• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Agroekologi Tanaman Pepaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Agroekologi Tanaman Pepaya"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Agroekologi Tanaman Pepaya

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis. Pusat penyebaran tanaman pepaya ini di duga berada di daerah sekitar Meksiko bagian selatan dan Nikaragua. Tanaman pepaya merupakan tanaman polygamous diploid 2n = 18. Sistematika taksonomi tanaman pepaya termasuk dalam Divisi: Spermatophyta, Klas: Angiospermae, Sub klas: Dicotyledonae, Ordo: Caricales, Famili: Caricae, Genus: Carica dan Spesies: Carica papaya L.

Pepaya merupakan tanaman herba dengan batang tunggal dengan tinggi tanaman mencapai 9 meter (Nakasone dan Paull 1998). Bentuk batang silindris dengan diameter 10-30 cm. Daun terbagi dalam tujuh lekukan dalam, terdapat ujung dan tangkai daun silindris dan berongga. Berdasarkan bunganya tanaman pepaya dapat digolongkan kedalam tiga tipe yakni bunga jantan (staminate), bunga betina (pistilate) dan bunga sempurna (hermaprodit) yang terdiri dari 4 macam yaitu: bunga sempurna elongata, bunga sempurna pentandria, bunga sempurna antara dan bunga sempurna rudimenter. Dari struktur bunga tersebut dapat dibagi tiga yakni: pohon pepaya betina, pohon pepaya hermaprodit dan pohon pepaya jantan (Rukmana 1995).

Tipe bunga sangat bergantung pada sifat kelamin masing-masing pohon yang ekspresi seksnya dikendalikan oleh gen tunggal dengan tiga alel yaitu M untuk jantan, H untuk hermafrodit dan m untuk betina. Alel M dan H dominan terhadap m, tetapi jika dalam keadaan homozigot dominant bersifat letal, sehingga tanaman jantan dan hermaprodit selalu dalam keadaan heterozigot Mm dan Hm (Storey 1953; Chandler 1958).

Pepaya dapat ditanam di dataran rendah hingga dataran tinggi hingga mencapai 1.500 di atas permukan laut (Arsyad dan Zelvia 1993). Di Indonesia tanaman pepaya umumnya tumbuh menyebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu sampai ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut. Tanaman ini umumnya diusahakan dalam bentuk tanaman pekarangan atau usaha tani yang tidak terlalu luas. Suhu udara optimum 22-26oC dan dapat tumbuh baik pada semua jenis tanah dengan pH 6-7 pada tanah latosol (Rukmana 1995).

(2)

9

Keragaman Genetik Pepaya

Berdasarkan daya adaptasi, populasi pepaya yang ada dapat dibedakan kedalam dua bagian besar yakni populasi yang berasal dari daerah yang berbeda dan sudah beradaptasi dengan lingkungan dan melalui populasi tersebut dapat di telusuri asal usul suatu tanaman. Populasi kedua adalah populasi yang sudah dibudidayakan sehingga fenotipe yang dihasilkan lebih beragam.

Menurut Chan et al. (1994) terdapat dua kelompok pepaya yang popular di ASEAN, kelompok pertama terdiri dari pepaya yang mempunyai buah yang berukuran besar dan benbentuk lonjong. Varietas yang tergabung dalam kelompok ini antara lain Subang, Sitiawan dan Batu Arang yang banyak berkembang di Malaysia; Kaegdum, Kaegnuan dan Sainampeung yang banyak dikembangkan di Thailand; Cavite Special di Philipina sedangkan di Indonesia varietas yang banyak berkembang adalah pepaya Dampit, Jinggo dan Paris. Bobot buah ini berkisar antara 1 – 3 kg per buah. Kelompok kedua terdiri dari buah yang berukuran kecil, dan kualitasnya sangat baik. Buahnya hanya cukup dimakan untuk satu orang dan memakannya menggunakan sendok. Varietas yang termasuk kelompok ini adalah Solo, Eksotika I dan Eksotika II.

Tipe penyerbukan pada pepaya terdiri dari dua macam yaitu menyerbuk silang dan menyerbuk sendiri, tergantung dari bentuk bunganya (Villegas 1992; OGTR 2003). Varietas yang termasuk tipe Solo dengan ukuran buah yang kecil umumnya bersifat menyerbk sendiri (Chan 1995).

