• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IX DPR RI TANGGAL 26 JUNI 2001

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IX DPR RI TANGGAL 26 JUNI 2001"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA

PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IX DPR RI

TANGGAL 26 JUNI 2001

Masa Persidangan : IV

Tahun Sidang : 2000 - 2001

Anggota Dewan yang terhormat,

Pertama-tama, perkenankan saya mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Komisi IX dan Anggota Dewan yang terhormat, yang telah mengundang kami untuk menghadiri Rapat Kerja pada hari ini. Bagi kami, Rapat Kerja kali ini memiliki arti yang sangat penting karena merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban kami kepada publik melalui Sidang DPR ini. Selain itu, Rapat Kerja ini sangat bermanfaat terutama untuk menyampaikan informasi sejauh mana pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang telah diamanatkan oleh undang-undang, sekaligus untuk mendapatkan masukan bagi kami guna terus mengupayakan perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan tugas ke depan.

Yang kedua, sebagaimana halnya pada Rapat Kerja-Rapat Kerja yang lalu, sebelum kami menyampaikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan anggota Dewan yang terhormat, ijinkanlah kami menyampaikan perkembangan terakhir atas langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh Bank Indonesia secara singkat.

Anggota Dewan yang terhormat,

Sampai dengan bulan Mei 2001, secara umum kondisi ekonomi moneter menunjukkan cenderung belum menunjukkan perbaikan yang berarti khususnya bila dibandingkan dengan perkiraan semula pada awal tahun 2001. Nuansa optimis terhadap prospek ekonomi berubah menjadi kekhawatiran meningkatnya berbagai faktor risiko dan ketidakpastian. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih rendah dari perkiraan semula, sementara tekanan inflasi dan nilai tukar meningkat. Kemajuan proses restrukturisasi perbankan dan sektor usaha yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kegiatan ekonomi tahun 2001 ternyata belum secepat dari yang diperkirakan. Kepercayaan investor akan prospek pemulihan ekonomi juga memburuk sebagai dampak kondisi politik-keamanan dalam negeri dan hubungan dengan IMF. Sementara itu, perekonomian global khususnya AS juga cenderung memburuk meskipun diperkirakan akan berjangka pendek.

Secara umum, Dewan Gubernur memandang bahwa sampai dengan bulan Mei 2001, intensitas tekanan kenaikan harga-harga secara umum semakin menguat. Inflasi bulanan (m-t-m) Mei 2001 mencapai 1,13%, lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi April sebesar 0,46%. Dengan laju inflasi bulanan tersebut, laju inflasi secara kumulatif (y-t-d) mencapai 3,73%, sedangkan inflasi tahunan (y-o-y) mencapai 10,82%. Seluruh kelompok barang dan jasa dalam keranjang IHK mengalami kenaikan harga, dimana kelompok

(2)

sandang mencatat inflasi tertinggi diikuti oleh kelompok bahan makanan dan kelompok kesehatan. Depresiasi nilai tukar yang dibarengi oleh kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan telah meningkatkan ekspektasi inflasi, baik pada sisi konsumen maupun produsen sehingga mendorong kenaikan harga-harga secara umum.

Sementara itu, perkembangan sepanjang bulan Mei 2001 menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah masih menghadapi tekanan depresiasi. Memanasnya suhu politik yang disertai aksi kekerasan dan kerusuhan memunculkan sentimen negatif yang berakibat pada tekanan yang cukup berat terhadap rupiah. Di sisi lain, agenda politik yang mengarah kepada Sidang Istimewa MPR mulai menimbulkan optimisme di kalangan pelaku pasar. Rupiah yang sejak awal bulan terus melemah kemudian bergerak menguat pada minggu terakhir sehingga ditutup tanggal 25 Juni 2001 pada level Rp11.350 per dolar AS.

Melemahnya nilai tukar dan meningkatnya laju inflasi tersebut mendorong Bank Indonesia untuk menerapkan kebijakan moneter yang cenderung ketat. Akibatnya, suku bunga SBI meningkat dan diikuti oleh suku bunga simpanan. Sebagai gambaran, suku bunga SBI 1 bulan meningkat 24 bps sehingga mencapai 16,33% pada lelang terakhir di bulan Mei 2001. Sementara itu, suku bunga instrumen OPT yang lain, yaitu intervensi rupiah, dinaikkan sebesar 50 bps. Namun kenaikan suku bunga instrumen yang berfungsi sebagai floor di pasar uang tersebut baru dilakukan menjelang akhir bulan, sehingga dampaknya terhadap kenaikan suku bunga di pasar uang akan lebih banyak terlihat pada bulan Juni.

