• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

21

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Untuk mengetahui karakteristik dan memperoleh gambaran mengenai daerah penelitian, maka dalam bab ini akan dikemukakan beberapa hal diantaranya: gambaran umum Kabupaten Biak Numfor, gambaran kampuang Ambroben sebagai lokus penelitian, serta gambaran tentang proses peminangan dan penyerahan mas kawin (ararem) di Ambroben, Biak Kota.

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Biak Numfor

Di saat pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun 1960-an nama yang dipakai untuk Kepulauan Biak-Numfor adalah Schouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem (w) pada kata Wiak1 berasal dari fonem (v) yang kemudian berubah menjadi (b) sehingga muncullah kata Biak seperti yang digunakan sekarang. Dua nama terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-Numfor, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah Utara Teluk Cenderawasih itu.

Pendapat lain, berasal dari keterangan ceritera lisan rakyat berupa mite, yang menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas permukaan laut.Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga sekarang nama itulah yang tetap dipakai.

1 Biak yang berasal dari kata v`iak itu yang pada mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk

menamakan penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut mengandung pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan`,`orang-orang yang tidak pandai kelautan, seperti misalnya tidak cakap menangkap ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain.

(2)

22

Pada tahun 2007 terjadi pemekaran di tingkat Distrik/Kecamatan yang ada dalam wilayah kerja Kabupaten Biak Numfor, menjadi 19 Distrik/Kecamatan, yaitu Distrik Numfor Barat, Distrik Orkeri, Distrik Numfor Timur, Distrik Bruyadori, Distrik Poiru, Distrik Padaido, Distrik Aimando, Distrik Biak Timur, Distrik Oridek, Distrik Biak Kota (desa Ambroben terletak di distrik ini), Distrik Samofa, Distrik Yendidori, Distrik Biak Utara, Distrik Andei, Distrik Warsa, Distrik Yawosi, Distrik Bondifuar, Distrik Biak Barat, Distrik Swandiwe. Dengan demikian secara geografis Kabupaten Biak Numfor berbatasan dengan2: Sebelah Utara/North Side: Samudera Pasifik/Pasifik Ocean, Sebelah Selatan/South Side: Selatan Yapen/Yapen Strait, Sebelah Barat/West Side: Kabupaten Manokwari/Manokwari

Regency, Sebelah Timur/East Side: Samudera Pasifik/Pasifik Ocean (Biak dalam Angka, 2015).

Secara geografis Biak Numfor terletak di suatu gugusan pulau-pulau dibagian teluk

Saireri yang disebut kepulauan Schouten, antara 1340 47’ - 1360 Bujur Timur dan 00 55’ – 1027’ Lintang Selatan. Diantara kepulauan Schouten, luas pulau Biak (2400 km), Supiori (+ 700 km), pulau Numfor (+1600 km) dan beberapa kepulauan Padaido, Pulau Sowek, Meosbefondi atau Meos-Karwar, Ayawi dan Mapia yang letaknya tepat pada garis Khatulistiwa (Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar, 1963: 113).

Secara morfologi Pulau Biak dapat dibagi menjadi 4 (empat) satuan morfologi, yaitu: morfologi dataran, morfologi bergelombang rendah sampai dengan sedang, morfologi bergelombang tinggi, dan morfologi perbukitan kapur. Kondisi morfologi tersebut mengakibatkan kondisi topografi yang bervariasi berupa pegunungan, dataran rendah dan kepulauan dengan ketinggian dari pemukaan laut (dpl) yang dapat dijelaskan dalam tiga kategori wilayah, yakni: a). Pulau Biak bagian Selatan berada pada ketinggian 0 – 122 meter dpl.; b). Pulau Biak bagian Utara dengan ketinggian 0 – 740 meter dpl.; dan c). Pulau Numfor dengan posisi ketinggian 0 – 205 meter dpl.

Dengan topografi demikian, kabupaten Biak Numfor beriklim tropis dengan suhu berkisar antara 23 - 31ºC. Keadaan iklim ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan samudera pasifik yang mengelilingi sebagian besar Biak Numfor. Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 84% s/d. 86 %, dengan curah hujan yang terjadi disepanjang tahun, yaitu antara 2.100 sampai 3.200 mm/tahun.

(3)

23

Karena posisi geografis kabupaten Biak Numfor yang berada pada daerah khatulistiwa, maka dipengaruhi juga oleh angin muson tenggara (dari arah benua Australia) dan angin muson Barat Laut (dari arah benua Asia), sehingga angin yang sepanjang tahun bertiup di wilayah kabupaten Biak Numfor dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) jenis angin, yaitu: 1). Angin Timur, yang bertiup sekitar bulan April hingga Agustus. Keberadaan angin ini sangat menguntungkan transportasi laut dan kegiatan penangkapan ikan karena keadaan air laut relatif tenang (kurang berombak dan kurang bergelombang); dan 2). Angin Barat, yang bertiup sekitar bulan september hingga maret. Keberadaan angin ini sangat mengganggu aktivitas tranportasi laut dan aktivitas penangkapan ikan, karena ombak dan gelombang laut cukup besar, serta curah hujan-pun biasanya terjadi relatif tinggi.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, diketahui bahwa jumlah penduduk Kabupaten Biak Numfor adalah 126.125 jiwa/orang. Dengan rasio perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 65.259 orang laki-laki dan 60.866 orang perempuan. Dari hasil sensus penduduk 2015 tersebut tampak bahwa penyebaran penduduk terbanyak terkonsentrasi di Distrik Biak Kota dan Distrik Samofa yakni 32,71 persen dan 21, 92 persen, sedangkan Distrik yang penduduknya terkecil adalah Distrik Bondifuar dengan jumlah penduduk 0,17 persen (Biak dalam Angka, 2015).

