Hal. 1 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 P U T U S A N
No. 01.K/KPPU/2005
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara :
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA, berkedudukan di Jalan Ir.H.Juanda No.36, Jakarta Pusat, yang diwakili oleh : Dr.Ir.SUTRISNO IWANTONO, MA., Ketua KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA, dan dalam hal ini memberi kuasa kepada R. KURNIA SYA’RANIE, SH., Direktur Penegakan Hukum pada Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan kawan-kawan, berkantor di Jalan Ir.H.Juanda No.36, Jakarta,
Pemohon Kasasi dahulu Termohon ; m e l a w a n :
PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, TBK., berkedudukan di Jalan Japati No.1, Bandung, yang diwakili oleh : KRISTIONO, Direktur Utama PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, TBK., dan dalam hal ini memberi kuasa kepada STEFANUS HARYANTO, SH., LLM., Advokat, dan kawan-kawan, berkantor di Chase Plaza Lt.18, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 21, Jakarta,
Termohon Kasasi dahulu Pemohon ; Mahkamah Agung tersebut ;
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang Termohon Kasasi dahulu sebagai Pemohon telah mengajukan keberatan terhadap putusan Pemohon Kasasi dahulu sebagai Termohon di muka persidangan Pengadilan Negeri Bandung pada pokoknya atas dalil-dalil : bahwa yang menjadi objek keberatan adalah Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU) Nomor : 02/KPPU-I/2004 tanggal 13 Agustus 2004, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa PEMOHON tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ;
2. Menyatakan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
Hal. 2 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 3. Menyatakan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ; 4. Menyatakan bahwa PEMOHON tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 19 huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ;
5. Menyatakan bahwa PEMOHON tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ;
6. Menetapkan pembatalan klausula yang menyatakan bahwa pihak penyelenggara atau pengelola Warung Telkom hanya boleh menjual jasa dan atau produk PEMOHON dalam perjanjian kerja sama antara PEMOHON dengan penyelenggara atau pengelola warung Telkom ;
7. Memerintahkan PEMOHON untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dengan cara (a) meniadakan persyaratan PKS atas pembukaan akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk PEMOHON di Wartel ; (b) membuka akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk PEMOHON di Warung Telkom ;
bahwa terhadap Putusan tersebut di atas, PEMOHON menerima diktum Putusan ke-1 (satu), ke-4 (empat), dan ke-5 (lima); namun secara tegas menyatakan menolak dan berkeberatan terhadap diktum Putusan Termohon di bawah ini :
1. Diktum ke 2 (dua) yang menyatakan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ;
2. Diktum ke 3 (tiga) yang menyatakan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ;
3. Diktum ke 6 (enam) yang menetapkan pembatalan klausula yang menya-takan bahwa pihak penyelenggara atau pengelola Warung Telkom hanya boleh menjual jasa dan atau produk PEMOHON dalam Perjanjian Kerjasama antara PEMOHON dengan Penyelenggara atau pengelola Warung Telkom ; 4. Diktum ke 7 (tujuh) yang memerintahkan PEMOHON untuk menghentikan
kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dengan cara (a) meniadakan persyaratan PKS atas pembukaan akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk PEMOHON di Wartel ; (b) membuka akses SLI dan atau Jasa telepon internasional lain selain produk PEMOHON di Warung Telkom ;
Hal. 3 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 bahwa keberatan PEMOHON ini diajukan karena adanya kekeliruan yang berkaitan dengan fakta-fakta yang menjadi bahan pertimbangan putusan Termohon, maupun oleh adanya kekeliruan penerapan hukum oleh Termohon yang akan PEMOHON uraikan dalam permohonan keberatan ini.
bahwa Permohonan Keberatan ini diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana diatur dalam Pasal 44 (2) Undang-Undang No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Selanjutnya disebut UU No.5/1999), dan karena itu Permohonan Keberatan ini memenuhi persyaratan dan harus diterima oleh Pengadilan Negeri Kelas I Bandung.
Penjelasan tentang duduk perkara.
bahwa PEMOHON melakukan kegiatan usaha sebagai Penyelenggara Jaringan Tetap dan Jasa Telekomunikasi di Indonesia berdasarkan izin dari Pemerintah RI yang beberapa kali diubah dan diperbaharui, terakhir berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan R.I. Nomor : KP.162/2004 Tentang Izin Penyelenggaraan Jaringan Tetap dan penyelenggaraan Jasa Telepon Dasar PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (Bukti. P.1) ;
bahwa berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi khususnya Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor KM 60/PT.102/MPPT-95 Tahun 1995, PEMOHON memiliki hak ekskusif (exclusive right) untuk menyelenggarakan jasa Telekomunikasi lokal menggunakan jaringan tetap sampai dengan tahun 2010 dan jasa Telekomunikasi jarak jauh sampai dengan tahun 2005 (Bukti P2) ; bahwa berdasarkan KM 6/PT.102/MPPT-95 Tahun 1995, PT. Indonesian Sattelite Corporation, Tbk (selanjutnya disebut sebagai "PT INDOSAT") bersama PT Satelit Palapa Indonesia (PT SATELINDO) memiliki hak eksklusif untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi sambungan langsung internasional sampai dengan tahun 2005 (Bukti P3) ;
bahwa berdasarkan Pasal 61 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang untuk selanjutnya disebut UU No. 36 Tahun 1999 dinyatakan bahwa : "Jangka waktu hak tertentu yang diberikan Pemerintah kepada Badan Penyelenggara (PEMOHON) dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dengan Badan Penyelenggara (Badan penyelenggara tersebut adalah PEMOHON dan PT INDOSAT) ;
bahwa berkaitan dengan pengakhiran monopoli, telah diputuskan oleh Pemerintah melalui Sidang Kabinet Terbatas tanggal 20 November 2003 untuk
Hal. 4 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 mengakhiri hak eksklusif yang dimiliki oleh PEMOHON dan PT INDOSAT dengan pemberian kompensasi, sebagaimana dituangkan dalam Pengumuman Menteri Perhubungan No.2 Tahun 2004. (Bukti P.4);
bahwa hingga saat ini, kompensasi sebagaimana dimaksud pada angka 5 di atas, belum diterima oleh PEMOHON, dan dengan demikian PEMOHON sesungguhnya masih memiliki hak eksklusif dalam Penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi, khususnya Penyelenggaraan jasa telekomunikasi menggunakan Jaringan Tetap lokal dan jasa telekomunikasi menggunakan jaringan jarak jauh ;
bahwa dengan demikian secara de jure PEMOHON masih memiliki hak eksklusif dalam menjalankan usahanya, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 50 (a) UU No.5/1999 kalaupun betul bahwa PEMOHON telah melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh ketentuan UU No.5/1999, quod non, perbuatan-perbuatan tersebut bukanlah suatu pelanggaran terhadap UU No.5/1999 mengingat perbuatan PEMOHON tersebut adalah pelaksanaan dari suatu peraturan Perundangan yang berlaku (yaitu Undang-Undang No.3/1989 tentang Telekomunikasi). Berdasarkan ketentuan Pasal 50 (a) UU No.5/1999 yang berbunyi : Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah : (a) perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku" ; jelas terbukti bahwa PEMOHON tidak dapat dinyatakan melanggar ketentuan UU No.5/1999 oleh Termohon mengingat perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh PEMOHON sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 50 (a) UU No.5/1999 tersebut diatas.