Sementara itu, suku bunga SBI 3 bulan meningkat secara gradual sekitar 100 bps dari 14,79 pada Januari 2001 menjadi 15,79 pada Juni 2001. Dengan demikian suku bunga rata-rata SBI 3 bulan dalam 6 bulan pertama tahun 2001 sekitar 15,3%. Ke depan, dengan masih tingginya tekanan inflasi dan melemahnya nilai tukar, suku bunga diperkirakan akan masih meningkat, kemudian kembali menurun seiring dengan membaiknya ekspektasi inflasi dan nilai tukar, sehingga rata-rata suku bunga SBI 3 bulan dalam tahun 2001 akan berada disekitar 14-16%. Akan tetapi, kenaikan suku bunga SBI belum diikuti oleh kenaikan secara sepadan pada suku bunga deposito. Secara riil, suku bunga deposito perbankan dewasa ini berada pada sekitar 3%. Angka ini masih jauh lebih rendah dari tingkat suku bunga riil pada masa sebelum krisis, yaitu sekitar 10-11% pada triwulan pertama tahun 1997, dan juga tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan negara tetangga.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia, kondisi permintaan menunjukkan kecenderungan melemah sejalan dengan trend pertumbuhan PDB riil pada triwulan I-2001. Pertumbuhan PDB pada triwulan I-2001 hanya mencapai 4,01% (y-o-y), yang berarti turun dibandingkan pertumbuhan pada triwulan IV-2000 sebesar 5,23%, dan bahkan lebih rendah daripada pertumbuhan triwulan I-2000 sebesar 4,24%. Sementara itu, nilai tukar riil yang rendah belum menjamin adanya perbaikan yang signifikan dalam mendorong ekspor Indonesia secara keseluruhan. Ekspor non migas hanya mencatat pertumbuhan tahunan 0,67% pada periode Januari-April 2001. Sebaliknya, impor non migas meningkat tinggi pada periode tersebut dengan pertumbuhan tahunan mencapai 49,29%. Peningkatan impor non migas ini khususnya terjadi pada impor kelompok bahan baku.

Secara umum kinerja perbankan Indonesia pada bulan April 2001 menunjukkan beberapa perbaikan seperti pemberian kredit yang terus meningkat, peningkatan Dana

(3)

Pihak Ketiga (DPK) dan permodalan. Di lain pihak, non performing loans (NPLs) naik sebesar 0,4% menjadi 18,5% terutama karena meningkatnya NPLs kredit dalam valas, sementara net interest margin (NIM) relatif tetap positif yaitu sebesar Rp3 triliun. Dalam kondisi sosial dan keamanan yang belum stabil, perbankan sudah mulai meningkatkan penyaluran kredit. Hal ini tentu cukup melegakan kita semua. Untuk mempercepat proses pemulihan fungsi intermediasi bank, restrukturisasi kredit dan restrukturisasi perusahaan kiranya perlu lebih ditingkatkan lagi.

Mempertimbangkan perkembangan yang terjadi khususnya pada perkembangan laju inflasi, nilai tukar, dan kegiatan ekonomi, Dewan Gubernur berpendapat bahwa dalam bulan-bulan mendatang masih terdapat kemungkinan meningkatnya laju inflasi baik yang berasal dari depresiasi rupiah maupun dari kebijakan untuk menaikkan harga-harga barang-barang yang diatur Pemerintah (administered prices) dan faktor-faktor lainnya. Untuk itu, Dewan Gubernur memandang perlunya diambil langkah-langkah secara disiplin dan konsisten untuk menjaga uang beredar khususnya base money sesuai kebutuhan. Pencapaian target base money tersebut terutama akan dilakukan melalui penyerapan likuiditas pada Operasi Pasar Terbuka (OPT). Selain itu, Bank Indonesia juga akan tetap melakukan intervensi di pasar valuta asing bilamana dipandang perlu, secara terukur sesuai kebutuhan.

Anggota Dewan yang terhormat,

Secara khusus, kami menyampaikan terima kasih atas pertanyaan yang telah diajukan secara tertulis oleh Anggota Dewan yang terhormat kepada Bank Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah mencakup beberapa aspek pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, mulai dari pengaturan dan pengawasan bank, permasalahan BLBI, prediksi program kebijakan moneter, serta pengadaan bahan kertas uang. Pembahasan dalam Rapat Kerja kali ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai berbagai aspek-aspek tersebut dan implikasinya terhadap perkembangan dan kebijakan yang ditempuh di masa yang akan datang.

Selanjutnya, ijinkanlah kami memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan tertulis yang sebelumnya telah Anggota Dewan sampaikan kepada kami.

Pertanyaan :

1. Dalam rangka mengantisipasi ketentuan CAR yang ditargetkan pada akhir tahun 2001 sebesar 8%, bagaimana target tersebut bisa tercapai atau ada hal lain yang akan mempengaruhi target tersebut sehubungan dengan keadaan ekonomi makro yang belum pulih sebelumnya. Agar dijelaskan secara rinci program pengaturan maupun pengawasan Bank Indonesia dalam rangka peningkatan peranan perbankan nasional tahun 2001.

(4)

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Untuk menjawab pertanyaan mengenai antisipasi ketentuan CAR sebesar 8% pada akhir tahun 2001, dapat kami sampaikan bahwa kondisi ekonomi yang belum kondusif bagi pemulihan perekonomian, khususnya industri perbankan menyebabkan beberapa bank mengalami hambatan dalam memenuhi berbagai target (business and prudential targets), antara lain pemenuhan CAR 8% pada akhir tahun 2001. Dalam rangka mengantisipasi permasalahan ini, telah dilaksanakan beberapa pendekatan terhadap bank-bank tersebut, termasuk menjajaki kemungkinan penambahan modal.

Berdasarkan hasil stress test terakhir yang dilakukan oleh Bank Indonesia, terdapat 9 bank yang diperkirakan akan sulit mencapai CAR 8% pada akhir tahun 2001. Jumlah ini menurun jika dibandingkan dengan hasil stress test pada periode sebelumnya yang menghasilkan 12 bank. Dari ke 9 bank tersebut, 5 bank diantaranya adalah bank-bank yang saat ini sedang dalam proses restrukturisasi di BPPN, sedangkan terhadap 4 bank lainnya, Bank Indonesia akan meminta pemegang sahamnya untuk melakukan setoran modal, mencari investor baru, atau menjajaki kemungkinan melakukan merger.