Penduduk di Kabupaten Biak Numfor terdiri dari orang asli Papua (pribumi) dan Kaum urban (pendatang) yang hampir mewakili semua etnis yang ada di Indonesia seperti kelompok dari Sulawesi (Buton, Bugis, Makassar), Maluku, Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Mereka lebih banyak bekerja sebagai pegawai negeri, pedagang dan sebagian menjadi guru, aparat pemerintah termasuk TNI/POLRI aparat yang sebagian besar berdomosili di kota kabupaten.

4.2. Realitas Konflik di Papua

Faktanya pada wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga PNG, konflik cenderung meningkat akibat terdapatnya konsentrasi kekuatan bersenjata baik dari kalangan TNI/POLRI maupun TPN/OPM. Demikian juga yang terjadi pada wilayah pedalaman, akibat kurangnya pengawasan, monitoring dan evaluasi yang dilakukan terhadap aparat pemerintah sipil dan TNI/POLRI yang ditempatkan di sana. Begitu juga dengan wilayah yang sangat kaya dengan sumber daya alam karena biasanya sering terjadi konflik

(4)

24

untuk perebutan pengelolaan sumber daya alam tersebut baik antara pelaku bisnis maupun pihak keamanan.

Dinamika konfik dimulai dengan konflik terbuka akibat proses PEPERA. Setelah itu konflik menjadi sangat keras ditandai dengan penyerangan-penyerangan TPN/OPM dan aksi-aksi militer TNI/POLRI terutama di sekitar akhir 60-an dan awal 70-an. Kemudian konflik agak mereda kembali setelah penyerangan besar-besaran melalui operasi militer oleh TNI/POLRI, akan tetapi konflik di beberapa tempat masih terus berlangsung secara terbuka. Dalam perkembangannya setidaknya ada 74 konflik yang terjadi di Papua dalam kurun waktu 1995 –2001 yang terdiri dari masalah politik (49 %), masalah ekonomi (30 %) dan masalah budaya (21 %) (Siregar, 2004).

Masalah politik adalah yang pertama muncul dari perjuangan orang Papua untuk merdeka, baik kasus yang terjadi dengan pemicunya politik murni, seperti kasus Wamena 6 Oktober 2000, Biak Juli 1998, Merauke November dan Desember 2000 maupun dari kasus-kasus yang muncul seolah-olah motif ekonomi. Yang menarik, gerakan dengan motif politik selalu mengenai 2 kehendak yang berbeda yakni bergabungnya Papua ke dalam NKRI dan Papua yang merdeka terlepas dari NKRI. Isu politik di sini tidak lagi dikategorikan pada perbedaan dan perdebatan jangka pendek seperti perubahan kebijakan persoalan politik pembangunan dan sejenisnya tetapi lebih pada perdebatan soal nation (Yoman, 2015).

Khusus di Kabupaten Biak Nomfor, konflik dalam skala yang cukup besar terjadi pada tanggal 6 Juli 1998, ratusan orang warga Papua menjadi korban penganiayaan dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer. Peristiwa itu diawali dengan aksi damai yang diikuti sekitar 500-1000 rakyat Papua. Namun, aksi itu berakhir dengan pembantaian, karena aparat militer menuduh mereka melakukan gerakan separatis. Dalam peristiwa itu, represi berupa dan penembakan terjadi secara brutal, hingga korban berjatuhan. Menurut catatan, sebanyak 230 massa menjadi korban, delapan orang meninggal, tiga orang hilang, empat orang luka berat, 33 orang ditahan dengan sewenang-wenang, dan 150 orang lainnya juga turut mengalami penganiayaan. Hingga saat ini, masyarakat Papua masih terus mengenang peristiwa ‘Biak Berdarah’ itu. Meski kasusnya sudah dibawa di pengadilan, namun proses hukumnya tak jelas hingga saat ini. Oleh karena itu, masyarakat Papua terus menyuarakan pengusutan peristiwa ‘Biak Berdarah” tersebut. Salah satunya, Aliansi Mahasiswa Papua

(5)

25

(AMP) Komite Kota Bandung yang menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, pada Senin, 6 Juli 2015 (situs pembebasan.org).

Pola dan jenis konflik di atas hanyalah sebagian kecil yang terjadi di Papua khususnya setelah Irian Barat bergagung dengan Indonesia sejak tahun 1969. Jika kita harus mengurai dan mendata konflik-konflik yang terjadi di Papua, menjadi akan sangat banyak, seperti yang pernah di laporkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau berbagai macam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di negara ini yang konsern tentang masalah Papua. Beberapa bentuk konflik di atas hanya diketengahkan sebagai basis argumentasi untuk mempertanyakan mengapa orang Biak sampai dengan saat ini masih menggunakan Bendera Merah Putih dalam upacara pembayaran mas kawin (ararem) walau kekerasan demi kekerasan terutama yang dilakukan oleh negara masih terus mereka hadapi?

4.3. Gambaran Kampung Ambroben Distrik Biak Kota

Kampung Ambroben merupakan salah satu dari 16 kampung dan 5 kelurahan yang termasuk dalam wilayah administratif Distrik Biak Kota - Kabupaten Biak Numfor, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Karyendi

 Sebelah Selatan Laut atau Pantai

 Sebelah Barat berbatasan dengan kampung Kelurahan Mandala

 Sebelah Timur berbatasan dengan kampung Kababur

Kampung Ambroben terletak disebelah Selatan kota Biak dengan jarak sekitar 9 km yang dapat dicapai dalam waktu ± 1 jam dari Biak dengan menggunakan kendaraan roda empat (mobil) dan 30 menit dari Biak Kota dengan menggunakan kendaraan roda dua (motor). Kampung Ambroben memiliki luas wilayah ±735 km² dengan ketinggian sekitar 25 m di atas permukaan laut, yang di apit oleh laut dan bandara (RPJMDes Ambroben, 2015).

