dimana terjadi hujan ektrim yang menyebabkan banjir besar pada periode tersebut. Sebagaimana Gambar IV.18, merupakan hasil simulasi curah hujan konveksi (RAINC; Accumulated Total Cumulus Precipitation), untuk waktu simulasi 3 jam-an. Hal ini untuk melihat pola penyebaran secara spasial curah hujan saat terjadi kondisi ekstrim. Dari hasil simulasi terlihat curah hujan cukup tinggi disekitar Jakarta, namun curah hujan tertinggi hasil simulasi di laut.

Validasi hasil simulasi curah hujan, dilakukan melalui perbandingan antara hasil model dengan pola curah hujan spasial hasil pengukuran BMKG. Berdasarkan data BMKG curah hujan di wilayah Jabodetabek tercatat tertinggi di stasiun Pondok Betung yaitu 339,8 mm pada tanggal 1 Pebruari 2007. Data tersebut tercatat dari tanggal 1 Pebruari 2007 pukul 07.00 WIB sampai dengan tanggal 2 Pebruari 2007 pukul 07.00 WIB.

Adapun distribusi curah hujan pada tanggal tersebut sebagaimana di atas terkonsentrasi di Pondok Betung dengan intensitas curah hujan tertinggi yang dicatat stasiun tersebut. Untuk periode waktu 60 menit tercatat sebesar 67,2 mm terjadi pada tanggal 31 Januari 2007 pukul 22.00 - 23.00 WIB dan 70.0 mm terjadi pada tanggal 1 Pebruari pukul 21.10 – 22.10 WIB (Sasmito et al., 2007).

Dari hasil simulasi model, curah hujan di daerah Jakarta berkisar antara 250 mm hingga 300 mm (Gambar IV.18), korelasi antara hasil simulasi dengan data pengukuran diperoleh 0.7 untuk curah hujan cakupan wilayah Jakarta. Perhitungan dilakukan dengan merata-ratakan curah hujan diseluruh titik / stasiun wilayah Jakarta.

(25)

Gambar IV.18. Validasi hasil simulasi model dengan data pengukuran distribusi curah hujan spasial wilayah Jabodetabek 1 Februari 2007 (curah hujan = shading area, vektor angin= ) (sumber data spasial curah hujan Jakarta; Sasmito, 2007).

1-2-2007, 03.00 UTC

(mm) (x 100mm)

(26)

IV.2.1.5 Simulasi Awan

Untuk melihat pola pertumbuhan awan, digunakan perhitungan QCLOUD yaitu perhitungan cloud water dalam model WRF. Dari hasil simulasi model untuk tutupan awan horizontal dan vertikal (Gambar IV.19 dan IV.20) dapat dianalisis bahwa kondisi maksimum terjadi sesuai dengan data tanggal 1-2-2007 sebagai data masukan model. Pola tutupan awan terjadi pertumbuhan awan konvektif.

Gambar IV.19. Simulasi 3 jam-an 03.00 – 18.00 UTC awan hujan horizontal (kg/kg) data tanggal 1 Februari 2007 Pola pertumbuhan awan konvektif terlihat dalam simulasi mulai 03.00 UTC terjadi diatas DKI-Jakarta dan sekitarnya hingga waktu 18.00UTC (kontur awan =

shading area, vektor angin= ). m/s 1-2-2007, 03.00 UTC 1-2-2007, 06.00 UTC 1-2-2007, 12.00 UTC 1-2-2007, 18.00 UTC kg/kg kg/kg kg/kg kg/kg m/s m/s m/s

(27)

.

Gambar IV.20. Simulasi 3 jam-an 03.00 – 20.00 UTC awan hujan (kg/kg) tanggal 1 Februari 2007 (kontur awan = shading area, vektor angin= ).

