• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Persepsi dan Sikap Orang Tua Terhadap Anak Retardasi Mental di SLBN Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambaran Persepsi dan Sikap Orang Tua Terhadap Anak Retardasi Mental di SLBN Surakarta"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

0

GAMBARAN PERSEPSI DAN SIKAP ORANG TUA TERHADAP

ANAK RETARDASI MENTAL DI SLBN SURAKARTA

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Program Studi Keperawatan Fakultas Kesehatan

Oleh :

LUKY NURVITASARI J210.090.111

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018

(2)
(3)
(4)
(5)

1

GAMBARAN PERSEPSI DAN SIKAP ORANG TUA TERHADAP ANAK RETARDASI MENTAL DI SLBN SURAKARTA

Abstrak

Retardasi mental merupakan ketidakmampuan fungsi intelektual dan perilaku maladaptif selama pengembangan. Ada beberapa orang tua dapat menerima anak-anak mereka tetapi ada juga orang tua yang tidak dapat menerima kenyataan untuk memiliki anak-anak dengan keterbelakangan mental. Memiliki anak detardasi mental yang mengalarni gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, kognitif, bahasa, perilaku,dan interaksi sosial membuat orang tua mendapat ejekan dari orang lain, sehingga mengakibatkan orang tua bersikap negatif terhadap apa yang dialaminya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran persepsi dan sikap orang tua terhadap anak retardasi mental di SLBN Surakarta. Penelitian menggunakan metode deskriotif kuantitatif, menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data. Subyek penelitian ini adalah orang tua yang memiliki retardasi mental anak di SLBN Surakarta sebanyak 65 orang tua. Hasil uji statistik dengan analisis deskriptif diketahui bahwa : 1) Persepsi orang tua terhadap anak dengan retrardasi mental di SLB N Surakarta sebagian besar responden tergolong kategori baik yaitu sebanyak 44 orang (67,7%); dan 2) Sikap Orang Tua terhadap anak retardasi mental sebagian tergolong kategori positif yaitu sebanyak 51 orang (76,5%)

Kata kunci: Persepsi, Sikap Orang Tua, Anak Retardasi Mental

Abstract

Mental retardation is an inability of intellectual function and maladaptive behavior during development. There are some parents can accept their children but there are also parents who can not accept the fact to have children with mental retardation. Having a child's mental detonation that is causing disruption and delay in communication, cognitive, language, behavior, and social interaction causes parents to be derided from others, resulting in parents being negative about what they experience. The purpose of this research is to know the description of perception and attitude of parents to children mental retardation in SLBN Surakarta. The research used quantitative deskriotive method, using questionnaires to collect data. The subjects of this study are parents who have mental retardation of children in SLBN Surakarta as many as 65 parents. The result of statistical test with descriptive analysis is known that: 1) perception of parents to children with mental retardation in SLB N Surakarta most of the respondents are categorized as good (44,7%); and 2) Parent attitude toward child of mental retardation is classified as positive category as many as 51 people (76,5%)

(6)

1. PENDAHULUAN

Anak-anak yang mengalami keterbatasan atau ketidakmampuan secara fisik, psikis, atau sosial membutuhkan kebutuhan yang lebih khusus. Salah satu diantaranya yaitu anak retardasi mental. Anak retardasi mental biasanya mengalami kepercayaan diri yang kurang, menarik diri dari lingkungan, emosi yang tidak terkontrol, komunikasi yang kurang selaras, sehingga anak retardasi mental membutuhkan pertolongan dan bimbingan dari orang tua (Poerwanti &Widianingsih, 2010).

Menurut catatan World Health Organization (WHO), di Amerika 3% dari penduduk yang keterbelakangan mental, di Negara Belanda 2,5%, di Inggris 1-8%, di Asia 1-3%. Menurut catatan UNESCAP (2009), di Indonesia tercatat 1,38% penduduk dengan disability atau sekitar 3.063.000 jiwa. Berdasarkan Kemensos RI tahun 2010 dari 14 propinsi di Indonesia yang menjadi sasaran survey tercatat 1.167.111 jiwa penyandang disability (Irwanto, et al, 2010).