Kampung Ambroben adalah kampung terkecil dan memiliki 3 dusun. Suku asli yang mendiami daerah ini adalah suku Biak. Meski demikian ada beberapa penduduk migran yang bearasal dari luar Papua seperti Toraja, Jawa, Makasar dan Ternate, mereka adalah pedangan yang sementara tinggal di daerah ini untuk berjualan atau punya toko (warung). Berdasarkan data yang tercatat dalam RPJM kampung Ambroben tahun 2015, diketahui bahwa jumlah penduduk kampung ini adalah 1.600 jiwa. Sebaran jumlah penduduk kampung Ambroben

(6)

26

dibagi yang dalam 3 (tiga) wilayah Rukun Wilayah dengan keseluruhan 320 kepala keluarga (KK).

4.3.1. Sistem Kekerabatan Orang Ambroben

Kebiasaan hidup orang Biak pada umumnya adalah sebagai anak adat, maka mereka sangat menjunjung tinggi adat istiadat serta alam yang menjadi sumber utama kehidupan mereka. Mereka percaya pada kekuatan-kekuatan di luar dirinya dan adanya hubungan yang sangat erat antara mereka dengan alam sekitarnya. Alam dianggap sangat baik karena telah memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bagi mereka, alam tidak hanya bermakna ekonomis, namun juga merupakan sumber inspirasi religius yang sangat sakral. Karenanya mereka sangat menghormati hutan, laut dan tanah, serta sangat santun memperlakukan makro kosmos kehidupan. Mereka mempunyai etika tertentu untuk “menggauli“ alamnya ,seperti tradisi larangan berburu, memakan hasil hutan yang berlebihan dan mempunyai areal-areal khusus yang digunakan untuk kepentingan religius.

Kesatuan sosial orang Biak pada umumnya, termasuk orang Ambroben adalah keret, atau klen. Suatu keret terdiri dari sejumlah keluarga batih yang disebut sim. Wujud nyata dari kesatuan sosial tersebut pada waktu lalu adalah rumah besar yang disebut rumah keret. Rumah keret merupakan suatu bangunan yang berbentuk segi empat panjang dengan ukuran pajang kurang lebih 30-40 m, dan lebar 15 meter. Namun keret tidak hanya bermakna “rumah/bangunan” tetapi bermakna keluarga, nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang mengatur kehidupan keluarga. Dalam konsepsi seperti ini, maka perkawinan bukan hanya merupakan keputusan dua orang (laki dan perempuan) namun merupakan keputusan keret.3

Satu rumah keret disebut aberdado dapat menampung semua anggota klen, jika jumlahnya kecil. Dengan demikian dalam satu rumah keret terdapat anggota-anggota keluarga yang berasal dari tiga bahkan empat generasi, yaitu ayah bersama keluarganya dan keluarga-keluarga dari anak-anaknya sendiri maupun keluarga-keluarga-keluarga-keluarga dari anak-anak mereka. Selain itu, jika jumlah anggota keluarga terus bertambah, maka biasanya adik dari kepala keret

bersama isteri dan anak-anaknya yang sudah kawin dengan anggota-anggota keluarganya,

3 Wawancara dengan Cosmas Rumabar (Kepala Adat Ambroben) tanggal 25 Juni 2015 di Rumahnya; Nico

Rosumbre (kepala kampung Ambroben) tanggal 26 Juni 2015; Agustina Rumbewas (Kepala Distrik) 25 Juni 2015. Perlu dijelaskan bahwa kesatuan sosial dalam bentuk Keret ini berlaku secara umum pada masyarakat Papua.

(7)

27

memisahkan diri dan membangun keret baru di samping keret lama. Pola ini dilakukan agar sistem sosial itu tetap terjaga.

Dalam perkembangannya bentuk rumah keret seperti di atas sudah jarang ditemukan. Mengikuti perkembangan dan perubahan zaman, maka masing-masing keluarga batih, sim,

kemudian membangun rumah sendiri, namun tetap berkelompok menurut keret. Artinya sekalipun telah terpisah rumah, namun pertimbangan kekerabatan (keret) selalu menjadi utama, maka rumah-rumah yang berdekatan sudah pasti menunjukan kesamaan keret-nya. Namun terdapat pula beberapa keret berbeda bertempat tinggal saling berdekatan (dalam satu lokasi). Lokasi tempat dibangunnya dua atau lebih rumah keret yang berbeda itu disebut mnu. Pada awalnya satu mnu hanya didiami oleh satu keret saja, namun dalam perkembangan selanjutnya, misalnya melalui hubungan perkawinan dan perdagangan atau juga karena oleh bahaya perang yang sering terjadi antar penduduk, maka keret-keret dari tempat-tempat pemukiman yang berlainan tempat bergabung menetap pada tempat pemukiman dari keret

tertentu. Sehingga terbangun mnu dengan keret yang berbeda.

Lebih jelasnya beberapa keret di kampung Ambroben adalah: Rumaropen, Yarangga, Rumbiak, dan Ronsumbre, ini adalah sususan keret berdasarkan jumlah anggota yang terbanyak. Sedangkan keret Sombuk dan Rumbewas adalah dengan jumlah anggota yang tidak terlalu banyak. Hal ini menunjukan bahwa di kampung Ambroben terdapat 6 ketet, selain para pendatang/pedagang yang juga mendiami desa tersebut namun tidak termasuk anggota dari tiap keret yang ada. Proses perkawinan adalah urusan yang ditangani oleh keret-keret ini, maka, upacara perkawinan juga merupakan pesta dua atau lebih keret yang menuntut kehadiran orang banyak untuk berkumpul baik di masing-masing rumah kedua mempelai maupun dijalan ketika melakukan prosesi ararem.

