LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
ANALISIS INSTRUMEN ANALISIS INSTRUMEN
UJI KELARUTAN OBAT UJI KELARUTAN OBAT
Disusun Oleh : Disusun Oleh :
Ulfa
Ulfa Rahmatul Rahmatul Faizah Faizah 260110160159260110160159 Bima
Bima Kinayan Kinayan S. S. 260110160160260110160160 Anggun
Anggun Nurlatifah Nurlatifah 260110160161260110160161
LABORATORIUM ANALISIS INSTRUMEN LABORATORIUM ANALISIS INSTRUMEN
FAKULTAS FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJAJARAN UNIVERSITAS PADJAJARAN 2017 2017
Uji Kelarutan Obat
I. Tujuan
1.1. Memperkenalkan konsep dan proses pendukung sistem kelarutan obat dan menentukan parameter kelarutan obat.
II. Prinsip
2.1. Jenis Pelarut
Pelarut polar merupakan pelarut yang dapat bercampur dengan air, sementara Pelarut non-polar merupakan pelarut yang dapat bercampur dengan etanol, kloroform, dan eter (Arisworo, 2006).
2.2. Kelarutan
Kuantitas maksimal suatu zat kimia terlarut yang dapat larut dalam suatu pelarut tertentu untuk membentuk larutan homogen. (Untara, 2015).
2.3. Asam Salisilat
Obat anti-inflamasi non steroid yang menghambat sintesis prostaglandin pada pusat termoregulator di hipotalamus dan perifer.
(Darsono, 2002).
III. Reaksi
3.1. Pembakuan NaOH
NaOH + H2C2O4 Na2C2O4+ 2H2O
(Svehla, 1985). 3.2. Titrasi Asam Salisilat
IV. Teori Dasar
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatularutan jenuh pada suatu suhu tertentu. Larutan sebagai campuran homogen bahan yang berlainan. Untuk dibedakan antara larutan dari gas, c airan dan bahan padat dalam cairan. Disamping itu terdapat larutan dalam keadaan padat (misalnya gelas, pembentukan kristal campuran) (Voight, 1994).
Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh poaritas dari pelarut, yaituoleh dipol momennya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionik dan zat polarlainnya. Sesuai dengan itu, air bercampur dengan alkohol dalam segala perbandingan dan melarutkan gula dan senyawa polihidroksi yang lain (Martin,2008).
Etanol memiliki kelarutan sangat larut dalam air, dalam kloroform P, dan dalam eter P (Depkes RI, 1979).
Propilenglikol dapat bercampur dengan air, etanol (95%) P, kloramfenikol larut dalam 6 bagian eter P, tidak dapat campur dengan eter minyak tanah P dan dengan minyak lemak (Depkes RI, 1979).
Asam salisilat memiliki kelarutan larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (95%)P, mudah larut dalam kloroform P dan eter, larut dalam amonium asetat P, dan natrium hidrogen P, kalium sitrat P (Depkes RI, 1979).
Penambahan indikator akan merubah warna menjadi merah muda (Chang, 2004).
Kelarutan dipengaruhi oleh beberapa faktor, suhu merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan kelarutan suatu obat dan dalam mempersiapkan larutannya. Kebanyakan bahan kimia menyerap panas bila dilarutkan dan dikatakan mempunyai panas la rutan negatif yang menyebabkan meningkatnya kelarutan dengan menaikan suhu. Selain suhu, kelarutan dipengaruhi oleh bermacam-macam bahan kimia dan sifat-sifat fisika lainnya dari zat terlarut dan pelarut, faktor tekanan, keasaman, atau kebebasan dari larutan, keadaan bagian dan zat terlarut dan
pengadukan secara fisik yang dilakukan terhadap larutan selama berlangsungnya proses melarut. Kelarutan suatu zat kimia murni pada suhu dantekanan tertentu adalah tetap; tetapi, laju larutnya yaitu kecepatan zat itumelarut, tergantung pada ukuran partikel dari zat dan tingkat pengadukan. Makin halus bubuk makin luas permukaan kontak dengan pelarut, makin cepat proses melarut. Juga makin kuat pengadukan,
makin banyak pelarut yang tidak jenuh bersentuhan
dengan obat, makin cepat terbentuknya larutan (Ansel, 1989).
Kelarutan suatu zat akan bertambah seiring dengan meningkatnya suhu. Kelarutan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat alami dari solute dan solvent , efek dari temperatur terhadap tekanan, efek tekanan pada temperatur, dan kelarutan dari zat terlarut. Temperatur kelarutan dari pelarut akan mempengaruhi kelarutan zat yang dilarutkan. Kebanyakan padatan yang bisa larut dalam liquid, maka kenaikan temperatur akan sangat berdampak pada kenaikan kelarutan (Sukardjo, 1997).