Pertumbuhan awan konvektif akan mengakibatkan terjadinya curah hujan yang dihasilkan dari arus konveksi. Hal tersebut akibat pemanasan permukaan oleh radiasi matahari, konvergensi angin atau akibat dorongan secara fisik ke atas (updraft) ketika angin melewati daerah pegunungan. Curah hujan konveksi mempunyai intensitas tinggi dibanding curah hujan stratiform, terjadi pada skala ruang terbatas antara 10 – 20 km2 tergantung pada dimensi dari sel konveksi itu sendiri (Houze et al., 1981; Smith, 2003). Di wilayah tropis pertumbuhan awan dan hujan konveksi sangat dominan, kejadian di darat berlangsung setelah tengah

1-2-2007, 03.00 UTC 1-2-2007, 06.00 UTC 1-2-2007, 12.00 UTC 1-2-2007, 18.00 UTC kg/kg kg/kg kg/kg kg/kg m/s m/s m/s m/s

(28)

hari. Adapun untuk area maritime, konveksi terjadi di siang hari dibantu oleh konveksi laut pada malam hari.

Jika dianalisis berdasarkan hasil simulasi awan untuk daerah Jakarta dan curah hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi hingga dinihari, menunjukan bahwa curah hujan ekstrim periode 1 Februari 2007 tidak murni karena konveksi termal (konveksi akibat pemanasan pada siang hari). Analisis lain untuk kasus ini pada malam hari terjadi pendinginan di daratan Jakarta, maka mendorong berkembangnya sel-sel konveksi di atas pantai Jakarta yang berpotensi menghasilkan hujan. Semakin kuat arus konveksi (Gambar IV.19 dan IV.20) yang terjadi dan semakin tabal awan yang terbentuk maka semakin besar intensitas hujan yang dihasilkan.

IV.2.1.6 Validasi keluaran model dengan data Radiosonde

Untuk dapat melakukan proses selanjutnya adalah dengan memvalidasi hasil keluaran model WRF dibandingkan dengan data radiosonde stasiun Cengkareng Jakarta. Sebagaimana dalam Gambar IV.21 perbandingan hasil perhitungan model dengan data radiosonde cukup mewakili daerah penelitian. Hal tersebut terlihat korelasi untuk hasil angin v, u serta temperatur dan kelembapan relatif yang signifikan.

Secara statistik perhitungan root mean square dan korelasi dari perbandingan hasil keluaran model dan radiosonde diperoleh hasil yang tinggi terutama pada parameter temperatur (0.99) kemudian untuk vektor angin arah v (0.40) dan vektor angin arah u (0.43) adapun untuk % kelembapan (RH) berkisar 0.57. Korelasi yang cukup tinggi dari parameter temperatur data radiosonde dengan hasil keluaran model, menunjukan bahwa model akan sangat baik untuk menghitung parameter temperatur. Sebagaimana data cuaca yang lain, data temperatur tidak terlalu fluktuatif variabilitasnya dibanding data yang lain (data curah hujan). Namun untuk data curah hujan rata-rata spasial daerah Jakarta hasil korelasi 0,7 sehingga keluaran model masih dapat ditoleransi.

(29)

200 300 400 500 600 700 800 900 1000 -15 -10 -5 0 5 10 15 V w ind (m /s) P ressu re ( h P a) SONDE MODEL 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 -15 -10 -5 0 5 10 15 U w ind (m /s) P ressu re ( h P a) SONDE MODEL 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 20 40 60 80 100 RH (%) P ressu re ( h P a) SONDE MODEL 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 -60 -40 -20 0 20 TEMPERATURE (C) P ressu re ( h P a) SONDE MODEL

Gambar IV.21. Validasi hasil model WRF dengan data radiosonde stasiun Cengkareng – Jakarta untuk pengukuran angin V dan U (m/s), kelembapan relatif (RH %) dan Temperatur (K).

(30)

Tabel IV.2. Hasil statistik perbandingan hasil model WRF dan data radiosonde stasiun Cengkareng Jakarta.