bahwa kalaupun digunakan asumsi bahwa pemberian hak eksklusif (monopoli) kepada PEMOHON memang sudah berakhir dengan adanya Pengumuman Menteri Perhubungan No.2/2004, quod non, PEMOHON tetap berpendirian bahwa PEMOHON sama sekali TIDAK MELANGGAR ketentuan UU No.5/1999 sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Termohon dalam Perkara No.02/KPPU-I/2004, sehingga PEMOHON sangat berkeberatan terhadap Putusan Termohon yang mengandung kekeliruan dalam menilai fakta maupun dalam menerapkan peraturan perundangan yang berlaku ;
bahwa sejak tanggal 25 Juli 2001 PEMOHON mendapat ijin penyelenggaraan Internet Telepon untuk Keperluan Publik (selanjutnya disebut ITKP) atau lebih dikenal dengan istilah Voice over Internet Protokol (VoIP) berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Pos dan Telekomunikasi Nomor : 159 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Internet Telepon Untuk Keperluan Publik dengan menggunakan kode akses 017 ;
Hal. 5 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 bahwa selain PEMOHON, pada periode yang bersamaan PT. INDOSAT juga mendapatkan ijin penyelenggaraan ITKP dengan kode akses 016, PT. Gaharu dengan kode akses 019, PT. Atlasat dengan kode akses 018;
bahwa penyelenggara-penyelenggara ITKP tersebut dapat melayani jasa telekomunikasi jarak jauh dan telekomunikasi internasional dengan moda yang berbeda dibandingkan jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) yang diselenggarakan oleh PEMOHON dan Sambungan Langsung Internasional (SLI) yang diselenggarakan oleh PT INDOSAT ;
bahwa PT.INDOSAT menyelenggarakan jasa telepon internasional atau yang dikenal dengan sebutan SLI dengan menggunakan kode akses 001 dan kode akses 008 ;
bahwa dalam penyelenggaraan SLI-nya, PT INDOSAT menjalin kerjasama dengan PEMOHON yang dituangkan dalam Perjanjian Interkoneksi untuk menghubungkan jaringan milik PT.INDOSAT dengan jaringan milik PEMOHON (Bukti P5) ;
bahwa dalam perjanjian kerja sama tentang Penagihan Jasa Telekomunikasi Internasional antara PT INDOSAT dan PEMOHON telah sepakat bahwa untuk aktivasi (pembukaan akses) layanan SLI di sentral telepon PEMOHON dilakukan atas permintaan dari pelanggan PEMOHON dan PT INDOSAT dapat mengajukan pendaftaran aktivasi untuk dan atas nama pelanggan (Bukti. P6). Jadi, berdasarkan Perjanjian antara PEMOHON dengan PT.INDOSAT yang menganut system “normally closed”, pelanggan harus aktif meminta agar akses sambungan langsung Internasionalnya dibuka bila hendak menggunakan jasa PT.INDOSAT ;
bahwa setidak-tidaknya sejak tahun 1989 mulai dikenal penyelenggaraan warung telekomunikasi (dikenal dengan sebutan wartel) sebagai salah satu tempat yang dapat digunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan jasa telekomunikasi ;
bahwa berdasarkan Keputusan Direksi Nomor 39/HK220/JAS-51/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Pedoman Pengelolaan Outlet Telkom melalui Warung TELKOM, PEMOHON menyelenggarakan saluran distribusi internal jasa telekomunikasi dalam bentuk outlet dengan nama Warung TELKOM (Bukti P7) ;
bahwa Warung TELKOM diselenggarakan berdasarkan perjanjian kerjasama antara PEMOHON dengan pengelola Warung TELKOM atas dasar permohonan baik dari Pengelola Wartel lama yang ingin berubah menjadi Warung TELKOM maupun dari penyelenggara/pengelola yang sama sekali baru
Hal. 6 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 (Bukti P8) ;
bahwa perbedaan antara Wartel dengan Warung TELKOM pada pokoknya adalah sebagai berikut : Wartel menyediakan layanan jasa telekomunikasi produk penyelenggara telekomunikasi manapun, sedangkan Warung TELKOM yang merupakan outlet PEMOHON hanya menyediakan jasa telekomunikasi produk PEMOHON ;
Keberatan dan Bantahan terhadap hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan Termohon dalam menjatuhkan Putusannya.
bahwa karena pernyataan atau keterangan atau penjelasan dari para Saksi dan Saksi Ahli termasuk namun tidak terbatas pada fakta, dugaan, dan pernyataan yang dijadikan pertimbangan oleh Termohon menjatuhkan Putusannya tidak pernah dikonfirmasikan oleh Termohon kepada PEMOHON, maka PEMOHON tidak dapat atau tidak diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan atas pernyataan atau keterangan atau penjelasan terhadap keterangan para Saksi dan Saksi Ahli yang diajukan oleh Termohon dimaksud. Oleh karena itu, PEMOHON mengajukan bantahan atas duduk perkara yang dijadikan pertimbangan oleh Termohon tersebut sebagai berikut : 1.Bahwa PEMOHON membantah Duduk Perkara angka 1.8 yang menyatakan
bahwa TIM dari Termohon menduga PEMOHON telah melakukan tindakan pemblokiran terhadap SLI kode akses 001 dan 008 milik PT. INDOSAT yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.1 Menutup layanan SLI kode akses 001 dan 008 dibeberapa Warung Tele-komunikasi (Wartel), dan menyediakan layanan Internasional dengan kode akses 017 (Bagian duduk perkara Putusan Termohon angka 1.8.1) ; Pernyataan Termohon di atas adalah tidak benar sama sekali. PEMOHON tidak pernah menutup layanan SLI kode akses 001 dan 008 di Wartel manapun. Kalaupun dalam praktek ditemukan adanya kesulitan dalam memperoleh akses ke-001 atau 008, banyak sekali faktor yang menjadi penyebabnya dan secara teknis telah diuraikan kepada Termohon oleh Saksi VI tanggal 30 Juni 2004. Namun demikian, PEMOHON tidak pernah menutup akses SLI 001 maupun 008 dari SENTRAL jaringan milik PEMOHON.
1.2 Mengubah perjanjian kerjasama dengan Pemilik Wartel bahwa Wartel hanya dibolehkan menjual produk PEMOHON dan PEMOHON berhak melakukan bloking/menutup akses layanan milik operator (penyelenggara) lain dari Wartel (Bagian duduk perkara Putusan
Hal. 7 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 Termohon angka 1.8.2) ;
Pernyataan Termohon di atas tidak benar. PEMOHON tidak pernah mengubah perjanjian kerjasama dengan Pemilik Wartel (warung telekomunikasi) yang isinya mengatur wartel hanya dibolehkan menjual produk PEMOHON. Secara yuridis maupun faktual, PEMOHON tidak pernah dan tidak berhak melakukan penutupan kode akses SLI 001/008 di warung telekomunikasi (Wartel) sesuai dengan klausula yang terdapat di dalam perjanjian kerjasama antara PEMOHON dengan pemilik wartel (Bukti P9).
2. Bahwa PEMOHON membantah pernyataan Saksi 1 tanggal 5 Februari 2004 pada bagian Duduk Perkara Putusan TERMOHON angka 7.2 yang menyatakan : "untuk layanan telepon internasional penyelenggaranya adalah PEMOHON dengan layanannya ITKP 017 dan PT INDOSAT dengan layanannya SLI 001 dan 008". Pernyataan ini adalah pernyataan yang tidak benar, karena :
2.1 Sesuai dengan perizinan yang ada saat itu, layanan Internasional hanya diselenggarakan oleh PT INDOSAT secara duopoli bersama PT SATELINDO (Vide.Bukti P3).
2.2 Layanan ITKP bukanlah layanan telepon Internasional sebagaimana layanan SLI 001 dan 008. Layanan ITKP tidak hanya diselenggarakan oleh PEMOHON namun juga diselenggarakan oleh PT INDOSAT, PT Gaharu, PT Atlasat dan konsorsium PIJ sebagaimana telah PEMOHON uraikan pada Penjelasan tentang Duduk Perkara yang terurai di atas. 2.3 PEMOHON baru mulai menyelenggarakan layanan telepon internasional
yang setara dengan SLI yang dikelola oleh PT INDOSAT dengan kode akses 001 dan 008 terhitung sejak bulan Juni 2004, dengan nama produk Telkom Internasional Call 007 (TIC 007), sedangkan layanan ITKP 017 bukan layanan Internasional sebagaimana diutarakan oleh TERMOHON.
Atas pernyataan Saksi 1 tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut.
3. Bahwa PEMOHON perlu menjelaskan dan atau meluruskan pernyataannya pada tanggal 12 Februari 2004, sebagaimana dikutip oleh TERMOHON pada bagian Duduk Perkara Putusan TERMOHON angka 8.14 yang menyatakan : " bahwa meskipun secara prosedur teknologi dan regulasi antara ITKP dan SLI berbeda, namun dari sisi konsumen tidak ada perbedaan antara keduanya, sehingga dari keduanya memang bisa muncul
Hal. 8 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 persaingan".
