• Tidak ada hasil yang ditemukan

Written by Administrator Wednesday, 25 January :50 - Last Updated Saturday, 28 January :23

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Written by Administrator Wednesday, 25 January :50 - Last Updated Saturday, 28 January :23"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Ada perbedaan mendasar antara kasus Monica Lewinski dan para korban perkosaan. Monica melakukan seks suka sama suka dengan Bill Clinton, sedangkan korban perkosaan adalah sasaran tindak kekerasan, karena perkosaan adalah bukan sekedar hubungan seks, dan juga tidak sama dengan perjinahan. Perkosaan adalah tindak kekerasan atau kejahatan seksual yang berupa hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan kondisi tidak atas kehendak dan persetujuan perempuan, atau dengan persetujuan perempuan namun di bawah ancaman atau penipuan.

Menurut hukum yang bertaku di Indonesia (Pasal 285 KUHP), perkosaan adalah kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia (laki-laki) di luar pernikahan.

"Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya 12 tahun."

Sedangkan perjinahan diatur dalam pasal 284 KUHP yang menyebutkan perjinahan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan

perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Dan perbuatan itu dilakukan dengan suka sama suka, tak ada paksaan dari salah satu pihak, dan sanksinya adalah hukum penjara selama-lamanya 9 tahun.

Apa yang dilakukan oleh Bill Clinton dengan Monica adalah perjinahan. Monica dengan bangga menyimpan gaun birunya yang terkena percikan sperma Bill Clinton, sedangkan korban perkosaan adalah sebaliknya, apalagi sarnpai memamerkan gaun mereka, kemungkinan besar mereka (para korban perkosaan) akan secepatnya berusaha

menghilangkan bukti fisik), yang justru sebenarnya sangat diperlukan untuk menangkap pelaku perkosaan tersebut.

Dan yang lebih parah lagi bagi korban perkosaan adalah pikiran dan batin mereka yang akan tersiksa, karena untuk melupakan aib yang menimpa mereka itu tidaklah semudah

membalikkan telapaktangan. Kondisi inilah yang amat perlu diperhatikan dengan penuh simpati oleh siapa saja, terutama pemeriksa bila korban mau diperiksa, agar jangan sampai terjadi korban merasa mengalami korban kembali karena mengungkapkan aibnya itu.

(2)

Sesungguhnya perkosaan lebih dari sekedar sebuah persoalan kekerasan dan kejahatan seksual, tetapi bisa diartikan sebagai sebuah kejahatan ideologis. Artinya, perkosaan akan muncul dari sebuah tatanan masyarakat yang memandang bahwa perempuan oleh kaidah hukum moral, baik secara normatif maupun positif, berada di bawah superioritas laki-laki. Pandangan ini telah berurat-akar, berlangsung turun temurun dan telah bersifat ideologis hingga saat ini.

Dilihat sebagai obyek, sebagai sosok pasif, maka dalam perkosaan, penyerangan secara seksual yang dilakukan laki-laki adalah akibat negatif dari pandangan superioritas laki-laki. Malangnya lagi, perempuan seperti mendapat penderitaan lanjutan setelah perkosaan menimpanya, apalagi bila ingin mengadakan pengaduan.

Dalam melakukan pengaduan, dia harus mengajukan pembuktian di mana secara psikis dia harus menceritakan berkali-kali kejadian traumatisnya secara mendetil, bahkan tak jarang apabila dia menceritakan kejadiannya, maka yang mencatat dan mendengarkan pengaduan mereka (dalam hal ini pihak yang berwenang) seolah-olah merasa hal itu adalah biasa. Tak ada tanggapan serius apalagi mudita simpati dari mereka, sehingga banyak korban perkosaan yang enggan mengadukan kasusnya kepada pihak yang berwenang.

Itulah sebabnya perkosaan sesungguhnya adalah kejahatan ideologis di mana hukum tidak menjamin dengan kuat untuk menghapuskannya. Hukum tidak menampung perasaan paling dalam dari nurani kewanitaan, selama kultur patiariarkal yang menyimpan ideologi patriarkis itu masih mewamai penegak hukum dan masyarakatnya.

