Konvensional Pasca Implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Ricky Bagus Setiawan, Aad Rusyad Nurdin
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16424, Indonesia
ricky.bagus11@ui.ac.id
Abstrak
Skripsi ini menjelaskan tentang pelaksanaan fungsi pengawasan perbankan di era Bank Indonesia dan OJK. Sejak implementasi UU No. 21 Tahun 2011 tetang Otoritas Jasa Keuangan, kini fungsi pengawasan perbankan menjadi wewenang OJK. Namun, OJK hanya berwenang di bidang microprudential (aspek-aspek yang mengatur mengenai kelembagaan, kesehatan bank, aspek kehati-hatian dan pemeriksaan bank) sedangkan Bank Indonesia tetap berwenang dalam macroprudential yaitu kebijakan yang lebih mengarah kepada analisis sistem keuangan secara keseluruhan sebagai kumpulan dari individu lembaga keuangan. Adapun pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan OJK adalah pendekatan berdasar kepatuhan dan pendekatan berdasarkan risiko. Untuk melakukan hal tersebut, Bank Indonesia dan OJK menggunakan metode pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskripsi analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengawasan di era Bank Indonesia dan OJK tidak memiliki perbedaan yang signifikan karena masih memakai peraturan yang sama.
The Implementation of The Functional Banking Supervision on Conventional Banking After Implementation Law Number 21 Year 2011 Concerning Financial Service
Authority
Abstrack
This thesis describes the implementation of the function banking supervision in Bank Indonesia and OJK era. Since implementation law number 21 year 2011 concerning financial services authority, now the function banking supervision became on OJK. However, OJK has only on microprudential supervision (institutional, bank health, prudential principles and bank examination) and Bank Indonesia has macroprudential supervision that lead to an overall analysis of the financial system as a collection of individual financial institutions.. Bank Indonesia and OJK used compliance based supervision, risk based supervision and on-site supervision, off-site supervision. This research is qualitative research design an analytical description. The result showed that the implementation on banking supervision in Bank Indonesia and OJK era have not significant difference because they used the same regulation.
Pendahuluan
Perbankan di dalam menjalankan tugas dan fungsinya diawasi dan diatur oleh suatu bank sentral yang terdapat di suatu negara. Peran bank sentral dalam hal ini sangatlah penting terhadap suatu tatanan perbankan di suatu negara, karena secara makro peran bank sentral merupakan urat nadi perekonomian suatu negara, sehingga peranan sektor perbankan dapat
mempengaruhi maju mundurnya suatu perekonomian suatu negara yang bersangkutan.1
Pada dasarnya, bank sentral dibentuk untuk mencapai suatu tujuan sosial ekonomi tertentu yang menyangkut kepentingan nasional atau kesejahteraan umum, seperti stabilitas harga dan
perkembangan ekonomi.2 Bank sentral pada umumnya mempunyai tiga tugas utama yang
meliputi pengendalian moneter, pengaturan dan pengawasan perbankan, dan pengaturan sistem pembayaran. Tugas pengendalian moneter dimaksudkan untuk menjaga kestabilan harga dan/atau pertumbuhan ekonomi. Sementara tugas dalam pengaturan dan pengawasan perbankan dimaksudkan untuk menjaga kestabilan sistem perbankan. Selanjutnya, tugas pengaturan dan sistem pembayaran bertujuan mengembangkan sistem pembayaran dan infrastruktur keuangan yang sehat
Tiga tugas utama yang pada umumnya dimiliki oleh suatu bank sentral tersebut, juga dimiliki oleh bank sentral Republik Indonesia. Bank sentral Republik Indonesia yang dimaksud dalam hal ini adalah Bank Indonesia. Hal ini jelas ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Undang-Undang-Undang-Undang Bank Indonesia) yang mengatakan bahwa Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki tugas utama yang harus dijalankan dimana hal ini termuat dalam Pasal 8 huruf c Undang-Undang Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa Bank Indonesia berwenang untuk mengatur dan mengawasi Bank.
Tujuan pengaturan dan pengawasan bank adalah untuk menciptakan perbankan yang sehat yang dapat memenuhi tiga aspek, pertama memelihara kepentingan masyarakat, beroperasi dengan sehat dan efisien dan mampu memenuhi kewajibannya terhadap masyarakat
1 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hal. 7.