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jateng tahun 2011 jumlah penyandang cacat yang ada di Provinsi Jateng sebanyak 18.861 orang yang terdiri dari 2.343 orang penderita tuna netra, 3.694 orang penderita tuna wicara, 7.648 orang penderita cacat anggota badan, dan sebanyak 8.266 orang cacat mental. Untuk Kota Surakarta sendiri tahun 2011 jumlah penderita cacat sebanyak 1.704 orang yang terdiri dari cacat tubuh sebanyak 865 orang, cacat netra 138 orang, cacat mental 196 orang, tuli bisu sebanyak 249 orang eks kronis (bekas penderita penyakit kronis) sebanyak 145 orang, dan cacat ganda (fisik dan mental) sebanyak 111 orang. Berdasarkan data pokok Sekolah Luar Biasa tahun 2009, dilihat dari usia sekolah, jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang tunagrahita adalah 62.011 orang, 60% diderita anak laki-laki dan 40% diderita anak perempuan (Maramis, 2009).

tentunya tidak mudah diterima oleh para orang tua, dimana anaknya mengalami gangguan dan keterlambatan perkem-bangannya. Anak dengan gangguan retardasi mental membutuhkan penanganan dini dan intensif untuk membantu kesembuhannya. Tidak semua orang tua yang mempunyai anak retardarsi mental akan selalu siap dan menerima kenyataan tersebut. Sikap malu atau tertutup terdakang secara tidak sadar telah dilakukan oleh ibu. Sikap malu dan tertutup ini semakin jelas terlihat pada saat anak masuk dalam usia sekolah oleh orang tua tidak segera disekolahkan. Rasa malu terhadap orang lain bahwa orang tua mempunyai anak retardaasi mental.

(7)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 26 Agustus 2015 kepada 6 orang tua siswa SLBN Surakarta melalui wawancara diketahui bahwa 4 orang tua menyatakan pada awalnya sedih, bahkan sering menyalahkan diri sendiri dengan kehadiran anak dengan kondisi yang tidak seperti anak normal lainnya. Keempat orang tua tersebut menyatakan khawatir akan masa depan anaknya, siapa yang akan merawat apabila orang tua sudah tidak ada atau meninggal, apakah anaknya dapat diterima ditengah-tengah masyarakat dengan segala kekurangannya. Berbeda halnya dengan 2 orang tua murid bahwa pada awalnya memang berat menerima anak dengan retardasi mental, namun setelah anggota keluarga lain memberikan pengertian, dukungan maka seiring dengan waktu, ibu menyatakan dapat menerima apapun pada anaknya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persepsi dan sikap orang tua terhadap anak retardasi mental di SLBN Surakarta.

2. METODE

Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif eksploratif. Sampel adalah seluruh orang tua yang memiliki anak dengan retradasi di SLB N Surakarta sebanyak 65 orang dengan total sampling. Variabel sebanyak 2 variabel yaitu persepsi dan sikap orang tua, instrumen yang digunakan lembar kuesioner. Teknik analisis data dengan analisis deskriptif.

3.1.1 Persepsi orang tua

Tabel 1. Sentral tendensi persepsi orang tua terhadao anak dengan retardasi

mental; di SLBN Surakarta (n = 65)

Variabel Mean Max Min STD

Persepsi 9,12 5 1,883 9,12

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan rata-rata nilai persepsi responden sebesar 9,12. Nilai median sebesar 15, nilai standar deviasi sebesar 9,12, nilai tertinggi skor persepsi sebesar 5 dan nilai terendah sebesar 2. Berdasarkan nilai skor diketahui sebagian responden mempunyai rata-rata persepsi sebesar 9,12 yang tergolong persepsi baik 67,7%.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil

(8)

3.1.2 Sikap orang tua

Tabel 2. Sentral tendensi sikap orang tua terhadao anak dengan retardasi mental

di SLBN Surakarta (n = 65)