Relasi kekerabatan keret dan mnu “dihitung” melalui garis keturunan laki-laki (bapak)

atau bersifat patrilineal. Sedangkan tipe pokok kekerabatan yang dianut, yaitu, penggunaan istilah yang sama untuk penyebutan kerabat tertentu. Contohnya istilah “naek” digunakan untuk saudara-saudara kandung dengan saudara-saudara sepupu paralel, yaitu, anak-anak saudara laki-laki ayah, dan anak-anak dari saudara perempuan ibu. Seangkan sebutan “napirem” dikenakan pada saudara sepupu silang, yakni anak-anak dari saudara perempuan ayah dan anak-anak dari saudara laki-laki ibu. Semua saudara laki-laki ayah disebut dengan istilah kma (ayah), dan semua saudara perempuan ibu disebut sna (ibu), jadi satu orang anak

(8)

28

memiliki beberapa ayah (bapak) dan beberapa ibu (mama). Sedangkan, semua saudara perempuan ayah disebut mebin, dan semua saudara laki-laki ibu disebut me4.

Bentuk kekerabatan ini tampak terlihat jelas dalam proses perkawinan di Papua, khususnya di kampung Ambroben. Perkawinan dalam adat dan budaya ketimuran memang menjadi urusan keluarga besar (marga), tidak hanya urusan dua insan yang memutuskan untuk hidup bersama. Di Ambroben perkawinan merupakan tanggungjawab dua keluarga bahkan tanggungjawab dua keret. Dengan demikian, proses peminangan, pembayaran mas kawin dan upacara perkawinan (adat) selalu dilakukan dalam bentuk pesta–yang melibatkan kerabat (orang banyak). Selain itu, setiap upacara perkawinan dilakukan dalam bentuk tari-tarian (Yospan) dari keluarga laki-laki menujuh rumah keluarga perempuan. Sejumlah orang banyak itu berjalan beriringan di jalan (raya), sambil bernyanyi dan menari.

4.3.2. Relasi Kekuasaan

Kesatuan masyarakat di kampung Ambroben–bahkan pada Biak Numfor pada umumnya, yang secara politis dan ekonomis mempunyai otonomi adalah mnu. Mnu dalam hal ini dapat disetarakan maknanya dengan ‘kampung’. Mnu merupakan suatu kumpulan dari

keret-keret atau klen-klen dalam bentuk sim-sim atau keluarga-keluarga batih. Dasar-dasar yang menyatukan para warga suatu kampung adalah faktor kesamaan keturunan dan kepentingan ekonomi dan politik. Jadi secara antropologis urutannya adalah: individu – sim – keret – mnu. Karena kampung terbentuk berdasarkan keret, maka kepala keret yang membenuk kampung akan diangkat untuk memimpin Mnu. Selain itu setiap keret juga memiliki ketua/kepala tersendiri yang disebut mananwir keret.

Berdasarkan adat (kebiasaan) masyarakat di desa Ambroben, status mananwir tidak diteruskan (diwarisikan) kepada anak laki-laki sulung melainkan kepada salah seorang adik laki-laki. Hanya apabila seorang mananwir tidak memunyai adik laki-laki maka kedudukan itu dapat diemban oleh anak laki-laki sulung jika yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang dituntut untuk kedudukan tersebut. Selain kepala keret, pada tiap mnu atau kampung, terdapat seorang pemimpin yang kedudukannya di atas kepala keret disebut mananwir mnu. Kedudukan mananwir mnu tidak dipilih, melainkan diangkat oleh penduduk kampung dari salah seorang mananwir keret berdasarkan dua kriteria pokok: pertama berdasarkan sejarah

4 Mebin dan me, adalah sama dengan sebutan bibi dan paman di Jawa. Wawancara dengan Cosmas Rumabar

(9)

29

asal usulnya yaitu harus berasal dari keret pendiri kampung, dan kedua berdasarkan kemampuan dari salah seorang mananwir yang melebihi kemampuan yang ditunjukkan oleh

mananwir lain dalam lingkungan kampungnya. Seorang mananwir yang berasal dari golongan

manseren mnu atau keret pendiri kampung mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan tanah dan pemanfaatan hasil-hasil hutan dalam wilayah kekuasaan kampungnya.

Relasi kekuasaan (tradisional) seperti ini, pada zaman kekuasaan Belanda sangat diapresiatif–terlepas dari ada tidaknya kepentingan politik oleh pihak Belanda. Bukan saja pengakuan terhadap bentuk kekuasaan tradisional ini, namun juga pelibatan orang asli Papua dalam aktifitas pemerintahan oleh Belanda. Kondisi (pengakuan) ini diduga berbalik (tiadanya ruang ekspresi bagi orang Papua) ketika Indonesia menginvasi Papua masuk dalam wilayah kekuasaannya. Seperti yang dikemukakan Siregar (2004:34) “pada jaman Belanda, banyak sekali aktifitas pemerintah yang melibatkan orang Papua dengan mendapatkan pendidikan ketrampilan pertukangan, perumahan, keperawatan bahkan juga pegawai administrasi. Bangunan-bangunan lama yang ada di Papua merupakan hasil pekerjaan orang Papua sendiri tetapi justru ketika pemerintah Indonesia masuk maka terjadi kemunduran yang luar biasa bagi ketrampilan orang Papua, banyak orang Papua yang justru tidak memiliki ketrampilan seperti yang dimiliki generasi sebelumnya, jauh tertinggal dari kaum pendatang yang masuk kemudian ke Papua. Bahkan periode masuknya pemerintah Indonesia justru memarginalkan peran dan fungsi orang Papua hal ini terlihat dengan dominasi kekuasaan di berbagai sektor yang dilakukan oleh pendatang terhadap orang Papua”.