Panas pelarutan adalah panas yang diserap jika 1 mol padatan dilarutkan dalam larutan yang sudah dalam keadaan jenuh. Hal ini berbeda dengan panas pelarutan untuk larutan encer yang biasa terdapat dalam tabel panas pelarutan. Pada umumnya panas pelarutan bernilai positif, sehingga menurut Van’t Hoff menaikkan suhu akan meningkatkan jumlah zat terlarut (panas pelarutan (+) = endotermis). Sedangkan zat-zat yang panas pelarutannya (-) adalah eksotermis (Khare, 2015).
Larutan Jenuh adalah suatu larutan di mana zat terlarut berada dalam kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut). Larutan tidak jenuh atauhampir jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalamkonsentrasi di bawah konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada temperatur tertentu. Suatu larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yangmengandung zat terlarut dalam konsentrasi lebih banyak daripada yangseharusnya ada pada temperatur tertentu, terdapat juga zat terlarut yang tidaklarut. Keadaan lewat jenuh mungkin terjadi apabila inti
kecil zat terlarut yangdibutuhkan untuk pembentukan kristal permulaan adalah lebih mudah larutdaripada kristal besar sehingga menyebabkan sulitnya inti terbentuk (Martin,2008).
Kelarutan banyak diaplikasikan dalam pembuatan obat. Kelarutan sangat mempengaruhi serapan obat di dalam tubuh. Rute pemberian obat yang paling nyaman dan umum digunakan digunakan adalah melalui oral karena kemudahan administrasinya, kemauan pasien tinggi, biaya yang lebih murah, dan fleksibilitas dalam desain bentuk sediaan. Akibatnya, banyak perusahaan obat generik cenderung lebih untuk menghasilkan bioekuivalen produk obat oral (Savjani, 2012).
Namun, tantangan utama dengan desain bentuk sediaan oral terletak dengan bioavailabilitasnya yang rendah. Bioavailabilitas oral yang bergantung pada beberapa factor diantaranya kelarutan air, permeabilitas obat, laju disolusi, metabolisme lintas pertama, metabolisme presistemik, dan kerentanan terhadap mekanisme efluks. Penyebab yang paling sering bioavailabilitas oral yang rendah dikaitkan dengan kelarutan dan permeabilitas yang rendah (Savjani, 2012).
Metode sederhana untuk menentukan kelarutan sebagian besar senyawa/bahan campuran adalah mengocok dengan lama zat bubuk halus dengan zat kelarutan pada temperatur yang diperlukan hingga tercapai keseimbangan. Larutan itu kemudian disaring dan untuk menentukan bahan yang melarutkan dengan metode yang cocok seperti metode fisika dan kimia/ dengan menggunakan sifat fisika, larutan sebagai indeks bias (Henry, 2008).
Kelarutan obat dalam air dapat mempengaruhi laju disolusi. Zat khasiat dalam bentuk garam akan lebih mudah larut dari pada dalam bentuk asamnya. Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi tegangan permukaan antara medium tempat obat melarut dengan zat khasiat obat, sehingga mempengaruhi kecepatan pelarutan zat khasiat obat. Penggunaan bahan tambahan yang
bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan permukaan obat dengan medium disolusi (Raini, 2010).
V. Alat dan Bahan
5.1. Alat
a. Balp
b. Beaker glass c. Buret dan statif d. Corong e. Erlenmeyer f. Gelas ukur g. Kertas saring h. Labu ukur i. Penangas air j. Pipet tetes k. Pipet volume l. Tabung reaksi m. Rak tabung reaksi
5.2. Bahan a. Aquades b. Asam oksalat c. Asam salisilat d. Etanol 95% e. Fenolftalein f. Gliserin g. NaOH
VI. Data Pengamatan
No. Zat Prosedur Hasil Gambar
1. Etanol Memasukkan etanol masing-masing: Tabung 1 = 0 ml Tabung 2 = 1,5 ml Tabung 3 = 3 ml Tabung 4 = 6 ml Tabung 5 = 9 ml Tabung 6 = 10,5 ml Tabung 7 = 12 ml
Diperoleh etanol dalam konsentrasi tertentu di dalam 7 tabung.