Menurut Villages (1992) pepaya tidak dapat menghasilkan keturunan yang sama dengan induknya karena sistem penyerbukan secara alami umumnya menyerbuk silang, sehingga banyak terjadi variasi pada turunannya. Pengembangan dan mempertahankan varietas dapat dilakukan dengan penyerbukan sendiri secara terus menerus pada tanaman hermaprodit. Varietas pepaya hermaprodit yang relatif murni dan banyak dikembangkan di Asia Tenggara yaitu dari kelompok pepaya Solo, diantaranya Kapoho Solo, Sunrise, Sunset dan Eksotika.

(3)

10

Penyakit Antraknosa pada Pepaya

Umumnya tanaman pepaya yang dikembangkan secara komersial rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme khususnya cendawan. Organisme tersebut dapat menginfeksi buah sebelum panen atau selama pemanenan dan berlanjut sampai kegiatan penjualan. Proses infeksi khususnya setelah panen, diperparah lagi bila ada pelukaan secara mekanik pada bagian kulit karena kena goresan kuku atau tusukan serangga dan alat pemotong (Wills et al. 1989).

Selanjutnya infeksi sangat dipengaruhi oleh kondisi fisiologi buah, temperatur dan lingkungan penyimpanan. Beberapa spesies cendawan yang dapat menyebabkan kehilangan hasil setelah panen adalah: Colletotrichum, Phomopsis, Phytopthora, Rhizopus dan Fusarium. Umumnya cendawan menyebabkan busuk yang cepat menyebar dalam buah masak yang selanjutnya buah tidak dapat dimakan lagi. Hal ini sangat perlu diketahui pola infeksi dari beberapa organisme tersebut yang selanjutnya digunakan untuk pengendalian, setidaknya untuk membatasi perkembangan penyakit.

Antraknosa merupakan penyakit pasca panen pada pepaya. Agen yang menyebabkan penyakit tersebut adalah Colletotrichum gloeosporiedes (Penz) Sacc. (Snowdon 1990). Selanjutnya Sepiah et al. (1991) dan Sepiah (1992) melaporkan bahwa patogen yang penting penyebab antraknosa pada pepaya Eksotika adalah C. capsici yang merupakan penyakit penting di Malaysia. Lim dan Tang (1984) melaporkan bahwa C. dematium menyebabkan 5% penyakit antraknosa pada pepaya di Singapura.

Antraknosa yang umum terdapat pada bermacam-macam buah, juga sering terdapat pada pepaya. Di Jawa timur penyakit tersebar luas (Sastrahidayat 1987). Di Kabupaten Malang penyakit dapat menurunkan produksi pepaya sekitar 40% (Mahfud 1986). Diperkirakan bahwa penyakit ini terdapat di semua negara penanaman pepaya. Meskipun kerugian terutama terjadi pada buah, khususnya buah dalam pengangkutan dan penyimpanan, penyakit dapat juga timbul pada daun tua. Trujillo dan Obrero (1969) melaporkan bahwa C. gloeosporioides juga menyebabkan antraknosa pada daun pepaya.

(4)

11

Pada buah yang menjelang matang gejala diawali timbul becak-becak coklat kemerahan, kebasah-basahan, kecil dan bulat. Gejala ini sering disebut becak coklat atau chocolate spot. Pada waktu buah matang becak ini membesar dengan cepat, membentuk becak bulat, coklat kemerahan, yang agak mengendap. Becak-becak tersebut dapat membesar sampai bergaris tengah 5 cm. Cendawan penyebab penyakit antraknosa sering membentuk massa konidia yang berwarna jingga atau merah jambu pada pusat becak. Kadang-kadang konidia dibentuk dalam lingkaran-lingkaran sepusat, sehingga becak tampak seperti mata lembu. Pada tingkat permulaan bagian yang sakit dapat diangkat dari bagian buah yang sehat seperti sumbat yang berbentuk setengah bola. Seterusnya cendawan dapat berkembang terus dan membusukkan bagian dalam buah. Akhirnya jaringan membusuk, menjadi lunak, dan berwarna agak gelap.