Dalam relasi kekuasaan seperti ini, identitas orang Papua menjadi terabaikan, seperti yang dikemukakan Wijojo (2009:2-3), bahwa: reaksi Pemerintah RI dan perkembangan politik berikutnya membuat Papua Barat kemudian diintegrasikan dengan RI.5 Identitas dan nasionalisme Papua terkubur sementara bersamaan dengan penggantian nama Papua Barat menjadi Irian Barat dan integrasi kehidupan sosial politik ekonomi dan kebudayaan Papua di bawah administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Belasan tahun kemudian, tepatnya sejak 1978, melalui kesenian identitas Papua pernah dibangun kembali oleh kelompok

5 Integrasi ini didasarkan pada The New York Agreement yang melibatkan pemerintah Indonesia dan pemerintah

Nederland, yang diwadahi oleh Amerika Serikat. Didalamnya sama sekali tidak mengundang keterlibatan orang Papua.

(10)

30

Mambesak Arnold Ap. Namun kepapuaan kembali terhambat karena Arnold Ap kemudian dipenjara oleh pemerintah RI di bawah Orde Baru. Menurut analisis pemerhati Papua di manca negara, Arnold Ap kemudian dibunuh melalui suatu konspirasi yang melibatkan Kopassandha (Komando Pasukan Sandhi Yudha). Pada era reformasi, pada kurun 1998-1999, kepapuaan kembali dihidupkan sebagai identitas alternatif dari identitas “Irian Jaya” yang telah identik dengan Indonesia beserta penindasan dan praktik kolonialismenya. Perasaan satu identitas ini disatukan oleh memori penderitaan (memoria passionis) kolektif dan kongruensi aspirasi yang bersumber dari mitologi sebagian besar suku bangsa masing-masing tentang milenium baru dan mesianisme. Pada era reformasi penggunaan nama Papua menjadi penanda bagi aspirasi bersama itu.

Marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia membuat orang Papua berpikir dan bertindak untuk mencari dan menemukan kembali kedaulatan mereka lewat aktivitas-aktivitas perjuangan. Memahami profil Papua secara utuh berarti mengandung usaha untuk memahami konteks hidup Papua saat ini, dengan tidak melupakan perjalanan sejarah panjang Papua dimasa lalu dan melihat konteks ke depan yang menjadi harapan hidup orang Papua. Kendati demikian, akan menjadi sebuah pekerjaan rumit dan bahkan belum terselesaikan, bilamana diminta menuliskan sejarah lengkap tentang Papua yang hingga saat ini, dianggap memiliki layar-layar sejarah tertutup (Alua, 2006: vii).6 Perihal sejarah Papua pun masih diyakini sebagai sejarah yang dibelokkan, sehingga dalam Musyawarah Besar Papua 2000 dan dilanjutkan dengan Kongres Papua 2000,7 agenda pelurusan sejarah Papua, menjadi salah satu agenda utama. Sayangnya berbagai aktivitas itu oleh pemerintah Indonesia dituduh sebagai “gerakan kelompok separatis”, tidak diakui bahkan ditolak.

Upaya pemerintah Indonesia yang lebih banyak melindungi para investor di Papua dari pada melindungi orang asli Papua menambah suram suasana kehidupan orang Papua, mereka merasa diabaikan, dimarginalisasikan, dan budayanya dianggap terbelakang. Kondisi ini mengakibatkan aktivitas orang Papua (yang berkelompok) di ruang publik menjadi

6 Agus Alua (Ketua Umum Kongres Papua II dan Ketua Majelis Rakyat Papua) bahkan menyatakan pada era

reformasi mutlak dibutuhkan transparansi dalam segala aspek kehidupan bangsa untuk menilai, mengevaluasi dan mengoreksi kesalahan-kesalahan dimasa lampau. Kesalahan politik terhadap bangsa Papua dimasa lalu yang sarat dengan berbagai rekayasa politik harus secara jujur dikoreksi dan diluruskan dalam wawancara keadilan dan demokrasi.

7 Musyawarah Besar Papua 2000 dan kongres Papua 2000, yang oleh Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus

Yaboisembut diyakini sebagai suatu wahana demokratis masyarakat Papua untuk membicarakan perihal hidup ke-Papuaan mereka.

(11)

31

terbatas, karena takut dituduh sebagai gerakan separatis atau pendukung separatis. Ketakutan aktivitas diranah publik itu dikarenakan aktivitas mereka selalu diawasi militer. Dalam keadaan seperti itu, simbol identitas nasionala (Indonesia)–dalam hal ini bendera Merah Putih, kemudian digunakan sebagai sebagai “penanda” cinta Indonesia. Bahkan dalam acara perkawinan sekalipun bendera Merah Putih harus digunakan.

4.4. Proses Peminangan, Pembayaran Mas Kawin (Ararem)

Adat perkawinan yang dianut oleh di Biak Numfor adalah eksogami, artinya antara anggota-anggota warga satu keret tidak boleh terjadi perkawinan. Dengan demikian isteri harus diambil dari keret lain, apakah keret lain itu berada pada mnu yang sama atau bukan. Selanjutnya pola perkawinan ideal menurut orang Ambroben , terutama pada waktu lampau, adalah perkawinan yang disebut indadwer yaitu pertukaran perempuan antara dua keluarga yang berasal dari dua keret yang berbeda. Bentuk perkawinan yang paling banyak terjadi adalah perkawinan melalui peminangan atau yang disebut kakes dan fakfuken.