Dikaitkan dengan pernyataan TERMOHON selanjutnya pada angka 8.17, yang menyatakan bahwa ITKP 017 membidik pelanggan retail dan yang
sensitive dengan harga, maka keterangan atau pernyataan TERMOHON
pada angka 8.14 tersebut perlu diluruskan, karena antara ITKP dan SLI dari sisi konsumen sesungguhnya sangat berbeda. Perbedaan dimaksud adalah perbedaan dari sisi kualitas dimana kualitas SLI jauh lebih baik dari ITKP dan harga SLI jauh lebih mahal dari pada harga ITKP, sehingga segmen pasar konsumen yang menggunakan SLI berbeda dengan segmen pasar konsumen yang menggunakan ITKP. Dengan demikian karena segmen pasar konsumen antara SLI dan ITKP berbeda, maka sesungguhnya tidak ada persaingan antara layanan SLI dengan layanan ITKP.
Bahwa antara SLI dengan ITKP bukan layanan yang saling bersaing, diakui secara tegas oleh TERMOHON yang menyatakan bahwa pesaing SLI 001 milik PT.INDOSAT adalah SLI 007 milik PEMOHON sebagaimana tercantum pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.4.
Pernyataan TERMOHON tersebut di atas harus diartikan bahwa ITKP 017 termasuk ITKP lainnya bukan sebagai Pesaing SLI 001 dan 008 milik PT INDOSAT ;
4. Bahwa PEMOHON membantah keterangan atau pernyataan Saksi Ahli I yang dikemukakan pada tangggal 3 Maret 2004 sebagaimana dikutip TERMOHON pada Putusan bagian Duduk Perkara angka 17.1 yang menyatakan : “bahwa fixed line memang selalu monopoli. Yang tidak monopoli dan gampang untuk tidak monopoli adalah wireless karena entry dan exit bebas dan orang punya banyak pilihan sedangkan sunk cost-nya rendah"
Pernyataan fixed line selalu monopoli tersebut adalah tidak benar. Bahwa
fixed line tidak selalu monopoli, bahkan sejak PT. Ratelindo dan PT. Batam
Bintan beroperasi sesungguhnya penyelenggaraan fixed line sudah tidak monopoli, bahkan PT. INDOSAT sejak 2003 telah memperoleh izin penyelenggaraan fixed line.
Atas pernyataan Saksi Ahli I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan asas 'due process of law' (proses yang adil di depan hukum) yang merupakan prinsip hukum universal yang dianut di seluruh dunia.
Hal. 9 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 pada Duduk Perkara angka 17.5 yang menyatakan : "bahwa permasalahan
blocking muncul setelah adanya kebijakan duopoli, mungkin karena Terlapor
(dalam hal ini PEMOHON) masih belum yakin bahwa dengan adanya kompetisi Terlapor (dalam hal ini PEMOHON) masih dapat melakukan bisnisnya".
Pernyataan yang dikemukakan Saksi Ahli I TERMOHON tersebut adalah tidak benar dan sangat naif, karena permasalahan blocking tidak dapat begitu saja dikaitkan dengan adanya kebijakan duopoli. Pernyataan ini sangat tendensius yang mengarah kepada tuduhan bahwa PEMOHON telah melakukan tindakan blocking tanpa didukung dengan bukti yang cukup. Bahwa PEMOHON sampai kapanpun tidak pernah meragukan kemampuan bisnisnya meskipun adanya kompetisi, bahkan PEMOHON sangat yakin dengan adanya kompetisi pelayanan PEMOHON kepada konsumen akan semakin membaik ;
Atas pernyataan Saksi I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan asas 'due process of law' (proses yang adil di depan hukum) yang merupakan prinsip hukum universal yang dianut di seluruh dunia.
6. Bahwa PEMOHON membantah keterangan atau pernyataan Saksi Ahli I pa-da Duduk Perkara angka 17.6 yang menyatakan : "sebenarnya kebijakan
normaly closed yang diterapkan dengan alasan untuk mengurangi bad debt
adalah terbantahkan dengan ditanggungnya resiko tersebut oleh PT. INDOSAT”.
Pernyataan yang dikemukakan Saksi Ahli I TERMOHON tersebut adalah di atas tidak benar sangat tendensius yang cenderung menyalahkan PEMOHON. PEMOHON tidak pernah menetapkan kebijakan tentang
normally closed. PEMOHON melaksanakan normaly closed semata-mata
untuk melaksanakan perjanjian kerjasama antara PEMOHON dengan PT. INDOSAT atas keinginan dan permintaan PT. INDOSAT dengan alasan untuk mengurangi terjadinya bad debt, meskipun apabila terjadi bad debt menjadi tanggungan PT. INDOSAT sepenuhnya (Vide Bukti P6 ) ;
Atas pernyataan Saksi Ahli I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan asas 'due process of law' (proses yang adil di depan hukum) yang merupakan prinsip hukum universal yang dianut di seluruh dunia.
Hal. 10 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 9. Bahwa PEMOHON membantah keterangan atau pernyataan Saksi I tanggal 18 Juni 2004 pada duduk perkara angka 23.16 yang menyatakan : "bahwa wartel adalah layanan publik, sehingga dengan adanya perubahan menjadi warung TELKOM yang hanya menyediakan produk dari Terlapor (PEMOHON), maka masyarakat dan pengelola wartel menjadi tidak punya pilihan".
Pernyataan yang dikemukakan Saksi I tersebut adalah di atas tidak benar, karena wartel dan warung TELKOM bukan layanan publik yang didirikan khusus untuk melayani masyarakat secara umum. Dalam telekomunikasi istilah layanan publik dikenal dengan istilah USO (universal service
obligation) sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU No. 36 Tahun 1999 jo.
Pasal 26 PP 52 Tahun 2000.
Selain itu keberadaan warung TELKOM tidak mengakibatkan masyarakat dan pengelola wartel menjadi tidak punya pilihan, karena masih banyak alternatif lain bagi masyarakat, misalnya menggunakan wartel yang tersambung kepada penyelenggara telekomunikasi lainnya, baik jaringan tetap maupun seluler (warsel).
Atas pernyataan Saksi I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan asas 'due process of law' (proses yang adil di depan hukum) yang merupakan prinsip hukum universal yang dianut di seluruh dunia.
10. Bahwa PEMOHON membantah keterangan atau pernyataan Saksi I pada Duduk Perkara angka 23.17 yang menyatakan : " bahwa indikasi blocking setelah Terlapor (PEMOHON) memperoleh ijin ITKP 017 sekitar akhir tahun 2001".
Pernyataan ini sangat menyesatkan dan sangat tendensius yang mengarah kepada tuduhan bahwa PEMOHON telah melakukan tindakan blocking tanpa didukung dengan bukti.
Atas pernyataan Saksi I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan asas 'due process of law' (proses yang adil di depan hukum) yang merupakan prinsip hukum universal yang dianut di seluruh dunia.
Keberatan dan Bantahan Terhadap Pertimbangan Hukum TERMOHON. bahwa pertimbangan TERMOHON yang menyatakan PEMOHON
Hal. 11 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999 karena memenuhi seluruh unsur-unsur yang ada pada Pasal 15 ayat (3) huruf b tersebut adalah tidak benar atau tidak mempunyai landasan hukum. Setidaknya ada 2 (dua) unsur yang tidak terpenuhi atau tidak terbukti, yaitu : unsur pelaku usaha pemasok (Putusan TERMOHON tentang Hukum angka 8.3) dan unsur perjanjian harga atau potongan harga tertentu (Putusan TERMOHON tentang Hukum angka 8.2).
1.1 Unsur pelaku usaha pemasok.
1.1.1 Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999 menentukan bahwa "Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok".
Menurut ketentuan tersebut diatas, yang dimaksud dengan pelaku usaha menurut Pasal 15 Ayat (3) huruf b adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan memasok;
1.1.2 Bahwa pengertian memasok disini dapat ditemui dalam Penjelasan dari Pasal 15 Ayat (1) yang menyatakan bahwa "Yang termasuk dalam pengertian memasok adalah menyediakan pasokan, baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli dan sewa guna usaha (leasing)".
Bahwa pengertian memasok sebagaimana diuraikan pada Penjelasan Pasal 15 Ayat (1) di atas berlaku pula bagi pengertian memasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3). Hal tersebut disebabkan dalam Pasal 15 seluruhnya mengatur tentang perjanjian yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha dalam / kegiatan memasok atau pemasokan.
1.1.3 Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 15 ayat (1) dan ketentuan Pasal 15 Ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999 tersebut diatas, maka secara hukum jelas-jelas PEMOHON tidak memenuhi unsur sebagai Pelaku Usaha pemasok atau yang menyediakan pasokan, baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa beli dan sewa guna usaha (leasing) dengan pengelola Warung TELKOM. Hal tersebut dikarenakan:
Hal. 12 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 beli, sewa-menyewa, sewa-beli barang dan atau jasa dengan PEMOHON.
1.1.3.2 PEMOHON bukan sebagai pihak yang memasok (menjual) barang atau jasa kepada pengelola Warung TELKOM dan pengelola Warung TELKOM bukan pihak yang menerima barang atau jasa untuk dijual kembali (resale), karena di Warung TELKOM tidak ada kegiatan jual beli.
1.1.3.3 Warung TELKOM semata-mata hanya merupakan tempat untuk menjualkan jasa produk dari PEMOHON;
1.1.3.4 Pengertian menjualkan jasa dimaksud adalah bahwa Wa-rung TELKOM berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari PEMOHON (atau dikenal dengan istilah outlet) untuk melakukan pemasaran jasa Telekomunikasi produk PEMOHON ;
1.1.3.5 Bahwa Warung TELKOM yang merupakan outlet PEMO-HON adalah saluran distribusi internal atas produk yang dihasilkan oleh PEMOHON yang pengelolaannya diserahkan kepada badan usaha lain yang bertindak sebagai Pengelola Warung TELKOM ;
1.1.3.6 Bahwa Warung TELKOM sebagai tempat menjualkan, pro-duk PEMOHON, diakui secara tegas oleh TERMOHON pada Putusan tentang Hukum Angka 8.3.3, yang menyatakan bahwa dalam Pasal 1 angka 16 PKS standar Warung Telkom, diatur bahwa pengelolaan Outlet
PEMOHON adalah pengelolaan tempat untuk menjualkan serta memberikan pelayanan jasa telekomunikasi produk PEMOHON" ;
1.1.3.7 Bahwa oleh karena itu PEMOHON keberatan dengan pernyataan TERMOHON yang jelas-jelas keliru, yaitu pernyataan yang menyatakan bahwa PEMOHON bertindak sebagai pemasok jasa telekomunikasi dan pengelola Warung TELKOM adalah pihak yang menerima jasa telekomunikasi untuk dijual kembali sebagaimana Putusan tentang Hukum angka 8.3.4 ;
1.1.4 Bahwa untuk lebih menegaskan keberadaan Warung TELKOM merupakan outlet PEMOHON untuk menjualkan jasa (saluran distribusi internal), maka sambungan yang digunakan adalah
Hal. 13 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 sambungan dinas berbayar, artinya tidak perlu membayar biaya pasang baru dan abonemen tetapi tetap membayar biaya penggunaan jasa. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Keputusan Direksi PEMOHON No.KD.39 Tahun 2003 yang menetapkan status sambungan layanan telekomunikasi untuk Warung TELKOM adalah Dinas Berbayar.
1.1.5 Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas maka dalam Perjanji-an PEMOHON dengPerjanji-an pengelola Warung TELKOM tidak terdapat adanya unsur pelaku usaha pemasok, sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur pelaku usaha pemasok TIDAK terpenuhi. 1.2 Unsur perjanjian harga atau potongan harga.
1.2.1 Bahwa pernyataan TERMOHON dalam kesimpulan pada Angka 8.2.4 atas dasar pertimbangan tentang Hukum angka 8.2.3 dan angka 8.2.2 yang menyatakan bahwa dibebaskannya biaya pasang baru dan abonemen terhadap Warung TELKOM sebagai kompensasi tidak menjual produk penyelenggara telekomunikasi yang lain sehingga unsur perjanjian harga atau potongan harga tertentu dalam perjanjian Warung TELKOM menjadi terpenuhi adalah sangat keliru, sangat dipaksakan dan tidak mempunyai landasan hukum ;
1.2.2 Bahwa memang benar pada perjanjian PEMOHON dengan pengelo-la Warung TELKOM, pengelopengelo-la Warung TELKOM dibebaskan dari biaya pasang baru dan abonemen sedangkan terhadap pengelola warung telekomunikasi dikenakan biaya pasang baru dan abonemen, karena keberadaan Warung TELKOM adalah sebagai saluran distribusi internal PEMOHON yang diperlakukan sebagai sambungan dinas berbayar (lihat keberatan PEMOHON butir 1.1.4), dan bukan disebabkan karena kompensasi tidak menjual produk jasa telekomunikasi dari penyelenggara telekomunikasi lainnya. Sedangkan Wartel adalah sebagai mitra usaha untuk melakukan kegiatan jual kembali (resale) jasa produk PEMOHON sehingga sewajarnya dikenakan biaya pasang baru dan abonemen untuk menyewa sambungan/jaringan milik PEMOHON ;
1.2.3 Bahwa biaya pasang baru dan abonemen bukan merupakan harga yang harus dibayar oleh pelaku usaha yang akan melakukan perjanjian kerjasama dengan PEMOHON, karena yang dimaksud dengan harga dalam perjanjian pengelolaan warung telekomunikasi
Hal. 14 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 dan perjanjian Warung TELKOM adalah harga dari jasa telekomunikasi yang dijual, antara lain meliputi jasa telepon domestik (SLJJ dan lokal), jasa telepon internasional, yang dihitung atas dasar satuan harga pulsa telepon serta air time dari penyelenggara jaringan bergerak seluler, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri perhubungan Nomor 46 Tahun 2002 tentang penyelenggaraan warung telekomunikasi (selanjutnya disebut KM 46 Tahun 2002) ;
1.2.4 Bahwa KM 46 Tahun 2002 mengatur tentang bagian pendapatan dari tarif dasar wartel yang menjadi hak penyelenggara wartel meliputi pendapatan domestik sekurang-kurangnya 30 %, internasional sekurang-kurangnya 8 % dan air time dari penyelenggara jaringan bergerak seluler sekurang-kurangnya 10 % sebagai harga yang kemudian harus diacu dalam perjanjian kerjasama wartel dan sama sekali tidak menyatakan biaya pasang baru dan abonemen sebagai harga ;
1.2.5 Bahwa sehubungan pernyataan TERMOHON angka 8.2.4 yang menyatakan unsur perjanjian harga atau potongan harga tertentu dalam perjanjian Warung TELKOM terpenuhi adalah keliru dan oleh karenanya PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk mengabaikan pertimbangan dan pernyataan TERMOHON terkait dengan masalah unsur perjanjian harga atau potongan harga tertentu dalam perjanjian Warung TELKOM dimaksud ;
1.2.6 Bahwa berdasarkan penjelasan butir 1.2.2 sampai dengan 1.2.5 di atas, maka unsur adanya perjanjian harga atau potongan harga tertentu dalam perjanjian Warung TELKOM tidak terpenuhi ;
1.3 Dengan memperhatikan bahwa perjanjian antara PEMOHON dengan Pengelola Warung TELKOM tidak memenuhi semua unsur yang terdapat dalam Pasal 15 Ayat (3) huruf b, maka tidak ada perjanjian yang dilakukan oleh PEMOHON yang melanggar Pasal 15 Ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999 ;
1.4 Bahwa dengan tidak terpenuhinnya semua unsur Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999 khususnya unsur pelaku usaha pemasok dan unsur perjanjian harga atau potongan harga tertentu, dengan ini PEMOHON secara tegas menolak diktum Putusan TERMOHON yang menyatakan bahwa PEMOHON telah melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b
Hal. 15 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 UU No.5 Tahun 1999 ;
1.5 Untuk itu PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara keberatan ini untuk :
1.5.1 Membatalkan putusan TERMOHON pada diktum Putusan Angka 2 yang menyatakan bahwa PEMOHON telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 Ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999 ;
1.5.2 Membatalkan dan mencabut diktum ke 6 (enam) putusan TER-MOHON yang menetapkan pembatalan klausula yang menyatakan bahwa pihak penyelenggara atau pengelola Warung TELKOM hanya boleh menjual jasa dan atau produk PEMOHON dalam perjanjian kerjasama antara PEMOHON dengan Penyelengara atau pengelola Warung TELKOM ;
2. Bahwa Putusan TERMOHON yang menyatakan bahwa PEMOHON telah melanggar Pasal 19 huruf a dan b UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah tidak benar, karena kegiatan PEMOHON tidak memenuhi unsur menghalangi pelaku usaha pesaing maupun menghalangi konsumen untuk melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaing.
2.1 Dalam teori mengenai hukum antimonopoli dikenal adanya dua macam doktrin, yaitu doktrin yang disebut dengan 'illegal per se' dan doktrin yang disebut dengan 'rule of reason'. Suatu perbuatan atau perjanjian disebut 'illegal per se' jika perbuatan itu sendiri sudah cukup untuk membuktikan adanya pelanggaran.Sedangkan 'rule of reason' memerlukan timbulnya akibat yang dilarang oleh peraturan perundangan.
2.1.1 Pasal 19 huruf a dan b UU No.5 Tahun 1999 menentukan bahwa "Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa : a). menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, b). menghalangi konsumen atau pelanggan atau pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya" ;
Hal. 16 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 yang secara hukum bersifat "rule of reason", maka pelaku usaha baru dapat dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran apabila dapat dibuktikan telah terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat sebagai akibat dari tindakan tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam kasus ini, FAKTANYA tidak mungkin PEMOHON melakukan praktek monopoli karena pangsa pasar PEMOHON dalam bisnis sambungan langsung internasional hanyalah sebesar 10%; ) ; 2.1.3 Bahwa TERMOHON dalam Putusan sebagaimana dimaksud
pada angka 16.3.12 sampai dengan 16.4.11 tidak dapat membuktikan telah terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, yang dilakukan oleh PEMOHON.
2.2 Unsur menghalangi pelaku usaha pesaing.
2.2.1 Bahwa dasar hukum yang diajukan oleh TERMOHON untuk membuktikan bahwa PEMOHON telah melarang atau menghalangi pengelola Wartel untuk menjual produk yang dihasilkan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi lain, sebagaimana dimaksud dalam Pertimbangan Hukum butir 16.4.10 berupa Surat KADITEL Purwokerto Nomor C. Tel.213/YN000/ RE4-D35/2003 tanggal 23 Oktober 2003, adalah TIDAK BENAR.
2.2.1.1 Bahwa surat KADITEL tersebut di atas isinya berupa pemberitahuan kepada pengelola Warung TELKOM untuk hanya menjual produk PEMOHON, bukan berisi pemberitahuan tentang larangan kepada Wartel untuk menjual produk jasa Telekomunikasi penyelenggara lain (PT. INDOSAT) (Bukti P11).
2.2.1.2 Bahwa pemberitahuan oleh PEMOHON kepada Pe-ngelola Warung TELKOM tersebut bukanlah merupakan perbuatan yang melanggar hukum, karena sesuai dengan keberadaannya Warung TELKOM adalah sebagai outlet PEMOHON yang memang hanya menjual jasa telekomunikasi produk PEMOHON.
2.2.2 Bahwa dalam Pertimbangan TERMOHON tentang Hukum pada angka 16.4.11., TERMOHON menyatakan bahwa PEMOHON menghambat PT. INDOSAT untuk mengadakan kegiatan atau
Hal. 17 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 penyediaan jasa telepon di jaringan tetap dengan adanya (i) kewajiban menunjukan PKS antara pengelola wartel dengan PT. INDOSAT (ii) wartel tidak boleh membeli atau mengelola jasa telepon internasional milik PT INDOSAT adalah tidak benar karena :
2.2.2.1 PEMOHON tidak pernah melakukan tindakan yang meng-halangi dan atau menolak pelaku usaha pesaingnya dalam menjalankan kegiatan usahanya menjual jasa telekomunikasi di jaringan tetap.
Terbukti sampai saat ini tidak ada pelaku usaha atau badan usaha yang dihalangi PEMOHON untuk bekerja-sama dengan PT.INDOSAT dalam menyelenggarakan wartel yang menggunakan jaringan tetap milik PT. INDOSAT ;
Bahwa dengan demikian PT. INDOSAT tidak dihambat oleh PEMOHON untuk melakukan kegiatan usaha yang sama yaitu mengadakan perjanjian kerjasama penyelenggaraan Wartel di jaringan tetap milik PT. INDOSAT.
2.2.2.2 Bahwa pencantuman syarat pengelola wartel yang akan menjual jasa SLI 001/008 untuk menunjukkan PKS langsung dengan PT. INDOSAT sama sekali tidak terkait dengan kegiatan PT. INDOSAT dalam penyelenggaraan jasa telepon di jaringan tetap, akan tetapi dimaksudkan untuk dasar pembagian pendapatan antara Pengelola Wartel dengan PEMOHON maupun dengan PT. INDOSAT dalam rangka melaksanakan perjanjian antara PEMOHON dengan PT. INDOSAT, karena sampai dengan saat ini penagihan terhadap Wartel dilakukan oleh PEMOHON, sehingga pembayaran atas bagian pendapatan PT. INDOSAT yang dihasilkan oleh Wartel dilakukan oleh PEMOHON. Untuk itu Pengelola Wartel harus menunjukkan PKS-nya dengan PT. INDOSAT ; 2.2.2.3 PEMOHON tidak pernah sekalipun melarang untuk
menju-al jasa telepon internasionmenju-al milik PT INDOSAT.
2.2.3 Pada Pertimbangan Hukum TERMOHON pada angka 16.3.13 yang mendasarkan pada Pasal 19 UU No. 36 Tahun 1999 Tentang
Hal. 18 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 Telekomunikasi berkaitan dengan adanya persyaratan PKS di Wartel adalah keliru. Karena ketentuan Pasal 19 UU No. 36 Tahun 1999 tersebut di satu pihak tidak mengatur tentang persyaratan dalam PKS di pihak lain justru dengan adanya persyaratan untuk menunjukkan adanya PKS antara Pengelola Wartel dengan PT. INDOSAT tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan PT. INDOSAT, karena berdasarkan PKS tersebut, PT. INDOSAT dapat melakukan monitoring terhadap wartel yang memasarkan produk SLI 001 dan 008, khususnya untuk memudahkan PT. INDOSAT dalam menentukan wartel-wartel mana saja yang memperoleh pembagian pendapatan sebesar 8% atas percakapan internasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Keputusan Menteri Perhubungan No. 46 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi (selanjutnya disebut dengan KM No. 46 Tahun 2002).
2.2.4 Pada Pertimbangan Hukum TERMOHON angka 16.3.17 sampai dengan 16.3.27 yang menyatakan bahwa KM No. 46 Tahun 2002 yang tidak mewajibkan adanya PKS langsung antara penyelenggara Wartel dengan penyedia jasa atau jaringan Telekomunikasi lain tidak dapat dijadikan dasar bagi TERMOHON untuk menyatakan bahwa kebijakan PEMOHON yang mensyaratkan adanya PKS langsung dimaksud bertentangan dengan KM No.46 Tahun 2002. Karena dengan tidak adanya larangan untuk mempersyaratkan adanya PKS dimaksud. Terlebih lagi maksud perlunya PKS ini bukan untuk menghalangi pesaing tetapi untuk kepentingan PT. INDOSAT sebagaimana telah diuraikan oleh PEMOHON pada angka 2.2.2.2.
2.2.5 Bahwa PEMOHON membantah Pertimbangan TERMOHON pada Putusan bagian Tentang Hukum angka 10.12 yang menyatakan bahwa PEMOHON sebagai penyedia jaringan tetap lokal dan jasa telepon lokal yang telah melakukan perjanjian interkoneksi dengan PT. INDOSAT sebagai penyedia jasa SLI dan jaringan tetap sambungan internasional berdasarkan Pasal 19 dan penjelasannya berkewajiban untuk menjamin konsumen atau penggunanya untuk :
(i) tetap tersambungnya atau tersedianya jasa SLI 001 atau 008 PT. INDOSAT sebagai pilihan jasa selain 017 atau 007 milik
Hal. 19 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 PEMOHON ;
(ii) kebebasan untuk memilih jenis jasa-jasa telepon internasional baik yang menggunakan kode akses 001, 008, 017 maupun kode akses 007 ;
2.2.6 Bahwa PEMOHON membantah pertimbangan Hukum TER-MOHON pada angka 16.3.19 yang menyatakan bahwa "Jika suatu penyelenggara jaringan telekomunikasi telah mengadakan perjanjian interkoneksi dengan penyelenggara jasa telekomunikasi lain, maka berdasarkan Pasal 19 UU No. 36 Tahun 1999, penyelenggara jaringan itu de jure berkewajiban menjamin akses pada pelanggannya atau pengguna atau konsumennya dalam menggunakan penyelenggara jaringan lain yang telah ter interkoneksi itu tanpa perlu mewajibkan badan usaha penyelenggara wartel yang hendak menjual jasa telepon lain mengadakan PKS sendiri dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi lain yang telah ter interkoneksi itu ;
Berdasarkan praktek interkoneksi pertimbangan tentang Hukum TERMOHON angka 10.12. dan angka 16.3.19 adalah tidak benar.
2.2.7 Berdasarkan Pasal 1 Angka 16 UU No. 36 Tahun 1999 me-nentukan bahwa "Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan teleko-munikasi yang berbeda". Untuk itu penyelenggara jaringan membuat kesepakatan atau perjanjian interkoneksi ;
2.2.8 Bahwa antara PEMOHON dengan PT. INDOSAT sudah menan-datangani Perjanjian Kerjasama tentang Kesepakatan Bersama Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Nomor : PKS 63/HK800/UTA-00/97 tanggal 21 Agustus 1997, namun perjanjian tersebut bukan perjanjian interkoneksi sebagaimana dimaksud UU No.36 Tahun 1999, karena (i) Dalam prakteknya, setiap panggilan internasional baik out going maupun in coming PT. INDOSAT diwajibkan membayar kepada PEMOHON. Sedangkan pengertian interkoneksi yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam UU No.36 Tahun 1999, setiap penyelenggara jaringan yang menggunakan jaringan milik penyelenggara lain wajib membayar kepada penyelenggara lain dimaksud. Dengan demikian, maka dalam perjanjian tersebut
Hal. 20 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 jelas bahwa PT. INDOSAT bertindak sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi, bukan sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi (ii) Perjanjian antara PEMOHON dan PT. INDOSAT tersebut di atas yang dibuat pada tanggal 21 Agustus 1997, belum mengacu kepada UU No. 36 Tahun 1999.
Dengan demikian maka pertimbangan hukum TERMOHON pada angka 10.12.1 dan 10.12.2 serta 16.3.19 adalah tidak benar dan sudah sewajarnya untuk dibatalkan.
2.2.9 Berdasarkan dalil-dalil PEMOHON tersebut di alas, maka masa-lah interkoneksi tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan jasa telekomunikasi sehingga tidak terkait pula dengan masalah
prefiks number (001,008 atau 007 untuk jasa Sambungan
Langsung Internasional ("SLI") maupun 011 dan 017 untuk jasa sambungan Langsung Jarak Jauh ("SLJJ"). Oleh karena itu, pertimbangan hukum TERMOHON Angka 16.3.15 yang mengaitkan antara interkoneksi dengan kode akses SLI 001 dan 008 milik PT. INDOSAT adalah sangat keliru.
Disamping hal di atas, kode akses 007 sangat tidak relevan dikaitkan dengan permasalahan yang diangkat oleh TERMOHON, karena PEMOHON baru menyelenggarakan jasa telekomunikasi internasional dengan kode akses 007 sejak tanggal 7 Juni 2004 ;
2.2.10 Untuk itu, PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara keberatan ini untuk mengesampingkan pertimbangan hukum TERMOHON dimaksud dan tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara ini.
2.2.11 Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas maka PEMOHON membuktikan bahwa tidak ada tindakan atau perbuatan PEMOHON yang menghalangi konsumen atau pelanggan jasa Telekomunikasi untuk menggunakan atau memanfaatkan jasa Telekomunikasi produk pesaing PEMOHON, sehingga TERMOHON sangat keliru memutuskan bahwa PEMOHON telah melanggar Pasal 19 huruf b UU No.5 Tahun 1999.
2.2.12 Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan PEMOHON tersebut di atas, maka sangatlah tidak tepat TERMOHON memerintahkan PEMOHON (a) untuk meniadakan persyaratan PKS atas
Hal. 21 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 pembukaan akses SLI dan/atau jasa telepon internasional lain selain produk PEMOHON di Wartel serta (b) membuka akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk PEMOHON di Warung TELKOM sebagaimana diputuskan dalam diktum ke 7 (tujuh), dan sepantasnya Keputusan TERMOHON yang berupa perintah kepada PEMOHON tersebut dibatalkan. 2.2.13 Dengan demikian PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk membatalkan diktum ke 7 (tujuh) putusan TERMOHON.
2.3 Bahwa pernyataan TERMOHON yang menyatakan PEMOHON telah memenuhi unsur menghalangi konsumen untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya sehingga PEMOHON telah melanggar Pasal 19 huruf b UU No.5 Tahun 1999 adalah pernyataan dan atau keputusan yang tidak benar.
2.3.1 Unsur menghalangi konsumen untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya tidak terpenuhi, karena berdasarkan Pasal 19 huruf b UU No.5 Tahun 1999 menentukan "Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa : "menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu" ;
2.3.2 Bahwa pelaku usaha dapat dikatakan melakukan pelanggaran terhadap Pasal 19 huruf b UU No.5 Tahun 1999 dimaksud apabila pelaku usaha tersebut terbukti melakukan perbuatan yang menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya tersebut ;
2.3.3 Bahwa pertimbangan hukum adanya unsur hubungan usaha an-tara konsumen dengan pelaku usaha pesaing sebagaimana dikemukakan oleh TERMOHON pada pertimbangan hukum angka 16.7 adalah sebagai berikut :
2.3.3.1 Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU 36 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pengguna adalah pemakai dan pelanggan.
Hal. 22 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 dimaksud dengan pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak.
2.3.3.3 Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 36 Tahun 1999. yang dimaksud dengan pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak.
2.3.3.4 Bahwa pertimbangan hukum TERMOHON angka 16.8 yang menyatakan bahwa bagi konsumen atau pengguna atau pemakai jasa telekomunikasi persyaratan perjanjian Warung TELKOM yang dikeluarkan PEMOHON ini menyebabkan konsumen atau pengguna atau pemakai tidak dapat menggunakan jasa SLI 001 dan 008 yang dihasilkan oleh PT. INDOSAT yang merupakan pesaing PEMOHON dalam pasar bersangkutan adalah tidak benar, karena :
2.3.3.4.1 Bahwa yang dimaksud dengan pengguna jasa produk PEMOHON adalah terdiri dari pemakai dan pelanggan. Adapun pelanggan PEMOHON terdiri dari Residensial, Bisnis dan sosial ;
2.3.3.4.2 Mengingat pengertian pengguna meliputi pela-nggan dan pemakai sedangkan Warung TELKOM tidak termasuk didalamnya, maka persyaratan perjanjian Warung TELKOM yang berisi ketentuan dan klausula wajibnya pengelola Warung TELKOM untuk hanya menjual jasa PEMOHON termasuk didalamnya ITKP Telkom Global 017 tidak menghalangi konsumen dalam hal ini pelanggan baik pelanggan PEMOHON maupun pelanggan PT. INDOSAT untuk menggunakan jasa SLI 001 dan atau 008, karena khusus untuk pelanggan yang akan menggunakan jasa SLI 001 atau 008 tidak perlu menggunakan Warung TELKOM, karena dapat langsung mengakses dari terminal
Hal. 23 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 milik pelanggan sendiri. Hal ini diakui juga oleh TERMOHON sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan hukum TERMOHON angka 16.3.11 bahwa tidak terbukti adanya halangan bagi pelanggan residential, bisnis untuk menggunakan jasa SLI 001 dan atau 008.
2.3.3.5 Bahwa keberadaan Wartel yang sambungan telekomunikasinya menggunakan jaringan telekomunikasi tetap milik PEMOHON tetap dipertahankan. PEMOHON tidak pernah melakukan tindakan yang menghambat dan atau menghalangi konsumen atau pengguna jasa telekomunikasi untuk memanfaatkan atau membeli jasa telekomunikasi produk penye-lenggara lain (PT. INDOSAT), karena di wartel tersebut konsumen masih dapat menggunakan jasa telekomunikasi produk penyelenggara jasa telekomunikasi lain (misalnya produk SLI 001 atau 008 milik PT. INDOSAT).
2.3.4 Dengan demikian terbukti bahwa dengan adanya persya-ratan atau klausula perjanjian Warung TELKOM tidak mengakibatkan konsumen (pelanggan dan pemakai) terhalangi untuk menggunakan jasa SLI 001 dan atau 008 milik PT. INDOSAT.
2.3.5 Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas maka PEMOHON membuktikan bahwa tidak ada tindakan atau perbuatan PEMOHON yang menghalangi konsumen (pelanggan dan pemakai) jasa Telekomunikasi untuk menggunakan atau memanfaatkan jasa Telekomunikasi produk pesaing PEMOHON, sehingga TERMOHON sangat keliru memutuskan bahwa PEMOHON telah melanggar Pasal 19 huruf b UU No.5 Tahun 1999.
2.3.6 Sehubungan dengan hal itu PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim untuk membatalkan Putusan TERMOHON sebagaimana dimaksud dalam Diktum ke 3 (tiga) yang menyatakan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf b UU No. 5
Hal. 24 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 Tahun 1999.
3. PEMOHON membantah pertimbangan TERMOHON mengenai penurunan
trafic out going dan pendapatan SLI PT. INDOSAT.
bahwa pertimbangan TERMOHON pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.6 dan angka 1.4.8 yang menyatakan bahwa sejak dikeluarkannya produk PEMOHON berupa ITKP 017 mengakibatkan penurunan trafic out going dan pendapatan SLI 001 dan 008 milik PT. INDOSAT dari jaringan tetap PEMOHON adalah sangat prematur dan mengada-ada, karena tidak didukung dengan bukti-bukti yang cukup. Apabila pernyataan ini didasarkan pada keterangan saksi I sebagaimana tercantum pada bagian Duduk Perkara angka 23.6, maka PEMOHON dengan tegas menolak pertimbangan TERMOHON dimaksud. Atas pernyataan Saksi Ahli I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut.
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon kepada Pengadilan Negeri Bandung agar memberikan putusan sebagai berikut :
1. MENGABULKAN seluruh Permohonan Keberatan PEMOHON ;
2. Membatalkan diktum ke 2 (dua) Putusan TERMOHON yang menyata-kan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan meyakinmenyata-kan melanggar Pasal 15 Ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999 ;
3. Membatalkan diktum ke 3 (tiga) Putusan TERMOHON yang menyata-kan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan meyakinmenyata-kan melanggar Pasal 19 huruf a dan b UU No.5 Tahun 1999 ;
4. Membatalkan diktum ke 6 (enam) Putusan TERMOHON yang menetap-kan pembatalan klausula yang menyatakan bahwa pihak penyelenggara atau pengelola Warung TELKOM hanya boleh menjual jasa dan atau produk PEMOHON dalam Perjanjian Kerja Sama antara PEMOHON dengan Penyelenggara atau Pengelola Warung TELKOM ; 5. Membatalkan Diktum ke 7 (tujuh) atas Putusan TERMOHON yang
me-merintahkan PEMOHON untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dengan cara (a) Meniadakan persyaratan PKS atas pembukaan akses SLI dan atau jasa telepon international lain selain produk PEMOHON di Wartel. (b) Membuka akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk PEMOHON di Warung TELKOM.
Hal. 25 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 Dan dengan mengadili sendiri memutuskan :
1. PEMOHON TIDAK TERBUKTI telah melakukan pelanggaran apapun terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ; 2. Perjanjian antara PEMOHON dan Pengelola Warung Telkom adalah
sah dan mengikat para pihak serta tidak bertentangan dengan ketentuan UU No.5 Tahun 1999 ;
3. Perjanjian antara PEMOHON dan Pengelola Wartel adalah sah dan mengikat para pihak serta tidak bertentangan dengan ketentuan UU No.5 Tahun 1999 ;
4. Menghukum TERMOHON untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini ;
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, maka PEMOHON memohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut Pengadilan Negeri Bandung telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 256/PDT/G/2004/PN.BDG. tanggal 08 November 2004 yang amarnya sebagai berikut :
M E N G A D I L I
- Menerima permohonan keberatan dari Pemohon PT.Telekomunikasi Indonesia Tbk ;
- Membatalkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indo-nesia (KPPU) tanggal 13 Agustus 2004 Nomor : 02/KPPU-1/2004 ;
M E N G A D I L I S E N D I R I
1. Mengabulkan Permohonan Keberatan Pemohon untuk sebagian ;
2. Menyatakan Pemohon Keberatan yaitu PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, membatalkan oleh karena itu : Diktum ke-2 (dua), ke-3 (tiga), ke-6 (enam) dan ke-7 (tujuh) PUTUSAN KPPU – Tanggal 13 Agustus 2004 Nomor : 02/KPPU-I/2004 ;
3. Menghukum Termohon KPPU membayar biaya perkara sebesar Rp.144.000. 4. Menolak permohonan keberatan Pemohon untuk selain dan selebihnya ;
Menimbang, bahwa sesudah putusan Pengadilan Negeri ini diberitahukan kepada Termohon pada tanggal 14 Desember 2004 kemudian terhadapnya oleh Termohon (dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 15 Desember 2004 ) diajukan permohonan kasasi
Hal. 26 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 secara lisan pada tanggal 24 Desember 2004 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 74/Pdt/Ks/2004/PN.BDG. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Bandung, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 04 Januari 2005 ;
bahwa setelah itu oleh Pemohon yang pada tanggal 05 Januari 2005 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Termohon diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 18 Januari 2005 ;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Termohon dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah : I. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 disebutkan antara lain bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam tingkat kasasi membatalkan putusan dari semua lingkungan peradilan karena salah menerapkan hukum yang berlaku dan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
II. Bahwa Putusan Judex Facti yang dimohonkan kasasi tidak hanya salah dalam menerapkan hukum yang berlaku, tetapi juga sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh undang-undang. Hal tersebut terbukti dari uraian dan fakta hukum sebagai berikut :
A. TENTANG PROSEDURAL .
Pertimbangan Berlebihan Dan Menguntungkan Pihak Termohon Kasasi. Bahwa permohonan keberatan terhadap Putusan KPPU yang diajukan oleh PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi dalam hal prosedural sebenarnya hanya dan hanya menuntut dan atau mempersoalkan dalam hal PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi menganggap dirinya tidak diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan atas pernyataan, atau keterangan para saksi dan ahli dimana menurut pendapat PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi hal tersebut bertentangan dengan asas due process of law. Substansi tersebut itulah
Hal. 27 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 yang menjadi dasar tuntutan PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi dalam hal prosedural (vide, halaman 7 sampai dengan 12 angka 1 sampai dengan 10 Memori Keberatan PEMOHON Keberatan).
Permasalahannya adalah mengapa dan atas dasar apa pertimbangan hukum Judex Facti sama sekali tidak mempertimbangkan dasar tuntutan PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi tersebut, tetapi justru memberikan pertimbangan hukum lain yang sama sekali tidak dijadikan dasar tuntutan PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi dalam keberatannya, yaitu tentang keabsahan prosedur tata cara pemeriksaan perkara yang dilakukan Termohon Keberatan/Pemohon Kasasi (vide, halaman 76 alinea 1 Putusan Judex Facti).
Fakta hukum tersebut membuktikan bahwa Judex Facti telah melakukan penyimpangan dan atau melebihi dari apa yang dituntut yang lebih menguntungkan bagi pihak PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi. Menurut kaidah hukum yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 399 K/Sip/1969 tanggal 21 Februari 1970, putusan yang demikian itu harus dibatalkan.
Selanjutnya, berkaitan dengan pertimbangan Judex Facti mengenai prosedural yang dilakukan oleh Termohon Keberatan/PEMOHON Kasasi, maka PEMOHON Kasasi akan menjelaskan bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut jelas salah dalam penerapan hukumnya. Hal tersebut didasarkan pada alasan hukum sebagai berikut :
1. Mengenai Majelis Komisi.
Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti pada halaman 76 sampai dengan halaman 80 yang pada pokoknya menyatakan, pemeriksaan lanjutan atas perkara larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Perkara KPPU No.02/KPPU-1/2004) yang dilakukan bukan oleh Majelis Komisi (karena dilakukan oleh 2 orang anggota komisi) merupakan pemeriksaan perkara yang mengandung cacad prosedural sehingga merupakan pemeriksaan yang tidak sah karena mengandung cacad yuridis dan hal itu merupakan salah satu alasan batalnya putusan.
Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut salah dan berlebihan dengan alasan sebagai berikut :
1.1. Bahwa kelengkapan anggota Majelis Komisi telah disyaratkan dan diharuskan hanya pada saat pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam Penjelasan ketentuan Pasal 43 UU
Hal. 28 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 No.5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Pengambilan keputusan Komisi sebagaimana dimaksud ayat (3) dilakukan dalam suatu sidang Majelis yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi.
Kemudian, hal tersebut diperkuat dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 Tentang Komisi pengawas Persaingan usaha yang menyatakan : “Pengambilan keputusan Komisi dilakukan dalam sidang majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Majelis.
1.2. Bahwa meskipun demikian, apabila jumlah Majelis Komisi dalam proses pemeriksaan lanjutan tidak lengkap, maka hal tersebut ditawarkan kepada pihak yang diperiksa apakah keberatan atau tidak apabila pemeriksaan dilanjutkan.
Dalam perkara a quo, pihak yang diperiksa (dalam hal ini Termohon Kasasi) tidak pernah menyatakan keberatannya sehingga pemeriksaan lanjutan tetap dilakukan sebagaimana tercantum dalam berkas perkara a quo.
2. Mengenai Risalah Permintaan Keterangan Instansi Pemerintah. Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti pada halaman 80 sampai dengan halaman 83 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Putusan KPPU No.02/KPPU-I/2004 yang telah mengambil keterangan yang tidak berdasarkan berita acara pemeriksaan atau berita acara pemeriksaan lanjutan maka putusan tersebut terbukti pula telah mengandung cacad yuridis dalam pembuatan atau penyusunannya.
Bahwa atas hal tersebut Judex Facti juga memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa menurut ketentuan Pasal 22 (koreksi, seharusnya Pasal 42 UU No.5 Tahun 1999) dalam memutuskan telah terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang, Majelis Komisi harus mendasarkan pada alat-alat bukti yang diperoleh dalam pemeriksaan dan penyidikan, sehingga pemeriksaan untuk meminta keterangan dari Pemerintah, apabila hal itu dimaksudkan untuk mendapatkan bukti dan bahan pertimbangan Putusan Majelis Komisi harus didasarkan pada adanya pemeriksaan lanjutan yang hasilnya dituangkan dalam sebuah Berita Acara Pemeriksaan dan bukan dituangkan dalam risalah pertemuan yang tidak jelas dasar
Hal. 29 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 hukumnya (vide, halaman 81 alinea 4 Putusan Judex Facti).
Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut salah bahkan berlebihan karena alasan-alasan sebagai berikut :
2.1. Bahwa dalam memutuskan perkara, Majelis Komisi (dalam hal ini PEMOHON Kasasi) selalu berdasarkan alat bukti sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 42 UU No.5 Tahun 1999 yang meliputi : keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku usaha, sehingga tidak semata-mata hanya didasarkan pada keterangan yang termuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (selanjutnya disebut BAP) saja.
2.2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 36 huruf h UU No.5 Tahun 1999, menetapkan bahwa Komisi berwenang :
“meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini “
2.3. Bahwa selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 17 huruf f Keputusan KPPU No. 05/KPPU/KEP/IX/2000 Tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap UU No.5 Tahun 1999, menetapkan bahwa Majelis Komisi berwenang :
“meminta keterangan dari instansi Pemerintah berkaitan dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Terlapor"
2.4. Bahwa secara hukum sebenarnya masalah bentuk penuangan (risalah atau berita acara) bukanlah merupakan hal yang penting untuk dipersoalkan karena secara substansi mempunyai esensi yang sama.
Secara substansial, permintaan keterangan pemerintah dalam perkara a quo bertujuan untuk mencari bukti petunjuk guna menjelaskan kebijakan atau regulasi yang merupakan peraturan perundangan yang telah dikeluarkannya.
2.5. Bahwa oleh karena itu, proses meminta keterangan dari pemerintah bukanlah acara pemeriksaan sebagaimana dilakukan terhadap para saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan UU No.5 Tahun 1999 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf f UU No.5 Tahun 1999 sehingga cukup dituangkan dalam bentuk
Hal. 30 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 risalah dan bukan dalam bentuk berita acara pemeriksaan. 2.6. Bahwa kemudian Judex Facti menyatakan bahwa risalah
tersebut tidak jelas dasar hukumnya guna dijadikan alat bukti adalah merupakan pertimbangan hukum yang salah (dalam menerapkan hukum) dan berlebihan serta mengabaikan kewenangan PEMOHON Kasasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 36 huruf i UU No.5 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa PEMOHON Kasasi berwenang mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.
3. Mengenai Penyumpahan Saksi.
Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti pada halaman 83 sampai dengan halaman 88 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Termohon Kasasi telah diperlakukan tidak sama di depan hukum yaitu tidak diberi kesempatan yang sama untuk membela hak-haknya di depan hukum, dengan tidak disumpahnya seluruh saksi yang diajukannya guna membantah keterangan saksi yang memberatkannya maupun apa yang dituduhkan kepadanya.
Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut jelas salah dan tidak sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya terjadi. Hal tersebut didasarkan atas alasan sebagai berikut :
3.1. Bahwa dalam pemeriksaan pendahuluan perkara a quo yang dilakukan Tim Pemeriksa adalah meminta keterangan terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui dan atau patut diduga mengetahui terjadinya pelanggaran UU No.5 Tahun 1999. Oleh karena masih bersifat meminta keterangan maka penyumpahan bukan merupakan suatu yang diharuskan dalam tahap ini.
3.2. Bahwa apalagi keterangan-keterangan saksi dalam peme-riksaan pendahuluan tersebut, diperiksa lagi dalam pemeriksaan lanjutan yang sudah pasti dilakukan penyumpahan terlebih dahulu.
3.3. Bahwa setiap saksi selalu dilakukan penyumpahan terlebih da-hulu dalam pemeriksaan lanjutan. Hal yang sama juga dilakukan dalam pemeriksaan terhadap saksi Arief Yahya dan saksi I Nyoman G. Wirya.
Hal. 31 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005 Judex Facti tidak teliti dan tidak membacanya secara lengkap Berkas Perkara a quo (dalam hal ini BAP yang bersangkutan).
3.4. Bahwa seandainya quad non ada satu saksi yang menurut pendapat Judex Facti tidak dilakukan penyumpahan, bukan berarti serta merta keterangannya dapat dikesampingkan atau dibuang begitu saja. Apalagi menurut Pasal 42 huruf d UU No.5 tahun 1999, keterangan saksi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai bukti petunjuk karena yang penting dan prinsip adalah keterangan saksi yang bersangkutan telah bersesuaian dengan bukti-bukti lainnya yang terkait.
3.5. Bahwa selain daripada itu, untuk mendapatkan bukti-bukti adanya pelanggaran UU No.5 Tahun 1999, PEMOHON Kasasi dapat melakukan penyelidikan (vide, Pasal 36 huruf c UU No.5 Tahun 1999). PEMOHON kasasi juga mempunyai kewenangan untuk mendapatkan, meneliti dan menilai surat, dokumen atau alat bukti lainnya (vide, Pasal 36 huruf i UU No.5 Tahun 1999).
3.6. Bahwa dengan demikian, jelas terbukti bahwa Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum dan memberikan pertimbangan hukum yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya terjadi serta mengabaikan kewenangan PEMOHON Kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 36 huruf c dan huruf i UU No.5 Tahun 1999.
B. TENTANG SUBSTANSI PERKARA
1. Pelanggaran Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999.
Bahwa sebelum PEMOHON Kasasi membahas mengenai unsur pelaku usaha pemasok dan unsur perjanjian harga atau potongan harga, terlebih dahulu PEMOHON Kasasi membahas hal yang sangat prinsip dan fundamental yang mutlak harus dipertimbangkan oleh Judex Juris adalah bahwa dalam menilai ada tidaknya pelanggaran Pasal 15 ayat (3) huruf b, Judex Facti hanya mengacu pada :
- Keputusan Direksi Termohon Kasasi Nomor KD 39/HK.220/JAS-51/2003 tentang Pedoman Pengelolaan Outlet Telkom melalui Warung Telkom tertanggal 17 Juni 2003 (selanjutnya disebut KD 39/Warung Telkom) dan ;