U wind V wind RH Temperatur

rmse r rmse r rmse r rmse r

0.37380 0.43089 0.53580 0.40120 0.170213 0.57004 1 x 10-6 0.99870

rmse = root mean square error; r = koefisien korelasi

IV.2.2 Analisis Numerik Penyemaian Awan Statis

Penggunaan MATLAB versi 6.5 didasarkan pada kemampuannya melakukan perhitungan numerik dengan metode beda hingga yang sangat baik dari model perpindahan bahan penyemai. Hasil perhitungan disajikan kontur isokonsentrasi bahan penyemai udara 3 dimensi ruang dan 1 dimensi waktu, sehingga dapat mempresentasikan kondisi pergerakan bahan penyemai dari sumbernya (pergerakan kontur seiring dengan perubahan waktu). Kemampuan visualisasi oleh MATLAb 6.5 ditunjang oleh Grafic User Interface (GUI), sehingga dapat memudahkan user dalam memasukkan input data dan melihat tampilan output berupa data hasil permodelan dan kontur isokonsentrasi dari bahan penyemai

Hasil simulasi model penyemaian awan tanggal 1 Februari 2007, untuk kondisi awal konsentrasi bahan semai flare 300.799 g/m3 (sumber data BPPT). Simulasi dilakukan untuk satu GBG hal ini dikarenakan untuk menghitung konsentrasi bahan semai yang berhasil mencapai dasar awan target, waktu simulasi 30 menit diperoleh hasil konsentrasi bahan penyemai yang sampai ke dasar awan sebesar 12,6 g/m3

Validasi hasil dilakukan secara teoritis, karena data pengukuran konsentrasi bahan semai sampai ke dasar awan belum dilakukan. Sebagaimana sifat sebaran Gauss jika suatu sumber melepaskan partikel yang berasal dari sumber tunggal seperti GBG, maka pada jarak tertentu konsentrasi menurun secara eksponensial jarak (Haryanto, 2007). Hal tersebut sesuai dengan hasil model diperoleh penurunan konsentrasi yang cukup besar.

(31)

Gambar IV.22. Simulasi penyemaian awan (garis kontur) dengan model difusi, kg/kg kg/kg m/s a. b.

(32)

Sistem GBG saat ini juga dikaji oleh BPPT di daerah Cisarua (Bogor), untuk memodifikasi awan orografik menggunakan bahan higroskopik (flare). Namun dari tinjauan aspek mikrofisika dan targeting bahwa sistem ini kurang efektif untuk dapat memodifikasi proses hujan di pegunungan pada daerah tropis. Beberapa kendala yang dihadapi modifikasi cuaca dengan metoda GBG adalah karena sifat awan hujan orografi untuk menjadi hujan diperlukan inti kondensasi awan yang besar dengan ukuran 10-50 µm. Inti kondensasi harus masuk kedalam awan untuk meningkatkan efisiensi proses hujan, melalui proses tumbukan dan gabungan (Guo et al., 2006).

Hasil perhitungan terlihat konsentrasi bahan penyemai banyak terbuang dan sangat kecil yang sampai ke dalam target (dasar awan). Metoda GBG dilereng Gunung mengandalkan angin vertikal (updraft) untuk mengirimkan partikel hasil pembakaran ke dalam awan. Hal ini akan sulit untuk menempatkan bahan semai tepat ke dalam target, sebagaimana dalam penelitianya Guo et al. (2006) dan Chungang dan Guo (2007) penempatan bahan penyemai pada target awan yang tepat sangat diperlukan untuk terjadinya proses penyemaian.

Hasil perbandingan pola pertumbuhan awan sebelum dan sesudah disemai, menurut Fang Chungang (kontak person: fangcg@cams.cma.gov.cn) untuk memasukan bahan semai ke model WRF melalui modifikasi skema mikrofisika (microphysical scheme; file module_mp_wsm6.F). Dari hasil masukan konsentrasi 150 g/m3

Gambar IV.23 memperlihatkan pertumbuhan awan sebelum dan sesudah dilakukan penyemaian. Simulasi pertumbuhan awan dimulai tanggal 1-2-2007 00.00 UTC hingga 18.00 UTC dengan step waktu 3 Jam-an. Berdasarkan hasil analisis diketahui pola pertumbuhan awan dimulai pada 12.00 UTC. Dengan demikian maka dari perhitungan konsentrasi model GBG (12,6 g/m

diperoleh pola perubahan pertumbuhan awan sebagaimana Gambar IV.23.