2 F.X. Sugiono dan Ascaraya, Kelembagaan Bank Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Pusat Pendidikan dan
penyimpan dana, kedua berkembang secara wajar dan mampu memberikan pelayanan yang diperlukan masyarakat Indonesia dan ketiga bermanfaat bagi perkembangan ekonomi Indonesia serta dapat menunjang pengendalian moneter dalam rangka menunjang
pembangunan ekonomi dan tercapainya kestabilan moneter.3
Pada perkembangannya, tugas pengaturan dan pengawasan perbankan yang dimiliki oleh Bank Indonesia sesuai amanat Undang-Undang kini beralih ke lembaga pengawasan jasa keuangan yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini tegas disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) yang menyebutkan bahwa Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini diamanatkan secara langsung oleh Pasal 34 U BI yang mengatakan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Oleh karena itu, berdasarkan bunyi pasal 55 ayat (2) UU OJK, maka di dalam penjelasan Pasal 69 ayat (1) huruf a UU OJK ditegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi perbankan yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan
dengan microprudential. Sedangkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan
perbankan yang berkaitan dengan macroprudential. Berkaitan dengan hal tersebut, jelas
bahwa tugas pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara independen oleh
OJK karena pengaturan microprudential dan macroprudential akan sangat berkaitan.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan fungsi pengawasan perbankan pada Bank Umum
Konvensional sebelum dialihkannya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan?
2. Bagaimana pelaksanaan fungsi pengawasan perbankan pada Bank Umum
Konvensional setelah dialihkannya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan?
3 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Aspek Hukum Pemisahan Pembinaan dan Pengawasan Perbankan, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional, 2011), hal. 12.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan pelaksanaan fungsi pengawasan perbankan Indonesia pada Bank Umum
Konvensional sebelum dialihkannya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan.
2. Menjelaskan pelaksanaan fungsi pengawasan perbankan Indonesia pada Bank Umum
Konvensional setelah dialihkannya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan.
Tinjauan Teoritis
Pada Pasal 4 ayat (2) UU Bank Indonesia, dinyatakan dengan tegas bahwa Bank Indonesia ialah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU Bank Indonesia. Tujuan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral Republik Indonesia diatur secara jelas dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004. Tugas utama dari Bank Indonesia adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan mengatur dan mengawasi bank.
Namun, dalam hal ini susuai dengan Pasal 55 ayat (2) UU OJK, kini fungsi pengawasan perbankan resmi beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan per 31 Desember 2013. Hal tersebut menjelaskan bahwa mulai 1 Januari 2014, Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas pengawas mulai berwenang untk melaksanakan fungsi pengawasan perbankan.
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan persyaratan yang penting untuk menjawab permasalahan yang timbul dari latar belakang masalah yang berfungsi untuk mengarahkan penelitian. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan penelitian hukum yuridis normative, yaitu penelitian yang menggunakan peraturan. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan karena dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, yaitu
meneliti buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan pengaturan dan pengawasan perbankan Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Untuk mendukung medukung penelitian ini maka perlu pula dilakukan wawancara dengan berbagai pihak yang terlibat dalam fungsi pengawasan perbankan.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata dengan meneliti dan mempelajari obyek penelitian yang utuh,
mengenai manusia, yang bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti.4
Pembahasan
1. Bank Indonesia Sebagai Pelaksana Fungsi Pengawasan Perbankan Selama Masa Transisi
Pada konsepnya, peran dan tugas utama Bank Indonesia difokuskan pada tiga sub sistem perekonomian, salah satu dari fungsi utama di sub sustem tersebut ialah sektor perbankan
yang berupa mengatur dan mengawasi bank.5 Hal ini sesuai dengan yang disebutkan pada
Pasal 8 huruf c Undang-undang Bank Indonesia yang pada intinya mengatakan bahwa, untuk mencapai tujuannya, Bank Indonesia memiliki tugas mengatur dan mengawasi bank. Di dalam Pasal 24 di Undang-undang yang sama dipertegas kembali bahwa dalam rangka melaksanakan tugasnya yakni mengatur dan mengawasi bank, Bank Indonesia memiliki wewenang melaksanakan pengawasan bank. Hal ini kemudian diperjelas dengan adanya Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Perbankan yang menyebutkan bahwa pembinaan (pengaturan) dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
4 Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 67.