Umumnya terdapat tiga tahap dalam proses peminangan, yakni: pertama, pihak laki-laki terlebih dahulu mempersiapkan satu buah piring dan sejumlah uang beserta siri dan pinang untuk dibawa menuju rumah si perempuan yang akan dipinang. Pintu rumah pihak perempuan harus diketuk, dan pihak perempuan berkewajiban membukakan pintu dan mempersilakan tamunya untuk masuk; kedua, pihak laki-laki berkewajiban menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Jika maksud dan tujuan kedatangannya diterima, maka seluruh yang dibawa pihak laki-laki akan diserahkan kepada pihak perempuan, namun jika ditolak, maka piring dan uang akan dibawa pulang sedangkan siri dan pinang akan dimakan bersama sebagai tanda kekelurgaan. Apabila diterima, maka pembicaraan akan dilanjutkan pada tahap ketiga soal mas kawin yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki. Biasaya disini terjadi tawar-menawar mas kawin oleh kedua belah pihak. Setelah mas kawin disepakati maka penentuan hari dan bulan (waktu) pernikahan dilakukan8.

Perkawinan bagi orang Biak (Ambroben) merupakan sebuah bentuk upacara yang juga bermakna sakral bahkan magis. Cosmas Rumabar (Kepala Adat Ambroben), mengutarakan

8Wawancara dengan Cosmas Rumabar (Kepala Adat Ambroben) tanggal 25 Juni 2015 di Rumahnya; Nico Rosumbre (kepala kampung Ambroben) tanggal 26 Juni 2015; Agustina Rumbewas (Kepala Distrik) 25 Juni 2015; Elia Rumaropen (Tokoh Agama) tanggal 26 Juni 2015; dan Jimmy A. Awak, S.Sos., MA (Tokoh Pemuda – Ketua KNPI Biak) tanggal 27 Juni 2015.

(12)

32

bahwa “bahkan seluruh proses hidup orang Biak, mulai dari masih dalam kandungan ibu, lahir, masa kanak-kanak, masa muda, masa tua, dan mati (kematian) adalah sesuatu yang sakral dan magis”. Dia menggambarkan seluruh proses hidup itu dengan satu konsep lokal, yakni wor. Wor merupakan upacara adat orang Biak guna memohon/mengundang atau meminta perlindungan dari penguasa Alam Semesta untuk mengiringi dan menjaga pertumbuhan fisik sejak dalam kandungan ibu, lahir hingga masa tua dan kematian. Menurutnya, wor melingkupi seluruh tatanan kehidupan orang Biak itu terdiri dari 17 (tujuhbelas) jenis, dan dibagi dalam 2 (dua) bentuk, yakni: 1). wor siklus hidup terdiri dari 12 bagian; dan 2). Wor insidental terdiri dari 5 bagian9. Ritual yang dilakukan dalam wor siklus hidup terdiri dari 3 (tiga) kegiatan, yakni: a). Fanfan (memberi makan) dan munsasu

(membayar kembali); b). ararem (pembayaran mas kawin); dan c). Tari dan Nyanyian.

Ketiga bagian wor ini seluruhnya berkaitan dengan perkawinan orang Biak. Fanfan

merupakan kegiatan memberi makan (atau memberi makanan) kepada pihak perempuan. Kegiatan ini dilakukan oleh pihak laki-laki (keluarga dan kerabatnya) setelah lamaran (pinangannya) diterima oleh pihak perempuan. Biasanya makanan yang disajikan adalah berupa: hasil kebun dan hasil penangkapan ikan sebelum upacara perkawinan dimulai; sedangkan mansasu dilakukan dilakukan oleh keluarga dan kerabat perempuan, yakni membayar kembali apa yang telah dilakukan oleh pihak laki-laki. Perbedaannya mansasu ini dilakukan pada puncak acara perkawinan, sedangkan fanfan dilakukan sebelum perkawinan. Alat atau bahan yang digunakan untuk membayar kembali berupa: samfar10 (gelang yang

terbuat dari kerang/siput), sarak (gelang yang terbuat dari perak), dan ben (piring porselin Cina–berukuran kecil). Namun mansasu juga bermakna jamuan makan bersama yang disiapkan oleh pihak perempuan sebagai tanda ararem telah diterima dan selesai.

Setelah pihak laki-laki melakukan upacara fanfan, proses ararem (pembayaran mas kawin) dilakukan. Pembayaran mas kawin (ararem) dalam masyarakat Biak adalah penghormatan terhadap martabat perempuan. Karena itu, menurut penuturan kepala Adat Ambroben (Cosmas Rumabar), dalam ararem (mas kawin) terdapat 3 (tiga) bagian penting dari tubuh perempuan yang dihormati. Ketiga bagian itu adalah: pertama, Mun Bukor adalah

9 Walaupun demikian, dalam kepentingan penelitian ini bentuk dan jenis wor tersebut tidak akan dijelaskan

lebih lanjut, karena tidak termasuk dalam fokus penelitian. Selain itu, masuknya agama Kristen di Biak menciptakan semacam perubahan (tranformasi) dari praktek wor.

(13)

33

bagian kepala perempuan/gadis yang dihormati dan dibayar dengan mas kawin utama, yakni

ben bepon – piring tua berukuran besar (piring porselin Cina), dan samfar (uang). Piring porselin Cina, yang dalam bahasa Biak disebut ben bepon tersebut dapat lihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 1

Mas Kawin Ben Bepon11

Piring porselin Cina seperti terlihat pada gambar tersebut terdapat piring dengan ukuran besar yang disebut ben bepon dan piring berukuran kecil yang disebut ben. Namun dalam perkembangannya, setelah masuknya agama Kristen, ben bepon ini mengalami perubahan, artinya tidak harus dibayar dengan piring (besar) tetapi boleh diganti dengan sesuatu benda yang mahal harganya, seperti: motor tempel–mesin jonson, televise, mesin jahit, dan lain sebagainya. Perubahan mas kawin utama tersebut, menurut para informan tidak hanya diakibatkan oleh masuknya agama Kristen, tetapi juga dikarenakan sulitnya mencari dan menemukan piring porselin Cina dengan ukuran besar