Kadang-kadang cendawan menginfeksi buah pepaya yang masih hijau, dan menimbulkan becak kecil kebasa-basahan. Bagian ini mengeluarkan getah (lateks) yang berbentuk bintik atau tanduk yang lekat. Cendawan mengadakan infeksi laten, tidak berkembang, atau membesar dengan sangat lambat. Selama buah masih hijau, becak jarang mencapai garis tengah 1 cm.

Infeksi pada daun mula-mula menyebabkan terjadinyua becak kecil kebasah-basahan yang bentuknya tidak teratur. Becak membesar dan menjadi berwarna coklat muda. Becak – becak dapat bersatu sehingga menjadi sangat besar. Becak yang sudah tua mempunyai pusat berwarna putih kelabu, yang kadang-kadang menjadi lubang. Pada pusat becak yang sudah tua terdapat banyak bintik hitam yang terdiri dari badan buah (aservulus) cendawan. Cendawan juga dapat menginfeksi tangkai daun-daun bawah (tua) (Cook 1975).

Penyakit antraknosa pada pepaya ini disebabkan oleh cendawan Colletotrichun gloeosporioides (Penz.) Sacc., identik dengan C. papayae (P.Henn.) Syd. dan Glomerella cingulata (Ston.) Spauld. Et Schrenk (Semangun 1989). Pengamatan penyakit antraknosa di lapang menunjukkan apabila gejala telah muncul menyebabkan buah busuk dan tidak dapat dipanen (Gambar 2).

Cendawan ini mempunyai aservulus berbentuk bulat, jorong, atau tidak teratur, garis tengahnya dapat sampai 500μm, berseta (rambut) atau tidak. Seta mempunyai panjang yang beragam, tetapi jarang yang lebih dari 200μm, tebal

(5)

12

4-8μm, bersekat 1-4. coklat, pangkalnya agak membengkak dengan ujung meruncing, yang sering membentuk konidium pada ujungnya.

Gambar 2 Gejala antraknosa pada buah pepaya. (sumber: aksesi STRG-4 di Tajur)

Konidium berbentuk tabung dengan ujung-ujung yang tumpul, kadang-kadang berbentuk jorong dengan ujung membulat dan dasar sempit terpancung, hialain, tidak berekat, bersel 1, berukuran 9-24 x 3-6 μm, terbentuk pada konidiofor yang tidak bersekat, hialain atau coklat pucat. Dari hasil pengamatan, buah yang menunjukkan gejala, kemudian patogen penyebab di lihat dibawah mikroskop diperoleh konidia, tubuh buah dan setae yang mirip C. gloeosporioides (Gambar 3). Cendawan ini merupakan salah satu jenis cendawan yang menyebabkan penyakit antraknosa pada buah-buahan dan sayuran.

b a c a a a 400x

Gambar 3 Bentuk konidia (a), aservulus (tubuh buah) (b) dan seta (c). (isolat dari buah pepaya yang bergejala/Tajur)

(6)

13

Di daerah beriklim sedang C. gloeosporioides mempunyai stadium sempurna yang membentuk peritesium dengan askus dan askospora di dalamnya. Peritesium bulat atau berbentuk jambu terbalik, coklat tua sampai hitam, dengan garis tengah 85-300 μm. askus berspora 8, berbentuk tabung atau gada dengan ujung tabung, atau kumparan, kadang-kadang agak bengkok, bersel 1, hialin. Lebih kurang berukuran 12 μm (Holliday 1980). Di India diketahui bahwa cendawan antraknosa membentuk peritesium yang menghasilkan askospora pada tangkai daun pepaya yang tua (Pathak 1976).

C. gloeosporioides dapat menyerang bermacam-macam tanaman, dan dapat hidup sebagai saprofit pada bagian-bagian tanaman yang sudah mati. Menurut Mahfud (1986b) C. gloeosporioides penyebab antraknosa pada cabai dapat menyebabkan antraknosa pada pepaya sedangkan cendawan antraknosa dari pepaya dapat menginfeksi cabai, mangga, pisang dan ubi kayu.

Cendawan ini adalah parasit lemah yang dapat menginfeksi dan berkembang pada jaringan yang telah menjadi lemah, khususnya karena proses penuaan. Cendawan dapat mengadakan infeksi melalui luka atau lentisel pada buah yang masih mentah, tetapi tidak dapat berkembang, berada dalam keadaan laten, dan baru berkembang setelah buah masak (Dickman & Alvarez 1983; Alvarez & Nishijima 1987). Konidium cendawan dipencarkan oleh angin dan air hujan yang memercik atau tertiup oleh angin (Graham 1971).