Dalam rangka meningkatkan ketahanan perbankan dan mencapai perbankan yang sehat pada akhir tahun 2002, Bank Indonesia telah dan akan terus melakukan berbagai upaya berkaitan dengan penyempurnaan ketentuan perizinan, peningkatan pengaturan perbankan berdasarkan prinsip kehati-hatian, serta penyempurnaan prosedur penyehatan dan penyelesaian bank bermasalah (exit policy).

Penyempurnaan ketentuan perizinan yang telah dilakukan antara lain mencakup wawancara terhadap calon pemegang saham pengendali (controlling shareholders), persyaratan penyampaian corporate plan, pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi, serta seluruh struktur kelompok usaha.

Peningkatan pengaturan perbankan (prudential regulations) akan mencakup :

- penyempurnaan ketentuan permodalan (capital adequacy) yang memasukkan unsur risiko lainnya selain risiko kredit, serta penyempurnaan perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR)

- meningkatkan transparansi kepada publik melalui pelaporan publikasi, yang mencakup beberapa indikator kinerja keuangan

- mewajibkan bank menerapkan manajemen risiko dalam melakukan pengendalian risiko yang dihadapi, serta menerapkan sistem pengendalian intern

- menerapkan pengawasan perbankan yang berbasis risiko (risk based supervision) secara terkonsolidasi, termasuk pelaporan perbankan secara konsolidasi dengan perusahaan terafiliasi

- pencegahan praktek pencucian uang (money laundering) yang dilakukan melalui perbankan dengan mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan kewajiban bank untuk menerapkan prinsip pengenalan nasabah (know your customer principles)

(5)

Dalam kaitan dengan prosedur penyehatan dan penyelesaian bank bermasalah, Bank Indonesia akan melakukan penyempurnaan khususnya mengenai kriteria dan prosedur penetapan bank dalam pengawasan khusus (special surveillance), bank dalam penyehatan di BPPN, serta bank beku usaha (BBKU).

Pertanyaan :

2. Dalam laporan Hasil Audit Investigasi BPK mengenai BLBI, ditemukan adanya tambahan BLBI sebesar Rp14,5 triliun yang terjadi setelah tanggal 29 Januari 1999. Bagaimana klarifikasi BLBI tambahan tersebut antara Bank Indonesia dengan Departemen Keuangan dana dan kapan akan diselesaikan karena hal tersebut berpengaruh pada APBN Tahun Anggaran 2002. Harap dijelaskan secara rinci.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Memenuhi jawaban atas pertanyaan Komisi IX DPR-RI tersebut di atas, dapat kami kemukakan hal-hal sebagai berikut :

1. Tambahan BLBI sebesar Rp.14.447,7 miliar diberikan kepada : a. Bank Beku Operasi (BBO) sebesar Rp.0,5 miliar

b. Bank Beku Kegiatan Operasi (BBKU) sebesar Rp.14.447,2 miliar.

2. Tambahan BLBI dimaksud timbul pada periode setelah posisi tanggal 29 Januari 1999 sampai dengan bank-bank tersebut dibekukan pada tanggal 13 Maret 1999 dengan rincian sebagai berikut :

a. Saldo debet sebesar Rp.13.899,6 miliar (30 BBKU dan 1 BBO).

b. Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) sebesar Rp.106,7 miliar (1 BBKU) c. Fasilitas Diskonto sebesar Rp.441,4 miliar (1 BBKU), rincian pada lampiran 1. 3. Jumlah tambahan BLBI tersebut :

a. Termasuk dalam Surat Utang Pemerintah (SUP) No.4 sebesar Rp.53,7 triliun yang disediakan untuk pembayaran dalam rangka tambahan BLBI sesudah bulan Januari 1999.

Untuk menghindarkan pemahaman yang tidak sama, dapat kami kemukakan bahwa sebagaimana dirinci dalam surat Menteri Keuangan dimaksud sejak awal pengeluaran SUP No.4 tersebut, telah disadari bahwa jumlah sebesar Rp.53,7 triliun dimaksud untuk tujuan :

1) Pemberian uang muka kepada BPPN untuk pembayaran penjaminan sesuai Keppres No.26 tahun 1998 sebesar Rp.35,3 triliun.

2) Penyelesaian penjaminan lainnya (Keppres No.120 dan 193 tahun 1998, trade finance – exchange offer) senilai Rp.4,0 triliun.

(6)

Dengan demikian sejak awal telah disadari bahwa jumlah sebesar Rp.14,447 triliun bukan dana bebas. SUP No.4 dimaksud dan surat Menteri Keuangan No.SR- 176/MK.01/1999 tanggal 31 Mei 1999 adalah seperti pada lampiran 2.

b. Sesuai dengan Persetujuan Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan tanggal 6 Februari 1999 pasal 2 dijelaskan sebagai berikut (lampiran 3): 1). Hak tagih pihak pertama (Gubernur Bank Indonesia) terhadap Bank Umum

penerima BLBI yang diambil alih pihak kedua (Menteri Keuangan) dan yang dibayar kepada pihak pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah jenis BLBI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2). Penerimaan pengambilalihan BLBI sebagaimana dimaksud ayat 1) hanya dilakukan oleh pihak kedua atas BLBI yang penyalurannya telah dicatat dalam pembukuan pihak pertama dan telah ditagih oleh pihak pertama kepada pihak kedua sesuai ketentuan yang berlaku.

3). Atas pengambilalihan hak tagih sebagaimana dimaksud dalam ayat 1) akan dilakukan verifikasi yang disepakati oleh kedua belah pihak.

c. Telah dilaporkan BPK-RI dalam audit (lampiran 4) :

1) Laporan Neraca Awal Bank Indonesia per 17 Mei 1999 pada Sub Pos 2.a.2.) Tagihan pada lembaga khusus pemerintah.