Bagian kedua, dari ararem adalah Mun Sus, yakni bagian dada atau bagian tempat buah dada (sus). Bagian ini dihormati dan dihargai karena bagian ini yang memberi makan (menyusui) bayi, membesarkan bayi dan member hidup bagi bayi. Mun Sus dibayar dengan

ben – piring porselin Cina yang berukuran kecil, samfar (uang), dan juga guci – guci porselen Cina. Jenis ben adalah sama dalam gambar 1 di atas. Sedangkan guci porselen Cina dimaknai sebagai wadah berisi air kehidupan, juga dimaknai sebagai wadah tempat air diambil–hal ini

11 Semua gambar (foto) yang digunakan dalam tulisan ini diambil di google.com dikarenakan pada saat

(14)

34

mirip dengan makna buah dada (sus) dimana bayi dapat menyusui. Untuk lebih jelas soal guci, dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2

Guci sebagai Mas Kawin

Selanjutnya bagian ketiga dari ararem adalah Mun Snewar merupakan bagian perut dari seorang perempuan/gadis. Bagian ini dihormati dan dihargai karena merupakan tempat mengandung. Mun Snewar dibayar dengan: kain tenun, samfar (uang), gelang sarak (gelang yang terbuat dari perak), serta samfar (berupa gelang dari siput/kerang). Khusus untuk gelang

sarak jumlahnya harus disesuaikan dengan jumlah saudara perempuan dari gadis yang akan menikah.

Ketiga bentuk mas kawin (ararem) tersebut diantar oleh pihak keluarga dan kerabat laki-laki, berarak-arakan dengan nyanyian dan tarian dari rumah keluarga laki-laki ke rumah keluarga perempuan. Proses ini dalam bahasa Biak disebut upacara/pesta ararem, yakni proses mengantar mas kawin. Arak-arakan ini pun dibagi dalam tiga kelompok barisan, yakni: Kelompok Pertama: adalah mereka yang dituakan dalam keluarga dan kerabat laki-laki, yang terdiri dari perempuan dan laki-laki. Kehadiran mereka dalam prosesi tersebut adalah selalu berada dalam barisan paling depan, dengan menggunakan busana adat Biak, dan membawa Ben Bepon dan Samfar. Kelompok kedua: adalah mereka yang terdiri dari kelompok campuran, laki-laki dan perempuan (kerabat namun bukan yang dituakan) yang dalam hal ini mereka bertindak sebagai pengantar. Mereka pun sama dengan kelompok pertama, tetapi harta/piring yang mereka pegang adalah piring- ring kecil (ben), guci, gelang

(15)

35

ketiga: adalah mereka yang terdiri dari laki-laki dan perempuan tua maupun muda yang kehadiran mereka adalah sebagai kelompok musisi/kelompok penyanyi.

Seperti yang dikatakan oleh Elia Rumaropen (Tokoh Agama) ketika diwawancarai tanggal 26 Juni 2015 bahwa:

“Proses pembayaran maskawin (ararem) dengan berjalan kaki/arak-arakan dalam kelompok ke rumah pihak perempuan, dalam kelompok ararem terbagi lagi tiga barisan pengantar, barisan pertama merupakan keluarga yang dituakan (om, tante) yang memegang piring (benbe pon), dan guci kalau diminta juga, kemudian kelompok kedua adalah kerabat dekat dan campuran yang membawa piring makan, sedangkan kelompok ketiga yang terakhir adalah kelompok musik yang bernyanyi mengiringi proses pembayaran maskawin (ararem). Dalam barisan itu selalu ada bendera Merah Putih, biasanya ada dua bendera Merah Putih yang dibawa dalam barisan, ada yang didepan dan ada yang dibelakang, bendera itu berfungsi sebagai sahnya serah-terima ararem. Mereka berjalan hingga sampai kerumah pihak perempuan, setelah tiba di rumah pihak perempuan, pihak perempuan menerima dan mempersilahkan, kemudian melihat/memeriksa maskawin yang dibawa. Apabila mas kawinnya terpenuhi/sesuai dengan permintaan maka acara ini berakhir dengan makan bersama (mansasu)yang dijamu oleh pihak perempuan”.

Dalam proses ararem ini, bendera Merah Putih selalu dibawa, dan biasanya yang bendera Merah Putih berjalan beriringan dengan barisan kelompok ararem. Dua buah Bendera Merah Putih dibawah mengawali kelompok (di depan) dan juga menutup barisan kelompok (di belakang). Namun posisi ini tidak terlalu penting, dalam beberapa acara ararem

ada juga Bendera Merah Putih yang berposisi di samping kiri dan kanan kelompok. Yang penting adalah bendera Merah Putih harus ada dalam acara tersebut. Selain bendera Merah Putih, kelompok yang menarikan tarian Yospan (Yosim Pancar) juga mengambil posisi baik di depan maupun di belakang barisan kelompok. Perbedaannya adalah Yospan di depan baris adalah mereka yang memang disipkan khusus dengan seragam (bisa tradisional, bisa modern atau perpaduan), sedangkan yang di belakang barisan adalah kelompok “gado-gado” biasanya mereka yang hanya menghibur diri dengan beryospan ria.