Power Rape, Anger Rape

Perkosaan merupakan suatu kejadian yang tidak mudah untuk dibicarakan, malah kadang terasa asing, meskipun sebenarnya kaum perempuan secara tidak sadar telah dibayangi oleh hal ini sejak usia dini. Lihatlah, bukankah perempuan merasa harus dilindungi; takut bila

berjalan sendiri di malam hari atau di tempat yang kurang dikenal, selalu harus waspada pada siapapun termasuk orang-orang terdekat, keluarga dan bahkan juga pengayom, guru dan atasan.

Lihatlah, secara sadar atau tidak sadar ketakutan akan perkosaan menjadi bagian besar hidup perempuan; mengatur bagaimana dia bertindak, berbicara, singkatnya membatasi ruang

geraknya. Sehingga kaum perempuan akhimya menyadari bahwa perkosaan merupakan kekerasan yang ekstrim dan suatu cara yang efektif untuk mengontrol kehidupan sosial, yang

(3)

juga merupakan perwujudan suatu kekuasaan.

Karena perkosaan adalah perwujudan dari kekuasaan, (motif kekuasaan atau power rape) maka tidak mengherankan jika perkosaan telah lama digunakan sebagai senjata dalam peperangan yang tujuannya untuk teror, penjatuhan moral dan pemecahan suatu kelompok.

Seiring dengan itu disertai pula perkosaan bermotif amarah (anger rape), maupun perkosaan dengan motif balas dendam.

Comfort Woman

Perkosaan dalam masa konflik peperangan dilakukan oleh sekelompok orang (gang rape). Paling tidak bila dilakukan oleh satu orang, maka ada orang lain yang terlibat. Banyak pemerkosaan yang mengikutsertakan faktor"penonton", terjadi di hadapan keluarga korban, masyarakat lingkungan, atau korban yang lain.

Banyak korban yang mengalami perkosaan berkali-kali. Banyak perkosaan yang mempunyai unsur penyiksaan dan sadisme, bahkan beberapa kejadian perkosaan divideokan dan

disebarluaskan dengan tujuan teror.

Meskipun perkosaan dalam masa konflik atau perang baru akhir-akhir ini saja menjadi pusat perhatian dunia, namun sebenarnya perkosaan sebagai alat/senjata perang sudah

berlangsung selama berabad-abad. Pada jaman Yunani kuno, Roma dan Yahudi, dimana perempuan ditangkap dan kemudian diperuntukkan sebagai hadiah perang atau diperlakukan sekehendak pemilik yang menang dalam peperangan tersebut.

Juga hingga abad 20 pada Perang Dunia I, maupun Perang Dunia II di mana perempuan sering menjadi sasaran korban peperangan melalui perkosaan yang bertujuan menghilangkan kultur. Belum lagi sebagai comfort woman di mana perempuan dari negara yang dijajah

dipaksa untuk melayani tentara-tentara penjajah (di Indonesia pada masa penjajahan Jepang

istilah comfort woman dikenal sebagai Jugun lanfu).

(4)

sudah berjalan selama berabad-abad juga terjadi dalam 10 tahun terakhirini, seperti di El Salvador, Guatemala, Liberia, Kuwait dan juga Bosnia.

Perkosaan yang terjadi di Bosnia bisa mewakili apa yang dialami oleh perempuan dalam masa konflik peperangan, karena di dalamnya mengandung semua motif peperangan, yaitu

perkosaan sebagai alat penghapusan kultur dan masyarakat, sebagai pernyataan kebencian terhadap perempuan, menyebarkan teror, meninggikan semangat, sebagai hadiah, dan sebagai pemyataan kekalahan.

Trauma dan Teror

Dampak dari perkosaan pada korban sungguh luarbiasa, bukan saja mengalami trauma secara fisik dan mental tapi juga luka-luka tubuh, Banyak perempuan yang menjadi hamil dikarenakan perkosaan, sebagian memilih untuk melakukan aborsi, sebagian dipaksa untuk melahirkan bayi-bayinya yang kemudian sang ibu menolak untuk memeliharanya, bahkan ada pula yang membunuhnya.

Korban-korban yang lain mengekspresikan rasa marahnya atau merasa sangat heran mengapa pihak tertentu begitu membenci mereka. Banyak korban yang tidak mau

menceritakan pengalamannya, karena bukan saja merasa malu tapi juga ketakutan akan penolakan dari masyarakat.