2) Laporan Keuangan Tahunan per 31 Desember 1999 pada SUP No.4.

3) Laporan Keuangan Interim per 30 Juni 2000 dan Laporan Keuangan Tahunan per 31 Desember 2000 pada SUP No.4.

4. Sesuai butir 3.b, Bank Indonesia telah beberapa kali mengemukakan masalah tersebut diatas termasuk masalah cessie (pengalihan hak tagih dari Bank Indonesia kepada Pemerintah) yang belum dilaksanakan melalui berbagai surat Bank Indonesia kepada Menteri Keuangan sejak tahun 1999 sampai dengan tanggal 30 April 2001 (lampiran 5). Namun demikian pengalihan belum dapat dilaksanakan karena Depkeu menghendaki dilakukannya verifikasi terlebih dahulu atas BLBI sebesar Rp14.447,7 miliar dimaksud. 5. Informasi tersebut di atas telah dikemukakan dalam beberapa kali pertemuan dengan

Depkeu dan terakhir pada pertemuan tanggal 20 Juni 2001. Penyelesaian yang dimaksud Depkeu disambut baik oleh Bank Indonesia, sepanjang mengikuti kesepakatan yang telah ada.

Pertanyaan :

3. Bagaimana verifikasi antara Bank Indonesia dan BPPN mengenai jaminan BLBI yang telah dipindahkan ke BPPN, karena ini akan menjadi hambatan program restrukturisasi asset BPPN yang berpengaruh pada APBN Tahun Anggaran 2002.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

(7)

1. Kegiatan verifikasi diatur dalam 2 (dua) dokumen yaitu dalam Persetujuan Bersama tgl 6 Februari 1999 dan dalam akte cessie masing-masing bank sebagai berikut:

a. Dalam Persetujuan Bersama tanggal 6 Februari 1999 verifikasi terutama dimaksudkan dalam rangka memperoleh kepastian hak tagih BLBI yang dialihkan kepada Pemerintah.

b. Dalam masing-masing cessie, kegiatan verifikasi selain dimaksudkan dalam rangka kepastian hak tagih juga untuk hak jaminan jika ada.

2. Kegiatan verifikasi dalam rangka hak jaminan belum pernah dilakukan, namun demikian klarifikasi atas jaminan telah pernah dilakukan secara formal dengan pihak BPPN sebelum dan pada saat BPPN diaudit oleh BPK-RI. Di samping itu, telah dilakukan pertemuan informal dengan pihak BPPN setelah BPK-RI melakukan audit investigasi terhadap jaminan BLBI.

3. Dalam upaya penjelasan kepada publik sehubungan audit jaminan BLBI di BPPN, Bank Indonesia telah menyampaikan tanggapan sebagai berikut:

a. Menurut data yang ada di Bank Indonesia, jaminan BLBI yang diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN sebagai pelaksanaan dari cessie tanggal 22 Februari 1999 bernilai sebesar Rp 132,3 triliun atau 92% dari posisi BLBI yang dialihkan (sebesar Rp 144,5 triliun). Jaminan tersebut terdiri dari jaminan berupa promes bank sebesar Rp 56,1 triliun dan jaminan berupa asset, personal guarantee, dan corporate guarantee

senilai Rp 76,2 triliun. Rincian dari jaminan ada pada lampiran 6.

b. Penilaian kelayakan suatu jaminan tentunya harus dikemukakan dari dua waktu yang berbeda yaitu pada waktu pengikatan jaminan dan nilai pada saat eksekusi jaminan. Bagi Bank Indonesia sudah jelas bahwa nilai jaminan pada waktu pengikatan adalah sebesar Rp132,3 triliun.

Sesuai dengan Undang-Undang nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral pada Pasal 32 Ayat 2 diatur bahwa Bank Indonesia memberikan kredit likuiditas dengan cara antara lain menerima aksep. Dalam pelaksanaannya peraturan yang antara lain dikeluarkan oleh Bank Indonesia mengenai Fasilitas Diskonto I dan Fasilitas Diskonto II tidak mensyaratkan adanya jaminan tambahan selain aksep atau promes bank. Aturan ini berlangsung terus sampai pada bulan April 1998 dengan dikeluarkannya aturan mengenai Fasilitas Diskonto atau FasDis dimana selain dari promes bank dipersyaratkan pula adanya jaminan tambahan sebesar 100% dari nilai fasilitas.

Hal yang perlu dicatat adalah tindakan Bank Indonesia mengamankan BLBI sebelum adanya aturan yang mensyaratkan jaminan tambahan, Bank Indonesia telah berusaha meminta jaminan tambahan pada akhir Desember 1997 dengan Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) dimana Bank Indonesia untuk pertama kalinya mensyaratkan jaminan tambahan.

c. Mengenai nilai dari jaminan tentu pada waktu pengikatan promes bank memiliki nilai karena dalam dunia perbankan pinjam-meminjam antar bank dilakukan dengan sarana promes. Adapun mengenai nilai promes tersebut ada yang menjadi nihil karena bank penerbit sudah di BBO atau BBKU karena kondisi bank semakin memburuk karena krisis. Namun demikian dalam proses penyelesaian, BPPN

(8)

melakukan penyelesaian atas BLBI melalui mekanisme pengambilalihan asset bank dan melalui program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola

Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA), dan Akte Pengakuan Utang (APU).