2. Gliserin Menambahkan gliserin masing-masing : Tabung 1 = 12 ml Tabung 2 = 10,5 ml Tabung 3 = 9 ml Tabung 4 = 6 ml Tabung 5 = 3 ml Tabung 6 = 1,5 ml
Diperoleh campuran etanol dan gliserin dengan konsentrasi tertentu di dalam 7 tabung, gliserin larut dalam etanol.
Tabung 7 = 0 ml 3. Asam
Salisilat
Melarutkan asam salisilat ke dalam 7 tabung (masing-masing tabung 1 gram)
Diperoleh asam salisilat di dalam 7 tabung reaksi.
Mengocok dan mengaduk secara bersamaan selama 10 menit
Tabung 1 dan 2 = asam salisilat tidak larut
Tabung 3 dan 4 = asam salisilat sediki larut
Tabung 5 = asam salisilat sedikit tidak larut
Tabung 6 dan 7 = asam salisilat larut
Menyaring larutan asam salisilat menggunakan kertas saring
Diperoleh filtrate asam salisilat di dalam erlenmeyer dan residu yang tersaring pada kertas saring.
8
Tabung 7 = 0 ml 3. Asam
Salisilat
Melarutkan asam salisilat ke dalam 7 tabung (masing-masing tabung 1 gram)
Diperoleh asam salisilat di dalam 7 tabung reaksi.
Mengocok dan mengaduk secara bersamaan selama 10 menit
Tabung 1 dan 2 = asam salisilat tidak larut
Tabung 3 dan 4 = asam salisilat sediki larut
Tabung 5 = asam salisilat sedikit tidak larut
Tabung 6 dan 7 = asam salisilat larut
Menyaring larutan asam salisilat menggunakan kertas saring
Diperoleh filtrate asam salisilat di dalam erlenmeyer dan residu yang tersaring pada kertas saring.
Menitrasi dengan larutan NaOH 0,1 N dan indicator felolftalein
Tabung 1 V1= 30 ml V2=32 ml V rata-rata = 31 ml Tabung 2 V1= 12,4 ml V2=12,8 ml V rata-rata = 12,6 ml Tabung 3 V1= 24,5 ml V2= 27,5 ml V rata-rata = 26 ml Tabung 4 V1= 33 ml V2= 33,6 ml V rata-rata = 33,3 ml Tabung 5 V1= 37 ml
9
Menitrasi dengan larutan NaOH 0,1 N dan indicator felolftalein
Tabung 1 V1= 30 ml V2=32 ml V rata-rata = 31 ml Tabung 2 V1= 12,4 ml V2=12,8 ml V rata-rata = 12,6 ml Tabung 3 V1= 24,5 ml V2= 27,5 ml V rata-rata = 26 ml Tabung 4 V1= 33 ml V2= 33,6 ml V rata-rata = 33,3 ml Tabung 5 V1= 37 ml V2= 38 ml V rata-rata = 37,5 ml Tabung 6 V1= 31,9 ml Tabung 7 V1= 31,6 ml Menentukan konsentrasi asam
salisilat terlarut Tabung 1 = 37,16% Tabung 2 = 15% Tabung 3 = 31% Tabung 4 = 39,92% Tabung 5 = 44,95% Tabung 6 = 38,24% Tabung 7 = 37,88%
10 V2= 38 ml V rata-rata = 37,5 ml Tabung 6 V1= 31,9 ml Tabung 7 V1= 31,6 ml Menentukan konsentrasi asam
salisilat terlarut Tabung 1 = 37,16% Tabung 2 = 15% Tabung 3 = 31% Tabung 4 = 39,92% Tabung 5 = 44,95% Tabung 6 = 38,24% Tabung 7 = 37,88% VII. Perhitungan 1. Pembuatan NaOH 0,1 N = × 1000 0,1 = 40 × 1000 2000 = 8 2 2
2. Pembuatan Asam Oksalat 0,1 N
= × 1000 0,1 = 63 × 1000 50 = 0,315 50
VII. Perhitungan 1. Pembuatan NaOH 0,1 N = × 1000 0,1 = 40 × 1000 2000 = 8 2 2
2. Pembuatan Asam Oksalat 0,1 N
= × 1000 0,1 = 63 × 1000 50 = 0,315 50 3. Pembakuan NaOH V1 = 11,60 ml V2 = 11,55 ml V3 = 11,40 ml V rata-rata = 11,52 ml 1 × 1 = 2 × 2 1 × 11,52 = 0,1 × 10 = 0,0868
4. Kadar Asam Salisilat
(%) = × × × 100 % Tabung 1 (%) = 31 × 0,0868 × 138,12 1000 × 100 % = 37,16 % Tabung 2 (%) = 12,6 × 0,0868 × 138,12 1000 × 100 % = 15 %
Tabung 3 (%) = 26 × 0,0868 × 138,12 1000 × 100 % = 31 % Tabung 4 (%) = 33,3 × 0,0868 × 138,12 1000 × 100 % = 39,92 % Tabung 5 (%) = 37,5 × 0,0868 × 138,12 1000 × 100 % = 44,95 % Tabung 6 (%) = 31,9 × 0,0868 × 138,12 1000 × 100 % = 38,24 % Tabung 7 (%) = 31,6 × 0,0868 × 138,12 1000 × 100 % = 37,88 % VIII. Pembahasan
Praktikum kali ini berjudul uji kelarutan obat. Contoh obat yang digunakan adalah asam salisilat yang mempunyai rumus kimia C7H6O3.