5 Didik J. Rachbini dan Suwidi Tono, Bank Indonesia: Menuju Indeoendensi Bank Sentral, (Jakarta:
Di dalam Pasal 55 ayat (2) UU OJK disebutkan dengan sangat jelas bahwa sejak 31 Desember 2013, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa
keuangan di sektor perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.6 Dengan adanya fakta
yang demikian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak ditetapkan dan diundangkannya UU OJK tertanggal 22 November 2011 sampai 31 Desember 2013, wewenang pengaturan
dan pengawasan perbankan masih tetap menjadi wewenang Bank Indonesia.7
Pada saat sebelum dialihkannya fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK, Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi pengawasan bank, melaksanakan sistem pengawasannya dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu pengawasan berdasarkan
kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based
supervision).8
1) Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan
Adalah pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip kehati-hatian. Pengawasan teradap pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pengawasan bank
berdasarkan risiko.9
2) Pengawasan Berdasarkan Risiko
Adalah pengawasan bank yang menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawas bank mendeteksi risiko yang signifikan pada aktivitas bisnis bank yang diawasi secara dini dan mengambil
tindakan pengawasan yang sesuai dan tepat waktu. 10
6 Indonesia, Undang-undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan UU No. 21 Tahun 2011, LN No. 111
Tahun 2011, TLN No. 5253, ps. 55.
7 Kementerian Keuangan, Keterangan Pers Pengundangan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keungan, www.depkeu.go.id, diakses pada 21 November 2014, Pkl.15:50 WIB.
8http://www.bi.go.id/id/perbankan/ikhtisar/pengaturan/sistem-pengawasan-bank/Contents/Default.aspx
diakses pada 21 November 2014 Pkl.15:26 WIB
9Ibid. 10Ibid.
Proses pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam praktiknya bersifat: 1. On Site Supervision
Adalah pengawasan bank dengan cara melakukan pemeriksaan langsung ke bank yang bersangkutan. Berdasarkan UU Perbankan, terdapat kewajiban bagi Bank Indoneisa untuk melakukan pemeriksaan langsung secara berkala
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali untuk setiap bank. On site supervision ini
dilakukan menggunakan pendekatan risk based method, dan dapat berupa
pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi keuangan bank, memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku, dan untuk mengetahui penerapan prinsip
kehati-hatian bank. 11
2. Off Site Supervision
Adalah pemantauan seluruh kegiatan operasional bank, yang dilakukan melalui analisis dan evaluasi terhadap seluruh laporan yang disampaikan bank kepada Bank Indonesia, laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Laporan bank tersebut disampaikan secara berkala yang mencakup seluruh aktivitas bank atara
lain berupa Rencana Bisnis Bank dan Laporan Keuangan. 12
Sebagai pengembang fungsi pengawasan perbankan saat masa transisi, Bank Indonesia terus melakukan upaya penguatan persiapan pengalihan pengawasan bank agar proses pengalihan fungsi pengawasan bank dapat berjalan dengan baik sekaligus untuk menghindari kemungkinan timbulnya gangguan dalam pengawasan bank/stabilitas sistem keuangan. Hal ini dilakukan dengan mengimplementasikan pola pengawasan bank yang saat ini digunakan di Bank Indonesia untuk diterapkan di OJK dengan beberapa penyempurnaan.
11 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, UU No. 3 Tahun 2004, LN No. 7 Tahun 2004, TLN No. 4357, ps. 27.
2. Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Pelaksana Fungsi Pengawasan Perbankan Masa Kini
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan tanda sejarah dalam dunia perbankan Indonesia di masa modern. Undang-undang ini menyebutkan secara khusus dan sangat jelas bahwa yang menjalankan fungsi pegawasan perbankan kini bukan lagi di bawah wewenang Bank Indonesia, melainkan wewenang Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) yang menjelaskan bahwa Sejak tanggal 31 Desember 2013 silam, fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa
keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.13 Adapun hal-hal yang
beralih dari Bank Indonesia ke OJK pada dasarnya sudah disebutkan dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a dan b UU OJK.