d. Mengenai promes bank yang tidak di-endorse oleh bank lain sebelum diserahkan sebagai jaminan, sesuai dengan Pasal 32 UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral yang berlaku pada waktu itu, jaminan atas pemberian BLBI tersebut adalah berupa promes bank. Jaminan promes bank ini, sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, tidak memerlukan endorsement dari bank lain. Yang memerlukan endorsement dari bank adalah promes nasabah. Kalau dilihat lebih jauh dalam praktek perjanjian antara BPPN dengan pemegang saham pengendali bank yang dikenal dengan MRNIA tampak jelas bahwa karena tidak ada kesepakatan mengenai nilai aset yang diserahkan kepada BPPN maka BPPN juga meminta pihak pemegang saham pengendali bank untuk menyerahkan promes (promissory notes) sebagai suatu penutup kekurangan jaminan tanpa perlu di-endorse pihak lain.

e. Mengenai jaminan berupa personal guarantee (PG) dan corporate guarantee (CG) itupun merupakan upaya maksimal yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia pada waktu itu karena sebagaimana dimaklumi asset bank yang berupa tanah dan bangunan atau dapat dijaminkan secara fisik sangat terbatas. PG dan CG ini bagi Bank Indonesia tetap memiliki nilai karena selama pihak yang mengeluarkan masih memiliki kekayaan maka kekayaannya menjadi jaminan pelunasan utang dijamin dengan PG dan CG tersebut. Aturan-aturan mengenai jaminan berupa PG dan CG terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Bab tentang Penanggungan Utang. Jadi kalau ada pihak yang berpendapat bahwa PG dan CG tidak ada nilainya dan cacat hukum seyogyanya didasarkan pada aturan yang masih berlaku. Pihak yang berwenang menyatakan sah atau tidaknya suatu PG atau CG adalah badan peradilan.

Sebagai contoh pernah dikemukakan dalam media masa bahwa Pemerintah dan DPR meminta agar BPPN mengupayakan jaminan pribadi dari beberapa konglomerat untuk menutup kekurangan atas utang grupnya.

f. Untuk memperoleh gambaran yang lebih berimbang mengenai pengelolaan jaminan tersebut, perlu kiranya diketahui perkembangan pengelolaan jaminan BLBI sebelum, pada saat dan sesudah pengalihan oleh Bank Indonesia kepada BPPN melalui pelaksanaan cessie dimaksud seperti terlihat pada tabel ‘Kronologi Perkembangan Jaminan BLBI" seperti pada Lampiran 7.

3. Dari lampiran 7 tersebut dan informasi terkait terdapat beberapa hal penting sebagai berikut:

a. BPPN yang dibentuk jauh sebelum pelaksanaan cessie mempunyai tugas dan wewenang yang sangat luas yang antara lain dapat mengelola bank, merestrukturisasi kredit bank, menguasai dan menyita jaminan serta menjualnya dalam rangka menyehatkan bank. Yang dimaksud dengan bank dalam hal ini termasuk bank yang memperoleh BLBI.

(9)

b. Diantara bank-bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN sebelum pelaksanaan cessie, terdapat bank yang berstatus BTO, BBO dan BDP.

c. Dalam rangka pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank penerima BLBI tersebut BPPN telah melakukan berbagai upaya sebelum pelaksanaan cessie tanggal 22 Februari 1999 antara lain berupa:

i. PKPS dengan pola MSAA dan MRNIA terhadap 5 bank dengan jumlah BLBI sebesar Rp 53,5 triliun.

ii. Tehadap pengelolaan bank, antara lain dilakukan penggantian manajemen bank dan penunjukan bank pendamping sebagai pengelola kegiatan bank sehari-hari. Hal ini terjadi pada beberapa bank yang berstatus BTO pada waktu itu.

iii. Terhadap 1 (satu) dokumen salinan akte pengikatan hutang bank (pengikatan fasilitas saldo debet sebesar Rp 20,9 triliun untuk BDNI) belum diserahkan kepada BPPN karena notaris belum dapat mengeluarkan salinan dokumen akta pengikatan sehubungan dengan proses penandatanganan akta belum sempurna. Akta tersebut belum ditandatangani seluruh anggota Tim Manajemen BDNI yang ditunjuk BPPN walaupun BPPN telah memberi ijin kepada Tim tersebut untuk menandatangani akta. Namun demikian berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham dengan pola MSAA, BLBI sebesar Rp 37,0 triliun telah diselesaikan oleh pemegang saham pengendali.

4. Pada saat pelaksanaan cessie antara Bank Indonesia dengan BPPN atas kuasa pemerintah antara lain disepakati agar Bank Indonesia menyerahkan hak tagih kepada 48 bank dan menerima pembayaran berupa surat utang pemerintah dengan nilai Rp144,5 triliun.

5. Setelah pelaksanaan cessie BPPN juga telah melakukan upaya-upaya yang berkaitan dengan bank penerima BLBI antara lain berupa:

a. Konversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara Pemerintah qq. BPPN pada beberapa BTO. Konversi menjadi penyertaan dan penyelesaian lainnya adalah sebesar Rp 57,6 triliun. Dengan konversi tersebut seluruh BLBI kepada bank dimaksud oleh BPPN telah dianggap selesai. Oleh karena itu sebagian besar jaminan dari bank terkait dikembalikan oleh BPPN kepada bank yang bersangkutan.

b. Khusus untuk penyelesaian BDL berdasarkan laporan Tim Likuidasi yang dipantau oleh Bank Indonesia sampai dengan 31 Desember 2000 telah berhasil memperoleh penerimaan dari hasil pencairan asset yang digunakan untuk pelunasan dana talangan sebesar Rp1,4 triliun dan USD11,2 juta.