Variabel Mean Max Min STD

Sikap 10,26 13 7 1,163

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan rata-rata nilai sikap orang tua terhadap anak dengan retardasi mental di SLBN Surakarta sebesar 10,26. Nilai nilai tertinggi 13 dan nilai terendah sebesar 7. Berdasarkan nilai skor yang diperoleh responden diketahui bahwa sebagian responden mempunyai rata-rata sikap orang tua sebesar 10,26, nilai tertinggi sikap orang tua adalah 13 dan nilai terendah sebesar 7

Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden atau orang tua wali murid anak dengan retardasi mental di SLB Surakarta tergolong kategori baik yaitu sebanyak 44 orang (67,7%), adapun persepsi SLB dengan kategori buruk sebanyak 21 orang 32,3%). Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera namun proses itu tidak berhenti begitu saja melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi (Walgito, 2010).

Persepsi tentang terhadap anak dengan retardasi mental yang buruk disebabkan oleh faktor pribadi seperti kecerdasan orang tua atau emosional. Persepsi yang buruk terutama dalam hal perhatian. Hal ini dapat dilihat dari distribusi frekuensi bahwa ibu tidak memberikan perhatian pada anak dengan kebutuhan khusus lebih dari pada anak yang lain. Orang tua tidak mendampingi anak yang berkebutuhan khusus di rumah. Orang tua tidak memberitahu anak tentang keadaan dirinya. Orang tua juga akan memarahi anak setiap kali tidak dapat melakukan sesuatu sesuai perintah. Hal ini menunjukkan bahwa secara emosi orang tua dari anak retardasi mental tidak memberikan waktu khusus untuk dapat mendampingi di rumah. Hal ini sesuai dengan Ali (2010) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang 3.2 Pembahasan

(9)

mempengaruhi persepsi adalah faktor-faktor pribadi termasuk di dalamnya ciri khas individu, seperti taraf kecerdasan, minat, emosional dan lain sebagainya.

Persepsi tentang anak dengan retardasi mental yang baik disebabkan bahwa adanya faktor pengaruh kelompok di sekitar seperti kerabat, tetangga, teman untuk tetap memberikan semangat pada anak retardasi mental dalam menjalani kehidupan dan mempersiapkan untuk masa depan. Dari distribusi frekuensi dapat diketahui bahwa ibu memberikan semangat setiap anak yang gagal melakukan suatu kegiatan. Pemberian semangat harus terus diberikan pada anak yang mengalami retardasi mental untuk memberikan kepercayaan diri agar dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan Pratiwi (2017) yang menyatakan bahwa anak retardasi mental membutuhkan waktu lama untuk bekerja dan rentang waktu yang mereka gunakan untuk menyelesaikan tugas lebih lama dari pada orang lain pada umumnya. Biasanya penderita retardasi mental mempunyai keterbatasan intelegensi dan membutuhkan bantuan orang lain guna beradaptasi dengan lingkungan dengan meningkatkan perilaku yang kurang dan mengurangi perilaku yang berlebihan.

3.2.2 Sikap Orang tua anak terhadap retardasi mental di SLBN Surakarta

Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden atau orang tua wali murid anak dengan retardasi mental di SLB Surakarta tergolong kategori positif yaitu sebanyak 51 orang (76,5%), adapun sikap orang tua terhadap anak dengan retardasi mental dengan kategori negatif sebanyak 14 orang (21,5%).

Hal tersebut bisa disebabkan karena dari anak itu sendiri yang cenderung pendiam dan bersikap tertutup terhadap orang tua. Berdasarkan fakta di lapangan anak retardasi mental berjenis kelamin laki-laki responden cenderung lebih senang bersama orang tuanya dibanding bersosialisasi dengan teman lain serta anak sulit untuk diajak berinteraksi. Didapatkan juga bahwa anak retardasi mental perempuan cenderung selalu mendekat dan mau berinteraksi dengan peneliti seperti mengajak berkenalan sedangkan anak retardasi mental laki-laki cenderung pendiam dan menghindar. Hal ini dikarenakan jenis kelamin memberikan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan. Soemantri (2008) mengungkapkan bahwa anak retardasi mental pria memiliki kekurangan tidak matangnya emosi,

(10)

depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya dan merusak. Sedangkan anak retardasi mental wanita memiliki kekurangan mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri dan cenderung melanggar ketentuan.