Dalam hal ini, aturan-aturan yang beralih dari Bank Indonesia ialah mengenai aspek microprudential yakni aspek-aspek yang menyangkut tentang kelembagaan bank, kesehatan bank, prinsip kehati-hatian bank, dan pemeriksaan bank. Sedangkan Bank Indonesia tetap memililki wewenang macroprudential yakni aturan-aturan yang selain ditetapkan dalam Pasal 7 UU OJK
Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan perbankan yang dilakukan oleh OJK, dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebelumnya. Hal ini karena pengawasan perbankan yang dilaksanakan oleh OJK pada dasarnya akan tetap sama mengacu pada ketentuan yang ada sebelumnya sepanjang ketentuan-ketentuan tesebut tidak dirubah atau dicabut.
Dalam menjalankan tugas fungsi pengawasan bank, saat ini OJK melaksanakan sistem pengawasannya dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu:
1) Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision/CBS)
Yaitu pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip
13 Hasil Wawancara Penulis dengan Bpk Tony sebagai Analis Bank Senior Di Departemen
Pengembanga Pengawasan Dan Manajemen Risiko Pada Otoritas Jasa Keuangan di Menara Radius Prawiro Gedung A Kompleks Perkantoran Bank Indonesia pada hari Senin, 29 Desember 2014 Pukul 10:30 WIB.
hatian. Pengawasan terhadap pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak
terpisashkan dari pelaksanaan pengawasan bank berdasarkan risiko.14
2) Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision/RBS)
Yaitu pengawasan bank yang menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawas bank dapat mendeteksi risiko yang signifikan secara dini
dan mengambil tindakan pengawasan yang sesuai dan tepat waktu.15 Pendekatan
berdasarkan risiko merupakan pendekatan yang berorientasi ke depan (forward looking).
Dengan menggunakan pendekatan tersebut, pengawasan suatu bank difokuskan pada
risiko-risiko yang melekat (inherent risk) pada aktivitas fungsional bank serta sistem
pengendalian risiko (risk control system).16
Oleh karena itu, OJK dalam melaksanakan kewenangan pengaturan dan pengawasan bank memiliki kewenangan:
1. Kewenangan Memberikan Izin (right to licence)
Yaitu kewenangan untuk menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank, meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian izin kepada bank
untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.17
2. Kewenangan Untuk Mengatur (right to regulate)
Yaitu untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat guna memenuhi jasa
perbankan yang diinginkan masyarakat.18
3. Kewenangan Untuk Mengawasi (right to control)
a. Pengawasan bank secara langsung (on-site supervision)
Yaitu terdiri dari pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusu dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran keadaan keuangan bank dan untuk
14http://www.ojk.go.id/pengaturan-pengawasan-bank#tabB diakses pada tanggal 13 Desember 2014
pukul 14.40 WIB.
15Ibid.
16 Ryan Kiryanto, “Menimbang Dengan Seksama Lembaga Pengawas Perbankan,” Bank &
Manajemen: Pengawasan Bank di Masa Datang, (Maret - April), hal. 9.
17Ibid. 18Ibid.
b. Pengawasan tidak langsung (off-site supervision)
Yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang
disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya.19
4. Kewenangan Untuk Mengenakan Sanksi (right to impose sanction)
Yaitu untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengann ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengadung unsure pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas
perbankan yang sehat.20
5. Kewenangan Untuk Melakukan Penyidikan (right to investigate)
Sesuai dengan UU, OJK mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan di sektor jasa keuangan termasuk perbankan. Penyidikan dilakukan oleh penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia dan pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan OJK. Hasil penyidikan disampaikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan.