6. Dalam kaitan ini pengikatan jaminan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebelum cessie

adalah upaya optimal yang dapat dilakukan mengingat timbulnya BLBI tersebut terutama disebabkan oleh ketidakmampuan bank menutup rekeningnya yang bersaldo debet di Bank Indonesia sebagai akibat dari kalah kliring karena penarikan dana besar-besaran oleh nasabah dalam waktu yang amat singkat. Pengukuhan saldo debet menjadi perjanjian kredit dan pengikatan jaminannya dilakukan kemudian dan tidak dalam keadaan normal. Disamping itu jaminan tersebut selanjutnya ada yang diubah menjadi MSAA/MRNIA/APU dan ada pula yang diubah menjadi penyertaan saham sementara.

(10)

7. Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tampaknya sudah tidak ada hubungan antara kecukupan jaminan BLBI dengan potensi kerugian negara karena cara penyelesaian tagihan BLBI yang dilakukan oleh BPPN adalah dengan jalan konversi BLBI menjadi penyertaan sementara atau dengan jalan perjanjian khusus kepada pemegang saham pengendali bank baik melalui MSAA, MRNIA ataupun APU. Hal tersebut dilakukan sebelum BLBI dialihkan secara formal kepada Pemerintah.

Pertanyaan :

4. Bagaimana prediksi program kebijakan moneter Bank Indonesia untuk Tahun Anggaran 2001.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagaimana diketahui, bahwa Pemerintah telah menyusun Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA) tahun 2002 yang antara lain juga membahas Kerangka Ekonomi Makro untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai prospek ekonomi tahun 2002. Secara umum prospek ekonomi makro yang disusun oleh Pemerintah searah dengan prospek yang disusun oleh Bank Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari ringkasan beberapa indikator penting perekonomian dibawah ini :

A. Gambaran umum perekonomian tahun 2002

Perkembangan ekonomi Indonesia pada tahun 2002 dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2002 diperkirakan akan sedikit lebih baik dari tahun 2001, yaitu menjadi 3,9% dari 3,2%. Kenaikan pertumbuhan ekonomi dunia ini terutama didukung oleh pertumbuhan ekonomi USA dan Jepang yang diperkirakan akan membaik di tahun 2001. Setelah mengalami soft landing pada tahun 2001 dengan perkiraan pertumbuhan sekitar 1,5%, ekonomi AS diperkirakan akan tumbuh sekitar 2,5% pada tahun 2002. Sementara itu, ekonomi Jepang diperkirakan juga akan membaik dengan perkiraan pertumbuhan meningkat dari 0,6% tahun 2001 menjadi 1,5% pada tahun 2002. Perkembangan ekonomi dunia yang akan membaik tersebut diperkirakan memberikan peluang bagi peningkatan

Indikator Ekonomi Makro Realisasi

2000 2001 2002

Pertumbuhan ekonomi (%) 4,8 3 - 4 4,5 - 5,5

Tingkat inflasi (%) 9,4 8 - 10 7 - 9

Nilai tukar rupiah (Rp/USD) 8544 9000 - 10000 8000 - 9000

Uang Primer (%) 23,4 -

-Suku Bunga Deposito 3 bulan (%) 12,5 13,9 13,8

(11)

kinerja ekspor Indonesia pada tahun 2002 sebagai salah satu pendorong bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Sementara itu, berbagai permasalahan mendasar baik di bidang sosial-politik maupun ekonomi di dalam negeri masih memerlukan penanganan yang serius dan menjadi faktor penentu bagi percepatan pemulihan ekonomi nasional di masa yang akan datang. - Pertama, kondisi politik dan keamanan dalam negeri diharapkan akan lebih baik pada

tahun 2002 sehingga mampu mendorong pemulihan kepercayaan baik dalam maupun luar negeri terhadap masa depan Indonesia. Apabila hal ini dapat dimungkinkan, perhatian yang lebih besar dapat diarahkan pada penanganan berbagai permasalahan mendasar di bidang ekonomi.

- Kedua, proses restrukturisasi perusahaan dan utang luar negeri yang selama ini berjalan lambat perlu dipercepat. Penanganan masalah di bidang ini sangat menentukan tidak saja terhadap prospek pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi juga pengaruhnya terhadap perkembangan nilai tukar dan pemulihan sektor perbankan.

- Ketiga, penanganan terhadap penyelesaian aset dan restrukturisasi kredit khususnya yang menjadi kewenangan Pemerintah cq. BPPN juga sangat penting. Khusus mengenai restrukturisasi kredit, penyelesaian masalah ini akan mampu meningkatkan kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit.

- Keempat, pemulihan fungsi intermediasi perbankan perlu pula dipercepat. Selama ini memobilisasi dana dari masyarakat oleh perbankan telah berjalan normal. Akan tetapi penyaluran kredit kepada sektor riil masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain karena tingginya ketidakpastian dan risiko usaha di dalam negeri, masih berlangsungnya restrukturisasi kredit terutama oleh BPPN, serta kondisi internal perbankan sendiri. Kondisi seperti ini telah menyebabkan sebagian aset perbankan ditanamkan dalam bentuk obligasi pemerintah, pinjaman antar bank, dan SBI.

- Kelima, pemeliharaan kestabilan makroekonomi harus terus menjadi prioritas utama. Disiplin di bidang fiskal perlu terus diupayakan dengan menjaga defisit anggaran pada tingkat yang wajar. Sementara itu, kebijakan moneter perlu terus diarahkan untuk mengendalikan laju inflasi dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah.