Berbagai reaksi yang muncul sesudah perkosaan, misalnya korban akan mudah murah, takut, cemas, gelisah, merasa bersalah, malu, menyalahkan diri sendiri, menangis bila mengingat kembali, ingin melupakan, merasa diri tidak normal, kotor, berdosa, tidak berguna, dan Iain-lain, bahkan yang lebih parah lagi sering ada yang ingin bunuh diri.

Pada umumnya korban pemerkosaan enggan atau tidak mau melapor. Hal tersebut bisa dipahami, karena ketakutan korban perkosaan itu didasari oleh keinginan untuk menghindari pertemuan dengan pemerkosadi pengadilan, tidak ingin mengulang terror yang dialami,

menghindari rasa malu dan cemooh karena harus menceritakan sesuatu yang sangat pribadi, mengindari pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya pribadi, yang semuanya ini bisa dirasakan sebagai perkosaan kembali.

(5)

Sekarang perhatian dunia terhadap kasus-kasus perkosaan dan kekerasan seksual secara lebih luas semakin semarak. Gerakan-gerakan perempuan yang semakin gencar

mengkampanyekan antipatriarki atau diskriminasi gender umumnya melihat peristiwa dominasi seksual lebih daripada hanya sekedar nafsu orang-perorang, namun sebagai konstruksi sosial yang mensahkan dominasi kekuasaan jenis kelamin laki-laki terhadap perempuan.

Perkosaan terjadi karena adanya sistim kekuasaan dominatif yang terus hendak

dipertahankan lewat ideologi patriarki, paham tentang dominasi laki-laki terhadap perempuan. Untuk itu gerakan perempuan harus memperjuangkan kaum wanita terutama para korban untuk berani menyuarakan masalah ini, karena ini merupakan tuntutan hidup, daya survival mereka.

Misalnya, gerakan perempuan perlu melakukan penyadaran kultural seperti melalui jalur pendidikan mulai tingkat yang sangat bawah dan seterusnya, mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan. Serta pemahaman bahwa laki-laki itu bukan hanya berisikan nafsu, tetapi juga punya kesadaran, dan wanita itu ada bukan hanya sebagai wadah reproduksi atau dipandang secara seksual semata.

Vibhava Tanha

Bahwa perkosaan bukan hanya sekedar masalah seks semata, tetapi termasuk tindak kekerasan. Karena itu Buddha Dharma tidak berkenan terhadap perkosaan. Buddha Dharma menolak sama sekali tindak kekerasan daiam bentuk dan manifestasi apa pun, kapada siapa pun.

Jangankan kepada makhluk manusia seperti kekerasan terhadap perempuan, kepada

tumbuh-tumbuhan sekalipun Buddha Dharma menganjurkan untuk tidak melakukan kekerasan. Dalam Brahmajala Sutia dikatakan:

"Samana Gotama tidak merusak biji-bijian yang masih dapattumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan. Tidak membunuh makhluk. Samana Gotama menjauhkan diri dari

membunuh makhluk. la telah membuang alat pemukul dan pedang. la tidak melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk.

Peperangan maupun perkosaan, sesungguhnya ditimbulkan dan diciptakan oleh

manusia-manusia yang diliputi oleh lobha, dosa, dan moha, sebagaimana dilukiskan dalam Sa

myutta Nikaya

(6)

"Apakah yang menjadi sebab dari segala penderitaan dan kesedihan di dunia ini?" Pertanyaan tersebut diajukan oleh Raja Pasenadi kepada Sang Buddha: "Berapa banyak hal yang terjadi di dunia ini, Sang Bhagava, yang membuat kesulitan, penderitaan, dukacita, atau

kekhawatiran?"

Sang Buddha menjawab, Tiga hal Baginda, yang terjadi di dunia ini." "Apakah ketiga hal itu?" "Keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Ketiga hal inilah yang membuat kesulitan,

penderitaan, dan dukacita atau kekhawatiran."

Peperangan yang disertai perkosaan, penyiksaan dan kekejaman merupakan

kelakukan-kelakukan lahiriah yang keterlaluan, yang dimotivasi oleh dorongan-dorongan yang terdapat di alam bawah sadar para pelakunya, seperti naluri untuk menghancurkan, naluri destruktif, keinginan untuk membunuh, berbuat sadis, mencelakakan.