3) diperlukan

sekitar 12 tower GBG, untuk memperoleh konsentrasi terendah hasil perhitungan

(33)

Gambar IV.23. Vektor angin ( ) dan perbandingan pola pertumbuhan awan a b. kg/kg kg/kg m/s m/s

(34)

IV.2.3 Analisis Hasil Pembakaran GBG

Operasional penyemaian awan melalui pembakaran GBG dilakukan pada tanggal 2-10 Desember 2007 oleh staff BPPT UPTHB. Dalam operasional periode tersebut dilakukan pembakaran bahan semai flare di empat menara GBG, dengan waktu yang bersamaan. Sebagaimana Gambar IV.24 terlihat pola pertumbuhan curah hujan Ciliwung Hulu trend linier mengalami penurunan. Data curah hujan Ciliwung Hulu merupakan data curah hujan hasil perata-ratan dari lima stasiun klimatologi, meliputi stasiun klimatologi Darmaga, Citeko, Gunung Mas, Curug dan Atang Sanjaya.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

29-Nov-07 1-Dec-07 3-Dec-07 5-Dec-07 7-Dec-07 9-Dec-07 11-Dec-07 13-Dec-07 15-Dec-07 17-Dec-07 Hari C ur ah H uj an ( m m )

Data CH Linear (Data CH)

Gambar IV.24. Pola curah hujan Ciliwung Hulu sebelum dan sesudah dilakukan pembakaran GBG tanggal 2-10 Desember 2007.

Dengan demikian maka hasil yang diharapkan dari teknologi modifikasi cuaca sistem statis GBG belum optimal dengan kondisi jumlah yang tersedia, disebabkan jumlah, posisi serta tinggi menara GBG belum dilakukan optimasi. Namun demikian untuk menambah kegunaan GBG lebih efektif, harus dibangun menara GBG lebih banyak. Penempatan pada posisi dimana sering terjadi updraft yang memadai dengan arah menuju target yang sama, tinggi menara GBG optimum sehingga bahan penyemai dapat mencapai target awan yang akan disemai secara efektif.

Gambar

Gambar IV.7a.   Indeks Sunspot vs tahun banjir Jakarta (tanda   ) dan curah  hujan maksimum hasil reanalisis daerah Jakarta (tanda    )
Gambar IV.7b.   Sunspot mutlak vs tahun banjir Jakarta (tanda   ) dan curah hujan  maksimum reanalisis daerah Jakarta (tanda    )
Gambar IV.7c. Korelasi fluks sinar kosmik dengan data tutupan awan daerah  Jakarta tahun 1980-1988 (sumber: tutupan awan: BMKG).
Gambar IV.8a.. Pola perubahan IR1 Temperature 29 Januari 2002,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan pengujian secara statistik terhadap data empirik yang telah diperoleh dari lapangan dapat dikatakan

Tapi mendefinisikan peksos sebagai profesi HAM, akan menempatkan praktek peksos untuk tegas dalam perjuangan berkelanjutan untuk menegaskan nilai-nilai

Struktur didesain menggunakan sistem Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB)yang berdasarkan “Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung (SNI

Analisa data dilakukan dengan menggunakan data fieldspec dan Hymap dari survey lapang (jumlah data adalah 104). Analisis PLSR ditampilkan dalam reflektan tunggal

Selain sifat-sifat tersebut, padi-padi gogo lokal yang digunakan pada penelitian ini pada umumnya memiliki ketahanan lapang yang baik terhadap serangan penyakit blas serta

Hambatan yang dihadapi dalam produksi, pengawasan, dan penyaluran benih bersertifikat adalah: (a) alat prosesing benih terutama perontok dan dryer penangkar

Supplementary Materials: The following are available online, Figures S1–S5: detailed TGA and DSC spectra of blends; Figure S6: FT-IR spectra of lignin and esterified lignin;

Di dalam Peraturan Pemerintah yang sama juga dikatakan bahwa Kabupaten/Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan