• Tidak ada hasil yang ditemukan

Shillerida Novita, Farida Kurniawati Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Shillerida Novita, Farida Kurniawati Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Abstrak"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Sikap terhadap Pendidikan Inklusif dan Kesediaan

Menyesuaikan Strategi Pengajaran bagi Mahasiswa Berkebutuhan Khusus:

Studi pada Dosen di Universitas Indonesia

Shillerida Novita, Farida Kurniawati Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

novitashillerida@gmail.com

Abstrak

Pelayanan pendidikan selayaknya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, termasuk individu dengan kebutuhan khusus. Pelayanan pendidikan yang efektif bagi individu berkebutuhan khusus di seluruh jenjang adalah pendidikan inklusif. Namun, pelayanan pendidikan inklusif di tingkat perguruan tinggi belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah informasi yang minim mengenai kesiapan perguruan tinggi untuk melaksanakan pendidikan inklusif. Sikap dosen terhadap pendidikan inklusif dan kesediaan menyesuaikan strategi pengajaran bagi mahasiswa berkebutuhan khusus adalah dua hal penting yang mempengaruhi kesuksesan pendidikan inklusif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara sikap terhadap pendidikan inklusif dengan kesediaan menyesuaikan strategi pengajaran, dan melihat perbedaan antara sikap dan kesediaan melakukan penyesuaian antara dosen di rumpun sains dan humaniora. Penelitian dilakukan terhadap 71 responden (N sains = 27;N humaniora = 44). Data yang didapatkan menggunakan kuesioner, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara komponen sikap dan kesediaan menyesuaikan strategi pengajaran, serta terdapat perbedaan sikap yang signifikan antara dosen sains dan humaniora.

(2)

The Relationship between Attitudes Towards Inclusive Education and Willingness To Adjust Teaching Strategies for Students with Special Needs: A Study on Faculty at The

University of Indonesia

Abstract

Education services should be available for all, including individuals with special needs. Eeducational services for individuals with special needs in all levels is inclusive education. However, government has little attention for inclusive education services at university level because lack of information about college readiness for implementing inclusive education . Faculty attitudes toward inclusive education and a willingness to adjust teaching strategies for students with special needs are two important issues that affect the success of inclusive education. This study aimed to examine the relationship between attitudes towards inclusive education and willingness to adjust teaching strategies, and see the difference between the attitude and willingness to adjust teaching strategies between clumps lecturer in science and humanities. The study was conducted on 71 respondents (N = 27 science; humanities N = 44). Data were obtained using a questionnaire, showed a significant relationship between the components of attitude and willingness to adjust teaching strategies, and there are significant differences in attitudes between science and humanities faculty.

Keywords : attitudes, inclusive education, lecturers, special needs students, teaching strategies, University of Indonesia

Pendahuluan

Pelayanan pendidikan selayaknya bisa dinikmati sebagai hak dasar oleh seluruh masyarakat. Secara hukum hal ini diantaranya didukung dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Konvesi Hak Anak tahun 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua tahun 1990, Peraturan PBB mengenai Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat tahun 1993, dan Pernyataan Salamanca tahun 2009 (Inclusion International, 2009). Naskah-naskah hasil pertemuan perwakilan antarbangsa di atas menekankan pentingnya pelayanan pendidikan bagi semua orang terlepas dari hambatan yang dimilikinya. Salah satunya tercantum dalam kutipan Pernyataan Salamanca tahun 2009 berikut, pendidikan telah berubah sedemikian rupa sehingga seluruh siswa (dalam sistem pendidikan) mendapatkan dukungan untuk mencapai potensi akademis dan potensi sosial mereka dengan menghilangkan

(3)

hambatan-hambatan yang ada di lingkungan, komunikasi, kurikulum, pengajaran, sosialisasi, dan asesmen di seluruh jenjang (Inclusion International, 2009).

Di Indonesia, pendidikan khusus sudah ada sejak disahkannya pembukaan UUD Dasar 1945. Di dalam dokumen tersebut diyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesejahteraan. Pernyataan ini bermakna bahwa negara akan berusaha memenuhi kebutuhan akan pelayanan pendidikan bagi setiap warga negara, termasuk individu berkebutuhan khusus. Individu berkebutuhan khusus adalah orang-orang yang membutuhkan perlakuan khusus agar mereka dapat memenuhi potensinya sebagai manusia (Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2009). Mereka mungkin memiliki keterbelakangan mental, gangguan dalam memusatkan perhatian, gangguan emosi atau perilaku, tunadaksa, tunawicara, autis, tunarungu, tunanetra, kesulitan belajar, atau memiliki bakat khusus (Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2009).

Terdapat beberapa paradigma dalam pendidikan bagi individu berkebutuhan khusus. Satu diantaranya adalah paradigma segregasi yang kemudian berkembang menjadi paradigma pendidikan inklusif (Forlin, 2013). Dalam paradigma segregasi, individu berkebutuhan khusus dididik di seting yang berbeda dengan individu normal. Mereka dididik dalam kelompok yang memiliki kebutuhan yang sama. Evaluasi mengenai paradigma segregasi menunjukkan bahwa individu berkebutuhan khusus pada akhirnya termarjinalkan dari lingkungan sosialnya dan terhambat pencapaian potensinya (Forlin, 2013). Oleh karena itu, paradigma kemudian bergeser menjadi paradigma pendidikan inklusif. Dalam paradigma pendidikan inklusif, individu dididik dalam sekolah umum bersama dengan siswa normal terlepas dari apapun kemampuannya (Forlin, 2013; Hallahan & Kauffman, 2009).

Pendidikan inklusif adalah model pendidikan yang menempatkan siswa berkebutuhan khusus di kelas umum bersama siswa lainnya terlepas dari apapun jenis kebutuhan khusus dan tingkat keparahan yang dimilikinya (Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2009). Dalam model ini kebutuhan setiap orang dipertimbangkan, sehingga sistem, lingkungan, dan aktivitas belajar disesuaikan dengan kebutuhan mereka (Karagiannis, Stainback, & Stainback, 1996). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa siswa berkebutuhan khusus menampilkan performa akademis dan sosial yang lebih baik ketika mereka ditempatkan dalam seting pendidikan inklusif (Hawpe, 2013). Pendidikan inklusif, selain bermanfaat untuk siswa berkebutuhan khusus, bermanfaat pula kepada seluruh elemen yang berada di sekitar sistem tersebut (Karagiannis, Stainback, & Stainback, 1996). Sebagai contoh, siswa normal atau reguler dapat belajar cara

(4)

bergaul dengan siswa berkebutuhan khusus. Hal ini dapat meningkatkan sikap positif sekaligus penerimaan siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus. Sikap positif dan penerimaan ini kemudian akan meningkatkan kemampuan interpersonal siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus sehingga mereka siap masuk ke masyarakat dimana mereka akan menemui individu dengan bermacam-macam karakteristik (Karagiannis, Stainback, & Stainback, 1996). Guru dan masyarakat juga mendapatkan pengaruh baik dari pelaksanaan pendidikan inklusif. Dengan mendidik siswa dengan berbagai karakteristik, guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan profesional mereka. Implementasi pendidikan inklusif juga memberi manfaat kepada masyarakat. Masyarakat menjadi sadar bahwa kesetaraan dan persamaan adalah nilai atau prinsip yang patut diperhatikan. Jika nilai ini diterima oleh masyarakat, ketentraman dan perdamaian sosial akan meningkat karena masyarakat sadar bahwa perbedaan bukanlah hambatan untuk hidup bersama (Karagiannis, Stainback, & Stainback, 1996).

Sejalan dengan perkembangan paradigma pendidikan inklusif, Pemerintah Republik Indonesia membuat peraturan mengenai penyelenggaran pendidikan khusus, yaitu melalui surat edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003. Surat edaran ini berisi penyelenggaraan pendidikan khusus berbentuk pendidikan inklusif di tiap Kota/Kabupaten pada tingkat SD, SMP, hingga SMA, dan SMK. Pada tingkat kota, Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Ibukota Jakarta mengeluarkan keputusan kepala dinas no. 903 tahun 2013, dan melakukan penunjukkan beberapa sekolah mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi Jakarta. Dari uraian tersebut terlihat bahwa pembahasan mengenai pendidikan inklusif dalam tataran peraturan teknis di pemerintah kota/kabupaten baru mencapai tingkat sekolah menengah atas atau kejuruan dan belum sampai pada jenjang yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi.

Peraturan mengenai pendidikan tinggi inklusif baru muncul pada Peraturan Pemerintah Pusat no. 17 tahun 2010. Dalam peraturan tersebut di pasal 131, ayat 5 tertulis bahwa perguruan tinggi wajib menyediakan akses bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Namun peraturan ini belum disertai dengan surat penunjukkan atau perintah untuk membentuk perguruan tinggi inklusif seperti di tingkat sekolah dasar dan menengah. Pada tahun 2014 ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih berupaya merampungkan

(5)

pendidikan yang akan diterapkan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus adalah model pendidikan inklusif, yaitu mereka bergabung bersama-sama dengan mahasiswa lain untuk mengikuti perkuliahan (Maulipaksi, 2014). Untuk menyukseskan finalisasi peraturan menteri tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini sedang melakukan penghimpunan data mengenai fasilitas dan sarana belajar yang mendukung kesuksesan pendidikan inklusif di perguruan tinggi.

Hannah dan Pliner (1983) menyatakan bahwa faktor utama dari sukses atau gagalnya pelaksanaan pendidikan inklusif adalah sikap pengajar terhadap pendidikan inklusif itu sendiri. Selain itu, menurut Educational Resources Information Center atau ERIC (1985) hal yang mempengaruhi kesuksesan terletak pada seluruh pihak yang berhubungan dengan sistem pendidikan tersebut. Faktor-faktor yang turut mempengaruhi kesuksesan pendidikan inklusif yaitu, dukungan secara administrasi dan fasilitas dari institusi penyelenggara pendidikan, kerja sama antar berbagai unsur dalam institusi, sikap dosen dan strategi pengajaran yang diterapkan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Dari uraian di atas terlihat bahwa dosen memiliki peran yang penting bagi kesuksesan pendidikan inklusif. Oleh karena itu sangat bermanfaat jika penelitian dilakukan pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan dosen, yaitu sikap dan strategi pengajaran.

Hallahan, Kauffman, dan Pullen (2009) menyebutkan karakteristik yang diharapkan dimiliki oleh pengajar atau dosen dalam pendidikan inklusif, yaitu melakukan usaha yang maksimal untuk mengakomodasi kebutuhan mahasiswa berkebutuhan khusus. Dosen diharapkan mampu secara fleksibel, mengadaptasi, dan mengakomodasi strategi pengajaran, serta memberikan perhatian khusus bagi mereka. Tanpa metode pengajaran yang efektif dan sesuai kebutuhan, mahasiswa berkebutuhan khusus akan sulit mendapatkan kesuksesan akademis (Wright, Horn, & Sanders, 1997). Terlihat bahwa dosen memiliki peran yang relatif besar dalam kesuksesan akademis mahasiswa berkebutuhan khusus.

Sikap pengajar memiliki pengaruh besar terhadap kesuksesan pendidikan inklusif (Hannah & Pliner, 1983). Sikap adalah respon suka atau tidak suka terhadap objek sikap yang dapat berupa benda, orang, institusi, atau peristiwa (Ajzen, 2005). Sikap disusun oleh tiga komponen yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif (Ajzen, 2005). Sikap diyakini dapat mengarah pada perilaku yang mencerminkan sikap tersebut (Ajzen, 2005) .Semakin positif sikap yang dimiliki pengajar terhadap pendidikan inklusif, semakin tinggi kemungkinan mereka melakukan upaya-upaya yang mendukung suksesnya pendidikan inklusif (Hannah &

(6)

Pliner, 1983). Saat dosen memiliki sikap yang kurang positif terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif, mereka jarang menggunakan strategi mengajar yang efektif (Bender, Vail, & Sott, 1995). Hal ini tentu akan berpengaruh pada prestasi akademis siswa (Alexander & Strain, 1978). Tidak hanya itu, Gourneau (2005) menyatakan bahwa sikap dan tindakan yang dilakukan oleh pengajar akan berdampak besar pada kehidupan siswa terutama dalam membentuk pandangan positif atau negatif atas diri mereka baik di dalam maupun di luar sekolah yang cenderung bertahan hingga mereka dewasa. Penemuan-penemuan tersebut menunjukkan bahwa sekalipun mahasiswa berkebutuhan khusus telah belajar dalam seting pendidikan inklusif, hambatan akan terjadi jika pengajar tidak bersikap positif terhadap konsep pendidikan inklusif itu sendiri (Hunt & Hunt, 2000). Paparan tersebut menunjukkan bahwa sikap terhadap pendidikan inklusif dapat mengarahkan perilaku pengajar, terutama strategi mengajar yang digunakan.

Metode pengajaran bagi mahasiswa berkebutuhan khusus berbeda dengan mahasiswa pada umumnya (Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2009). Dosen perlu melakukan penyesuaian dalam menjalankan tugasnya mengajar mahasiswa berkebutuhan khusus. Penyesuaian yang dapat dilakukan berupa akomodasi dan modifikasi (Hawpe, 2013). Janney, Snell, Beers, dan Raynes (1995) berpendapat bahwa mahasiswa dengan berbagai jenis kebutuhan khusus, mulai dari yang ringan hingga berat, dapat sukses di berbagai macam lingkungan jika orang-orang di sekitarnya mau memberikan bantuan dan dukungan kepada mereka. Oleh karena itu, dosen sebagai orang yang memiliki peran besar dalam kegiatan belajar perlu melakukan penyesuaian strategi pengajaran di dalam kelas. Dengan akomodasi dan modifikasi yang dilakukan oleh dosen, hambatan yang dialami mahasiswa berkebutuhan khusus dapat dibatasi sehingga mereka dapat menunjukkan kemampuan yang sebenarnya (Ketterlin-Geller, Alonzo, Braun-Monegan, & Tindal, 2007).

Melihat besarnya peranan sikap pengajar terhadap pendidikan inklusif dan strategi pengajaran yang digunakan terhadap keberhasilan mahasiswa berkebutuhan khusus, peneliti merasa perlu melihat gambaran hal tersebut, sekaligus hubungan antara keduanya dalam praktik di perguruan tinggi. Beberapa penelitian mengenai hubungan antara sikap dan strategi pengajaran sebelumnya menemukan hasil yang tidak konsisten (Hawpe, 2013; Malangko 2008). Peneliti menduga ketidakkonsistenan hasil ini disebabkan oleh pengukuran sikap yang hanya berada pada satu domain atau komponen. Menurut Mahat (2008) pengukuran sikap terhadap pendidikan inklusif hanya pada melibatkan satu komponen sikap, yaitu komponen

(7)

kognitif. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan melibatkan tiga komponen sikap lain, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif.

Beberapa penelitian sebelumnya berhasil menemukan perbedaan pada sikap dan kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi berdasarkan perbedaan fakultas. Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Nelson, Dodd, dan Smith (1990), Leyser, Vogel, Wyland, dan Brulle (1998), Kraska (2000), Norman, Caseu, dan Stefanich (1998). Hasil yang berbeda-beda didapatkan oleh peneliti tersebut, sehingga peneliti merasa perlu melihat perberbeda-bedaan sikap dan kesediaan menyesuaikan strategi pengajaran berdasarkan rumpun tempat dosen mengajar di Indonesia.

Universitas Indonesia (UI) adalah perguruan tinggi yang setiap tahunnya menerima

mahasiswa berkebutuhan khusus (komunikasi personal dengan Prasetyo, 13 November 2013). Sejauh ini pelayanan pendidikan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus di UI belum terencana dengan sistematis dan pelaksanaanya diserahkan ke fakultas masing-masing. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah dasar untuk menilai kesiapan UI sehingga dapat dilakukan usaha-usaha yang dapat meningkatkan pelayanan pendidikan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus di Universitas Indonesia.

Tinjauan Teoritis

Fishbein dan Ajzen (2005) mendefinisikan sikap sebagai respon suka atau tidak suka terhadap objek sikap yang dapat berupa benda, orang, institusi, atau peristiwa. Sikap adalah hasil dari perilaku evaluatif manusia terhadap objek sikap (Fishbein & Ajzen, 2005). Sikap dapat muncul dalam bentuk pro atau kontra, suka atau tidak suka, dan setuju atau tidak setuju. Fishbein dan Ajzen (2005) menyebutkan bahwa sikap disusun oleh tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

Avramidis, Bayliss dan Burden (2000) menyebutkan beberapa faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi sikap pengajar terhadap pendidikan inklusif. Faktor-faktor tersebut adalah jenis kelamin pengajar, usia, tingkat pendidikan dimana pengajar tersebut mengajar, lama mengajar, pengetahuan mengenai kebutuhan khusus, pengalaman kontak dengan individu berkebutuhan khusus dan faktor kepribadian dari pengajar. Namun hasil yang

(8)

ditemukan tidak konsisten sehingga sulit menjelaskan pengaruhnya terhadap pendidikan inklusif (Avramidis, Bayliss, & Burden, 2000; Jamieson, 1984). Hal serupa juga ditemukan oleh De Boer, Pijl, Post, & Minnaert (2012). Gender, lama mengajar, ada tidaknya asisten atau pendamping di kelas, dan jenis kebutuhan khusus siswa tidak berpengaruh secara signifikan pada sikap terhadap pendidikan inklusif.

Faktor yang diduga memiliki pengaruh cukup besar pada pembentukan sikap terhadap pendidikan inklusif adalah pengalaman pelatihan sebelum atau selama mengajar mahasiswa berkebutuhan khusus (Shimman, 1990). Pengajar yang pernah mengikuti pelatihan terkait pengajaran bagi mahasiswa berkebutuhan khusus memiliki sikap yang lebih positif terhadap pendidikan inklusif (Kurniawati, Minnaert, Mangunsong, & Ahmed, 2012). Pelatihan dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan yang dibutuhkan pengajar dalam seting pendidikan inklusif (Kurniawati, 2014) termasuk untuk mengajar mahasiswa berkebutuhan khusus.

Mangunsong (2009) menyebutkan “Strategi pengajaran adalah pemilihan kegiatan belajar yang paling efektif dan efisien dalam memberikan pengalaman belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan instruksional yang ditetapkan” (hlm 29). Pengajar atau dosen perlu mempertimbangkan jenis dan tingkat kebutuhan khusus yang dimiliki mahasiswa dalam menentukan strategi pengajaran (Mangunsong, 2009). Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa berkebutuhan khusus dosen perlu menerapkan strategi pengajaran yang berbeda dengan strategi pengajaran yang diterapkan kepada mahasiswa reguler. Hawpe (2013) menyebutkan dua hal yang dapat dilakukan dosen untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa berkebutuhan khusus, yaitu akomodasi dan modifikasi. Akomodasi adalah penyesuaian yang dilakukan oleh dosen agar mahasiswa dengan kebutuhan khusus dapat menyelesaikan tugas-tugas akademis di dalam kelas. Penyesuaian yang dilakukan dalam bentuk akomodasi ini tidak mengurangi tuntutan tugas kognitif atas diri mahasiswa tetapi menyediakan akses agar mereka dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Berbeda dengan akomodasi, modifikasi adalah mengurangi tuntutan akademis bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Macam modifikasi antara lain menyesuaikan kriteria penilaian untuk membantu mahasiswa berkebutuhan khusus lulus pada suatu mata kuliah.

Vogel, Leyser, Wyland dan Brulle (2010) menyebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesediaan pengajar melakukan akomodasi dan modifikasi strategi pengajaran.

(9)

Faktor tersebut adalah usia, jenis kelamin, disiplin ilmu, pengalaman mengajar siswa berkebutuhan khusus, dan pendidikan terakhir pengajar.

Sikap terhadap pendidikan inklusif dan kesediaan menyesuaikan strategi pengajaran juga dipengaruhi oleh rumpun tempat dosen mengajar. Biglan (1973) mengelompokkan jurusan di perguruan tinggi menjadi sains dan humaniora. Sains adalah jurusan yang mempelajarai gejala alam, sedangkan humaniora adalah kelompok jurusan yang mempelajari hal-hal terkait manusia. Rumpun sains dan humaniora memiliki perbedaan tidak hanya pada objek studinya, tetapi juga pada strategi pengajaran yang diterapkan dosen-dosennya (Biglan, 1973; Pollio, 1996). Perbedaan yang terdapat antara sains dan humaniora ini memungkinkan adanya perbedaan pada sikap dan kesediaan dosen menyesuaikan strategi pengajaran. Perbedan sikap berdasarkan rumpun ilmu ditemukan oleh Avramidis, Bayliss, dan Burden (2000). Mereka menemukan perbedaan yang signifikan pada sikap terhadap siswa berkebutuhan khusus antara siswa yang belajar di rumpun sains dan rumpun humaniora. Sikap siswa yang berada di rumpun sains kurang positif dibanding siswa yang belajar di rumpun humaniora. Perbedaan kesediaan menyesuaikan strategi pengajaran yang disebabkan oleh jenis fakultas ditemukan oleh Nelson, Dodd, dan Smith (1990). Mereka menyatakan bahwa perbedaan kesediaan melakuan penyesuaian dipengaruhi oleh perbedaan metode pengajaran di tiap fakultas. Menurut Avramidis, Bayliss, dan Burden (2000), yang termasuk dalam rumpun sains adalah matematikan dan ilmu pengetahuan alam, sedangkan yang termasuk dalam rumpun humaniora adalah bahasa, sejarah, dan seni. Universitas Indonesia memiliki 13 fakultas yang juga dapat dikelompokkan menjadi rumpun sains dan humaniora. Rumpun sains terdiri dari kedokteran, kedokteran gigi, ilmu komputer, matematika dan ilmu pengetahuan alam, ilmu keperawatan, kesehatan masyarakat, ilmu keperawatan, dan teknik, sedangkan yang termasuk dalam rumpun humaniora adalah ilmu sosial dan politik, ilmu pengetahuan budaya, hukum, ekonomi, dan psikologi.

Metode Penelitian

Populasi dalam penelitan adalah dosen tetap di Universitas Indonesia (UI). Asal fakultas kemudian dikelompokkan ke dalam rumpun sains dan humaniora. Rumpun sains terdiri atas

(10)

Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Ilmu Keperawatan, Kesehatan Masyarakat, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Teknik, dan Farmasi. Rumpun humaniora terdiri atas Fakultas Psikologi, Hukum, Ilmu Pengetahuan Budaya, Ekonomi, dan Ilmu Sosial Politik.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik non-probability sampling. Setiap elemen anggota populasi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk terambil menjadi sampel penelitian (Kumar, 1999). Sementara itu, teknik sampling yang digunakan adalah convenience sampling, sampel didapat berdasarkan kesediaan responden untuk berpartisipasi (Gravetter & Forzano, 2009).

Variabel pertama dalam penelitian ini adalah sikap terhadap pendidikan inklusif. Variabel kedua adalah kesediaan melakukan penyesuaian metode pengajaran di dalam kelas. Peneliti menggunakan alat ukur MATIES versi Indonesia (MATIES VI) untuk mengukur sikap terhadap pendidikan inklusif. MATIES VI dibuat oleh Mahat (2008) dan telah dialihbahasakan dan disesuaikan untuk digunakan di Indonesia. Semakin tinggi skor yang diperoleh oleh seorang responden dalam setiap komponen, semakin positif sikapnya terhadap pendidikan inklusif. Responden yang memiliki mean skor di atas 3.5 memilki sikap positif, sedangkan responden yang memiliki sikap negatif terhadap pendidikan inklusif adalah responden yang memiliki mean skor di bawah 3.5. Dalam pengukuran kesediaan menyesuaikan strategi pengajaran, peneliti menggunakan alat ukur Kesediaan Menyesuaikan Strategi Pengajaran (KMSP) yang dibuat oleh Hawpe (2013) dan telah dialihbahasakan untuk digunakan di Indonesia. Semakin tinggi skor yang diperoleh oleh seorang responden pada tiap komponen, semakin tinggi kesediaannya melakukan penyesuaian metode pengajaran pada komponen tersebut. Responden dianggap bersedia untuk melakukan akomodasi dan modifikasi apabila responden yang memiliki mean skor di atas 2.5, sedangkan responden dengan mean skor di atas 2.5 menunjukkan kurangnya kesediaan untuk melakukan akomodasi dan modifikasi.

Data yang terkumpul kemudian diolah menggunakan software pengolah data. Peneliti menggunakan teknik statistik pearson correlation product moment untuk analisa data korelasional. Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan koefisien korelasi pada level of significance .05. Untuk membandingkan mean masing-masing variabel, peneliti menggunakan independent sample t-test compare mean. Untuk melihat gambaran pada variabel sikap dan kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi strategi pengajaran,

(11)

peneliti menggunakan teknik statistik one sample t-test. Pengujian hipotesis juga dilakukan dengan membandingkan koefisien t-test dengan level of significance .05. Tiga teknik statistik ini digunakan untuk menguji hipotesis penelitian.

Hasil Penelitian

Berikut adalah hasil pengolahan data korelasi antara 3 komponen sikap (kognitif, afektif, dan konatif) dengan 4 komponen dari kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi strategi pengajaran (akomodasi waktu, akomodasi presentasi, akomodasi respon, dan modifikasi).

Tabel 1

Korelasi antara sikap dan kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi Koefisien

Korelasi

Kognitif Afektif Konatif

r p r2 r P r2 r P r2 Akomodasi Waktu .13 .28 - .19 .10 - .32** .01 .10 Akomodasi Presentasi .32** .01 .10 .5** .00 .25 .54** .00 .29 Akomodasi Respon .17 .14 - .27* .03 .07 .32** .01 .10 Modifikasi .14 .23 - .20 .10 - .23** .05 .05 Cat: *p< .05 **p< .01

Dari tabel 4.2 ditemukan bahwa seluruh komponen sikap yaitu kognitif, afektif, dan konatif berkorelasi positif dan signifikan dengan akomodasi presentasi pada level of significance .05. Komponen kognitif memiliki korelasi yang signifikan dengan komponen akomodasi presentasi, r(71)=.32, p<.01. Komponen afektif berkorelasi signifikan dengan komponen akomodasi presentasi, r(71)=.5,p<.01. Komponen konatif memiliki korelasi signifikan dengan komponen akomodasi respon, r(71)=.54, p<.01. Korelasi yang signifikan antara seluruh komponen sikap menunjukkan bahwa semakin tinggi sikap dosen terhadap pendidikan inklusif semakin tinggi keinginan mereka untuk melakukan akomodasi dari segi presentasi.

(12)

Korelasi positif dan signifikan terlihat pula antara aspek konatif sikap dan kesediaan melakukan akomodasi. Komponen kognitif sikap berkorelasi signifikan dengan komponen akomodasi waktu, r(71)=.32, p<.01. Komponen konatif sikap berkorelasi signifikan dengan komponen akomodasi waktu, r(71)=.54, p<.00. Hal ini berarti bahwa semakin positif sikap dosen pada aspek konatif semakin tinggi keinginan mereka untuk melakukan akomodasi dalam semua bentuk. Korelasi positif dan signifikan terdapat antara komponen afektif sikap dengan kesediaan melakukan akomodasi respon, r(71)=.27, p<.05. Sehingga dapat disimpulkan semakin tinggi sikap dosen pada aspek afektif semakin tinggi keinginan mereka untuk melakukan akomodasi respon bagi mahasiswa.

Berikut akan ditampilkan tabel hasil perbandingan mean seluruh komponen dari sikap terhadap pendidikan inklusif dan kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi strategi pengajaran pada dua rumpun, yaitu sains dan humaniora.

Tabel 2

Perbedaan Mean Sikap dan Kesediaan Melakukan Akomodasi dan Modifikasi pada Tiap Rumpun

Komponen Sains Humaniora t P df

M SD M SD Kognitif 23.41 3.42 24.00 2.42 -8.54 .39 69 Afektif 23.41 6.48 25.86 4.76 -2.58* .01 69 Konatif 25.22 6.46 27.7 4.58 -1.74 .08 69 Akomodasi Waktu 5.07 1.07 5.11 1.33 -1.30 .89 69 Akomodasi Respon 28.19 3.18 30.07 4.67 -1.84 .07 69 Akomodasi Presentasi 12.07 1.87 12.7 1.60 -1.53 .13 69 Modifikasi 7.37 1.27 7.93 1.78 -1.42 .16 69 Cat: *p<.05 **p<.01

Dari tabel 4.3 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada komponen afektif sikap, t(69)=-2.58, p<.05, antara dosen rumpun sains dan rumpun humaniora. Selain itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada komponen sikap kognitif dan konatif, dan kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi lain.

(13)

Berikut adalah gambaran sikap dosen di Universitas Indonesia. Sikap dosen UI dinilai positif jika mean kelompok di atas mean alat ukur, yaitu 3.5. Sikap dinilai negatif jika mean kelompok di bawah mean alat ukur, yaitu 3.5.

Tabel 3

Gambaran Sikap Positif Dosen terhadap Pendidikan Inklusif

Item Sikap M SD P t

Yakin mahasiswa berkebutuhan khusus dapat berprestasi di perguruan

tinggi inklusif. 4.37 1.41 .00 5.15

Yakin bahwa setiap mahasiswa dapat belajar dengan kurikulum umum,

jika kurikulum tersebut disesuaikan. 4.82 1.21 .00 9.16

Yakin mahasiswa berkebutuhan khusus harus belajar di perguruan tinggi khusus/terpisah, mengingat mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk memodifikasi lingkungan fisik perguruan tinggi umum.

4.39 1.23 .00 6.09 Yakin bahwa mahasiswa berkebutuhan khusus harus belajar di kelas

khusus agar mereka tidak dikucilkan. 4.32 1.37 .00 5.06

Merasa frustrasi ketika sulit berkomunikasi dengan mahasiswa

berkebutuhan khusus.* 4.14 1.30 .00 4.14

Merasa kesal saat mahasiswa berkebutuhan khusus tidak dapat mengikuti

materi di kelas.* 4.49 1.21 .00 6.21

Merasa jengkel ketika tidak mampu memahami mahasiswa berkebutuhan

khusus.* 4.07 1.32 .00 3.63

Merasa tidak nyaman mengikutsertakan mahasiswa berkebutuhan khusus

dalam kelas umum.* 4.56 1.16 .00 7.67

Merasa bingung saat mahasiswa berkebutuhan khusus diikutsertakan

dalam kelas umum.* 4.04 1.48 .00 3.07

Merasa frustrasi saat harus menyesuaikan kurikulum (materi

pembelajaran) untuk memenuhi kebutuhan setiap mahasiswa.* 4.34 1.26 .00 5.58 Bersedia mendorong mahasiswa berkebutuhan khusus untuk bersosialisasi

di dalam kelas. 5.14 .91 .00 15.11

Bersedia menyesuaikan kurikulum untuk memneuhi kebutuhan mahasiswa berkebutuhan khusus terlepas apapun kemampuan belajar mereka.

4.27 1.37 .00 4.71 Bersedia mengikutsertakan mahasiswa berkebutuhan khusus dengan

(14)

memadai.

Bersedia memodifikasi lingkungan fisik kelas agar dapat menyesuaikan

mahasiswa berkebutuhan khusus. 4.52 1.25 .00 6.87

Bersedia menyesuaikan cara berkomunikasi agar semua mahasiswa

dengan gangguang emosi dan perilaku dapat mengikuti pelajaran di kelas. 4.44 1.1 .00 7.14 Bersedia menyesuaikan proses penilaian bagi setiap mahasiswa agar

pendidikan inklusif terlaksana. 4.37 1.23 .00 5.91

Yakin bahwa mahasiswa berkebutuhan khusus harus belajar di perguruan

tinggi khusus.* 3.35 1.47 .40 -8.45

Yakin bahwa perguruan tinggi inklusif memfasilitasi munculnya perilaku

yang dapat diterima oleh semua mahasiswa. 2.52 1.3 .00 -6.30

Cat.: *p<.05, **p<.01

Dari tabel 3 terlihat bahwa dosen memiliki sikap yang positif pada 16 item sikap terhadap pendidikan inklusif. Hanyadua item yang memiliki mean item di bawah mean alat ukur. Dosen memiliki sikap positif pada 16 item sikap terhadap pendidikan inklusif dari 18 item yang terdapat pada alat ukur, sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa dosen memiliki sikap yang positif terhadap pendidikan inklusif.

Analisa berikutnya adalah melihat gambaran kesediaan dosen melakukan akomodasi dan modifikasi strategi pengajaran di Universitas Indonesia. Berikut adalah tabel gambaran mean tiap item dari kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi.

Tabel 4

Kesediaan Melakukan Akomodasi dan Modifikasi

Strategi M SD p T

Merekam materi kuliah 3.35 .59 .00 12.21

Memperpanjang waktu pengerjaan tugas 2.62 .74 .17 1.35

Menyediakan rincian materi di awal kuliah 3.01 .62 .00 6.97

Menyediakan bahan kuliah dan highlighter 2.72 .66 .07 2.79

Menyediakan tugas pengganti 2.77 .61 .00 3.76

Menyediakan tugas tambahan 2.76 .64 .00 3.41

Memberikan garis besar materi 2.97 .61 .00 6.53

Memperbolehkan mahasiswa melakukan presentasi lisan atau direkam 3.06 .50 .00 9.3 Memperbolehkan orang lain membacakan soal ujian 3.13 .53 .00 9.91

(15)

Memperbolehkan mahasiswa mendiktekan jawaban 2.86 .76 .00 3.97 Memperbolehkan menjawab pertanyaan esai secara lisan 3.04 .57 .00 7.99

Memberikan nilai pada proses dan hasil 2.56 .51 .00 .66

Memperbolehkan kesalahan eja, tanda baca, dan tata bahasa 2.77 .68 .00 3.4

Menyediakan alternatif bentuk ujian 2.46 .71 .68 -.41

Menyediakan tambahan waktu untuk ujian 2.48 .75 .81 -.23

Memperbolehkan penggunaan kalkulator ketika ujian 2.48 .71 .80 -.25 Memperbolehkan mahasiswa mendapat bantuan untuk mengoreksi tata

bahasa dan tanda baca tugasnya 2.42 .62 .3 -1.04

Memperbolehkan mahasiswa mendapat bantuan untuk mengoreksi draf

awal dari tugasnya 2.35 .63 .05 -1.96

Memperbolehkan mahasiswa mendapat bantuan untuk memilihkan kata

yang tepat dan ilmiah untuk tugasnya 2.41 .62 .22 -1.24

Menyesuaikan kriteria penilaian untuk membantu mahasiswa lulus 2.39 .69 .19 -1.29 Cat. *p<.05, **p<.01

Dari tabel 4, secara detil dapat disimpulkan bahwa dosen bersedia melakukan penyesuaian strategi pengajaran pada (1) memperbolehkan mahasiswa merekam materi kuliah, (2) memperpanjang waktu pengerjaan tugas, (3) menyediakan rincian materi di awal kuliah, (4) menyediakan bahan kuliah dan highlighter, (5) menyediakan tugas pengganti, (6) menyediakan tugas tambahan, (7) memberikan garis besar materi, (8) memperbolehkan mahasiswa melakukan presentasi lisan atau direkam, (9) memperbolehkan orang lain membacakan soal ujian, (10) memperbolehkan mahasiswa mendiktetkan jawaban, (11) memperbolehkan mahasiswa menjawab pertanyaan esai secara lisan, (12) memberikan nilai pada proses dan juga hasil, (13) memperbolehkan kesalahan eja, tanda baca, dan tata bahasa. Terlihat pula bahwa dosen kurang mau (1) menyediakan alternatif bentuk ujian bagi mahasiswa berkebutuhan khusus, (2) menyediakan waktu tambahan untuk pengerjaan ujian, (3) memperbolehkan mahasiswa berkebutuhan khusus menggunakan kalkulator ketika ujian, (4) memperbolehkan mahasiswa berkebutuhan khusus mendapatkan bantuan untuk mengoreksi tata bahasa dan tanda baca dari tugasnya, (5) mengoreksi draf awal dari tugas tertulisnya, serta bantuan untuk (6) memilihkan kata yang tepat dan ilmiah dalam tugas tertulisnya. Dosen juga kurang mau (7) menyesuaikan kriteria penilaian bagi mahasiswa berkebutuhan khusus agar membantu mereka lulus suatu mata kuliah.

(16)

Pembahasan

Komponen konatif sikap berkorelasi dengan seluruh komponen kesediaan melakukan akomodasi. Korelasi ini bisa terjadi karena secara teoritis komponen konatif dari sikap terhadap pendidikan inklusif memiliki persamaan dengan seluruh item pada alat ukur kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi. Komponen konatif adalah komponen yang mengindikasikan kesediaan responden untuk melakukan perilaku yang berkaitan dengan objek sikap, begitu pula dengan konten alat ukur kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi.Responden yang bersedia melaksanakan pendidikan inklusif (komponen konatif sikap), bersedia pula melakukan penyesuaian dalam bentuk akomodasi untuk membantu mahasiswa berkebutuhan khusus dalam belajar. Namun, komponen konatif sikap tidak berkorelasi secara signifikan dengan komponen modifikasi. Hal ini berarti, semakin positif sikap dosen pada komponen konatif tidak serta merta meningkatkan kesediaannya melakukan modifikasi strategi pengajaran. Temuan ini bisa dijelaskan dengan kesediaan pengajar melakukan typical accommodation dibanding substantial accommodation (Bender, Vail, & Sott, 1995). Peneliti sebelumnya juga menemukan bahwa pengajar lebih bersedia melakukan penyesuaian tipikal berupa akomodasi dibanding melakukan penyesuaian substansial seperti modifikasi. Penyesuain tipikal adalah penyesuaian yang cenderung lebih sederhana (minor) dibanding penyesuaian substansial, sehingga untuk melakukan penyesuaian substansial membutuhkan lebih banyak waktu persiapan.

Komponen kognitif sikap berkorelasi signifikan dengan komponen akomodasi presentasi, dan tidak berkorelasi dengan komponen lain. Komponen akomodasi presentasi adalah penyesuaian yang membutuhkan waktu persiapan lebih sedikit dibanding komponen akomodasi dan modifikasi lain. Akomodasi presentasi terdiri dari, memperbolehkan mahasiswa merekam materi kuliah, menyediakan rincian materi di awal kuliah, memberikan garis besar materi (outline), memperbolehkan orang lain membacakan soal ujian. Hal ini juga disebutkan oleh Vogel, Leyser, Wyland, & Brulle (1999). Mereka menemukan bahwa pengajar lebih mau melakukan akomodasi dan modifikasi yang tidak membutuhkan banyak waktu. Kemudahan ini dapat menjelaskan hubungan positif dan signifikan antara sikap dan akomodasi presentasi. Dosen yang memiliki keyakinan (komponen kognitif) terhadap konsep pendidikan inklusif cenderung bersedia melakukan akomodasi presentasi bagi mahasiswa berkebutuhan khusus.

(17)

Ketidakkonsistenan hubungan antara komponen kognitif sikap dan strategi pengajaran terjadi karena responden mungkin mengalami disonansi kognitif (Ajzen, 2005). Disonansi kognitif adalah pertentangan antara beberapa informasi yang bersumber dari belief, pengetahuan terkait objek sikap, atau perilaku yang ia munculkan di waktu sebelumnya. Responden mungkin merasa ia sebaiknya yakin akan keberhasilan perguruan tinggi inklusif, tetapi mereka mungkin memiliki informasi lain yang membuat keyakinan tersebut goyah seperti sulitnya mengakomodasi kebutuhan mahasiswa berkebutuhan khusus di lapangan, banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan akomodasi dan modifikasi (Leyser, Vogel, Wyland, & Brulle, 1998; Dodd, Hermanson, Nelson, & Fischer, 1990). Oleh karena itu, hasil korelasi yang didapat antara komponen kognitif dan kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi tidak konsisten.

Dosen memiliki sikap yang negatif pada dua item sikap. Mereka yakin bahwa mahasiswa berkebutuhan khusus harus belajar di perguruan tinggi khusus, dan mereka tidak yakin bahwa perguruan tinggi inklusif dapat memfasilitasi munculnya perilaku yang diterima oleh semua mahasiswa. Hasil ini didapat mungkin karena sebagian besar responden belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai pendidikan inklusif (78%), sehingga dapat diasumsikan dosen-dosen di Universitas Indonesia belum mengetahui dan menyadari manfaat dari pendidikan inklusif sehingga mereka beranggapan bahwa mahasiswa berkebutuhan khusus seharusnya belajar di perguruan tinggi terpisah, dan perguruan tinggi inklusif tidak dapat memfasilitasi munculnya perilaku mahasiswa berkebutuhan khusus yang dapat diterima mahasiswa lain. Faktor pengetahuan dan pelatihan mengenai mahasiswa berkebutuhan khusus dan keikutsertaan dalam pelatihan ini juga disebut oleh Alexander dan Strain (1978), Hannah dan Pliner (1983) dan Kurniawati, Minnaert, Mangunsong, dan Ahmed (2012) sebagai faktor yang dapat membentuk sikap terhadap pendidikan inklusif.

Seluruh komponen sikap, yaitu kognitif, afektif, dan konatif, berkorelasi signifikan dengan komponen akomodasi presentasi. Akomodasi presentasi tampaknya merupakan komponen yang paling konsisten hubungannya dengan sikap terhadap pendidikan inklusif. Dosen yang memiliki keyakinan terhadap pendidikan inklusif, memiliki perasaan positif terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif, dan memiliki kesediaan mendukung pendidikan inklusif, bersedia melakukan akomodasi presentasi bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Akomodasi presentasi adalah penyesuaian dalam hal metode penyampaian materi dari dosen kepada mahasiswa. Oleh karena itu, peneliti dapat mengatakan bahwa sikap dosen terhadap pendidikan inklusif berhubungan dengan kesediaan mereka melakukan penyesuaian dalam

(18)

cara mereka menyampaikan materi kepada mahasiswa berkebutuhan khusus. Dibanding komponen lainnya, akomodasi presentasi adalah bentuk penyesuaian yang tidak mengancam asas keadilan (fairness) yang berusaha dijaga oleh dosen. Dodd, Hermanson, Nelson, & Fischer (1990) menyatakan bahwa dosen bersedia melakukan berbagai penyesuaian bagi mahasiswa jika hal tersebut dapat diberlakukan kepada seluruh mahasiswa dan tidak merugikan mahasiswa lain. Begitu pula sebaliknya, menurut Nelson, Dodd, dan Smith (1990), dosen tidak mau melakukan akomodasi dan modifikasi yang tidak akan mereka lakukan kepada mahasiswa lain.

Asas keadilan ini juga bisa menjadi alasan dari temuan dosen kurang bersedia melakukan penyesuaian pada pemberian alternatif bentuk ujian, penambahan waktu pengerjaan ujian, memperbolehkan penggunaan kalkulator saat ujian, memperbolehkan mahasiswa berkebutuhan khusus mendapatkan bantuan untuk mengoreksi tata bahasa dan tanda baca pada tugas, draft awal tugas, dan menyesuaikan krieria penilaian agar mahasiswa tersebut dapat lulus. Dari hal-hal tersebut terlihat bahwa dosen tidak ingin memberikan perlakuan yang berbeda antara mahasiswa berkebutuhan khusus dengan mahasiswa normal dalam proses penilaian tugas dan ujian. Hasil ini berbeda dengan temuan Nelson, Dodd, dan Smith (1990) dalam penelitiannya di Northwestern College. Dosen di Northwestern College kurang bersedia memberikan toleransi terhadap kesalahan eja, kesalahan tanda baca, dan kesalahan tata bahasa, tetapi mereka memperbolehkan mahasiswanya mendapatkan waktu tambahan, mengunakan alat bantu dan mendapatkan bantuan dari orang yang lebih ahli. Perbedaan ini menunjukkan bahwa dosen di Universitas Indonesia berbeda dengan dosen di Northwestern Collage dalam hal kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi. Dosen di Universitas Indonesia dapat mentolerir kesalahan eja, tanda baca dan tata bahasa, jika tugas atau ujian tersebut dikerjakan secara mandiri oleh mahasiswa berkebutuhan khusus tanpa bantuan orang lain yang lebih ahli atau alat bantu yang tidak digunakan oleh mahasiswa lain.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melakukan penyesuaian strategi pengajaran adalah sampai sejauh apa mahasiswa tersebut mampu menjalani kegiatan belajar dan hal apa yang ia butuhkan untuk dapat mencapai sasaran pembelajaran (Udvari-Solner, 1995). Jika penyesuaian dilakukan tanpa asesmen awal, akan terjadi penyesuaian yang tidak tepat sasaran (overaccomodation dan overmodification). Penyesuaian yang tidak tepat ini memiliki risiko seperti tidak berkembangnya perilaku adaptif mahasiswa berkebutuhan khusus. Oleh karena itu diperlukan asesmen awal mengenai keadaan mahasiswa berkebutuhan khusus sehingga

(19)

berkebutuhan khusus di Universitas Indonesia saat ini diserahkan kepada masing-masing fakultas yang seluruh anggotanya belum tentu memiliki kemampuan asesmen dan pengetahuan mengenai kebutuhan khusus. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu lembaga yang kelak bertugas untuk menilai kebutuhan belajar dari mahasiswa berkebutuhan khusus. Di sisi lain, mahasiwa berkebutuhan khusus dapat secara aktif menyampaikan keadaan dan kebutuhannya kepada dosen. Hal ini berkaitan dengan salah satu karakteristik dosen di perguruan tinggi, yaitu bersedia melakukan penyesuaian strategi pengajaran jika mahasiswa menyampaikan keadaannya dan meminta hal tersebut kepada mereka (Evers, 2012;Leyser, Vogel, Wyland, & Brulle, 1998. Dosen ingin mahasiswa mengubungi mereka sebelum kegiatan kuliah dimulai dan menyampaikan keadaan dan kebutuhan mereka akan penyesuaian strategi pengajaran. Padahal menurut Hallahan, Kauffman dan Pullen (2009) mahasiswa berkebutuhan khusus memiliki kecenderungan untuk menyembunyikan kebutuhan khususnya karena mereka khawatir mengalami penolakan oleh universitas. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha yang dapat memicu komunikasi yang baik antara dosen dan mahasiswa berkebutuhan khusus terkait akomodasi dan modifikasi yang ia butuhkan.

Temuan lain dari penelitian ini adalah perbedaan komponen afektif sikap pada dosen rumpun sains dan humaniora. Dosen rumpun sains memiliki komponen afektif sikap yang lebih negatif dibanding dosen humaniora, sehingga dapat disimpulkan bahwa dosen rumpun sains memiliki perasaan atau emosi yang lebih negatif dibanding dosen di rumpun humaniora. Hal ini bisa dikaitkan dengan penggunaan teknologi atau alat-alat yang berkaitan dengan disiplin ilmu sains dan humaniora (Vogel, Leyser, Wyland, & Brulle, 1999). Novita, Carolina, Zahra, Kurnia, & Pattywael (2013) menyatakan bahwa fakultas sains ditengarai lebih jarang menggunakan teknologi dalam pengerjaan tugas, contohnya, dosen di fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam mengharuskan mahasiswanya untuk menulis dengan tangan laporan praktikum dan ujian. Berbeda dengan fakultas humaniora yang terbiasa meminta mahasiswanya mengumpulkan tugas dalam bentuk makalah yang ditik. Padahal penggunaan program pengolah kata dan komputer dapat membantu mahasiswa berkebutuhan khusus untuk mengerjakan tugas. Di sisi lain, mahasiswa rumpun sains lebih sering menggunakan alat-alat (praktikum) dibanding rumpun humaniora. Penggunaan alat praktikum ini tentu menyulitkan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Hal ini memungkinkan dosen sains memiliki lebih banyak perasaan frustrasi, jengkel, tidak nyaman, atau bingung (komponen afektif) atas penyesuaian strategi pengajaran bagi mahasiswa berkebutuhan khusus dibanding dosen humaniora.

(20)

Terdapat pula, perhatian dosen terhadap kualitas lulusan program tempat ia mengajar. Berdasarkan informasi yang didapat melalui wawancara dengan salah seorang dosen fakultas sains yang merangkap sebagai manajer pendidikan dan kemahasiswaan, peneliti menemukan bahwa dosen mengkhawatirkan kompetensi lulusan fakultas jika mereka melakukan penyesuaian-penyesuaian selama mahasiswa berkebutuhan khusus belajar di sana. Sebagai contoh seorang lulusan farmasi seharusnya memiliki kompetensi-kompetensi teknis apoteker, salah satunya adalah melakukan uji di laboratorium. Kompetensi ini tidak dapat dipenuhi oleh mahasiswa berkebutuhan khusus yang memiliki disabilitas sensori (tunanetra), baik itu tunanetra parsial maupun tuna netratotal, dan tunadaksa (Komunikasi personal dengan Surini, 15 Maret 2014). Oleh sebab itu, narasumber berkata bahwa menerima atau tidaknya mahasiswa berkebutuhan khusus tidak hanya dengan pertimbangan fasilitas dan kesiapan tenaga pengajar, tetapi juga bisa atau tidaknya mahasiswa tersebut memenuhi kompetensi sebagai lulusan suatu program. Hal ini juga diungkapkan oleh Leyser, Vogel, Wylan, dan Brulle (1998) juga Scott (1997). Mereka mengatakan bahwa dosen mau melakukan akomodasi dan modifikasi selama hal tersebut tidak menurunkan standar kuliah tertentu. Bertolak belakang denga pernyataan Surini (2014), Universitas Indonesia tidak memiliki persyaratan khusus dalam penerimaan mahasiswa tiap fakultas (Persyaratan Pendaftaran Program Studi, 2014). Seseorang dengan kebutuhan khusus dapat menjadi mahasiswa Universitas Indonesia di fakultas manapun, jika ia lulus pada seleksi masuk berupa ujian tulis. Hal ini kelak akan merugikan mahasiswa tersebut karena dosen tidak bersedia melakukan akomodasi dan modifikasi yang mereka anggap dapat menurunkan kualitas lulusan fakultas. Di sisi lain, ketidaksediaan dosen melakukan penyesuaian dalam metode pengajaran bisa jadi berkaitan dengan kompetensi mereka dalam pendidikan mahasiswa berkebutuhan khusus. Dosen di perguruan tinggi memiliki kompetensi keilmuan terkait bidang studi dimana ia mengajar, tetapi mereka tidak memiliki bekal mengenai teknik pengajaran bagi mahasiswa berkebutuhan khusus (Norman, Caseu, & Stefanich, 1998; Evers, 2012). Oleh karena itu, perlu persiapan yang berfokus pada peningkatan kompetensi dosen dalam pelayanan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus, dan pembuatan peraturan dalam penerimaan mahasiswa baru.

(21)

Berikut akan disampaikan kesimpulan dari penelitian. Pertama, peneliti menemukan adanya korelasi yang signifikan antara sikap dan kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi strategi pengajaran. Namun temuan ini hanya didapatkan pada beberapa komponen. Kedua, peneliti menemukan perbedaan yang signifikan pada sikap dan kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi antara dosen yang mengajar di rumpun sains dan rumpun humaniora, yaitu pada komponen afektif. Ketiga, dosen di Universitas Indonesia secara umum memiliki sikap yang positif terhadap pendidikan inklusif. Keempat, secara umum dosen di Universitas Indonesia bersedia melakukan akomodasi dan modifikasi pada beberapa hal, yaitu (1) memperbolehkan mahasiswa merekam materi kuliah, (2) menyediakan rincian materi di awal kuliah, (3) menyediakan bahan kuliah dan highlighter, (4) menyediakan tugas pengganti, (5) menyediakan tugas tambahan, (6) memberikan garis besar materi, (7) memperbolehkan mahasiswa melakukan presentasi lisan atau direkam, (8) memperbolehkan orang lain membcakan soal ujian, (8) memperbolehkan mahasiswa mendiktetkan jawaban, (9) memperbolehkan mahasiswa menjawab pertanyaan esai secara lisan, (10) memberikan nilai pada proses dan juga hasil, (11) memperbolehkan kesalahan eja, tanda baca, dan tata bahasa. Penyesuaian yang kurang ingin dilakukan oleh dosen adalah menyediakan alternatif bentuk ujian, menyediakan waktu tambahan untuk menyelesaikan ujian, mengizinkan penggunaan kalkulator saat ujian, menyesuaikan kriteria penilaian agar mahasiswa berkebutuhan khusus bisa lulus, dan memperbolehkan mahasiswa mendapat bantuan dari orang lain untuk mengoreksi tata bahasa, tanda baca, pilihan kata, dan memilihkan kata yang tepat dan ilmiah untuk tugas tertulisnya.

Saran

Sejalan dengan kesepakatan dunia bahwa pendidikan adalah hak semua orang, dan institusi pendidikan perlu melakukan penyesuaian untuk memenuhi kebutuhan setiap siswa, Universitas Indonesia (UI) sebaiknya melakukan persiapan dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi setiap mahasiswa. Persiapan yang dapat dilakukan oleh UI salah satunya memberikan pembekalan, atau informasi mengenai mahasiswa berkebutuhan khusus dan strategi pengajaran yang efektif dan dapat meningkatkan interaksi sosial antara mahasiswa.

Dosen sebagai pengajar perlu melakukan assessmen awal mengenai kebutuhan dan kemampuan mahasiswa berkebutuhan khusus sebelum melakukan akomodasi dan modifikasi strategi pengajaran. Hal ini perlu diperhatikan agar dosen tidak melakukan penyesuaian berlebihan yang mungkin tidak dibutuhkan oleh mahasiswa berkebutuhan khusus tersebut.

(22)

Selain membebankan tugas tersebut kepada dosen, UI dapat mendirikan sebuah lembaga khusus yang bertugas menilai kebutuhan mahasiswa berkebutuhan khusus. Mengingat kesediaan melakukan akomodasi dan modifikasi ditentukan oleh advokasi yang dilakukan mahasiswa, mereka diharapkan dapat secara aktif menyampaikan kebutuhan mereka kepada dosen atau pihak lain yang terkait. Oleh karena itu, UI dapat memberikan pelatihan khusus kepada mahasiswa berkebutuhan khusus agar mereka mau menyampaikan keadaan dan kebutuhan mereka kepada dosen.

Daftar Referensi

The Americans With Disabilities Act and How It Affects Psychologists. Diunduh pada 29 Mei 2014, dari American Psychological Association:

http://www.apa.org/pi/disability/resources/publications/ada.aspx?item=2

Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality, and Behavior. New York: Open University Press.