Naluri yang diungkapkan oieh tokoh psiko-analisa Sigmund Freud (1856-1939) dengan

sebutan thanatos (naluri kematian) itu terdapat di dalam diri setiap manusia dan menggerakkan tingkah lakunya. Dalam Buddha Dharma, naluri destruktif tersebut dikenal

sebagai vibhava-tan

ha atau

keinginan untuk penghancuran dan kematian. Tindakan yang didasarkan oleh naluri ini hanya menghasilkan karma buruk, penderitaan yang tiada hentinya.

Pandangan Benar Kesetaraan

Sehubungan dengan ideologi patriarki (pandangan mengenai kekuasaan dominatif laki-laki terhadap perempuan). Pandangan yang menempatkan perempuan sebagai obyek pasif,

sasaran laki-laki yang bisa tercetus dalam tindakan kekerasan, perkosaan ini dalam kaca-mata merupakan termasuk dalam kebodohan atau pandangan yang keliru, pandangan yang tidak benar, yang tidak termasuk dalam panna.

Buddha Dhanna tidak sependapat dengan ideologi patriarkhi yang melatarbelakangi kejahatan perkosaan ini. Buddha Dharma menempatkan kedudukan laki-laki dan wanita setara,

sebagaimana diungkapkan oleh Sang Buddha bahwa wanita juga memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mencapai kesempurnaan kebebasan, dan ini dibuktikannya dengan diadakannya Sangha Bhiksuni yang memberi kesempatan setara bagi perempuan

(7)

menjalani kesucian.

Awal pencerahan kesetaraan kesempumaan lelaki dan perempuan itu dimulai ketika putri Pajapati dan lima ratus wanita lain mengajukan permohonan menjadi rahib, dan hal ini juga memungkinkan keterbukaan pemerataan kesempatan dan kedudukan bagi semua golongan masyarakat, baik bangsawan maupun rakyat jelata. Apakah jalan tersebut monopoli kaum pria? Buddha sendiri menjawab tidak. Kemudian Buddha mengijinkan wanita menjadi Bhikhuni.

Terhadap peperangan yang merupakan representasi dari penggunaan kekuasaan melalui kekerasan, Buddha Dharma sama sekali menolak peperangan apalagi peperangan yang menyertai kekerasan terhadap perempuan, seperti perkosaan. Perang mungkin tak terhindari, namun jatuhnya korban seminimal mungkin, bisa saja dilakukan.

Seperti kita ketahui dalam sejarah, di negara Buddhis jika dalam menyelesaikan

permasalahan negaranya tidak juga dapat menghidari peperangan, maka di dalam peperangan itu pun diupayakan untuk menghindari penggunaan kekerasan yang menyebabkan jatuhnya korban, seperti misalnya tidak mengarahkan senjatanya langsung kepada lawan, namun hanya kepada tempat-tempat tertentu saja yang dapat melemahkan dan membuat musuhnya menyerah.

Referensi

Dokumen terkait

Berbagai macam pilihan alat kontrasepsi, salah satunya adalah IUD.Dari seluruh alat kontrasepsi yang ada IUD adalah jenis kontrasepsi yang sangat dianjurkan untuk

Bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan biodiesel di pabrik ini adalah minyak jarak pagar dengan kadar 99% dan metanol dengan kadar 99,85%.Reaksi ini terjadi di

1,400,000 Total Sub Total 1-5 21,446,000 Terbilang : Dua puluh satu juta empat ratus empat puluh enam ribu rupiah.. Paket dokumentasi dan cetak foto

Dalam penelitian ini, penyusun akan memfokuskan penelitian pada proses menemukan keterkaitan antara konsep keadilan sosial yang termuat dalam sila kelima Pancasila

PESAN PENTING: Peningkatan kualitas pendidikan menjadi PR besar yang diamanatkan Wakil Wali Kota Malang Sofyan Edi Jarwoko dalam Konferensi PGRI Kota Malang kemarin

Di antara pasangan – pasangan yang tidak signifikan, gabungkan satu pasangan kategori yang paling mirip (pasangan yang memiliki nilai khi-kuadrat berpasangan terkecil)

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan dan kepanitian yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA), termasuk

angka Arab, sedangkan catatan kakinya ditempatkan pada dasar halaman 2 spasi di bawah garis melintang yang dibuat mulai dari batas kiri sepanjang 7 sentimeter,