Berbagai faktor tersebut menggambarkan masih besarnya faktor risiko dan ketidakpastian – khususnya yang berasal dari dalam negeri—yang pada akhirnya akan sangat menentukan prospek pemulihan ekonomi nasional baik pada tahun 2001 maupun tahun 2002 mendatang. Namun di sisi lain, peluang akan percepatan pemulihan ekonomi nasional juga masih terbuka. Perbaikan pada perekonomian dunia memberikan harapan pada peningkatan kinerja ekspor sebagai salah satu pendorong ekonomi tahun 2002. Optimisme akan perekonomian nasional tahun 2002 akan sangat dipengaruhi oleh perbaikan kondisi internal yang terutama berpengaruh terhadap upaya untuk meningkatkan kegiatan investasi dan konsumsi dalam negeri. Dengan demikian, harapan terhadap membaiknya kondisi perekonomian nasional dapat tercapai apabila faktor-faktor tersebut dapat kita atasi bersama. Dan, hal itu akan sangat tergantung pada perkembangan politik, keamanan, sosial, dan ekonomi selama semester II-2001.

(12)

Dengan memperhatikan kondisi makroekonomi tersebut, Bank Indonesia memandang bahwa secara umum angka-angka proyeksi dalam REPETA 2002 masih mungkin untuk dicapai. Namun, sekali lagi, keberhasilan pencapaian angka-angka proyeksi dimaksud akan tergantung pada kemajuan dalam menangani berbagai permasalahan mendasar diatas. Apabila tidak tertangani dengan baik, berbagai faktor non ekonomi khususnya faktor sosial politik, keamanan, dan ketidakpastian hukum juga dapat menjadi kendala yang signifikan dalam proses pemulihan ekonomi.

B. Pandangan Bank Indonesia atas proyeksi beberapa indikator ekonomi makro REPETA 2002

1. Pertumbuhan Ekonomi

Dengan memperhatikan perkembangan beberapa variabel ekonomi baik dari sisi eksternal maupun dari sisi internal, perekonomian Indonesia pada tahun 2002 diperkirakan masih akan tumbuh positif dan masih lebih baik dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan tahun 2001. Dari sisi eksternal, perkiraan membaiknya perekonomian dunia akan memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Sementara itu, pada tahun 2002 diharapkan berbagai faktor risiko dan ketidakpastian –khususnya yang berasal dari dalam negeri-- telah dapat diatasi. Dengan demikian, pertumbuhan PDB riil tahun 2002 dalam REPETA sebesar 4,5 – 5,5 % menurut Bank Indonesia masih dapat dicapai. Sumber pertumbuhan diperkirakan akan lebih banyak didorong oleh ekspor, konsumsi dan investasi. Dengan demikian, penciptaan situasi yang kondusif guna mendorong peningkatan konsumsi, ekspor dan investasi tersebut menjadi sangat penting.

Konsumsi swasta pada 2002 diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan 2001. Masih tumbuhnya konsumsi swasta disebabkan oleh perkembangan harga-harga dalam negeri yang terkendali sehingga daya beli masyarakat dapat sedikit membaik. Selain itu, suku bunga yang sedikit menurun juga diperkirakan akan mampu mendorong pertumbuhan konsumsi swasta. Dengan demikian, sumbangan konsumsi swasta terhadap pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam REPETA 2002 sebesar 3 % diperkirakan masih dapat dicapai. Sementara itu, konsumsi pemerintah pada 2002 diperkirakan akan tumbuh sedikit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada 2001. Terbatasnya kemampuan pemerintah untuk menstimulir perekonomian melalui kebijakan fiskal disebabkan oleh besarnya beban pembayaran bunga dalam negeri, sedangkan di lain pihak penerimaan dalam negeri diperkirakan sedikit menurun karena menurunnya harga minyak dunia.

Pada sisi investasi, diharapkan kinerja investasi pada tahun 2002 akan membaik dibandingkan 2001. Membaiknya proses restrukturisasi perbankan dan hutang luar negeri perusahaan diharapkan mampu mendorong perkembangan sektor riil melalui pemberian kredit kepada sektor swasta maupun melalui peningkatan arus masuk modal asing (PMA). Untuk itu, diperlukan perhatian dari semua pihak untuk dapat menciptakan suasana yang kondusif bagi kegiatan investasi agar dapat memberikan sumbangan sebesar 2,7 % terhadap pertumbuhan ekonomi sebagaimana ditetapkan dalam REPETA 2002.

Dari sisi eksternal, ekonomi dunia diperkirakan akan tumbuh sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2001, sehingga diharapkan akan mampu mendorong kinerja ekspor,

(13)

khususnya ekspor nonmigas. Di lain pihak, harga minyak dunia diperkirakan akan sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya sehingga penerimaan ekspor migas diperkirakan akan lebih rendah. Walaupun demikian, secara total, ekspor diperkirakan masih mampu untuk tumbuh untuk lebih tinggi dibandingkan 2001. Impor barang juga diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi sejalan dengan masih tumbuhnya konsumsi (impor barang konsumsi) dan meningkatnya investasi (impor barang modal).

2. Tingkat Inflasi

Untuk laju inflasi pada tahun 2002, REPETA memperkirakan mencapai kisaran 7% - 9%. Hal itu berarti laju inflasi tahun 2002 lebih rendah dibandingkan dengan inflasi pada 2001 yang mencapai 8% - 10%. Menurunnya tekanan harga pada 2002, terutama disebabkan oleh menguatnya nilai tukar dan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap prospek perekonomian Indonesia.

Namun demikian, ada risiko-risiko yang bisa menyebabkan inflasi lebih tinggi dari perkiraan dalam REPETA 2002. Tekanan terhadap inflasi diperkirakan akan timbul dari meningkatnya kegiatan ekonomi, yang tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi, serta pengaruh dari kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan. Disamping itu, ketidak-stabilan sosial-politik-keamanan tahun 2002 juga dapat memberikan tekanan terhadap inflasi melalui volatilitas kurs.