Pada dasarnya orang tua yang memiliki sikap yang baik maka tingkat kepercayaan diri anak retardasi mental juga tinggi. Tetapi pada kenyataannya bukan hanya dari sikap orang tua saja yang mampu mempengaruhi kepercayaan diri anak retardasi mental melainkan bisa dari faktor lain seperti dari lingkungan sekolah, masyarakat, dan teman sebaya (Somantri, 2008 ) selain itu dapat juga dipengaruhi oleh kondisi dari anak retardasi mental itu sendiri yang pada dasarnya memiliki kognisi yang kurang. Faktor kognisi atau kecerdasan memiliki peran penting dalam kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Somantri (2008) mengatakan bahwa anak retardasi mental mempunyai kekurangan dalam kemampuan untuk mempelajari informasi dan ketrampilan-ketrampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan baru karena keterbatasan intelegensi yang dimiliki.

Berhasil atau tidaknya anak retardasi mental dalam meniti tugas perkembangannya tidak lepas dari bimbingan dan perhatian yang diberikan oleh keluarga khususnya kedua orang tuanya. Penerimaan orang tua mempunyai sumbangan efektif terhadap kemampuan anak retardasi mental dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Mustikawati, dkk (2015) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan peran orangtua dengan kemampuan sosialisasi anak retardasi mental di SDLB Negeri. Adanya peran orangtua yang baik dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi anak retardasi mental, orangtua sebagai orang terdekat dalam kehidupan anak dapat membantu anak retardasi mental dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Keluarga terutama orang tua yang bersikap baik akan memberikan kesempatan dan mendorong anaknya untuk mengembangkan kemampuannya untuk melakukan segala sesuatu dengan sendiri (mandiri), bukan dengan cara memberikan perlindungan yang berlebihan. Ketergantungan yang berlebihan dapat membuat anak takut untuk mandiri.

(11)

Winarti (2015) mengemukakan bahwa sikap ibu yang terlalu melindungi akan memperkuat rasa ketergantungan pada orang lain, serta kemampuan sosialisasi dan kehidupan emosionalnya menjadi terhambat. Untuk kemandirian anak bila orang tua senantiasa menghambat kemandirian anak, tidak mengajarkan ketrampilan yang mendukung kemandirian atau mencela setiap usaha anak untuk mandiri maka akan tumbuh menjadi anak yang pemalu atau ragu-ragu dalam bertindak. Sedangkan untuk toleransi anak (Hurlock, 2008) mengemukakan bahwa toleransi merupakan kepekaan atau kepedulian kebutuhan orang lain dan kesanggupan untuk turut merasakan perasaan orang lain serta mampu menempatkan diri dalam keadaan orang lain.

Hasil penelitian tentang sikap orang tua anak retardasi mental di SLBN Surakarta juga di dapatkan hasil sikap orang tua negatif. Berdasarkan fakta di lapangan hal tersebut dikarenakan faktor usia yaitu antara usia 15-18 tahun dimana pada usia tersebut anak lebih mampu untuk bersosialisasi dan memiliki kemandirian yang tinggi, hal ini didukung oleh kuesioner yang mana responden menjawab sangat sering pada pertanyaan mengenai aspek kemandirian. Menurut Somantri (2008) bahwa pada anak retardasi mental, usia memiliki pengaruh terhadap kemampuan anak dalam meniti tahap-tahap perkembangannya.

4 PENUTUP

1) Persepsi orang tua terhadap anak dengan retrardasi mental di SLB N Surakarta sebagian besar responden tergolong kategori baik yaitu sebanyak 44 orang (67,7%).

2) Sikap Orang Tua terhadap anak retardasi mental sebagian tergolong kategori positif yaitu sebanyak 51 orang (76,5%).

DAFTAR PUSTAKA

Aisha, M.N. (2012). Hubungan antara Pengetahaun Retardasi Mental dengan

Penerimaan Orang Tua. Jurnal Psikologi. Jogjakarta: Universitas Islam Negri

Sunan Kalijaga.