Infeksi pada buah banyak terjadi karena konidium yang berasal dari becak-becak pada daun dan tangkai daun (Anon 1970). Selanjutnya Dickman dan Alvarez (1983) melaporkan bahwa infeksi awal biasanya terjadi pada awal tahap perkembangan buah tetapi patogen tidak berkembang hingga buah mencapai klimaterik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit antara lain; sumber infeksi selalu ada, timbulnya gangguan oleh C. gloeosporioides lebih ditentukan oleh keadaan lingkungan dan penanganan buah pepaya.

Penyakit lebih banyak terdapat di kebun-kebun yang lembab, pada musim hujan, dan di daerah-daerah yang beriklim basah. Di tanah yang mempunyai pH 5.4 atau lebih rendah infeksi pada daun agak kurang.

(7)

14

Kerusakan pada buah matang lebih banyak terjadi pada buah yang mempunyai banyak luka, baik luka yang terjadi di kebun pada waktu buah masih mentah, maupun luka yang terjadi dalam pemetikan, pengangkutan, dan penyimpanan.

Genetika Ketahanan Pepaya terhadap Penyakit Antraknosa dan Metode Pemuliaannya

Tujuan umum pemuliaan pepaya adalah mendapatkan varietas yang lebih baik dari varietas yang sudah sudah ada. Menurut Nakasone dan Paull (1998) karakteristik tanaman pepaya yang diinginkan adalah pohon pepaya yang kuat, perawakan pendek. Selanjutnya Kalie (2003) menyatakan bahwa karakteristik buah yang disukai adalah kulit buah halus, daging buah tebal, rongga buah bulat daya simpannya lama, rasa manis dan tahan terhadap penyakit antraknosa.

Menurut Allard (1960) syarat keberhasilan pemuliaan tanaman adalah tersedianya keragaman genetik dalam populasi. Purnomo (2001) menambahkan keragaman diperoleh dari pengumpulan berbagai macam material genetik, persilangan, mutasi buatan, transformasi genetik, fusi sel dan berbagai rekayasa genetik lainnya. Purnomo (2001) melaporkan bahwa hasil eksplorasi pepaya di Indonesia oleh BALITBU Solok telah diperoleh 41 genotipe, satu spesies liar sebagai sumber gen ketahanan PRV yaitu C. cauliflora dan satu spesies liar sebagai C. pubescen. Selain itu juga diperoleh lima varietas pepaya hasil introduksi dari Malaysian Agricultural Research and Development Institute (MARDI).

Pembentukan populasi pepaya oleh BPTP Malang pada tahun 1992 dengan silang diallel resiprokal enam tetua. Seleksi dan evaluasi hybrid F1 dilaksanakan pada tahun 1993-1995 wajak Malang. Pada tahun 1997 seleksi dilanjutkan dan tahun1999 dilepas varietas Sari Rona hasil seleksi nomor aksesi PSLK 03. Varietas Sari Rona adalah inbreed generasi ketiga dari persilangan Meksiko x Dampit. Pembentukan populasi pemuliaan dilanjutkan pada tahun 1998 dengan melakukan silang tunggal antar aksesi dan spesies antar C. papaya dengan C. cauliflora yang merupakan spesies liar yang tahan PRV (Purnomo 2001).

(8)

15

Allard (1970) menyatakan bahwa pengujian terhadap suatu ras tunggal merupakan suatu prosedur dasar yang sangat berharga dalam penelitian tentang pewarisan karakter ketahanan. Akan tetapi informasi yang diperoleh dengan metode ini mempunyai keterbatasan karena cendawan patogenik pada umumnya terdiri banyak ras fisiologik. Bilamana patogen ternyata memiliki banyak ras fisiologik, maka pengujian ketahanan harus dilakukan atas dasar konsep gen – untuk – gen seperti telah di formulasikan oleh Flor (1956). Menurut Sneep et al (1979) jika dari pengujian dengan konsep gen – untuk – gen itu tidak menunjukkan adanya interaksi gen- untuk – gen, maka dapat disimpulkan bahwa antara gen - gen tanaman inang dengan gen - gen patogen satu sama lain beraksi bebas. Ketahanan yang demikian, menurut Van der plank (1968) disebut ketahanan horizontal (ketahanan bukan terhadap ras khusus) dan dikenal pula sebagai ketahanan umum.