Ajzen, I. (2001). Nature and operation of attitudes. Annual Review of Psychology,

Alexander, C., & Strain, P. S. (1978). A review of educators' attitudes toward handicapped children and the concept of mainstreaming. Psychology in the Schools, 15(3), 390-396. Avramidis, E., Bayliss, P., & Burden, R. (2000). Student teachers' attitudes toward the

inclusion of children with special educational needs in the ordinary school. Teaching and Teacher Education, 16(3), 277-293.

Bender, W. N., Vail, C. O., Sott, K. (1995) Teachers' attitudes toward increased

mainstreaming: implementing effective instruction for students with learning disabilities. Journal of Learning Disabilities. 28(2). 87-94.

Biglan, A. (1973). The characteristics of subject matter in different academic areas. Journal of Applied Psychology, 57(3), 195-203.

Dodd, J. M., Hermanson, M., Nelson, J. R., & Fischer, J. (1990). Tribal college faculty willingness to provide accomodations to students with learning disabilities. Journal of Americal Indian Education, 30(1), 8-16.

Evers, T. (2012). Opening Doors to Postsecondary Education and Training. Milwaukee: Winconsin Department of Public Instruction.

(23)

Fishbein, M., & Ajzen, I. (2005). The influence of attitudes on behavior. The Handbook of Attitudes, 173-222.

Forlin, C. (2013). Issues of Inclusive Education in the 21st Century. 学習開発学研究, (6), 67-81.

Gourneau, B. (2005). Five attitudes of effective teachers: Implications for teacher training. Essays in Education, 13, 1-8.

Gravetter, F. J., & Forzano, L. A. B. (2009). Research Methods for The Behavioral Sciences. Belmont: Wadsworth.

Hallahan, D. P., Kauffman, J. W., & Pullen, P. C. (2009). Exceptional Learners. Boston: Pearson International Edition.

Hannah, M. E., & Pliner, S. (1983). Teacher attitudes toward handicapped children: A review and syntheses. School psychology review .

Hawpe, J. C. (2013). Secondary Teachers' Attitudes Towards Disabilities and Willingness to Provide Accomodations and Modifications for Students with Disabilities. (Doctoral dissertation, Baker University)

Hunt, B., & Hunt, C. S. (2000). Attitudes toward people with disabilities: A comparison of undergraduate rehabilitation and business majors. Rehabilitation Education .

Inclusion International. (2009). Better education for all: When we're included too--A global report. Salamanca, Spain: Instituto Universitario de Integracion en la Comunidad. Jamieson, J. U. (1984). Attitudes of educators toward the handicapped. DOCUMENT

RESUME SC 170 495 Jones, Reginald L.,Ed, Attitude and Attitude Change in Special Education: Theory and Practice., 218.

Janney, R. E., Snell, M. E., Beers, M. K., & Raynes, M. (1995). Integrating students with moderate and severe disabilities into general education classes. Exceptional Children . Kaplan, R. M., & Sacuzzo, D. P. (2005). Psychological Testing: Principles, applications, and

issues. Belmont: Wadsworth Cengage Learning.

Karagiannis, A., Stainback, W., & Stainback, S. (1996). Rationale for Inclusive Schooling. Ketterlin-Geller, L. R., Alonzo, J., Braun-Monegan, J., & Tindal, G. (2007).

Recommendations for accommodations, implications of (in)consistency. Remedial and Special Education, 28(4), 194-206.

Kraska, M. F. (2000). Attitudes of university faculty members toward students with disabilities.

(24)

Kurniawati, F., Minnaert, A., Mangunsong, F., & Ahmed, W. (2012). Empirical study on primary school teachers: attitudes towards inclusive education in Jakarta, Indonesia. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 69, 1430-1436.

Kurniawati, F. (2014). Teachers' attitudes, knowledge, and teaching strategies towards students with special educational needs in primary inclusive education in Indonesia. Leyser, Y., Vogel, S., Wyland, S., & Brulle, A. (1998). Faculty attitudes and practices

regarding students with disabilities: Two decades after implementation of section 504. Journal of Postsecondary Education and Disability. 13(3), 5-19.

Mahat, M. (2008). The development of a psychometrically-sound instrument to measure teachers' multidimensional attitudes toward inclusive education. International Journal of Special Education, 23(1), 82-92.

Malangko, M. C. (2008). Attitudes and willingness of California Community College public safety (police, fire and emergency medical service) faculty to provide accomodations for students with learning disabilities. Ann Arbor: ProQuest.

Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Depok: LPSP3.

Maulipaksi, D. (2014). Kemdikbud Siapkan Permen tentang Pendidikan Inklusi di Perguruan Tinggi. Diunduh 14 Maret 2014, dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: http://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/2310

Measuring teacher attitudes toward mainstreaming. (1985). Diunduh dari www.eric.ed.gov Norman, K., Caseu, D., & Stefanich, G. P. (1998). Teaching students with disabilitien in

inclusive science classrooms: Survey results. Science Education. 82(2), 127-146. Novita, S., Carolina, C., Zahra, F., Kurnia, R. S., & Pattywael, M. A. (2013). Penyesuaian

diri mahasiswa berkebutuhan khusus di universitas indonesia. Unpublished Manuscript. Persyaratan Pendaftaran Program Studi Vokasi, S1 Reguler, S1 Paralel Jalur SIMAK

Periode 2014/2015 Semester 1. (2014). Diunduh 4 Juni 2014, dari Universitas Indonesia: https://penerimaan.ui.ac.id/id/period/requirement/1184

Pollio, H. R. (1996). The two cultures of pedagogy: Teaching and learning in sciences and humanities.

Prasetyo, F. A. (2013). Pelayanan Mahasiswa Disabel di UI. (S. Novita, & R. S. Kurnia, Interviewer)

Tentang Universitas Indonesia. (2009). Diunduh 8 Maret 2014, dari Universitas Indonesia: http://www.ui.ac.id/id/profile/page/facts/staf-dan-mahasiswa

(25)

Udvari-Solner, A. (1995). A process for adapting curriculum in inclusive classrooms. Dalam R. A. Villa, & J. S. Thousand, Creating an Inclusive School (pp. 110-124). Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development.

Vogel, S. A., Leyser, L., Wyland, S., & Brulle, A. (1999). Students with learning disabilities in higher education: Faculty attitudes and practices. Learning Disabilities Research & Practice, 14(3), 173-186.

Wright, S. P., Horn, S. P., & Sanders, W. L. (1997). Teacher and classroom context effects on student achievement: Implication for teacher evaluation. Journal of Personnel Evaluation in Education, 11(1), 57-67.

Referensi

Dokumen terkait

Selain SDM dan system kearsipan, pengelolaan dokumen pada suatu organisasi akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didukung oleh tersedianya sarana dan

 Persamaan (29) ditetapkan dengan cara memplot (suatu aliran dengan diameter tertentu) suatu kurva dengan ordinat angkutan sedimen dasar dan kemiringan S sebagai absis,

4) data kualifikasi yang diisikan benar, dan jika dikemudian hari ditemukan bahwa data/dokumen yang disampaikan tidak.. benar dan ada pemalsuan, maka Direktur

Tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan penyuluhan kepada masyarakat cara pemanfaatan air kelapa menjadi nata de coco dan penanganannya pasca panen, Memberikan petunjuk

Pada saat keadaan leecher, algoritma ini dipanggil setiap T detik (default = 10 detik), setiap waktu peer bergabung untuk melakukan proses download berkas, meninggalkan himpunan

Untuk itu Panwaslih Kabupaten Gayo Lues telah mengelola dan menatausahakan surat dan arsip sesuai dengan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 16 Tahun 2015

Jadwal perencanaan pembelajaran untuk mengajar di kelas dari terbimbing, mandiri dan ujian disesuaikan dengan jadwal yang ada di kelas dan di bagi secara merata dengan

Saat ini saya Alfian Rahmantyo, mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sedang melakukan penelitian