Lebih jelasnya beberapa gambar tentang proses ararem tersebut dapat dilihat di bawah ini:

(16)

36

Gambar 3

Prosesi Ararem – Penyerahan Mas Kawin di Biak

Mengenai penggunaan bendera Merah Putih dalam upacara ararem tersebut, hampir semua informan (5 informan kunci), mengutarakan alasan yang sama. Seperti yang dikemukakan oleh Jemmy A. Awak, S.Sos.,MA (tokoh Pemuda)12 bahwa:

“Bendera merah putih sudah dipakai sejak masuknya Papua ke Indonesia. Bendera itu adalah simbol negara republik Indonesia, digunakan dalam ritual atau upacara adat pembayaran mas kawin itu bertujuan sebagai perlindungan dan keamanan, alasannya supaya tidak diganggu oleh pihak yang mencurigai kegiatan yang pada saat itu situasi politik masih memanas”

Demikian pula yang dikemukan oleh Kepala Adat Ambroben (Cosmas Rumabar) ketika di wawancarai tanggal 24 Juni, pada intinya mengatakan bahwa:

“Bendera Merah Putih dalam proses pembayaran maskawin (ararem) berfungsi sebagai tanda sah serah terima bagi kedua pihak, ketika laki-laki membawa maskawin kepada perempuan maka bendera Merah Putih harus paling depan dan saat maskawin mau diberikan kepada perempuan maka bendera Merah Putih ini yang diterima terlebih dahulu sebagai tanda sahnya mas kawin diserahkan. Selain itu, Bendera Merah Putih lebih pemaknaannya sebagai simbol/bentuk laki-laki siap dan sanggup memenuhi syarat apa yang

(17)

37

diberikan pihak perempuan, dalam hal ini pembayaran maskawin (ararem). Soal penggunaannya dalam ararem itu sejak Papua berintegrasi ke Indonesia sekitar tahun 1969, di pakai pada saat itu karena ada gejolak politik sehingga dipakai untuk keamanan dan perlindungan agar terlindungi dari kecurigaan separatis yang ketika itu lagi memanas, termasuk kecurigaan militer kepada orang Papua yang lagi berpesta”.

Berdasarkan intisari dari wawancara terhadap tokoh pemuda yang juga merupakan ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Biak Numfor serta Kepala Adat Biak Numfor (Cosmas Rumabar–usia 63 Tahun), keduanya sama-sama mengakui bahwa Bendera Merah Putih adalah simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang patut dihargai, karena itu posisi bendera ini dalam upacara ararem adalah guna melindungi keluarga dan kerabat atau bahkan masyarakat yang sedang melakukan upacara itu. Perlu diketahui bahwa upacara ini sangat meriah, dikarenakan adanya kelompok tari-tarian dan nyanyian, sehingga menarik perhatian masyarakat untuk berkumpul, berjalan beriringan dan ber-yospan. Dengan demikian, penggunaan bendera Merah Putih dimaknai atau dipahami sebagai simbol negara yang dapat melindungi diri dari gangungan, baik gangguan dari militer Indonesia tetapi juga diduga ada ketakutan dari mereka terhadap gangguan dari kelompok separatis, jika memang

keret tersebut jelas menolak kelompok separatis ini.

Walau demikian, para informan kunci juga mengungkapkan bahwa sebelum Papua bergabung menjadi bagian dari Indonesia, bendera yang digunakan adalah bendera Bintang Kejora. Bendera ini memiliki makna yang berbeda dalam penggunaan pada ararem. Waktu itu, bendera Bintang Kejora hanya bermakna penghargaan dan penghormatan terhadap simbol negara Papua yang berdaulat. Sedangkan makna bendera Merah Putih yang digunakan saat ini tidak hanya sekedar penghormatan terhadap simbol negara Indonesia, namun sekaligus bermakna ketakutan, keamanan, dan pertahanan diri dan kelompok. Akibat ketakutan itulah mereka membutuhkan simbol-simbol yang dapat digunakan untuk menjaga dan mempertahankan keamanan diri dan kelompok orang yang melakukan ararem. Dengan demikian makna lain dari bendera Merah Putih inilah yang akan difokuskan untuk dianalisi dalam pembahasan selanjutnya.

Berdasarkan hal ini atas, maka analisis pada bab V difokuskan untuk menjawab pertanyaan: apakah penggunaan Bendera Merah Putih dalam ararem merupakan bentuk

(18)

38

kesadaran nasionalisme Indonesia oleh orang Papua atau merupakan bentuk kritik atas ketidakadilan yang terjadi dalam sejarah masa lalu dan realitas ketidak-adilan (ekonomi-pembangunan) kekinian?, atau bahkan merupakan ekspresi ketakutan dan pertahanan diri akibat trauma masa lalu terhadap kebringasan militer Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dalam bagian analisis pada bab selanjutnya.

Gambar

Gambar 1  Mas Kawin Ben Bepon 11

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian untuk pengujian Angka lempeng Total pada ikan segar, pengeringan awal hingga pengeringan akhir produk ikan Kayu dengan menggunakan konsentrasi 1, 2

Honekin, amaitutzat emango litzateke proposamena non haurrek matematika eta beste ikasgaien edukiak, eguneroko egoera baten bidez (festa bat) landu ahal

Implementasi sistem pendukung keputusan perpanjangan karyawan kontrak menggunakan metode Simple Additive Weighting berhasil memberikan urutan nilai tertinggi dari

Berdasarkan hasil angket yang diberikan oleh para informan yang telah disebar melalui Google form terkait dampak usaha kuliner kecil dan Menengah di Desa

□ maksud pemakaianntya : daya kapa;nya, species ikan yang akan ditangkap, untuk trawl yang menyentuh dasar :hubungan atar species ikan yang tertang-кар dengan dasar

Arsitektur jaringan yang akan digunakan dalam model GRNN adalah jaringan multilapis ( multilayer ) yang terdiri dari lapisan input ( input layer ), Pattern

Alokasi waktu yang digunakan untuk meneliti tentang Praktik Jual Beli di Kalangan Habaib di Kota Palangka Raya dalam Perspektif Etika Bisnis Islam adalah selama dua

Sehingga siswa bisa lebih mengerti materi pelajaran karena melihat secara langsung, Media pembelajaran visual mempunyai kemampuan untuk menampilkan gambaran yang bisa