Tahapan yang penting dalam program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas yang tahan terhadap suatu penyakit adalah mendapatkan sumber ketahanan tanaman, dan menentukan sifat pewarisan karakter ketahanan tanaman inang serta sifat genetik dari interaksi inang-parasit (Hayes & Johnston 1971; Allard 1960; Russell 1981). Agar tahapan itu dapat dilaksanakan dengan baik, maka pada umumnya pengkajian dilakukan dalam kondisi lingkungan epidemik bagi patogen, baik dalam laboratorium, rumah kaca, maupun di lapang (Andersen 1948; Hanson et al. 1950).

Masalah yang sering dihadapi dalam pengkajian resistensi tersebut adalah (a) penentuan dan penilaian ketahanan, dan (b) identifikasi genetik dari karakter ketahanan yang melibatkan interaksi gen yang tidak seallel, kaitan gen, serta adanya ras fisiologik atau biotipa dari patogen.

Untuk mendapatkan keberhasilan inokulasi buatan disarankan agar: (a) inokulum tetap bermutu tinggi, (b) penerapan inokulasi sedapat mungkin diusahakan seragam untuk setiap tanaman, (c) kondisi lingkungan pada saat inokulasi dan dalam jangka waktu inkubasi harus sesuai bagi pertumbuhan parasit yang bersangkutan, dan (d) tanaman inang yang akan diuji harus bebas dari penyakit dan hama, dan harus dalam keadaan fisiologik yang cocok untuk terjadinya infeksi atau serangan penyakit.

(9)

16

Ketahanan yang dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor, ditunjukkan oleh ragam ketahanan dengan sebaran terputus (diskontinyu), dan umumnya mudah untuk membedakan antara individu yang tahan dan yang rentan di dalam populasi memisah. Klasifikasi tanaman dalam populasi yang memisah dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu tahan (infeksi rendah) dan rentan (infeksi tinggi) (Allard 1960; Russell 1981). Sedangkan ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen, ditunjukkan oleh ragam terusan (kuntinyu), umumnya tidak ada perbedaan yang jelas antara tanaman tahan dengan tanaman rentan dalam populasi memisah. Menurut Russell (1981) adalah penting sekali untuk melakukan pengukuran atau estimasi terhadap besarnya intensitas serangan dengan sistem pemberian nilai skor atas gejala serangan yang timbul dan klasifikasi dari tipe infeksi atau tipe reaksi tanaman inang dengan jumlah klas dan skala yang lebih besar, serta atas dasar persentase kerusakan bagian tanaman (jaringan tanaman) yang terserang.

Banyaknya kelas atau kategori ketahanan yang digunakan dalam suatu penelitian pemuliaan tanaman sangat ditentukan oleh sifat dari karakter ketahanan dan tujuan penelitian. Sifat karakter ketahanan tanaman terhadap patogen mungkin dapat merupakan karakter kualitatif yang dikendalikan oleh gen mayor dan menampilkan wujud ketahanan ragam terputus, atau mungkin merupakan karakter kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen minor dan menampilkan wujud ketahanan ragam terusan di dalam populasi memisah.

Korelasi Genetik dan Sidik Lintas

Penanganan karakter kuantitatif dalam pemuliaan tidak sesederhana karakter kualitatif yang dapat dianalisis dengan menggunakan genetika Mendel. Pendekatan statistika melalui analisis nilai tengah, ragam dan peragam dilakukan terhadap karakter kuantitatif untuk menduga parameter genetik yang penting dalam pemuliaan tanaman seperti heritabilitas dan korelasi genetik.

Nilai heritabilitas merupakan pernyataan kuantitatif peran faktor genetik (mewaris) dibanding faktor lingkungan dalam memberikan pengaruh pada keragaan akhir atau fenomena suatu karakter (Allard 1960). Melalui heritabilitas dapat diketahui apakah keragaman yang timbul pada suatu karakter terutama disebabkan oleh faktor genetik atau oleh faktor lingkungan. Dengan demikian

(10)

17

pemulia tanaman dapat memperlihatkan karakter mana yang dapat memberikan respon terhadap usaha perbaikan yang akan dilakukan. Meskipun heritabilitas merupakan parameter genetik yang memberi arti besar dalam pemuliaan tanaman, tetapi bukan merupakan konstanta yang bernilai tetap.