Prinsip-prinsip pengaturan dan pengawasan bank yang efektif pada dasarnya mengacu kepada praktek-praktek pengaturan dan pengawasan bank terbaik yang dilakukan di berbagai negara. Dalam hal pengawasan bank, prinsip-prinsip dasar tersebut menjadi suatu standar yang
direkomendasikan oleh Basel Committee on Banking Supervision, Bank for Internatonal
Settlement untuk diterapkan di berbagai negara dan mencakup 7 aspek, yaitu kelembagaan, perizinan, ketentuan tentang kehati-hatian, metode pengawasan, informasti, maslaah kewenenangan, dan pengawasan lintas negara atau batas. Ketujuh aspek ini kemudian
dituangkan dalam 25 core principles on effective banking supervision (Prinsip-prinsip Dasar
Pengawasan Perbankan Yang Efektif).21
Konsep dasar yang dipergunakan dalam mengembangkan Basel Principles sebagai suatu
formulasi pengaturan dan pengawasan bank yang efektif meliputi hal-hal sebagai berikut:
19Ibid.
20Ibid.
21 Perry Warjiyo, Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indoneisa Sebuah Pengantar, (Jakarta: Pusat
1. Tujuan utama pengawasan bank adalah untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan
memelihara kestabilan sistem keuangan, sehingga dapat mengurangi resiko kerugian masyarakat penyimpan dana;
2. Otoritas pengawas bank harus mendorong terciptanya disiplin melalui pengaturan dan
pengawasan yang baik;
3. Untuk dapat melaksanakan tugas secara efektif, otoritas pengawas bank harus
mempunyai independensi untuk mengambil suatu keputusan;
4. Otoritas pengawas harus memiliki pemahaman yang tinggi mengenai bisnis perbankan
serta memastikan bahwa resiko yang dihadapi oleh bank telah dikelola dengan memadai;
5. Pengawasan bank yang efektif mensyaratkan adanya kemampuan untuk menilai profil
resiko pada masing-masing bank serta terdapat alokasi sumber daya yang cukup untuk hal tersebut;
6. Pengawasan bank harus dapat memastikan bahwa bank memiliki sumber daya yang
cukup untuk menangani resiko yang dihadapi, termasuk kecukupan modal, manajemen yang sehat, serta sistem akuntansi dan pengendalian yang cukup;
7. Perlu terdapat kerjasama yang erat antara otoritas pengawasan bank pada suatu negara
dengan otoritas pengawasan bank pada negara lain khususnya untuk mengawasi
bank-bank yang beroperasi secara internasional.22
Secara penerapan, prinsip per prinsip yang ada di dalam prinsip pengawasan bank yang efektif sudah dilaksanakan oleh OJK dengan baik. Namun sampai saat ini, penerapan pada prinsip1 ada satu unsur yang belum dilakukan oleh OJK. Hal yang belum diterapkan adalah perlindungan hukum terhadap pengawas bank. Hal ini memang tidak diatur di UU OJK itu sendiri. Dengan demikian, diharapkan OJK ke depannya harus mampu untuk menerapkan
unsur tersebut agar pelaksanaan fungsi pengawasan perbankan lebih efektif.23
22 Permadi Gandapraja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2004), hal. 18-19.
23 Hasil Wawancara Penulis dengan Bpk Tony sebagai Analis Bank Senior Di Departemen
Pengembanga Pengawasan Dan Manajemen Risiko Pada Otoritas Jasa Keuangan di Menara Radius Prawiro Gedung A Kompleks Perkantoran Bank Indonesia pada hari Senin, 29 Desember 2014 Pukul 10:30 WIB.
Gambar
Gambar 1: Transisi Otoritas Jasa Keuangan
Kesimpulan
Dari pembahasan yang dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Pelaksanaan fungsi pengawasan perbankan pada Bank Umum Konvensional sebelum
dialihkannya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Namun setelah disahkan dan diundangkannya UU OJK, nyatanya Bank Indonesia masih memiliki tugas dan wewenang sebagai pelaksana fungsi pengawasan perbankan. Namun hal ini hanya berlaku sampai berakhirnya masa transisi (30 Desember 2013). Untuk melaksanakan fungsi pengawasan di sektor perbankan, Bank Indonesia pada saat itu menggunakan metode pendekatan berdasarkan kepatuhan dan pendekatan berdasarkan risiko. Selanjutnya, untuk memaksimalkan metode tersebut, Bank
off-site supervision atau pengawasan tidak langsung pada lembaga keuangan di sektor perbankan khususnya pada Bank Umum Konvensional. Di dalam masa transisi, Bank Indonesia telah mempersiapkan pengalihan pengawasan bank agar proses pengalihan fungsi pengawasan bank dapat berjalan dengan baik sekaligus untuk menghindari kemungkinann timbulnya gangguan dalam pengawasan bank/stabilitas sistem keuangan.