Anggraeni. (2013). Persepsi Orang Tua terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

(Deskriptif Kuantitatif di SDLB N 20 Nan Balimo Kota Solok). Jurnal Ilmiah

Pendidikan Khusus. Volume 1. No. 06. Tahun 2013.

(12)

Armatas, V., (2009). Mental retardation: definitions, etiology, epidemiology and

diagnosis. Journal of Sport and Health Research 1(2): 112-122

Hurlock, E.B. 2008. Psikologi Perkem-bangan. Jakarta: Erlangga

Irwanto, Eva R. K.,. Asmin F., Mimi L., & Siradj O. (2010). Analisis Situasi

Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Sebuah Desk Review. Jakarta: Fakultas

Ilmu-Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Indonesia.

Lumbantobing, SM. (2010). Anak dengan Mental Terbelakang. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI.

Mustikawati N, Anngorowati D, Mugianingrum OE. (2015). Kemampuan Sosialisasi

Anak Retardasi Mental. Jurnal Ilmu Kesehatan (JIK) Vol VIII, No 2,

September 2015 ISSN 1978-3167. School of Health Science

Muhammadiyah_Pekajangan_Pekalongan.

Poerwanti dan Widianingsih. (2010). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus 2.

Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional.

Pratiwi IC, Handayani OWK, dan Raharjo BB. (2017). Kemampuan Kognitif Anak

Retardasi Mental Berdasarkan Status Gizi. Public Health Perspective Journal 2

(1) (2017) 19 – 25. http://journal.unnes.ac.id/ sju/index.php/phpj.

Putra. (2016). Survey Opini Masyarakat tentang Anak Berkebutuhan Khusus di

Kelurahan Medokan Semampir. Jurnal Pendidikan Khusus. Pendidikan Luar

Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya.

rahmad.ikrar_pradana93@yahoo.co.id

Somantri, Sujihati. (2008). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Winarti A dan Kurniaati E. (2015). Hubungan Sikap Orang Tua dengan Tingkat Kepercayaan Diri Anak Retardasi Mental Ringan usia 7-18 Tahun di SLB C/CI

Shanti Yoga Klaten. Jurnal Involusi Kebidanan, Vol. 5, No. 10, Juni 2015.

Willy F.M. & Maramis A.A. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.

Gambar

Tabel  2.   Sentral  tendensi  sikap  orang  tua terhadao  anak  dengan  retardasi  mental  di SLBN Surakarta (n = 65)

Referensi

Dokumen terkait

Tanaman kacang tanah tumbuh baik pada keadaan pH tanah sekitar 6-6,5 (Adisarwanto, 2007). Adapun syarat-syarat benih atau bibit kacang tanah yang baik yaitu ; a) Berasal dari

Selama perkuliahan penulis aktif pada berbagai organisasi mahasiswa diantaranya Himpunan Mahasiswa Agribisnis (HIMAGRIS), Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Fakultas

Dalam proses enkripsi regenerasi kunci memberikan cara khusus bagaimana suatu algoritma mentransformasikan teks terang ( plaintext ) menjadi teks tersandi ( ciphertext

Pelaksanaan kegiatan pelatihan penggunaan software Mendeley sangat bermanfaat bagi peserta guru SMK Dwijendra Denpasar karena dapat membantu para guru dalam menulis

Platform software bersifat Open Source dan paling banyak didukungkan pada perangkat-perangkat mobile saat ini, karena hampir sebagaian besar vendor terutama untuk produk

Six sigma merupakan suatu metode pengendalian kualitas yang terdiri dari DMAIC ( define, measure, analyze, improve, control ) yang diharapkan melalui tahap tersebut

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laba dan arus kas memiliki pengaruh yang signifikan dalam memprediksi kondisi keuangan yang terjadi pada seluruh

tunjangan yang dilaksanakan didinas tersebut dengan mata kuliah kerja praktek/magang sebagai pengimplikasian teori yang telah didapatkan diperkulihan dan menuangkan kedalam