Dalam kegiatan pemuliaan tanaman, seleksi terhadap suatu karakter kuantitatif tertentu secara tidak sengaja dapat mengakibatkan ikut terseleksinya karakter lainnya, dan hal tersebut dapat menguntungkan ataupun merugikan, Oleh karena itu penting diketahui dengan pasti hubungan (korelasi) antar karakter tanaman yang diteliti. Koefisien korelasi genetik merupakan ukuran hubungan genetik antar karakter, dan merupakan petunjuk bagi karakter yang mungkin dapat digunakan sebagai indikator bagi karakter lain yang lebih penting (Miller et al. 1957).

Analisis Daya Gabung

Daya gabung adalah kemampuan dari suatu tetua untuk menurunkan sifat-sifat yang diinginkan ke hibrida F1. Ada dua macam daya gabung yaitu Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK). Menurut Falconer (1981) efek DGU dan DGK adalah indikator penting dari nilai potensial suatu galur murni dalam kombinasi hibrida. Welsh (1981) menambahkan bahwa kemampuan umum (DGU) terutama merupakan hasil dari aksi gen aditif, sedangkan kemampuan berkombinasi spesifik (DGK) merupakan hasil dari gen dominant, epistasi dan aditif.

Menurut Griffing (1956) dalam melakukan analisis daya gabung diperlukan tiga set materi genetik yaitu tetua, F1 hasil silangan serta resiprokkalnya. Dengan menggunakan ketiga set materi genetik tersebut, Griffing memberikan empat metode dalam analisis daya gabung yaitu Metode I yang melibatkan tetua, F1 hasil silangan serta resiprokalnya, Metode 2 melibatkan tetua dan hanya F1 hasil silangannya saja, Metode 3 melibatkan F1 hasil silangan serata resiprokalnya tanpa tetua dan Metode 4 hanya melibatkan F1 hasil silangan saja.

Masalah pokok yang dihadapi dalam merakit pepaya hibrida dengan daya produksi tinggi dan kualitas buah baik sekaligus tahan terhadap hama dan penyakit utama, adalah tersedianya plasma nutfah sebagai sumber gen ketahanan.

(11)

18

Besarnya daya gabung antar plasma nutfah yang berfungsi sebagai tetua dan besarnya heterosis yang dicapai oleh hibrida-hibridanya dapat berbeda-beda, Kedua sifat tersebut dikendalikan secara genetik. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang sifat-sifat tersebut agar memudahkan di dalam program pemuliaan.

Besarnya ragam DGU sangat penting diketahui karena pada kebanyakan sifat, ragam DGU selalu lebih besar daripada ragam DGK (Gibrel, Simpson & Everson 1982). Hal ini berarti bahwa aksi gen aditif lebih berperan daripada gen non aditif dalam mempengaruhi sifat-sifat tersebut.

Analisis dialel umumnya digunakan dalam program pemuliaan tanaman pangan, misalnya pada padi dan jagung. Pada pepaya, metode ini masih jarang dilakukan. Hasil penelitian dengan menggunakan metode 1 analisis dialel pada pepaya, Subhadrabandhu dan Nontaswatsri (1997) menunjukkan bahwa daya gabung umum dari kultivar pepaya Khaek Dam, Eksotika 20 dan Tainung 5 berbeda nyata pada ke-14 karakter vegetatif yang diamati, fase generatif dan kualitas buah. Efek daya gabung khusus juga berbeda nyata pada karakter yang diamati sedangkan efek resiprokal hanya berbeda pada bobot buah yang menggambarkan adanya efek maternal pada karakter tersebut.

Selanjutnya Indriyani (2002) dengan memanfaatkan metode empat menurut Griffing dengan lima genotipe pepaya yaitu genotipe nomor 010, 99-014, 99-015, 99-017 dan 99-020 memperoleh informasi bahwa penduga ragam DGU berbeda nyata pada letak buah pertama, umur panen buah pertama dan hasil. Penduga ragam DGK berbeda nyata pada saat perkecambahan, persentase perkecambahan dan umur panen buah pertama. Dari penelitian ini diketahui bahwa genotipe 99-015 merupakan tetua penggabung umum yang baik untuk letak buah pertama, umur panen buah pertama dan hasil, sedangkan genotipe 99-020 merupakan tetua penggabung umum yang baik untuk letak buah pertama dan hasil.