Asam salisilat termasuk ke dalam golongan obat anti inflamasi non steroid yang memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis prostaglandin
dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase pada pusat
termoregulator di hipotalamus dan perifer. Obat ini biasanya disajikan untuk obat luar dalam bentuk topical, namun ada juga yang dibuat untuk obat dalam dan diabsorbsi oleh organ tubuh bagian dalam sepeti lambung atau usus. Penyerapan obat oleh tubuh tergantung pada kelarutan obat tersebut. Apabila obat tersebut bersifat asam, maka akan diserap dalam organ tubuh yang keadaannya basa seperti usus, begitu pula obat yang sifatnya basa akan mudah diserap dalam organ tubuh yang keadaannya asam seperti lambung. Untuk mengetahui efektifikas kelarutan obat di dalam tubuh, salah satu cara yang digunakan yaitu uji disolusi. Waktu kelarutan obat dalam tubuh sangat erat hubungannya dengan efektifitas
obat tersebut untuk menimbulkan efek farmakologis. Semakin cepat larut suatu obat, maka semakin efektif obat tersebut bekerja.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi ketiga tahun 1979, asam salisilat memiliki kelarutan larut dalam 550 bagian air dan 4 bagian etanol (95%). Air merupakan pelarut polar dan etanol merupakan pelarut nonpolar. Pada praktikum kali ini digunakan etanol dan gliserin sebagai pelarut. Keduanya memiliki sifat pelarut yang berbeda.
IX. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan semakin banyak volume etanol dalam larutan maka asam salisilat yang terlarut akan semakin banyak. Ditunjukkan dengan kadar asam salisilat pada tabung 1 = 37,16%; tabung 2 = 15 %; tabung 3 = 31%; tabung 4 = 39,92%; tabung 5 = 44, 95%; tabung 6 = 38, 24% dan tabung 7 = 37, 88%.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, Howart C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press. Arisworo, D. 2006. Ilmu Pengetahuan Alam Terpadu. Jakarta: Grafindo Media
Pratama.
Chang, R. 2004. Kimia Dasar dan Konsep Edisi VI . Jakarta : Erlangga.
Darsono, L. 2002. Diagnosis dan Terapi Introsikasi Salisilat dan Parasetamol . Bandung : Universitas Kristen Maranatha.
Henry, R. 2008. Penentuan Waktu Kelarutan Parasetamol pada Uji Disolusi. Jurnal Nusa Kimia. Vol. 8. No. 1. Hal 1-6.
Khare, R. 2015. A New Approach to Derivation of Van’t Hoff Equation for Osmotic Pressure of Adilute Solution. American International Journal of Research in Science, Technology, Engineering, and Mathematics, Vol. 11, No. 2, Page: 172-174.
Martin, A. 2008. Farmasi Fisika. Dasar-Dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetika Ed. Ketiga Jilid 2. Jakarta: UI Press.
Raini, Mariana dkk. 2010. Uji Disolusi dan Penetapan Kadar Tablet Loratadin Inovator dan Generik Bermerek. Media Litbang Kesehatan Volume 20 (2): 59-64.
Savjani, Ketan T., Anuradha K. Gajjar, dan Jignasa K. Savjani. 2012. Drug Solubility: Importance and Enhancement Techniques. Tersedia online di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3399483/ (diakses tanggal 3 Mei 2017).
Svehla, G. 1985. Analisis Kualitatif Anorganik Makro dan semimikro. Jakarta: PT. Kalman Pustaka
Untara, W. 2015. Kumpulan Rumus: Matematika, Fisika, dan Kimia. Jakarta: Indonesia Tera.
Voight. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi Kelima. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press.