3. Nilai Tukar

Dalam REPETA , nilai tukar rupiah rata-rata tahun 2002 diperkirakan pada kisaran Rp8.000 – 9.000/USD. Angka proyeksi diatas diperkirakan dapat dicapai apabila permasalahan mendasar di bidang sosial-politik maupun ekonomi –seperti telah disebutkan di atas-- dapat ditangani dengan baik. Sementara itu, membaiknya kondisi perekonomian dunia diperkirakan juga akan menurunkan tekanan terhadap Rupiah.

4. Uang Primer dan Suku Bunga

Dengan memperhatikan prospek ekonomi pada 2001 dan 2002 serta proyeksi inflasi, dan dengan mempertimbangkan berbagai risiko seperti telah dijelaskan di atas, kebijakan di bidang moneter tetap diarahkan pada upaya mengendalikan tekanan inflasi dan stabilisasi nilai tukar rupiah.

Untuk itu kebijakan moneter selama tahun 2002 akan terus dilakukan untuk meminimalisasi kelebihan likuiditas dalam perekonomian. Dalam pelaksanaannya, kebijakan moneter akan dilakukan secara hati-hati untuk mencegah agar kenaikan suku bunga secara drastis dan berlebihan dapat dihindarkan. Penyerapan kelebihan likuiditas tersebut, dilakukan terutama melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT), khususnya dengan lelang SBI. Sementara itu, OPT melalui penjualan valuta asing tetap merupakan opsi yang terbuka apabila diperlukan.

Dengan pertimbangan seperti di atas, Bank Indonesia akan mengarahkan tingkat pertumbuhan uang primer pada tahun 2002 sesuai dengan sasaran inflasi serta dengan tidak menimbulkan risiko yang berlebihan pada proses pemulihan perbankan dan ekonomi secara keseluruhan. Sementara itu, perkembangan suku bunga SBI akan dipengaruhi oleh mekanisme pasar sesuai dengan kondisi likuiditas perbankan.

(14)

Dengan asumsi bahwa laju inflasi dapat terkendali pada kisaran 7% - 9%, suku bunga deposito 3 bulan akan berada pada sekitar 14% seperti dalam REPETA diperkirakan cukup realistis untuk mempertahankan suku bunga riil yang cukup menarik bagi masyarakat penabung.

Pertanyaan :

5. Bagaimana mengatasi kelangkaan pengadaan uang kertas pecahan Rp5000,- dan Rp1000,- dan bagaimana selanjutnya untuk pengadaan bahan kertas uang dalam mencegah kelangkaan tersebut.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Kelangkaan kertas uang pecahan Rp1.000 dan Rp5.000 terjadi menjelang akhir tahun 2000 dan awal 2001 pada saat menghadapi hari-hari besar keagamaan. Untuk mengatasi hal tersebut, Bank Indonesia telah melakukan contingency plan pada pertengahan Januari 2001 dan hal ini sejalan dengan hasil pertemuan antara Bank Indonesia dengan Tim Terpadu DPR RI pada bulan Februari 2001 untuk mengambil langkah-langkah darurat dengan cara mengadakan kertas uang dimaksud.

Pengadaan melalui contingency plan tersebut dilakukan dengan menunjuk pemasok luar negeri yang pernah men-supply kertas uang pecahan yang bersangkutan pada tahun sebelumnya. Langkah darurat ini telah dapat mengatasi kelangkaan uang pecahan Rp.1000 dan Rp.5000 dan pada saat ini jumlahnya dapat mencukupi kebutuhan masyarakat.

Selanjutnya untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap uang pecahan kecil menjelang Lebaran tahun 2001 dan tahun baru 2002, Bank Indonesia telah melakukan proses pengadaan berbagai pecahan (termasuk pecahan Rp5.000 dan Rp1.000) sehingga diharapkan tidak akan mengganggu rencana pengadaan dan pengedaran uang yang telah disusun Bank Indonesia. Dengan demikian, kebutuhan uang pecahan Rp5.000 dan Rp1.000 sampai dengan pertengahan tahun 2002 telah dapat diantisipasi.

Jakarta, 26 Juni 2001 BANK INDONESIA

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan laut sangat luas, yang mengandung potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang besar untuk dijadikan tumpuan (prime mover)

Kelas eksperimen I (XI IPA 2) belajar menggunakan model PBL dengan metode eksperimen disertai teknik Roundhouse Diagram dan kelas eksperimen II (XI IPA 3)

Dalam percobaan ini, durasi rendam 30 menit memberikan daya hidup yang paling tinggi pada tahap dehidrasi jaringan sebelum pembekuan dalam nitrogen cair.. Namun setelah

Demikian Proposal ini kami susun, semoga dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan Accounting Student Conference dan dapat menjadi acuan bagi pelaksanaan

memperoleh unsur-unsur pembeda, atau untuk menjelaskan struktur tertentu (Kridalaksanadalam Tarigan, 1987:100). Proses subsitusi merupakan hubungan gramatikal, dan lebih

Yang dimaksud dengan sosialisasi adalah proses di mana seseorang mempelajari pola- pola hidup dalam masyarakat sesuai dengan nilai, norma dan kebiasaan yang berlaku untuk

Untuk mengetahui respon informan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya hasil Ujian Nasional pada mata pelajaran biologi di SMA Negeri 1 Atinggola pada

Perpustakaan perguruan tinggi dan civitas akademik di dalam perguruan tinggi juga tak luput dari dampak pandemi ini.Untuk tetap memberikan layanan kepada pengguna maka