Heterosis

Heterosis merupakan gambaran vigor hibrida F1 yang melebihi rata-rata kedua tetuanya (Allard 1960). Vigor hibrida menerangkan pertambahan dalam

(12)

19

ukuran dan vigor suatu tanaman, sedangkan heterosis digunakan untuk pertambahan maupun pengurangan ukuran dan vigor suatu tanaman. Selain dari istilah heterosis dikenal juga istilah heterobiltiosis yaitu vigor hibrida dari hibrida F1 yang melebihi dari tetua terbaiknya.

Bagi pemulia tanaman, adanya heterosis ini dipandang sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil tanaman pertanian. Bagi produsen benih, fenomena ini dapat memberikan prospek yang cerah bagi pengembangan produksi benih hibrida secara komersial. Pada persilangan interspesifik yang melibatkan genus Carica, gejala heterosis ditemukan. Hasil penelitian Mekako dan Nakasone (1975) yang menggunakan spesies Carica papaya, C. monoica, C. goudotiana, C. cauliflora, C. parviflora dan C. pennata menemukan gejala heterosis pada hibrida interspesifik yang dihasilkan. Persilangan-persilangan yang menunjukkan gejala heterosis antara lain C. cauliflora x C. monoica (pada karakter tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah buah dan bobot buah) dan C. goudotiana x C. monoica (pada karakter lingkar batang, jumlah buah dan bobot buah).

Gejala heterosis juga ditemukan pada pembentukan pepaya hibrida. Hasil penelitian Chan (1992; 1995) menunjukkan bahwa gejala heterosis ditemukan pada empat karakter vegetatif yang diamati yaitu diameter batang, tinggi tanaman, panjang petiole dan lebar lamina. Gejala heterosis yang paling nyata terdapat pada karakter diameter batang. Persilangan antara L 19 x Eksotika tetap menunjukkan gejala heterosis pada komponen hasil yang melebihi tetua terbaik pada tiga kali percobaan.

Hasil penelitian Dinesh et al. (1992) juga menemukan gejala heterosis pada hasil persilangan pepaya, gejala heterosis ditemukan pada karakter jumlah buah, hasil, bobot buah, volume buah, ketebalan daging, padatan total terlarut, indeks rongga buah dan gula total. Kultivar Pink Flesh Sweet untuk hasil dan kultivar Sunrise Solo dan Waimanalo untuk kualitas buah ditemukan sebagai kombinasi yang baik.

Gambar

Gambar 3  Bentuk konidia (a), aservulus (tubuh buah) (b) dan seta (c).

Referensi

Dokumen terkait

Dibentuknya Lajnah Muraqabah Yanbua cabang Mojokerto tersebut berfungsi sebagai badan pengawas dan pengendali serta menjaga agar perjalanan belajar mengajar dengan metode

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun bintaro ( Cerbera odollam ) terhadap perkembangan ulat grayak ( S. litura F.) dan berapa konsentrasi

mengemukakan bahwa pengawasan adalah proses dimana pimpinan mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh karyawan sesuai dengan rencana, perintah,

2. Penelitian dilakukan dengan 3 variasi kedalaman. Penelitian dilakukan di sungai Kahayan tepatnya di lokasi pemancingan Amang Talen di desa Pahandut sebrang.. Kecepatan

Dari gambar 5, dapat dianalisa bahwa panjang lengan airfoil pada wells turbin dengan jumlah blade 9 lebih panjang dari panjang lengan air foil wells turbin dengan jumlah

"istem Pengendalian <nternal untuk pengajuan pembiayaan murabahah pada !#* #aslahah "idogiri 7abang Pembantu Kebonagung sudah cukup baik dan cukup memadai dalam

108Kepala LPPM Universitas Gadjah Mada 109Kepala LPPM Universitas Hasanuddin 110Kepala LPPM Universitas Indonesia 111Kepala LPPM Universitas Mulawarman 112Kepala LPPM

a) Germplasma lada – koleksi dan penilaian peringkat ladang. b) Pembiakbaikan dan pemilihan genotip yang sesuai dengan ciri yang diingini. c) Keperluan baja mengikut jenis