2. Pelaksanaan fungsi pengawasan perbankan pada Bank Umum Konvensional setelah
dialihkannya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan merupakan tugas dan wewenang OJK. Terhitung sejak 31 Desember 2013, tugas dan wewenang Bank Indonesia sebagai pelaksana fungsi pengawasan perbankan resmi beralih dari Bank Indonesia ke OJK. Namun dalam hal
ini, yang menjadi wewenang OJK hanya terbatas pada aspek microprudential yakni
aspek-aspek yang mengatur mengenai kelembagaan, kesehatan bank, aspek
kehati-hatian dan pemeriksaan bank. Untuk aspek macroprudential tetap menjadi tugas dan
wewenang Bank Indonesia. Pada dasarnya, sistem, metode dan pendekatan pengawasan bank yang dilaksanakan oleh OJK tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah dilaksanakan oleh Bank Indonesia selama masa transisi. Hal ini karena pengawasan perbankan yang dilaksanakan oleh OJK pada dasarnya akan tetap sama mengacu pada ketentuan yang ada sebelumnya sepanjang ketentuan-ketentuan tesebut tidak dirubah atau dicabut. Dengan demikian, saat ini OJK melaksanakan fungsi pengawasan perbankan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan berdasarkan kepatuhan dan pendekatan berdasarkan risiko. Selain
itu, bentuk pengawasan yang dilakukan oleh OJK meliputi on-site supervision atau
pengawasan langsung dan off-site supervision atau pengawasan tidak langsung.
Berdasarkan 25 core principles on effective banking supervision atau yang sering
disebut dengan 25 prinsip-prinsip dasar pengawasan perbankan yang efektif,terdapat
beberapa prinsip yang harus dianut oleh lembaga pengawas perbankan,. Hal itu meliputi prinsip kelembagaan, prinsip perizinan, prinsip persyaratan dan ketentuan kehati-hatian, prinsip metode pengawasan bank, prinsip persyaratan informasi, prinsip
kewenangan formal lembaga pengawas dan prinsip cross-border banking yang
dijabarkan ke dalam 25 prinsip yang lebih rinci. Prinsip-prinsip tersebut pada faktanya
Saran
Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga baru dalam pengawasan sektor perbankan dan
mengingat tugasnya sebagai pengawas perbankan pada aspek microprudential, OJK harus
mampu melakukan koordinasi yang baik dengan berbagai pihak, seperti Bank Indonesia, LPS, Pemerintah dan stakeholder lainnya yang terkait dengan aspek pengawasan bank untuk melakukan koordinasi agar terciptanya harmonisasi pengawasan bank yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Daftar Referensi Undang-undang
Undang-undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan UU No. 21 Tahun 2011, LN No. 111 Tahun 2011, TLN No. 5253.
Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, UU No. 3 Tahun 2004, LN No. 7 Tahun 2004, TLN No. 4357.
Buku
Hermansyah, (2005). Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group.
F.X. Sugiono dan Ascaraya, (2003). Kelembagaan Bank Indonesia, cet. 2, Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BI.
Sri Mamudji, dkk., (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Didik J. Rachbini dan Suwidi Tono, (2000). Bank Indonesia: Menuju Indeoendensi Bank Sentral, Jakarta: PT.Mardi Mulyo.
Perry Warjiyo, (2004). Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indoneisa Sebuah Pengantar, Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BI.
Permadi Gandapraja, (2004). Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, (2011).
Online Document
Kementerian Keuangan, Keterangan Pers Pengundangan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keungan, www.depkeu.go.id, diakses pada 21 November 2014, Pkl.15:50 WIB.
http://www.ojk.go.id/pengaturan-pengawasan-bank#tabB diakses pada tanggal 13 Desember 2014 pukul 14.40
WIB.
http://www.bi.go.id/id/perbankan/ikhtisar/pengaturan/sistem-pengawasan-bank/Contents/Default.aspx diakses pada 21 November 2014 Pkl.15:26 WIB